KEMELUT DI REPUBLIK : REFORMASI TOTAL MENUJU NEGARA KESADARAN
Prolog
Tulisan ini dibuat untuk menelusuri akar masalah yang membelit Republik. Kejadian di Republik beberapa hari terakhir mengingatkan akan peristiwa tahun 1965 / 1966 dan tahun 1998. Ke dua petistiwa di atas menjadi akhir dari rejim yang berkuasa. Ada tokoh yang nengatakan bahwa demostrasi rakyat yang ditujukan ke DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat ) telah disusupi, ditunggangi oleh pihak asing. Ini adalah tindakan apologi dari orang yang tidak mau berpikir dan introspeksi, selalu mencari kesalahan pihak luar. Seandainya benar ada intervensi pihak asing, maka yang pertama kali harus dipersalahkan adalah para penguasa negeri. Para elit itu yang menciptakan kondisi / celah sehingga dapat disusupi oleh pihak asing. Mengapa demikian?. Para penguasa yang memiliki segalanya, properti, personil, uang, kewenangan. Kalau kondisi perekonomian negara buruk, mereka yang harus dipersalahkan dan harus mempertanggungjawabkan semuanya.
Tokoh lain meminta rakyat menahan diri, menjaga persatuan, menjaga ketertiban, menyampaikan aspirasi harus dengan cara yang santun. Harusnya himbauan itu ditujukan kepada para elit penguasa, karena mereka yang memecah persatuan dengan tindakan pamer kekuasaan, menuntut fasilitas mewah melewati batas kewajaran, sementara sebagian besar rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Para penguasa terus menciptakan aneka jenis pajak, sementara para elit yang sudah kaya, dibebaskan dari pajak. Keluhan yang disampaikan secara baik baik, tidak ditanggapi secara baik. Kalau cara menangani masalah demonstrasi masih menggunakan cara kuno, mengerahkan aparat polisi, tentara, tindakan represif, penangkapan, penahanan, penyiksaan pelaku demonstrasi, percayalah, ini bukan akhir yang baik. Di masa depan pasti akan terjadi lagi. Sepertinya pejabat Republik tidak tahu akar masalah atau pura pura tidak tahu dan tidak mau menghilangkannya.
Pihak yang dihujat ( DPR ), berdalih bahwa mereka butuh penghasilan tinggi, fasilitas mewah, untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai legislatif, wakil rakyat. Dalih itu dengan mudah dapat dipatahkan. Para anggota DPR mengatakan sudah menghasilkan sekian banyak produk berupa undang undang, selain tugas pengawasan. Mereka menggunakan ukuran kuantitas produk hukum, tetapi abai terhadap kualitas produknya. Undang undang yang memberi peluang menambah kekayaan, mereka cepat bergegas segera merampungkannya seperti undang undang BUMN, TNI, Omnibus Law Cipta Kerja. Sementara undang undang yang dianggap dapat membahayakan kepentingan ekonominya, seperti undang undang Perampasan Aset, tidak kunjung disahkan. Fungsi pengawasan nyaris tidak pernah dilakukan. Begitulah kelakuan anggota DPR yang memuakkan.
Beberapa Fakta Kondisi Existing
Dalam beberapa tahun terakhir ini Republik mengalami kondisi seperti yang diuraikan di bawah ini :
- Tingkat korupsi makin tinggi dan masiv
- Jumlah hutang negara makin besar dan kemampuan membayar makin lemah. Akibatnya pemerintah mengambil jalan pintas, memperluas basis pungutan pajak dan menaikkan tarif pajak
- Investasi asing makin kecil, pertumbuhan ekonomi tidak mencapai target. Pengangguran makin banyak, karena terjadi gelombang PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja ).
- Pada saat daya beli masyarakat turun, harga harga barang dan jasa terus membubung naik. Pemerintah menyebut stock pangan berlebih, produksi meningkat, tetapi yang terjadi justru ketersediaan pangan makin langka, pembeliannya dibatasi, dan harganya makin tidak terjangkau oleh masyarakat umum.
