IK HEB een DROOM : een REPUBLIEK GELEID DOOR een GROOT STAATSMAN
Prolog
Pada akhir Desember 1989, penulis berkunjung ke rumah Prof Dr T Jacob, yang merupakan salah satu guru terbaik yang mendidik saya selama beberapa tahun. Beliau adalah ahli paleoanthropologi terbaik di dunia. Penulis sampaikan niat mau belajar lebih dalam ilmu lingkungan. Jacob senang mendengar niat itu sambil memberikan sedikit pengantar untuk menambah motivasi belajar. Dia mengatakan " Ilmu Lingkungan adalah ilmu masa depan yang mendidik orang untuk memahami hubungan rumit di alam semesta. Tidak semua orang sampai di level yang dituntut ilmu itu, karena untuk memahami kompleksitas di alam ada syarat mutlak yang harus dipenuhi dan tidak dapat ditawar. Syarat itu adalah, mencintai kehidupan dan mau berkomitmen memperjuangkan serta mempertahankan kehidupan. Kalau syarat itu sudah dimiliki, maka terbuka peluang untuk memahami 4 kekuatan yang bekerja di alam. Pemahaman akan 4 kekuatan itu akan mengantarkan kita ke pintu gerbang kearifan sejati". Penulis merasa penasaran dan bertanya, apa 4 kekuatan itu?. Jacob menjawab " Saya tidak mau menyebutkannya sekarang. Nanti setelah penjelajahan dirimu di lautan ilmu lingkungan, kau akan menemukan rahasia 4 kekuatan itu. Belajarlah dengan serius, kau pasti berhasil menemukannya. Jacob benar adanya, beberapa tahun kemudian penulis berhasil mengekstraksi ilmu lingkungan sampai berhasil menemukan mutiara pengetahuan tersebut.
Judul tulisan ini sengaja dipilih dalam bahasa Belanda, yang artinya Saya bermimpi : Republik Dipimpin Oleh Negarawan Agung, tetapi inspirasinya berasal dari pidato terakhir ( menjelang ditembak mati di podiumnya ), Dr Martin Luther King, tokoh golongan minoritas kulit hitam yang gigih memperjuangkan kesetaraan menentang diskriminasi berdasarkan warna kulit. Judul pidatonya I Have a Dream dan telah mengnspirasi grup band legendaris dari Swedia, ABBA, yang membuat lagu dengan judul tersebut. Lagu itu kemudian di remix oleh grup penyanyi dari Irlandia bernama Westlife. Judul itu mengungkapkan besarnya kerinduan penulis akan hadirnya negarawan agung memimpin Republik. Negarawan yang mencintai kehidupan dan berjuang keras mempertahankan kehidupan. Bukan pemimpin yang memperlakukan manusia dan mahluk hidup lain tidak lebih dari angka statistik. Jangankan lebih 1000 orang tewas meregang nyawa dalam banjir di Sumatra, satu ekor domba yang mati kehausan di ujung perbatasan negaranya, adalah tanggung jawabnya, seperti yang diteriakkan dengan lantang oleh Sang Negarawan Agung Khalifah Umar bin Khatab RA. Bagian prolog ditutup dengan pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah terjawab, kecuali Tuan Presiden Prabowo Subianto berkenan menjawabnya : Banjir besar di Sumatra, mengapa tidak ditetapkan sebagai bencana nasional?.
Serangkaian Fakta
Pada akhir bulan November 2025 terjadi bencana banjir bandang, banjir besar, tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatra, Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Jumlah Kabupaten dan kota yang terkena banjir dan longsor adalah 52 daerah dengan rincian 18 dari 23 Kabupaten / Kota di Aceh, 18 dari 33 Kabupaten / Kota di Sumatra Utara, 16 dari 19 Kabupaten / Kota di Sumatra Barat. Jumlah keseluruhan daerah yang terkena bencana mencapai 66,6% dari total keseluruhan Kabupaten / Kota di tiga provinsi tersebut. Jumlah korban tewas 1068 jiwa, hilang 190, luka luka 6698 orang. Bangunan fasilitas umum yang hancur/ rusak 1600 unit, fasilitas kesehatan 219, fasilitas pendidikan 967, rumah ibadah 434, gedung kantor 290 dan jembatan yang rusak 145 unit. Jumlah pengungsi mencapai 1 juta jiwa dan yang terdampak mencapai 3,3 juta jiwa.
Kemampuan tiap daerah tidak sama dalam penanggulangan bencana. Kemampuan itu meliputi kapasitas kelembagaan, peralatan, anggaran, personil terlatih. Kesenjangan itu diperburuk lagi oleh kadar intensitas bencana yang melanda daerah juga tidak sama. Penderitaan berat akan ditanggung oleh daerah yang lemah, tetapi justru menderita dampak terberat, misalnya Kabupaten Aceh Tamiang. Sudah empat Kepala Daerah ( Bupati ) di Provinsi Aceh menyatakan tidak mampu mengatasi bencana banjir dan tanah longsor. Keempat orang bupati tersebut adalah Ismail A Jalil ( Bupati Aceh Utara ), Mirwan MS ( Aceh Selatan ) Hailin Yoga ( Aceh Tengah ), Sibral Malaysia ,( Pidie Jaya ). Anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ), Lasarus menilai bencana di Sumatra sudah dapat dikategorikan sebagai Bencana Nasional.
Dari data di atas, banyak pihak mempertanyakan sikap Pemerintah tidak menetapkan status bencana nasional. Apakah Jumlah korban dan luas wilayah yang terkena masih kurang banyak untuk dapat status bencana nasional?
