WARISAN MONUMENTAL D A RINKES
IN MEMORIAM Dr. DOUWE ADOLF RINKES
Geboren : Joure, Netherland 8-11-1878
Overleden : Nice, Perancis 1-1- 1954
Prolog
Pada paruh ke dua abad XIX di Hindia Belanda ( Republik sekarang ) mulai terjadi perubahan mendasar dalam berbagai aspek kehidupan. Perubahan itu dimulai dari pemikiran sampai sarana kehidupan. Berbagai peralatan transportasi, komunikasi, sarana produksi modern mulai hadir di Hindia Belanda. Segelintir para elit lokal yang memiliki kepekaan mulai membaca tanda tanda perubahan jaman. Orang tidak lagi dapat mengandalkan status yang dibawa sejak lahir untuk terus dapat eksis. Orang mulai mengasah bakat, mengembangkan kepribadian, karakter dan semangat egaliter untuk dapat melakukan mobilitas vertikal. Kemampuan literasi, berpikir sistematis logis termasuk penguasaan bahasa asing , khususnya bahasa Belanda dan Inggris, menjadi modal dasar untuk dapat berperan di jaman baru ( modern ).
Pionir orang Jawa yang mampu membaca tanda tanda jaman itu adalah Bupati Demak Tjondronegoro V. Dia mendatangkan guru guru terbaik untuk mendidik putra putrinya. Kelak beberapa putranya berhasil menjadi bupati. Tindakan Tjondronegoro V diikuti oleh Bupati Jepara, ayah kandung R A Kartini dan R Kartono. Kartono tercatat sebagai intelektual terkemuka yang fasih dalam banyak bahasa asing. Salah satu kebiasaan baru yang ditumbuh kembangkan pada masa awal modern di Hindia Belanda adalah kegemaran membaca. Kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang mulai dimiliki oleh banyak orang, tidak terbatas di kalangan bangsawan, membutuhkan sarana yang pada masa itu masih sangat terbatas.
Kekosongan itu sangat dirasakan oleh banyak orang, tetapi tidak ada inisiatif yang muncul untuk menerobos kebutuhan itu. Di saat itulah hadir seorang tokoh istimewa, muncul dengan proposal cemerlang. Orang itu tidak lain Dr Douwe Adolf Rinkes, yang menjabat sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken ( Penasehat Pemerintah Untuk Urusan Bumi Putera dan Timur Asing ). D A Rinkes mendirikan Commissie voor de Volklectuur ( Komisi Bacaan Rakyat ) pada tanggal 15Augustus 1908. Institusi itu berada di bawah Departemen Ondewijs en Eeredienst ( Depatemen Pendidikan dan Pengajaran ). Pada tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat diubah menjadi Balai Pustaka yang masih eksis hingga sekarang.
Profil Dr Douwe Adolf Rinkes
D A Rinkes dilahirkan di Joure, Netherland dari pasangan Jan Innes Rinkes dan Minke Minderfs Hoekstra. D A Rinkes menamatkan pendidikan tinggi di Universitas Wageningen bidang pertanian dan perkebunan tahun 1898. Sekolah itu terkenal menghasilkan alumni kelas wahid, bukan sekadar sekolah sekolahan. Rinkes mengambil spesialisasi pertanian daerah tropis. Setelah tamat dia berkarir di Hindia Belanda sebagai asisten agronomisch di Kebun Raya Biutenzorg tahun 1899 ( Bogor sekarang ). Di Bogor Rinkes memimpin eksperimen dan mengajarkan teknik penggemburan tanah dalam pencetakan areal persawahan baru. Waktu banyak rakyat Hindia Belanda yang masih buta akan cara membuat sawah baru.
Tahun 1903 Rinkes dipromosikan menjadi Aspirant Controleur di Kerinci. Sumatera Barat. Setahun kemudian dia dimutasi ke Jawa Barat. Karir Rinkes terus meroket, tahun 1905 sudah menjadi tenaga ahli di Algemene Secretarie ( Sekretariat Negara ). Dia menjadi salah satu koki perumus kebijakan yang menentukan nasib puluhan juta orang. Tidak lama kemudian Rinkes mengambil cuti panjang pulang ke Nederland, karena alasan kesehatan. Di masa cuti panjang dia memanfaatkan waktunya dengan mengikuti kuliah di Universitas Leiden, mengambil bidang studi minor sastra Yunani dan sastra Latin. Bidang studi mayor yang ditempuhnya adalah bahasa Sansekerta, budaya India, bahasa Melayu, bahasa Arab, agama Islam.