- Sumberdaya alam dieksploitasi secara berlebihan, pencemaran dan kerusakan lingkungan makin meningkat. Indikasinya adalah terjadi peningkatan bencana alam yang dipicu oleh faktor hidroklimat seperti banjir, erosi, abrasi, tanah longsor, sehingga semakin menurunkan kesejahteraan rakyat. Sebagian dana yang dialokasikan untuk mendorong peningkatan ekonomi di sektor ril, tersedot untuk biaya evakuasi dan rekonstruksi.
- Tingkat kejahatan / kriminalitas makin tinggi. Hal ini dipicu oleh maraknya judi on line dan peredaran narkoba yang makin meluas. Sudah jadi rahasia umum bahwa dua jenis kejahatan itu dilindungi oleh oknum aparat negara.
- Penegakan hukum yang tidak konsisten dan tebang pilih dari aparat penegak hukum ( polisi, jaksa, hakim ) yang tegas, tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
- Di tengah tengah penderitaan rakyat, para pejabat negara dan anggota DPR mempertontonkan kemewahan, gaya hidup hedonis dan sikap arogan.
Tindakan demostrasi besar besaran merupakan reaksi kemarahan dari rakyat yang sudah mencapai titik kulminasi. Para pakar sudah memberikan analisis atas situasi yang terjadi. Umumnya mereka mengarahkan pandangan pada momen menjelang sampai terjadinya demostrasi besar besaran. Pemerintah bereaksi terhadap tindakan demostrasi. Bentuk reaksi itu tidak bakal ada jika situasinya baik baik saja. Pemerintah tidak bakal melakukan tindakan proaktif yang bersifat preventif. Oleh karena itu penulis memberi label NEGARA REAKTIF kepada Republik. Sebagai lawan tandingannya adalah negara negara yang penyelenggaranya tidak bersifat reaktif tetapi sangat proaktif. Tindakan proaktif dapat mencegah terjadinya beragam masalah. Negara negara Skandinavia seperti Swedia, Denmark, Finlandia dan Norwegia yang sudah menjalankan upaya proaktif diberi label NEGARA KESADARAN. Tulisan ini memberikan perspektif berbeda, mencoba menelusuri akar masalah yang membelit Republik hingga ke masa ratusan ribu tahun lalu.
Faktor dan Desain Alam Sebagai Causa Prima
Alam didesain untuk terus berubah. Pada mulanya bentuk, struktur, proses di alam masih sederhana. Akibat terjadi perubahan terus menerus, maka alam berkembang makin kompleks. Pada mulanya alam serba sederhana, kemudian berkembang jadi makin kompleks. Kompleksitas menimbulkan ketidakpastian Segalanya jadi makin sulit diprediksi. Dalam suasana dan situasi tidak pasti maka timbul dua kondisi. Jika situasi, kondisinya tidak menguntungkan manusia disebut risiko dan jika menguntungkan manusia disebut peluang. Manusia senantiasa melakukan upaya rekayasa untuk memperbesar peluang dan memperkecil risiko
Sejak kehadiran manusia di bumi pada empat juta tahun lalu, manusia hidup dengan cara berburu, mengumpulkan makanan. Manusia hidup tidak menetap, terus bergerak mencari sumberdaya yang dapat dimakan. Semua kebutuhan hidupnya didapat, dicomot begitu saja secara taken for granted. Pada kondisi cara hidup demikian, gagasan memiliki segala sesuatu di alam terasa aneh. Bagaimana mungkin manusia memiliki tanah, sungai yang tidak dapat dibawa ketika mereka berpindah lokasi?. Barang yang dapat dibawa hanya sebongkah batu atau sebatang ranting kayu yang banyak berserakan di permukaan tanah.
Baru pada 12.000 tahun lalu manusia bereksperimen mendomestikasi sejenis tanaman rumput rumputan liar yang kemudian dikenal sebagai tanaman gandum. Selain tanaman, manusia juga mendomestikasi hewan jenis unggas dan mamalia. Agar dapat memberikan hasil yang baik, tanaman dan hewan yang didomestikasi harus ditanam, dirawat / dipelihara di lokasi secara permanen. Untuk merawat tanaman dan hewan manusia harus hidup menetap secara permanen di lokasi tersebut. Terjadi perubahan mendasar terhadap cara hidup manusia. Pada masa berburu dan meramu, manusia hanya mampu mengambil / memungut dan memanfaatkan. Kata kunci dari perubahan cara hidup tersebut adalah upaya menanam, memelihara / merawat yang membutuhkan usaha, energi, materi, informasi, ruang - waktu ( semuanya termasuk kategori sumberdaya ).
