DUEL FILSAFAT DI PUSARAN ISU KORUPSI

 Prolog

Isu korupsi selalu menarik perhatian banyak orang untuk dibicarakan. Setiap terjadi pergantian rejim, isu korupsi selalu menjadi tema sentral dalam momen kampanye, debat calon presiden dan pidato presiden terpilih pada saat mulai bekerja. Semua orang setuju untuk memerangi korupsi. Sejak dekade 50 an Pemerintah Republik sudah membentuk institusi / Tim Pemberantasan Korupsi. Isu korupsi yang begitu populer tidak diimbangi dengan upaya berpikir strategis dan taktis tentang isu tersebut. 

Dari tampilan luar, isu korupsi seolah olah tampak sederhana, sekadar masalah teknis. Kalau orang mau berfikir serius, di dalam  isu korupsi terkandung persoalan filsafat. Tidak dipahaminya masalah filsafat di dalam isu korupsi berakibat pada upaya memerangi korupsi berkutat hanya pada persoalan teknis semata. Implikasi berikutnya terlihat pada upaya yang bersifat tambal sulam, tidak punya peta jalan, tidak punya rencana strategis,  hanya jalan di tempat, tidak mengenal hulu persoalan korupsi. Tulisan ini membedah ke dalam, mengupas / mengiris lapis demi lapis, hingga terungkap anatomi lapisan stratigrafi dari timbunan bukit isu korupsi. Isu dibongkar hingga ke landasan filsafat yang mendasari upaya memerangi korupsi. 


Filsafat Normatif ( Hukum ) Vs Filsafat Sains

Sistem hukum positif dibangun di atas landasan filsafat normatif. Aliran filsafat normatif berkembang di Eropa pada abad XIX dan pemikiran ini dibawa ke Nusantara oleh bangsa Belanda. Para pemuka masyarakat generasi pertama yang mendapat didikan sekolah ala Barat, sangat terpengaruh oleh aliran filsafat normatif. Hal ini terlihat dari pemikiran dan tindakan mereka untuk membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan Belanda. Aliran filsafat normatif menganggap bahwa semua manusia pada dasarnya baik. Pemikiran ini sangat berlawanan dengan pemikiran filsuf Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ajaran filsafat normatif juga bertentangan dengan filsafat agama agama Abrahamik ( Yahudi, Kristen dan Islam ) tentang manusia. Agama agama Abrahamik menganggap bahwa manusia adalah mahluk bidimensional. Hal ini dapat disimak pada kisah penciptaan manusia pada ke tiga agama tersebut. Manusia diciptakan dari tanah, kemudian ditiupkan ruh Illahi, maka jadilah sosok manusia yang disebut Adam. Manusia memiliki dua unsur di dalam tubuhnya unsur buruk, disimbolkan oleh tanah yang bersifat kotor. Manusia juga memiliki unsur baik yang disimbolkan dengan ruh Illahi. Jadi manusia mengandung sifat baik sekaligus sifat buruk, sehingga disebut mahluk bi ( dua ) dimensioal. Suatu saat seorang manusia dapat tampil seperti iblis, dan pada waktu yang lain dapat menampilkan sifat malaikat. Seseorang yang menampilkan dominan sifat buruk, diberi label orang jahat, sebaliknya orang yang menampilkan dominan sifat baik, diberi label orang baik. Pada diri orang jahat selalu ada sisi sifat baiknya, dan sebaliknya seseorang yang baik, selalu ada terselip sifat buruk. 

Filsafat normatif menjadi fondasi ilmu hukum. Prinsip pada dasarnya semua manusia adalah baik,  menurunkan azaz bahwa sebelum kesalahan seseorang dibuktikan di persidangan pengadilan,  maka orang itu harus dianggap tidak bersalah ( azaz praduga tidak bersalah ). Azaz praduga tak bersalah menetapkan kriteria acuan penilaian untuk menetapkan status seseorang. Kriteria acuan penilaian yang utama adalah undang undang yang berlaku. Basis yang dijadikan penilaian adalah perilaku. Perilaku seseorang tidak dapat dihukum, jika belum diatur oleh undang undang. Kriteria untuk menetapkan status seseorang mengharuskan terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan. Persyaratan untuk menilai dan nenetapkan status hukum seseorang adalah adanya barang bukti dan kesaksian dari orang dewasa dan waras. 

