MEMBACA PIKIRAN PARA PENDIRI REPUBLIK
Prolog
Sekelompok akademisi muda mengadakan diskusi tentang kondisi masa depan Republik. Diskusi itu digagas oleh Deli Art Community ( DAC ), sebuah perkumpulan nirlaba berkedudukan di Medan yang aktif melakukan diskusi dengan beragam topik. Topik diskusi adalah kondisi negara pada masa diterapkannya Undang Undang Dasar 1945 ( UUD 1945 ) dan pasca amandemen ( masa kini ). Selain itu dijajagi juga kemungkinan lain di luar pikiran mainstream, misalnya membuat undang undang dasar baru.
Para narasumber memaparkan fakta sejarah terbentuknya negara, perumusan landasan filosofi negara ( Pancasila ), konstitusi negara ( UUD 1945 ), maksud atau motif dilakukannya amandemen amandemen UUD 1945. Dijelaskan berbagai pengaruh dan dampak pada rakyat dan prakiran dampaknya jika kembali kepada UUD 1945, atau meneruskan amandemen atau jika membuat undang undang dasar baru. Diskusi menyimpulkan bahwa apapun pilihan yang diambil. yang terpenting adalah tujuan pembentukan dan penyelenggaraan negara harus meletakkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Konstitusi, institusi negara dan falsafah negara hanya sarana, bukan tujuan. Tujuan dan sasaran dari penggunaan sarana itu adalah kesejahteraan rakyat.
Tulisan ini membahas point penting yang terlupakan, atau luput dari perhatian dari para narasumber dan peserta diskusi. Untuk dapat memahami pancasila dan konstitusi negara, perlu diketahui konfigurasi bentang alam pikiran para perumusnya. Tulisan ini mencoba menelusuri alam pikiran para pendiri negara pada dua hal tersebut. Para pembaca akan diajak berkelana menyelami pikiran para pendiri negara, ketika merumuskan bentuk negara, landasan filisofi negara dan konstitusi negara. Segmen ini agak terlupakan oleh narasumber. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memperkaya / memperluas cakrawala wawasan, gagasan dalam merespon dan menyikapi arus perubahan yang berlangsung makin cepat.
Postulat Yang Digunakan.
Tulisan ini di bangun di atas landasan postulat sebagai berikut :
1. Tidak ada orang yang dapat menghampiri / memerikan realitas alam dengan tingkat presisi 100% . Rumusan realitas alam yang dibuat tidak lain adalah tafsiran seseorang tentang dunia. Ketika seseorang membuat tafsiran tentang dunia, pasti menggunakan kerangka acuan tertentu, sistem ideologi tertentu, referensi keilmuan tertentu, sehingga tidak ada yang murni hasil pemikiran seseorang yang orisinil 100%.
2. Ketika seseorang menafsirkan tentang dunia, pandangannya terfokus pada adegan potret sesaat, atau scene tertentu pada satu roll film, atau periode waktu tertentu di suatu dimensi ruang tertentu.
3. Pikiran adalah motor penggerak atau pembentuk gagasan dalam menentukan sikap dan tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain, perilaku adalah fungsi dari sikap dan sikap adalah fungsi dari gagasan / ide.
Tafsiran Bentuk Negara
Para pendiri negara yang notabene adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI ), lembaga bentukan Jepang, beranggotakan 60 orang dipimpin oleh KRT Rajiman Wedeodiningrat. Para anggota BPUPKI adalah kelompok kecil lapisan elit terdidik secara Eropa, akrab dan familiar dengan berbagai ideologi besar produk abad XIX dan awal abad XX seperti nasionalisme, marxisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, humanisme. Selain fasih dengan aneka ragam ideologi / filsafat Barat, para pendiri negara juga melihat gagasan / ilmu ilmu praktis dari para mahaguru kaliber besar di universitas universitas top di Eropa, khususnya Belanda dan lebih spesifik lagi dari Universitas Leiden dan Universitas Utrecht.
Ada dua tokoh kunci yang pemikirannya tentang bentuk dan falsafah negara diadopsi oleh para pendiri negara, yaitu Prof Cornelis van Vollenhoven ( 1874 - 1933 ) dan Prof. Roelof Kranenburg ( 1880 - 1956 ). C van Vollenhoven adalah pakar hukum adat, pernah 2 kali ke Nusantara, tetapi sebagian besar karyanya bersumber dari data lapangan yang dikumpulkan oleh para muridnya yang banyak menjadi pejabat pemerintah yang ditugaskan di berbagai pelosok wilayah Nusantara. Sementara. R Kranenburg adalah pakar hukum tata negara. Seorang anggota BPUPKI terkemuka bernama Prof. Supomo, menggunakan pemikiran van Vollenhoven dan Kranenburg ketika merumuskan bentuk negara yang bakal berdiri.