Kepastian, Ketidakpastian dan Investasi Sebagai Dasar Gagasan Kepemilikan
Banyak orang mengira cara hidup secara berburu dan meramu memiliki hasil dengan tingkat kepastian yang rendah dan cara hidup dengan pertanian menetap memberikan hasil dengan tingkat kepastian yang lebih tinggi. Sumberdaya yang digarap pada masa pra pertanian bersifat mobil dan pada masa pertanian lebih bersifat stasioner. Sebenarnya kedua cara hidup tersebut memiliki tingkat ketidakpastian yang relatif sama. Faktor ketidakpastian dalam cara hidup berburu dan meramu terletak pada gerak migrasi hewan, fluktuasi dan amplitudo cuaca. Pada cara hidup bertani, faktor ketidakpastian terletak pada fluktuasi cuaca, temperatur udara, kekeringan, kebanjiran, hama penyakit tanaman. Model alam semesta yang penuh dengan ketidakpastian sangat sesuai dengan apa yang digambarkan oleh fisika kuantum. Banyaknya ketidakpastian pada aktivitas pertanian, membuat manusia melakukan berbagai upaya rekayasa untuk mengurangi intensitas dan bobot dampak negatif yang ditimbulkan oleh situasi ketidakpastian. Upaya rekayasa tersebut harus dianggap sebagai investasi energi, materi, informasi dan waktu oleh para pelaku ( petani ). Nilai besaran dan bobot nilai investasi dari tiap orang atau kelompok di dalam suatu entitas, tidak sama. Situasi tersebut membuat orang yan berinvestasi lebih besar, merasa lebih berhak atas hasil atau sebagian besar hasil berupa surplus produksi. Dari sinilah awal mula tumbuh dan berkembangnya gagasan kepemilikan atas sumber daya. Selanjutnya orang mulai membuat kapling kepemilikan lahan dengan batas batas yang jelas, untuk membedakan kapling milik seseorang dengan orang lain. Pada masa berburu dan meramu orang tidak berinvestasi dalam jumlah besar pada suatu ruang tertentu, semua anggota entitas dianggap melakukan upaya yang setara. Dalam situasi tersebut, tidak relevan orang berbicara tentang kepemilikan secara individu atas sumberdaya. Gagasan tentang kepemilikan sumberdaya hanya berkembang pada masyarakat dengan adanya indikator perbedaan besaran nilai investasi untuk memproduksi makanan di antara para anggota komunitas.
Gagasan kepemilikan akan sumberdaya kemudian diperluas lagi, dengan membolehkan manusia memiliki manusia lain, yang disebut budak. Entah apa dasar pemikiran yang melandasi gagasan bahwa seseorang manusia boleh menguasai dan memiliki manusia lain. Gagasan itu diperluas lagi dengan menganggap seorang lelaki boleh memiliki seorang atau beberapa perempuan. Gagasan itu tidak ada pada masyarakat berburu dan meramu.
Kekhawatiran dan Kecemasan Akan Masa Depan
Walaupun seseorang sudah melakukan investasi dan rekayasa, tetap tidak ada jaminan akan memberikan hasil yang baik berupa surplus makanan. Pada tahap ini mulai muncul rasa kekhawatiran dan kecemasan akan masa depan. Rasa khawatir dan cemas membuat manusia mulai memikirkan tentang pentingnya bekerjasama secara luas dan terus menerus. Hanya dengan bekerjasama yang melampaui batas wilayah kapling lahan, atau desa / kota, bentang alam / bentang budaya, ekosistem atau bahkan biom. Kebutuhan membangun jaringan kerjasama tanpa batas, manusia mengalami kendala. Tidak seperti semut atau lebah yang sudah mengalami evolusi selama jutaan tahun untuk terbentuknya gen biologis yang mengatur mekanisme kerjasama. Jumlah manusia dalam suatu kelompok selama jutaan tahun tidak pernah melampaui 1000 orang. Jumlah itu tidak membutuhkan jaringan kerjasama secara luas, sehingga tidak diperlukan gen biologis untuk kerjasama. Baru kurang lebih 10.000 tahun terakhir jumlah populasi manusia dalam suatu kelompok mencapai lebih 1000 orang. Belum cukup waktu untuk terbentuknya gen biologis yang mengatur kerjasama.