Darar Hukum
Regulasi yang mengatur soal bencana dan upaya penanggulangannya adalah Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahu 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Dalam pasal 7 ayat 1 huruf C disebutkan kewenangan untuk menetapkan status bencana di suatu daerah adalah Pemerintah Pusat. Ayat 2 mengatur persyaratan suatu bencana dikategorikan menjadi bencana nasional.
Undang undang ini hanya mengatur soal indikator dalam menetapkan status bencana, tidak menetapkan kriteria dan parameter terukur ( ayat 2 , pasal 7 ). Indikator yang digunakan adalah jumlah korban manusia ( tewas, hilang dan luka ), kerugian materi, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah, dampak sosial dan ekonomi. Problem terbesar adalah ciri atribut kriteria tidak pernah dijabarkan dalam kisaran range berapa dan parameter terukur berapa untuk tiap indikator yang digunakan. Misalnya pada indikator jumlah korban, tidak ada upaya lebih lanjut untuk untuk menetapkan berapa jumlah korban yang tewas, hilang dan luka luka , agar dapat digolongkan ke dalam bencana nasional. Begitu juga untuk indikator luas wilayah yang terkena dampak, jumlah fasilitas prasarana dan sarana yang rusak, merugikan materi dan dampak sosial dan ekonomi, seraya tidak dilengkapi dengan ciri atribut kriteria yang memiliki parameter terukur.
Awalnya penulis berpikir, mungkin aturan rinci tersebut sengaja tidak dicantumkan di dalam Undang Undang RI No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Ketentuan lebih rinci akan dicantumkan di dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( PP ) yang kedudukannya lebih rendah dari undang undang. Atau mungkin dicantumkan di dalam Peraturan yang lebih rendah seperti Praturan Presiden ( Perpres ), atau bahkan dalam bentuk Peraturan Kepala BNPB. Setelah ditelusuri ada PP yang merupakan turunan dari UU RI No 24 Tahun 2007, yaitu PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaran Penanggulangan Bencana, tetapi juga tidak memuat ciri atribut kriteria dan besaran nilai parameternya dari tiap indikator. Dalam Peraturan perundang undangan yang levelnya lebih rendah lagi yaitu Perpres No 17 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, juga tidak dicantumkan kriteria dan besaran nilai parameter tiap indikator. Akibatnya sudah jelas yaitu Keputusan menetapkan level status suatu peristiwa bencana di Republik, tidak ada dasar yang objektif, berdasarkan hasil observasi dan perhitungan / pengukuran. Keputusan itu sangat subjektif, tergantung pada selera seorang pemegang otoritas tertinggi ( Presiden). Jika demikian halnya sudah tertutup pintu untuk mengajukan usul berbasiskan perhitungan empirik, atau diskusi atau adu argumentasi, karena sudah ditetapkan oleh Peraturan perundang undangan bahwa itu adalah wilayah otoritas presiden, tak dapat diganggu gugat dengan argumentasi apapun. Tidak ada lagi diskusi apapun soal penetapan peringkat status bencana di Republik. Semuanya terserah pada presiden seorang.
66% Masih Belum Cukup ( Epilog )
Jumlah Kabupaten / kota di tiga provinsi di Sumatra yang terkena dampak bencana banjir dan tanah longsor mencapai 52, dari total 75 ( 66% ), ternyata masih belum cukup menggugah Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan bencana itu sebagai bencana nasional. Kemarin malam penulis berdiri seorang diri di puncak tebing sungai di De La Rive Ouest sambil mengembangkan dialog imajiner dengan seseorang tidak dikenal.
Dia bertanya kepada penulis, mengapa presiden tidak menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional?. Sebelum sempat menjawab, dia sudah melontarkan banyak pertanyaan lain laksana rentetan tembakan senapan mesin. Apa Pemerintah takut menghadapi rentetan pertanyaan dari berbagai pihak, khususnya organisasi yang cerdas, kritis. khususnya pihak asing?. Apakah para pejabat takut terungkap bisnisnya di wilayah bencana?. Apa Pemerintah tidak punya uang jika biaya pemulihan dibebankan kepada APBN?. Saya berkata "Cukup, jangan tanya saya lagi. Saya tidak tahu apapun jawaban dari semua pertanyaan itu". Kalau begitu di mana dan siapa yang dapat menjawab pertanyaan itu?. Saya menjawab tegas " Tanyakan itu pada Yang Terhormat Tuan Presiden Prabowo Subianto. Hanya dia seorang yang dapat menjawabnya". Bagaimana kalian ini?. Urusan yang menyangkut hidup jutaan orang diserahkan hanya pada satu orang, walaupun orang itu adalah presiden atau raja atau kaisar. "Apapun yang mau anda katakan, bangsa ini sudah menyerahkan selembar cheque yang sudah ditandatangani dan distempel, tetapi nilai nominalnya dikosongkan, agar penerimanya dapat menuliskan jumlah nominalnya sesuka hatinya". Bangsa anda memang sudah sakit. "Bukan sakit, kami sedang melaju kencang menuju ........"
Penulis masih berdiri di puncak tebing tak mampu meneruskan kata kata yang terputus sambil menatap orang itu pergi meninggalkan penulis seorang diri sambil bergumam pelan hari ini untuk pertama kali energi positif di De La Rive Ouest enggan memberi pencerahan. Jacob benar, tidak banyak orang yang berkomitmen mencintai kehidupan dan berupaya keras memperjuangkan serta mempertahankan kehidupan.
.png)

Comments
Post a Comment