Berdasarkan uraian di atas, maka korupsi tidak dapat dicegah, tetapi mungkin (? ) diberantas. Upaya pemberantasan biasanya ditujukan kepada sesuatu yang sudah akut, mewabah. Sesuatu yang sudah mewabah dapat dipastikan tidak pernah dapat diberantas secara tuntas.  Untuk dapat memberantas korupsi,  harus sudah terjadi tindakan korupsi ( basis perilaku ), berdasarkan  undang undang ( kriteria tindakan yang dilarang ), adanya bukti kerugian negara dan adanya keterangan saksi ( persyaratan yang ditetapkan ). Kemudian dilakukan operasi senyap untuk mengumpulkan bukti kejahatan meliputi penguntitan target, penyadapan saluran komunikasi target, penangkapan ( adakalanya dilakukan operasi tangkap tangan, untuk menimbulkan efek dramatis ).  Dibutuhkan waktu lama, tenaga personil yang banyak,  biaya besar untuk sampai pada penangkapan target. Kemudian dilakukan pemeriksaan secara intensif, pemberkasan perkara, pelimpahan berkas ke pihak Kejaksaan yang kemudian melakukan penuntutan di pengadilan. Proses persidangan di pengadilan biasanya membutuhkan waktu lama. Setelah menjalani pertempuran alot di persidangan, hakim menjatuhkan vonisnya. Biasanya terdakwa mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi  yang juga membutuhkan waktu lama. Setelah hakim menjatuhkan vonis di pengadilan banding, biasanya terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Proses ini juga mebutuhkan lama. Setelah Hakim Agung menjatuhkan vonis, terdakwa masih melakukan upaya peninjauan kembali ( pk ). Pada akhirnya terdakwa menjalani hukuman kurungan penjara yang tidak terlalu lama. Kalau terdakwa berkelakuan baik, selalu mendapat remisi dan akhirnya pembebasan bersyarat.  

Seluruh proses yang lama dan berbiaya besar  itu merupakan konsekuensi logis dari menganut filsafat normatif. Akibat berikutnya tidak mungkin mengupayakan pencegahan tindakan korupsi, karena untuk menjalankan proses hukum, harus ada terlebih dahulu tindakan korupsi. Konsekuensi logis berikutnya adalah sulit memulihkan seluruh kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan korupsi. Korupsi dan kerusakan sudah terjadi. Pelaku korupsi masih memiliki waktu untuk menyelamatkan minimal sebagian hasil jarahannya, dapat menghilangkan minimal sebagian barang bukti. Tidak mengherankan jika frekuensi dan bobot / magnitude korupsi tidak berkurang, bahkan cenderung meningkat, walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) sudah berkiprah lebih dari 20 tahun. Fakta empirik menunjukkan bahwa kehadiran KPK dengan ekspos besar besaran adegan berbagai operasi tangkap tangan ternyata tidak menimbulkan efek jera dan korupsi makin marak.  Pemberantasan korupsi ibarat membersihkan air kotor di hilir sungai yang dibersihkan terus menerus, tetapi hulu sungai tempat mata air berada dibiarkan tetap kotor. Seberapapun besar upaya pembersihan di hilir, air sungai tetap kotor, karena sumber air di hulu tidak pernah dibersihkan. 