Dibutuhkan rekayasa sosial untuk membangun jaringan kerjasama di antara sesama manusia. Rekayasa itu menghasilkan beragam mitos. Mitos itu membantu manusia membentuk jaringan kerjasama secara luas. Kesamaan kisah, mitos dan legenda yang dipercaya membuat manusia mau bekerjasama untuk mengatasi berbagai masalah. Dengan kerjasama secara luas, dapat dihasilkan surplus makanan dalam jumlah besar. Kondisi itu membuat manusia berkumpul dalam jumlah besar di suatu ruang yang sempit, padat, sehingga terbentuk desa dan kota. Konsentrasi penduduk dalam jumlah besar membuat potensi konflik, pertikaian dan pertengkaran jadi besar. Untuk memperkecil potensi konflik, dibutuhkan seperangkat aturan, norma, kodifikasi dan hukum yang mengatur tata kelakuan orang dalam berinteraksi dengan sesamanya. Untuk menjamin terlaksananya tata kehidupan yang teratur, dibutuhkan sebuah institusi yang disebut negara kota, negara baik yang berbentuk kerajaan maupun republik. Negara adalah suatu bentuk realitas intersubjektif yang keberadaannya sangat tergantung pada adanya kepercayaan orang terhadap institusi tersebut. Negara ada selama masih banyak orang yang percaya dengan keberadaannya. Ketika sebagian besar orang sudah tidak percaya akan adanya negara, maka seketika itu juga negara sudah lenyap. Agar orang tetap percaya pada negara, dibuatlah beragam mitos. Beberapa mitos yang sudah berjasa mempertahankan keberadaan negara, antara lain keberadaan Dewata / Tuhan yang bertahta di langit dan mitos manusia terpilih sebagai wakil Dewa / Tuhan untuk mengatur negara / rakyat.
Surplus makanan mendorong sekelompok kecil elit yang mengklaim diri sebagai manusia pilihan untuk menguasai surplus itu. Para elit yang sudah dibebaskan atau membebaskan diri dari kewajiban menghasilkan makanan, justru menikmati bagian terbesar dari surplus produksi. Mereka menggunakan surplus itu untuk membiayai perang, pembangunan monumen raksasa. Sungguh ironis nasib rakyat, yang setiap hari memeras keringat, memungut sisa sisa bulir gandum / padi, dan bagian tetbesarnya dinikmati oleh para elit yang tidak pernah memegang peralatan pertanian. Tersedianya surplus makanan dalam jumlah besar, tidak menjamin bahwa para elit tidak berkonflik. Mereka tidak pernah merasa cukup, terus kekurangan dan terus menuntut bagian lebih besar. Pada perkembangan berikutnya, mitos, legenda dan surplus produksi tidak lagi cukup memadai untuk membuat para elit berhenti bertikai. Pada tahap inilah para penguasa puncak wajib melakukan satu hal lagi. Bukan membangun pasukan yang kuat, bukan pula menciptakan mitos baru atau memberikan bagian lebih banyak dari surplus produksi kepada para elit ataupun rakyat. Sekarang menjadi jelas bangunan peradaban manusia dibuat berdasarkan rasa khawatir dan cemas akan masa depan. Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu daerah, surplus produksi pangan. jaringan infrastruktur yang canggih dan jejaring perdagangan belum cukup untuk mendirikan kota atau negara. Masih dibutuhkan satu lagi unsur penting.