Supomo menafsirkan realitas kepulauan Nusantara dengan suku suku bangsa yang beraneka warna. Nusantara dianalogikan sebagai sebuah rumah besar dihuni oleh keluarga besar dengan sifat dan karakter beraneka ragam. Walaupun beragam, ada unsur unsur yang sama di antara suku suku bangsa yang merupakan penghuni rumah besar itu. Semua suku suku bangsa itu adalah penutur bahasa Austronesia. Wilayah persebaran para penutur bahasa Austronesia mencakup area yang sangat luas mulai dari Taiwan di utara, Timor di selatan, Madagaskar di Barat dan Kepulauan Fiji, Tonga, Samudera Pasifik di timur. Pengetahuan tersebut diperoleh dari hasil penelitian ahli filologi dan linguistik terkemuka di Universitas Leiden, Prof. Johan Hendrik Caspar Kern ( 1833 - 1917 ). Informasi aspek budaya non materi diperoleh dari hasil hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar antropologi budaya, seperti George Alexander Wilken ( 1847 - 1891 ), Jan Petrus Benjamin Josseline de Jong ( 1886 - 1964 ). Selain unsur bahasa, dan budaya non materi, pada aspek budaya materi, suku suku bangsa di Nusantara juga memiliki tingkat kesamaan yang tinggi, terlihat dari kesamaan bentuk dan fungsi artefak gerabah, kapak batu, kapak perunggu, nekara perunggu, monumen megalitik. Pengetahuan mengenai hal ini didapat dari hasil penelitian para pakar arkeologi seperti Heger, Robert von Heine Geldern ( 1885 - 1968 ), Peter Vincent van Stein Callenfels ( 1883 - 1938 ), Hendrik Robbert van Heekeren ( 1902 - 1974 ).
Atas dasar perbedaan dan persamaan budaya, persebaran hunian di pulau pulau besar dan kecil, di dalam cakupan area yang luas, maka dibutuhkan sosok orang tua berkepribadian kuat, agar dapat mengatur rumah besar dengan beragam karakter penghuninya. Soepomo mengusulkan agar negara baru yang bakal berdiri harus berbentuk negara kesatuan dengan pemerintah pusat yang kuat, berwibawa dan disegani. Demikianlah para pendiri negara menafsirkan realitas kepulauan Nusantara, dengan settingan pada periode abad XIX sampai paruh pertama abad XX. Tafsiran itu dibuat berdasarkan kerangka pemikiran para pakar tersebut di atas. Para pakar menafsirkan realitas berdasarkan observasi lapangan, analisis dari pakar. Potret sesaat oleh para pakar kemudian dianggap sebagai realitas sejati. Hasil publikasi para pakar kemudian dijadikan acuan ketika merumuskan bentuk negara Indonesia. Dengan demikian gagasan bentuk Negara Serikat tidak mendapatkan dukungan kuat.
Sebenarnya ada tafsiran lain, bahwa dengan karakteristik fisik kepulauan Nusantara, ditambah dengan keanekaragaman yang tinggi pada aspek budaya non materi dan budaya materi, Nusantara dapat dianalogikan sebagai banyak rumah kecil yang tiap rumah dipimpin oleh kepala keluarga inti. Kumpulan rumah kecil itu dipimpin oleh seorang kepala wilayah. Idealnya negara yang bakal didirikan harus berbentuk negara serikat. Kesulitan mengelola negara kesatuan adalah rentang komando dan rentang kendali terlalu jauh. Jika sedikit saja pemerintah pusat lalai mengakomodasi kepentingan daerah, maka berpotensi menghadapi kondisi disharmoni antara pusat dengan daerah. Dalam negara serikat, tiap negara bagian diberi kewenangan mengurus sebagian besar urusan. Hanya beberapa urusan besar dan vital yang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat, seperti urusan pertahanan, moneter dan hubungan luar negeri. Dalam perdebatan di sidang BPUPKI, kelompok pro negara kesatuan menang mutlak, karena di situ terdapat Supomo yang sangat mumpuni di bidang filsafat kenegaraan dan hukum adat. Di dalam dirinya terdapat kombinasi keahlian Kranenburg dan van Vollenhoven. Hal itu tampak bagaimana dominannya Supomo dalam sidang sidang BPUPKI ketika membahas bentuk negara.
