SAYED MUDHAHAR AHMAD : BUPATI PEMBERANI
Pertemuan pertama penulis dengan Sayed Mudhahar Ahmad terjadi di Lhok Seumawe, bulan Februari 1987. Ketika itu penulis baru beberapa hari bertugas sebagai Staf Ahli bidang Community Development di Kantor Tim Pengendalian Pembangunan Wilayah Zona Industri ( TP2WZILS ) Lhok Seumawe, Aceh Utara atau disingkat dengan nama TP2WI. Lembaga itu merupakan lembaga organik BAPPEDA ( Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ) Provinsi Aceh, merupakan mitra perusahaan Industri besar di kawasan itu ( PT Arun NGL, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk ASEAN, PT Kertas Kraft Aceh ) dalam bidang pembangunan masyarakat. Tujuannya untuk meminimalisir dampak negatif dari kehadiran Industri hulu terhadap lingkungan, sosial ekonomi dan budaya. Sayed menjadi mitra kerja penulis dalam urusan pembangunan masyarakat, dampak lingkungan dan pembangunan desa model. Ada 10 desa di sekeliling zona industri yang dijadikan desa model. Penulis bersama Sayed duduk di Komite Pembangunan Desa Model ( KOBANGDEM ). Secara resmi Sayed adalah pejabat Bagian Humas PT Arun, Dari sepuluh desa model, penulis paling sering berkunjung ke desa Ujong Pacu dan desa Naleung Mameh, karena kepala desanya paling progresif.
Dalam pertemuan pertama, penulis berkunjung ke rumah dinas Sayed di jalan Dumai, yang terletak di atas bukit di kompleks perumahan PT Arun NGL, di kawasan Batuphat, Aceh Utara. Sayed menyambut dengan hangat dan langsung mempersilakan penulis untuk ikut makan malam bersama keluarganya. Pada pertemuan itu Sayed bercerita tentang perjalanan karirnya. Tahun 1971 dengan bekal ijazah SMA dia melamar kerja di PT Pertamina dan setelah menjalani test diterima di Pertamina Wilayah I. Setelah menjadi pegawai, dia melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nomensen, Medan dan lulus pada tahun 1977 di saat usianya 31 tahun ( Sayed Mudhahar Ahmad lahir di Kuala Ba'u, Kecamatan Kleut Utara, Kabupaten Aceh Selatan pada 26 Desember 1946 ). Selanjutnya penulis sering bertandang ke rumah dan ke kantornya, mendiskusikan soal pekerjaan. Ketika baru lulus SMA di Banda Aceh, Sayed sudah menjadi pemimpin surat kabar Berjuang tahun 1966 - 1969. Dia juga dikenal sebagai penyair, dan penulis. Buku yang ditulisnya berjudul Ketika Pala Mulai Berbunga : Seraut Wajah Aceh Selatan. Sebuah buku yang ditulisnya bersama Al Chaidar dan Yarmen Dinamika berjudul Aceh Bersimbah Darah, menjadi Best Seller tahun 1998 - 1999.
Setelah bekerja sama selama setahun, Sayed Mudhahar Ahmad terpilih menjadi Bupati Aceh Selatan oleh DPRD Kabupaten Aceh Selatan, tentunya setelah mendapat restu dari pimpinan tertinggi PT Arun NGL Ir Wicaksono dan Menteri Dalam Negeri Jenderal Purn Rudini. Hubungan baik yang dibinanya dengan berbagai pihak, sipil, militer, tokoh masyarakat, ulama, rekan kerja, sahabat, membuat para pihak melepas kepergiannya dengan berat dan perasaan sedih. Sayed diantar ke Tapak Tuan, ibu kota Kabupaten Aceh Selatan oleh rombongan besar dengan menggunakan puluhan bus, seperti melepas keberangkatan jemaah haji.
Pada tahun pertama masa jabatannya banyak terobosan yang dibuatnya. Aceh Selatan menjadi salah satu kabupaten yang berhasil swa sembada beras, dan menyumbang surplus beras untuk memperkuat program swa sembada beras nasional. Produksi pala dan minyak nilam ( atsiri ) meningkat. Sayed memberikan bea siswa untuk putera puteri Aceh Selatan yang belajar di Banda Aceh dan Yogyakarta. Pada tahun ke dua pemerintahannya, penulis berkunjung ke Tapak Tuan, berpamitan untuk melanjutkan studi di Yogyakarta. Dia senang penulis mengambil bidang studi Ilmu Lingkungan, karena dia sendiri adalah pemegang sertifikat AMDAL B ( level penyusun ).