Menciptakan Kesepakatan
Menciptakan kesepakatan di antara para pihak mutlak diperlukan untuk mengendalikan pertengkaran, perkelahian dan konflik. Kemakmuran suatu komunitas tidak menjamin terciptanya kestabilan. Kesepakatan yang dibuat tidak pernah dimaksudkan untuk menciptakan rasa keadilan, melainkan untuk menciptakan kestabilan, ketenangan, ketertiban. Persoalan politik bukanlah memberikan kesejahteraan dan kemakmuran dan keadilan pada jutaan orang, melainkan membuat kesepakatan di antara jutaan orang. Para juru runding, diplomat dan negosiator bekerja keras bukan untuk menghadirkan keadilan, melainkan membuat kesepakatan yang suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, harus diterima sebagai keputusan terbaik pada ruang - waktu tertentu, walaupun dirasakan bukan keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Kesepakatan seperti itu jelas bukan keputusan yang berlaku selamanya. Jika ada satu atau beberapa pihak di kemudian hari tidak lagi bersepakat, maka konflik pasti segera terjadi. Dengan demikian menjadi jelas bahwa tidak ada kesepakatan yang permanen dan berlaku selamanya. Dasar setiap kesepakatan adalah kepentingan yang bersifat temporal dari para pihak. Selama kepentingannya terakomodasi, maka para pihak berpeluang menciptakan kestabilan. Formula dari kesepakatan para pihak adalah siapa mendapat apa, berapa banyak, bagaimana caranya dan kapan direalisasi?. Oleh karena para pihak yang bersepakat tidak memiliki kapasitas kemampuan yang setara, maka seringkali kesepakatan yang dihasilkan dapat dipastikan tidak mencerminkan keadilan. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap kesepakatan yang dihasilkan bersifat rapuh, karena terbentuk bukan dari gen biologis, melainkan melalui rekayasa sosial dan proses politik. Satu contoh monumental tentang kesepakatan yang mencederai rasa keadilan adalah hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ). Keputusan yang sudah dibuat dan disetujui ratusan negara dapat dimentahkan oleh salah satu negara pemilik hak veto ( Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis dan Tiongkok ). Bukan kebetulan bahwa lima negara negara tersebut adalah negara pemenang dalam Perang Dunia II. Mereka yang membentuk tatanan dunia pasca perang dan mereka yang memiliki hak istimewa itu. Negara negara lain terpaksa bersepakat dengan tatanan yang tidak adil itu.
Empat Golongan Pembentuk dan Penghancur Kesepakatan.
Di dunia ada empat golongan elit yang selalu hadir dalam setiap pembuatan kesepakatan dan sekaligus juga berperan dalam penghancuran kesepakatan. Empat golongan tersebut adalah :
1. Elit Politik. Golongan ini memiliki sarana infrastruktur untuk memobilisasi kekuatan massa.
2. Elit Militer. Golongan ini memiliki tenaga terlatih, berdisiplin dan memiliki kekuatan pemukul yang efektif.
3. Elit Ekonomi. Golongan ini memiliki akses penguasaan sumberdaya. Golongan ini sering sekali berperan sebagai pemasok logistik dan pendukung finansial bagi golongan lain.
4. Elit Media. Golongan ini memiliki keahlian dalam pembentukan opini publik, memanipulasi realita.
Persekutuan keempat golongan ini menghasilkan kekuatan dahsyat yang dapat mengubah tatanan masyarakat. Rakyat hanya berperan sebagai pion dalam permainan catur, yang dapat dikorbankan kapan saja. Dalam sejarah peradaban 5.000 tahun terakhir, keempat golongan ini menjadi kekuatan inti dalam setiap perubahan tatanan masyarakat. Pimpinan puncak suatu negara, atau bangsa tidak perlu membuat kesepakatan dengan jutaan rakyatnya. Cukup membuat kesepakatan di antara para elit ke empat golongan tersebut, maka rakyat akan menurut saja terhadap kehendak para elit.