Tafsiran Dasar Negara
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang BPUPKI yang membahas dasar negara, Sukarno mengajukan dan membacakan proposalnya tentang dasar negara. Substansi pidatonya diberi nama pancasila dan diterima menjadi dasar negara. Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ), pada tanggal 18 Agustus 1945 proposal itu disahkan menjadi dasar negara. Menurut pengakuannya, Sukarno telah berpikir serius selama belasan tahun untuk mencari dan merumuskan pancasila. Di bawah pohon sukun di halaman rumah pengasingannya di Ende, Flores, Sukarno mencari inspirasi dan melakukan aktivitas olah pikir. Menurut pengakuan Sukarno, dirinya bukan pencipta pancasila, tetapi hanya sekadar merumuskan realita yang ada di Indonesia dan memberikan label nama pancasila. Pancasila sudah ada di alam pikiran masyarakat di Nusantara selama ribuan tahun, dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari. Pancasila bukan pikiran import tetapi asli milik bangsa Indonesia.
Mungkin Sukarno benar adanya, beliau melakukan obsevasi cermat, berkontemplasi dan melakukan abstraksi hasilnya. Pada akhirnya lahir rumusan sila sila pancasila berikut penjelasan tiap sila yang merupakan hasil artikulasi atas realitas masyarakat Indonesia, yang dipotret oleh Sukarno pada paruh pertama abad XX ( 1900 - 1945 ). Sukarno memiliki waktu yang cukup untuk berpikir mendalam tentang dasar negara, ditambah referensi yang solid, praktis tidak tertandingi oleh peserta sidang, mendominasi jalannya sidang. Pandangan Sukarno tentang dasar negara diterima bulat oleh sidang BPUPKI. Kondisinya mirip ketika Supomo tampil dominan di sesi yang membahas bentuk negara. Selama melakukan observasi dan kegiatan olah pikir terhadap realitas masyarakat Indonesia, Sukarno sebagai orang terdidik, lulusan Sekolah Tinggi, menguasai 4 bahasa asing secara fasih, pasti membaca buku buku kaliber berat karangan para filsuf dan pemikir utama di Eropa. Pada kenyataannya Sukarno adalah pembaca kaliber besar, akrab dengan pemikiran para filsuf besar mulai dari jaman Yunani klasik sampai jaman kontemporer. Dapat dipastikan bahwa buku buku yang berisi pemikiran para tokoh pemikiran besar, telah berfungsi sebagai acuan, referensi ketika Sukarno merumuskan dan menafsirkan realitas masyarakat Indonesia.
Terbuka peluang untuk menyusun narasai alternatif tentang asal usul sila sila di dalam pancasila. Jika dilakukan pengamatan dan kajian mendalam, akan tampak jelas bahwa sila sila di dalam pancasila ternyata mirip, atau paralel dengan berbagai ideologi besar di dunia. Uraian di bawah ini akan memperjelas hal ini.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ini jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah bahwa suku suku bangsa di Nusantara menganut ajaran agama / ideologi monoteisme. Ajaran monoteisme berakar di wilayah Timur Tengah, di kalangan bangsa bangsa berbahasa Semit, bukan bahasa Austronesia. Suku suku bangsa di Nusantara menganut ajaran politeisme, dan baru di awal millenium Masehi bersentuhan dengan ajaran monoteisme. Sila ketuhanan yang maha esa, diduga kuat bukan berasal dari bumi Nusantara. Walaupun demikian, ketika Sukarno memotert realitas di Indonesia, ajaran monoteisme telah meresap dalam di kalangan masyarakat.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila ini dapat dikatakan sama dengan ideologi / filsafat humanisme. Filsafat humanisme berkembang di Eropa dan mencapai kemapanannya pada abad XIX dan XX. Dapat dipastikan bahwa Sukarno membaca buku buku karya filsuf Barat seperti David Hume ( 1711 - 1776 ), Immanuel Kant ( 1724 - 1804 ), Desiderius Erasmus ( 1466 - 1536 ), Francis Bacon ( 1561 - 1626 ), Ludwig Feurbach ( 1804 - 1872 ), Friederich Wilhelm Nietzsche ( 1844 - 1900 ) dan Martin Heideger ( 1889 - 1976 ). Dengan buku buku karya filsuf besar itu Sukarno melakukan penafsiran tentang sosok manusia, khususnya masyarakat di Indonesia.