Rinkes dibimbing oleh para mahaguru kelas dunia seperti Prof - prof J M Speyer, C C Uhlenbeck, van Ophuijsen, Christian Snouck Hurgronje. Berkat pengaruh dan lobby Snouck Hurgronje kepada Menteri Jajahan dan Gubernur Jenderal di Batavia, Rinkes diijinkan memperpanjang cutinya hingga selesai menempuh ujian doktoral di Universitas Leiden tahun 1909. Tahun 1910 Rinkes memulai karir sebagai guru bahasa Jawa di Batavia. Tugas itu membawanya berkenalan dengan Penasehat Pemerintah Urusan Bumiputera dan Timur Asing, Dr Godard Arend Johannes Hazeu yang segera mengetahui bakat dan potensi besar Rinkes. Hazeu meminta kepada Gubernur Jenderal agar mempromosikan Rinkes menjadi Adjunct Adviseur voor Inlandsche Zaken. Hanya satu tahun di posisi itu, Rinkes mendapat promosi menggantikan posisi Hazeu sebagai orang no 1 di institusi bergengsi itu. Perjalanan karir Rinkes yang seperti lompatan lompatan kuda, sudah menunjukkan kualitas kompetensinya di banyak bidang keilmuan dan kematangan pribadinya. Walaupun level jabatan dan pengetahuannya sudah tinggi, Rinkes tidak sungkan berguru lagi kepada orang yang juga berkaliber dunia, seorang orientalis terkemuka bernama Phillip Samuel van Ronkel dalam bidang bahasa Arab dan bahasa Melayu.
Dalam posisi sebagai Penasehat Urusan Bumiputera dan Timur Asing, Rinkes mendapat tugas khusus dari Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg melakukan perjalanan keliling Jawa untuk memantau pergerakan organisasi Sarekat Islam. Dalam perjalanannya Rinkes melakukan tugas observasi cermat terhadap dinamika masyarakat yang sedang dalam masa peralihan dari pemikiran tradisional ke alam pemikiran modern. Masyarakat mulai tergugah untuk menggunakan sarana sarana kebudayaan modern untuk memperjuangkan nasibnya sebagai bangsa terjajah. Sarana yang digunakan bukan lagi senjata tajam, senjata api, pembakaran dan mengorganisir perlawanan berbasis ajaran teleologis. Perlawanan gaya bari menggunakan organisasi legal, diakui negara, termaktub di dalam lembaran negara, memiliki azaz, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, memiliki susunan pengurus yang bertanggung jawab, menggunakan media cetak yang disebarkan secara meluas, melalui perdebatan di persidangan pengadilan dan kemudian di Dewan Hindia Belanda, Volksraad ( semacam parlemen ).
Tahun 1927, Rinkes minta pensiun di usia 49 tahun dan memilih menetap di Nice,kota wisata pantai di Laut Mediterania di Perancis Selatan hingga wafat pada tanggal 1 Januari 1954.
Foto 1 : Dr D A Rinkes
Sumber : Google
Warisan Monumental D A Rinkes
Penulis pernah membaca laporan laporan dan memorandum dari Rinkes kepada Gubernur Jenderal. Laporan itu memuat hasil pengamatan tajam dan analisis akurat dari Rinkes tentang kondisi masyarakat. Rinkes mengajukan proposal kepada Gubernur Jenderal agar membentuk Komisi Bacaan Rakyat. Tugas Komisi tersebut antara lain menghimpun para penulis / pengarang berbakat, membantu penerbitan karya tulisan bermutu, membantu penyebar luasan karya tulis. Rinkes menulis bahwa penyebarluasan pendidikan formal di kalangan rakyat, telah memunculkan kelas terdidik. Mereka membutuhkan banyak bahan bacaan yang bermutu untuk memuaskan hasrat akan ilmu pengetahuan. Bacaan itu juga dapat memperluas cakrawala pandangan dan membentuk karakter seseorang. Usulan Rinkes segera disetujui dan dia ditunjuk untuk memimpin lembaga itu. Tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat diubah menjadi Balai Pustaka dan Rinkes masih tetap dipercaya menjadi nakhodanya.
Pada periode waktu yang relatif sama, di Sumatera Barat, tepatnya di kota Bukit Tinggi berdiri Sekolah Raja yang berbasiskan kurikulum Eropa. Banyak alumni Sekolah Raja yang melanjutkan pendidikan di level HBS ( Hoogere Burger School ) setingkat SMA dan pendidikan tinggi di Batavia dan kota kota besar lainnya di Jawa dan di Eropa. Tidak mengherankan jika para penulis besar di masa awal modern banyak yang berasal dari Minangkabau. Mereka adalah gelombang pertama yang paling siap menangkap peluang yang dibuka Pemerintah Hindia Belanda. Bermunculan para penulis berbakat yang kemudian berkembang menjadi pujangga besar. Tercatat beberapa nama yang menonjol seperti Marah Rusli dengan karyanya Siti Nurbaya, Sutan Sati dengan karyanya Sengsara Membawa Nikmat dan Abdul Muis dengan karyanya Salah Asuhan. Ketiga penulis itu adalah para maestro dengan karya tergolong masterpice. Balai Pustaka banyak menerbitkan buku buku yang menginspirasi banyak orang dan mendorong munculnya gelombang kedua penulis dan pemikir yang disebut kelompok Pujangga Baru.