Politik Saling Menyandera di Antara Para Elit
Para elit menyadari bahwa kesepakatan yang dibangun di antara mereka rapuh, tidak memiliki landasan ideologi yang solid, melainkan didasarkan pada kepentingan sesaat yang sewaktu waktu dapat ambruk. Untuk melindungi kepentingan diri dan kelompoknya, para elit saling mewaspadai setiap aksi yang dilakakukan kelompok lain, sambil mencari kesalahan yang dilakukan pihak lain. Begitu satu orang atau kelompok melakukan blunder kesalahan, pihak lain segera mencatat, merekam dan menyimpan bukti tersebut untuk digunakan pada saat diperlukan. Bukti itu akan dijadikan alat penekan untuk meningkatkan posisi tawar dan menuntut konsesi lebih besar. Kelakuan yang sama dilakukan oleh kelompok lain. Akibatnya terjadi politik transaksional di antara para elit. Hal ini menjelaskan mengapa semua anggota DPR cenderung dimanjakan oleh pemerintah dengan limpahan gaji, berbagai macam tunjangan dan biaya operasional yang total nominalnya mencapai Rp 1,5 milyar per orang per bulan. Angka itu didapat dari total anggaran DPR yang berjumlah lebih Rp 9 triliun per tahun, dibagi lebih 500 anggota DPR dan 200 an orang anggota MPR ( Majelis Permusyawaratan Rakyat ).
Pemerintah butuh dukungan DPR untuk memuluskan segala agenda yang membutuhkan persetujuan DPR. Sebaliknya DPR juga membutuhkan kemurahan hati pemerintah untuk menggelontorkan dana besar untuk mereka, disamping berbagai konsesi lain, seperti peluang untuk membesarkan bisnis mereka. Hal ini menjelaskan mengapa pemerintah tidak dapat mengabaikan permintaan DPR.
Politik saling menyandera tidak hanya terjadi di antara pemerintah selaku eksekutif dengan DPR selaku legislatif, juga terjadi di antara pucuk pimpinan eksekutif yang sedang berkuasa dengan mantan pimpinan eksekutif sebelumnya. Hal ini juga terjadi antara eksekutif, legislatif dengan pihak yudikatif. Dapat dikatakan politik transaksional sudah merambah di segala bidang dan di semua level. Hal ini menjelaskan mengapa presiden tidak dapat membuang anggota kabinet yang bermasalah dan membuat tindakan kontroversi yang akhirnya membuat kegaduhan. Kalau presiden tidak tersandera, mudah saja baginya membuang menteri yang suka membuat gaduh. Seseorang yang sudah divonis yang berkekuatan hukum tetap oleh level Pengadilan Negeri, tidak dapat dieksekusi sampai 6 tahun. Bahkan Mahkamah Agung tidak berdaya untuk memerintahkan jajaran di bawahnya.
Sebenarnya kalau presiden tidak tersandera , mudah saja baginya untuk menyingkirkan anggota DPR. Buat saja regulasi yang menetapkan jumlah penghasilan anggota DPR 2 atau maksimal 3 kali dari upah minimum regional, tanpa tunjangan apapun. Tiap anggota DPR disediakan tempat tinggal berupa rumah susun sederhana, tanpa kendaraan dinas. Suruh saja anggota DPR menggunakan transportasi umum seperti rakyat kebanyakan. Dijamin 100% para anggota DPR bakal eksodus besaran besaran menanggalkan statusnya. Berikutnya tidak bakal banyak lagi orang berlomba lomba untuk meraih kursi anggota DPR. Selanjutnya terjadi seleksi alam, hanya orang orang yang memiliki integritas, bermental negarawan yang masih mau mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan bangsa dan negara.
Transformasi Menuju Negara Kesadaran
Bagi siapa saja yang sudah melewati tahap naluri barbar, nafsu untuk mengisi penuh perut dan sakunya, sudah sangat rendah. Dia sudah bebas dan selesai dengan urusan materi berlimpah. Dia sudah siap menjadi filantropi sejati yang mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan. Manusia tipe ini sudah siap menakhodai bangsanya bertransformasi menuju negara kesadaran. Sebagian besar penduduk negara negara Skandinavia sudah berada di level itu.