Sila Persatuan Indonesia
Tidak diragukan lagi bahwa sila ini sama dan identik dengan filsafat nasionalisme. Sukarno paling fasih bicara tentang nasionalisme yang menjadi dasar dari perjuangannya selama puluhan tahun. Sudah pasti Sukarno telah banyak membaca karya karya Joseph Ernest Renan ( 1823 - 1892 ), Otto Bauer ( 1881 - 1938 ), Hans Kohn ( 1891 - 1971 , termasuk juga karya karya yang lebih tua, karya John Locke ( 1636 - 1704 ), Montesque ( 1689 - 1755 ) dan Jean Jaques Rousseau ( 1712 - 1778 ). Dengan literatur literatur itu sebagai acuan, Sukarno menafsirkan realitas masyarakat Nusantara. Hal yang sama dilakukan oleh para okoh kemerdekaan di Asia Afrika seperti Sun Yat Sen ( Cina ), Jose Rizal ( Filipina ), Pandit Jawaharlal Nehru ( India ), Mohammad Ali Jinnah ( Pakistan ) dan Kwame Nkrumah ( Ghana ).
Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Sila ini dapat diartikan sebagai demokrasi. Demokrasi adalah hasil pemikiran yang dirintis sejak jaman Yunani kuno ribuan tahun silam. Dasar dasar filsafat demokrasi diletakkan oleh para filsuf Yunani dimulai oleh Socrates ( 469 - 399 SM ) Plato ( 427 - 347 SM ), Aristoteles ( 384 - 322 SM ). Ketika merumuskan sila ini , Sukarno tentu sudah menekuni pemikiran para tokoh di atas. Bagaimanapun orisinilnya pemikiran Sukarno, pengaruh tulisan para Pemikir Barat tidak dapat diabaikan.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila ini sama dengan filsafat sosialisme yang fondasinya diletakkan oleh para Pemikir Barat. seperti Alexander Pinet ( 1797 - 1847 ), Charles Fourier ( 1772 -:1837 ), Etiene Cabet ( 1788 - 1856 ), Robert Owen ( 1771 - 1858 ) dan Henri Saint Simon ( 1760 - 1825 ).
Dapat dikatakan bahwa sila sila pancasila sila bukan khas hanya ada di bumi Nusantara, tetapi juga ada di tempat tempat lain. Mungkin sila sila pancasila memang digali dari bumi, Indonesia, tetapi yang pasti, Sukarno menggunakan literatur barat sebagai acuan untuk menafsirkan realitas di Indonesia. Dengan demikian maka pancasila bukan sesuatu yang sakral, tidak dapat diubah, direvisi atau bahkan diganti. Pancasila adalah pemikiran yang dihasilkan dari menafsirkan realitas, mengabstraksikan realitas dan merumuskannya dalam bentuk prinsip prinsip nilai nilai utama yang dijadikan dasar negara dan panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tafsiran Konstitusi Negara
Proses penyusunan konstitusi yang kemudian dikenal dengan nama Undang Undang Dasar 1945, persispannya lebih singkat. Para penyusunnya juga menyadari hal itu. Mereka bermaksud akan menyusun undang undang dasar yang lebih lengkap setelah keadaan negara stabil. Jelas sekali UUD 1945 adalah konstitusi darurat, sekadar memenuhi tuntutan persyaratan minimal untuk berdirinya suatu negara. Keadaan negara yang tidak kunjung stabil, akhirnya mendorong presiden Sukarno menerbitkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1958, yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Undang undang ini memberikan kewenangan sangat besar kepada presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Para penyusun UUD Q945 menyadari bahwa di masa darurat, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan memiliki kewenangan besar. Sukarno dan presiden berikutnya pasti menyukai UUD 1945, dan berupaya mempertahankannya selama mungkin. Salah satu upaya tersebut adalah membangun narasi tentang mitos kesakralan UUD 1945. Mitos kesakralan UUD 1945 setara dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatusn Republik Indonesia ( NKRI ) yang disebut sebagai empat pilar negara. Hal ini memperlihatkan kerancuan berpikir dari negarawan yang mengusulkan konsep 4 pilar negara RI. Pancasila adalah dasar ( fondasi ), negara. Fondasi tidak sama dengan pilar ( tiang) dan fungsi keduanya jelas tidak sama.