Pujangga modern awal sudah memberikan warna yang berbeda dengan pujangga masa klasik. Pujangga klasik memfokuskan perhatian pada kehidupan di lingkaran istana, sehingga disebut bersifat istana sentral. Pujangga modern menaruh perhatian kepada kehidupan masyarakat umum dengan aneka ragam masalahnya. Para pujangga generasi awal modern mungkin tidak akan muncul, tanpa gagasan brilian dari D A Rinkes. Tahun 1920 George Quinn menyusun katalog terbitan Balai Pustaka. Menurut catatatannya, Balai Pustaka dalam waktu tiga tahun berdiri sudah menerbitkan 200 buku berbahasa Jawa, 40 buku berbahasa Madura dan 80 buku berbahasa Melayu.
Rejim Pemerintah boleh berganti sejak Pemerintah Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, Pemerintah Republik, mulai dari Sukarno, Suharto, B J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarno Puteri, Susilo Bambang Yudono, Joko Widodo, Prabowo Subianto datang - pergi silih berganti, D A Rinkes boleh wafat, tetapi Balai Pustaka jalan terus, tetap hidup dan memberikan kontribusi positif terhadap peradaban. Tidak diragukan lagi Balai Pustaka adalah warisan monumental dari Dr D A Rinkes.
Pejabat Hindia Belanda dan Republik Dalam Perbandingan ( Epilog )
Dr D A Rinkes adalah tipikal pejabat Hindia Belanda. Pejabat Hindia Belanda dikenal memiliki banyak kelebihan dibanding pejabat Republik. Kelebihan yang mencolok adalah kemampuan penguasaan bahasa asing. Rata rata pejabat Hindia Belanda menguasai 4 bahasa Eropa ( Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis ). Kemampuan itu wajib dimiliki seluruh siswa sekolah menengah jalur gymnasium ( bakal melanjutkan ke Sekolah Tinggi, Akademi dan Universitas ). Di tempat bertugas, para pejabat Hindia Belanda juga disarankan belajar bahasa lokal. Sebagai gambaran, Snouck Hurgronje menguasai 23 bahasa dengan fasih. G A J Hazeu dan D A Rinkes menguasai lebih dari tujuh bahasa dengan fasih. Ketiganya menduduki jabatan yang kalau sekarang beken dengan label Staf Khusus pejabat no 1. Kemampuannya jangan dibandingkan dengan Staf Khusus Presiden Republik, ibarat langit dengan dasar palung samudera.
Sebagian orang mungkin berkilah bahwa tiga pejabat di atas hanya sedikit dari jumlah pejabat Hindia Belanda. Sebagian besar pejabat tidak bermutu yang tidak berbeda dengan pejabat Republik. Di sini disebutkan ( tidak mungkin menyebutkan semua ) pejabat Hindia Belanda yang juga bermutu kelas wahid. A A Cense, Residen di Sulawesi, J J van de Velde, Residen di Aceh, Lucien Adam, Gubernur Yogyakarta, J van Baal, Gubernur Papua, K F H van Langen, Residen di Aceh, N J Krom, F D K Bosch, W F Stutterheim ,( ketiganya Direktur Oudheidkundige Dienst ), B J O Schrieke, Direktur Pendidikan dan Pengajaran, Jenderal J van Swieten, Letnan Kolonel T J Veltman, Letnan van Vurren, yang kemudian menjadi Profesor di Universitas Leiden, Mayor K van der Maaten, kemudian menjadi Jenderal, Kapten Frederik Willem Borel, yang kemudian menjadi Jenderal, J A van der Chijs, Direktur Pendidikan dan Pengajaran, J Hulshof Pol, H H van Kol, C Th van Deventer ( ketiganya anggota Hindia Belanda ). Daftar itu masih dapat diperpanjang Samosir berpuluh lembar.
Pejabat Hindia Belanda unggul dalam ketajaman observasi, berpikir sistematis logis, analisis yang akurat, berargumentasi secara konsisten dan logis, serta kemampuan menulis yang mumpuni. Selain itu pejabat Hindia Belanda tidak suka menggunakan aji mumpung. Tidak pernah ada kasus pejabat yang sedang memegang jabatan, melanjutkan pendidikan. Belajar di Universitas terlebih lagi di tingkat doktoral tak mungkin dapat disambi dengan memegang jabatan. Pejabat Republik umumnya menjalani pendidikan tingkat doktoral ketika masih memegang jabatan, dengan harapan mendapat banyak kemudahan. Seorang pejabat tinggi melakukan praktek demikian di universitas terkemuka sampai menimbulkan skandal memalukan, tetapi pejabat itu tidak didiskualifikasi. Hanya satu prestasi pejabat Republik yang tidak dapat diimbangi oleh pejabat Hindia Belanda yaitu :
KORUPSI DAN MENYALAH GUNAKAN JABATAN.
Comments
Post a Comment