Kondisi kehidupan di negara kesadaran sudah seperti di surga. Setiap orang bekerja 2 minggu, menikmati liburan selama 3 minggu dengan gaji dibayar penuh. Waktu istirahat digunakan untuk melakukan aktivitas yang disukainya. Tindakan kriminal sangat jarang terjadi. Jika ada pelaku tindak kriminal, setelah menjalani proses persidangan di pengadilan dan dijatuhi vonis hukuman penjara, dia akan menjalaninya dengan legawa, tanpa memelas minta pengampunan. Walaupun penjagaan di penjara sangat longgar, tidak ada narapidana yang melarikan diri. Mereka merasa sangat malu jika melarikan diri dari penjara. Setiap orang sudah tahu bagaimana menjalankan tugas, fungsi dan perannya masing masing. Setiap orang, apapun profesinya dijamin mendapat penghasilan yang layak, cukup untuk menjalani kehidupan yang sejahtera.
Pergantian rejim berlangsung mulus. Pemilihan umum berlangsung tertib, tidak ada yang berbuat curang. Masa kampanye berlangsung singkat hanya beberapa hari tanpa dipenuhi spanduk, stiker, baliho seperti di Republik. Pejabat publik hidup wajar, tidak ada bedanya dengan rakyat umum. Mereka tidak mendapat privilege, bahkan merasa malu jika diperlakukan khusus. Gaji pejabat publik tidak lebih dari 2 kali pendapatan rata rata warga biasa.
Memanfaatkan Potensi Kemampuan Kesadaran
Berdasarkan hasil riset sains terbaru, homo sspiens ( manusia modern ), baru memiliki kemampuan mengembangkan kesadaran pada 70.000 tahun lalu. Kemampuan kesadaran memungkinkan manusia membayangkan dirinya di dalam peran orang lain, dan membayangkan situasi yang belum terjadi, tetapi pasti akan pasti akan terjadi. Kemampuan ini memungkinkan tiap orang mengembangkan kemampuan empati. Dengan kemampuan kesadaran, tiap orang akan menjaga kelakuannya agar tidak menimbulkan kerusakan, penderitaan pada orang lain, karena dia segera membayangkan seandainya dirinya yang mendapat perlakuan serupa dari orang lain. Dengan kemampuan kesadaran yang berkembang pada setiap orang, ajaran yang mengiming imingi kehidupan yang baik di alam lain dan mengintimidasi dengan kehidupan yang pedih di alam lain menjadi tidak lagi relevan. Orang melakukan suatu perbuatan baik bukan karena iming iming dan tidak melakukan perbuatan buruk bukan karena intimidasi. Orang menjadi sadar bahwa untuk mempertahankan eksistensi kehidupan, pilihannya hanya satu yaitu membangun relasi yang baik dengan semua orang. Untuk dapat menjalin relasi yang baik, pilihannya hanya satu yaitu berbuat baik kepada semua orang. Hanya dengan melatih tiap orang untuk membangkitkan kesadarannya, Republik dapat bertransformasi menuju negara kesadaran.
Epilog
Sains modern telah mengungkapkan bahwa keadilan adalah suatu fatamorgana dan ilusi yang dihembuskan oleh para elit dan cendekiawan untuk memberi harapan palsu kepada rakyat awam. Pencarian keadilan ibarat mengejar bayangan, makin dikejar makin jauh dari realita. Benih ketidakadilan telah disemaikan oleh peradaban pertanian sejak 12.000 / 10.000 tahun lalu ketika manusia mendomestikasi tumbuhan dan hewan. Pada waktu itu diperkenalkan konsep kepemilikan atas sumberdaya oleh individu. Benih itu tumbuh menjadi pohon besar pada 5.000 tahun lalu ketika manusia membentuk tatanan khayal yang disebut negara. Negara membutuhkan kesepakatan di antara para elitnya agar dapat mempertahankan eksistensinya. Kedua konsep itu makin mendapat pijakan yang kokoh pada peradaban industri manufaktur, rekayasa dan finansial serta jasa. Walaupun teknologi sudah mencapai tahap pembentukan masyarakat informasi, tetapi masih banyak bangsa yang belum dapat melepaskan diri karakter barbar peninggalan jaman kuno. Upaya melepaskan diri dari belenggu sifat barbar hanya dapat dilakukan dengan mengasah potensi kemampuan kesadaran sebagai manusia bermartabat. Seluruh narasi di atas dapat diringkas ke dalam sebuah bagan di bawah ini.
Proses Terbentuknya Struktur Masyarakat dan Perkembangan Perdababan
Comments
Post a Comment