Sifat, Karakter dan Spirit UUD 1945
Undang Undang Dasar 1945 bersifat umum, tidak lengkap dan tidak rinci, sehingga dapat dikatakan sebagai undang undang pendelegasian, karena banyak sekali pasal yang menuntut harus dijabarkan lebih lanjut dalam undang undang. Undang Undang Dasar 1945 terdiri dari pembukaan, batang tubuh terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 4 aturan tambahan dan 2 aturan peralihan. Memang sebagaimana layaknya undang undang dasar, pasti tidak mengatur secara rinci, tetapi UUD 1945 sangat terlalu umum. Kenyataan ini dapat dipahami, karena dibuat tergesa gesa, di masa darurat dan dimaksudkan berlaku sementara. Justru perilaku generasi berikutnya yang tidak wajar, mensakralkan sesuatu yang jauh dari sempurna. Generasi pasca 1945 terlihat sangat ingin berlindung di balik banyaknya pasal delegasi dan membuat tafsiran dalam bentuk undang undang yang menguntungkan dirinya dan kelompoknya.
Untuk memahami sifat, karakter dan spirit UUD 1945, perlu dipelajari dasar pemikiran yang melandasinya. Pada kuarter ke empat abad XIX di Eropa berkembang filsafat aliran pemikiran normatif. Aliran ini berpendapat bahwa semua manusia pada dasarnya baik. Para pendiri negara yang bersekolah di Eropa sangat terpengaruh dengan pola pikir aliran normatif. Mereka tidak pernah apriori terhadap orang lain dan menganggap orang lain sama dengan dirinya yang tidak mementingkan diri sendiri, berpikir dan berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. Para pendiri negara adalah negarawan sejati yang tidak mementingkan dirinya, keluarganya ataupun kelompoknya. Ketika merumuskan pasal pasal delegasi yang kelak akan dibuat ketentuan lebih rinci dalam bentuk undang undang, para pendiri negara berharap politisi generasi berikutnya akan berpikir sama seperti mereka, berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. Pada kenyataannya para pendiri negara telah menyerahkan cek dengan nominal masih dikosongkan tetapi telah ditanda tangani dan di stempel untuk diserahkan kepada generasi berikutnya. Generasi berikutnya dengan sesuka hati mengisi angka nominal berapapun yang diinginkannya. Hal itulah yang terjadi dengan UUD 1945.
Dari rumusan pasal pasal UUD 1945, terlihat jelas spirit filsafat sosialisme. Filsafat sosislisme terasa sangat kental di pasal 33 yang mengatur pengelolaan kekayaan negara, peran koperasi dan pasal 34 tentang tanggung jawab negara terhadap fakir miskin dan anak yatim piatu. Hal ini tidak mengherankan karena di antara para perumus pasal pasal tersebut, peran Mohammad Hatta sangat menonjol. Mohammad Hatta adalah ekonom lulusan dari Holland, seorang sosialis dan berpikiran normatif. M Hatta berperan layaknya seorang ideolog, sangat menguasai berbagai aliran filsafat mulai dari jaman klasik hingga jaman kontemporer. Lebih dari itu, M Hatta juga berperan sebagai teknokrat bidang ekonomi dan keuangan.
Epilog
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mahakarya dari para Bapak Bangsa. Komponen komponen negara merupakan hasil karya banyak orang, walaupun terlihat adanya dominasi dari pribadi yang unggul. Supomo memberi warna yang kuat pada aspek bentuk negara, Sukarno dominan dalam merumuskan dasar negara dan Mohammad Hatta menonjol dalam merumuskan konstitusi negara. Warisan terbesar dari para bapak bangsa bukan pada aspek fisik, seperti berbagai dokumen kenegaraan yang kemudian disakralkan oleh generasi penerus. Para bapak bangsa tidak pernah bermaksud mengabadikan karya fisiknya, terlebih lagi dengan embel embel kata kata HARGA MATI. Segala sesuatu tidak ada yang abadi, harus berubah, karena tema dasar alam semesta adalah perubahan. Tidak ada yang tidak boleh berubah, semua harus siap berubah, menyesuaikan dengan kondisi terkini.
Dengan membaca alur pikiran para pendiri negara, generasi penerus dapat menangkap pesan dari pendahulunya, baik tersirat maupun yang tersurat. Dibutuhkan pengetahuan luas dan mendalam agar pesan pesan terdalam dari para pendiri negara dapat dipahami oleh generasi penerus. Perjalanan menjelajahi pikiran para pendiri negara memberikan hasil yang mengejutkan. Warisan terbesar yang ditinggalkan bukan aspek fisik berupa wilayah negara, institusi negara, dokumen dokumen kenegaraan, tetapi justru aspek non fisik. Warisan itu berupa semangat berpikir, berkata kata dan berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. Selalu berprasangka baik kepada semua orang, berpikir kritis, terbuka, toleran dan tidaklah mengkultuskan benda benda fisik, non fisik atau apapun juga..
.
Comments
Post a Comment