Pada tahun itu Sayed Mudhahar melakukan tindakan fenomenal yang masih dikenang hingga sekarang. Pada tahun itu dia menindak banyak Pemegang Hak Pengusahaan Hutan ( HPH ) di Aceh Selatan yang tidak patuh pada regulasi. Dia tidak memperpanjang ijin HPH banyak perusahaan kayu dan mengusir mereka dari Aceh Selatan, walaupun mendapat rekomendasi dari Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap. Sayed bersumpah meletakkan kitab suci Al Quran di atas kepala bahwa dia tidak akan memperpanjang ijin HPH di seluruh Aceh Selatan. Jika Menteri Kehutanan memaksakan kehendak, dia meletakkan jabatan selaku Bupati Aceh Selatan. Sayed bukan sekadar menggertak, ketika kunci kontak buldozer dinyalakan, dia sudah memarkirkan truk di depan rumah dinasnya untuk mengangkut barang pribadinya. Rakyat Aceh Selatan berbaris menuju rumah dinas Bupati, akan melakukan demostrasi besar besaran ke kantor DPRD, mendukung Bupati. Gubernur Aceh dan Menteri Kehutanan tidak berani menindak Bupati yang populer dan dicintai rakyat, akhirnya mengalah, mengikuti keputusan Sayed, tidak memperpanjang ijin HPH. Sayed berpidato lantang yang terus diingat orang " Saya tidak memperpanjang ijin HPH untuk melindungi rakyat saya dari bencana banjir. HPH memparkaya hanya segelintir orang di kota besar, sementara sebagian besar rakyat saya hidup menderita dalam kemiskinan dan ditimpa bencana banjir serta longsor. Perusahaan HPH adalah penyebab kerusakan hutan Aceh Selatan dan berikutnya pasti akan diterjang banjir dan longsor serta erosi". Ucapan Sayed nyaring menembus batas wilayah Aceh, menggema menembus dimensi waktu, terus dikenang oleh antar generasi. Pengetahuan lingkungannya yang mumpuni membuat jerih banyak pihak untuk berdebat dengannya.
Perjalanan karir Sayed dapat diduga, dia tidak bakal direstui oleh Pemerintah Pusat untuk menjabat dua periode. Jika masa itu sudah ada beragam media sosial sudah pasti ucapan dan tindakan Sayed menjadi viral. Pada tahun 1991 Wahana Lingkungan Hidup menganugerahkan penghargaan kepada Sayed. Menteri Kehutanan, Gubernur Aceh, Menteri Dalam Negeri, bahkan Presiden Soeharto enggan menindak Bupati yang didukung penuh oleh rakyatnya. Di masa belum berlaku otonomi daerah, Bupati tidak dipilih langsung oleh rakyat, Sayed sudah menunjukkan ketegasan menentang kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak pro rakyat. Sebelum era reformasi dicanangkan, Sayed Mudhahar Ahmad sudah merintis jalan ke arah reformasi. Dia menjalankan tata kelola pemerintahan yang akuntabel, transparan, berpihak kepada rakyat. Dia lebih memilih meninggalkan zona nyaman dan aman, mencoba merambah, membuka jalur baru yang penuh dengan tantangan / hambatan sekaligus memetakannya, agar dapat dilalui oleh generasi penerus.
Pada hari hari terakhir ini, ketika tiga provinsi di Sumatera, dilanda banjir, kehadiran kepala daerah seperti Sayed Mudhahar Ahmad semakin relevan dan didambakan rakyat. Entah kapan muncul lagi tokoh tokoh seperti dia. Justru di era reformasi, yang katanya demokratis, seharusnya banyak bermunculan figur pemimpin seperti Sayed Mudhahar Ahmad yang bekerja tulus ikhlas untuk kesejahteraan rakyat, tanpa takut kepada pimpinan yang levelnya lebih tinggi, berani mengambil risiko dan bertanggung jawab. Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang sosok Bupati Sayed Mudhahar Ahmad. Penulis terkenang dengan stylenya, low profil, mendengarkan teman bicara dengan penuh perhatian, sorot matanya tajam, berbicara dengan suara lembut, tetapi di dalam kelembutan itu tersimpan keteguhan pikiran dan prinsip hidupnya sekokoh batu karang.
SALUTE UNTUK SAYED MUDHAHAR AHMAD
Gambar 1 : Sayed Mudhahar Ahmad sebelum menjabat Bupati Aceh Selatan
Sumber : Google
Gambar 2 : Sayed Mudhahar Ahmad sewaktu menjabat Bupati AcehSelatan

.jpeg)


Comments
Post a Comment