Filsafat Sains melihat fenomena korupsi dari sudut pandang berbeda. Filsafat sains modern bertumpu pada hasil temuan ilmu ilmu termaju yang perkembangannya palingn pesat seperti fisika kuantum, biologi molekuler, genetika dan neurosains. Ilmu ilmu tersebut memiliki pandangan dunia yang berbeda dengan ilmu ilmu lain yang sudah berkembang lebih dulu. Ilmu ilmu konvensional memiliki fondasi filsafat mekanistis, determinisme. Ilmu ilmu mutakhir bertumpu pada filsafat chaostik, probabilistik. Mekanisme proses perubahan di alam berlangsung dengan 3 cara yaitu deterministik, acak .dan gabungan keduanya. Semakin tua umur alam semesta, mekanisme  perubahan secara acak semakin dominan. 

Dalam pandangan ilmu genetika dan biologi molekuler, seseorang melakukan perbuatan jahat, bukan merupakan inisiatif kehendak bebasnya, melainkan ada faktor pengaruh kromosom no 19 yang ikut bertanggung jawab atas jalan hidup seseorang. Hal itu tidak otomatist terjadi secara deterministik pada setiap individu, melainkan terjadi secara acak. Konsekuensi logis dari situasi itu adalah bahwa setiap orang berpotensi untuk melakukan tindakan kejahatan. Pandangan ini sangat berbeda dengan filsafat normatif yang mengatakan semua individu pada dasarnya baik. Menurut filsafat sains tiap individu memiliki kadar, peluang dan bobot yang tidak sama besar. Peluang terbesar untuk melakukan kejahatan ada pada orang yang memiliki surplus kekuasaan / kewenangan dan kesempatan terbesar. Implikasi dari pernyataan itu adalah kita sudah dapat memindai / mendeliniasi / mengidentifikasi  / menduga siapa saja yang bakal melakukan tindakan kejahatan korupsi. Implikasi berikutnya dari pernyataan itu adalah tindakan korupsi pada dasarnya dapat dicegah sejak di tahap paling dini. Kita tidak perlu menunggu orang sampai melakukan tindakan korupsi, untuk kemudian dilakukan pengusutan dan penindakan. Cara melakukan upaya pencegahan antara lain dengan cara seleksi calon pejabat yang ketat, mempelajari rekam jejak karir dan perilaku calon, membangun sistem pengamanan berlapis dan berjenjang. Kalaupun masih ada orang yang dapat menembus sistem dan lolos saringan seleksi ketat, frekuensi kasus korupsi serta bobot / magnitudenya tidak besar. 

 

Implikasi dan Konsekuensi logis

Kedua aliran filsafat yang sudah dipaparkan memberikan petunjuk bahwa keduanya memberikan implikasi dan konsekuensi logis yang berbeda. Filsafat normatif sama sekali tidak memberi peluang untuk dilakukannya upaya pencegahan korupsi, justru mensyarakat harus ada tindakan korupsi, agar dapat ditentukan siapa pelaku, dan berapa besar kerugian yang ditimbulkannya. Sebelum dipastikan siapa pelaku dan berapa kerugian, tidak dapat diidentifikasi siapa orang baik dan siapa orang jahat, karena pada dasarnya semua orang baik. Tindakan kejahatan adalah faktor penentu untuk mengklasifikasikan tipe orang. Setelah ditentukan siapa yang bersalah, baru dapat diberantas kejahatan itu. Jangan dilupakan juga dalil di alam, setiap upaya pemberantasan tidak pernah memberikan hasil 100%. Dengan kata lain,  target pemberantasan korupsi tidak realistis. 

Filsafat sains membuka peluang lebar untuk lebih mengutamakan  melakukan upaya tindakan pencegahan dari penanggulangan. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pencegahan jauh lebih kecil dari upaya penanggulangan dan pemberantasan. Semua orang yang memiliki kekuasaan / kewenangan berpotensi / berpeluang besar untuk melakukan korupsi. Titik fokus sudah diarahkan untuk dilakukan upaya pencegahan. Target filsafat sains bukan pemberantasan, tetapi pencegahan dan pengendalian. Korupsi tidak dapat diberantas, tetapi sangat mungkin untuk dicegah dan dikendalikan. 


Epilog

Sesuai dengan judul tulisan di atas, penulis membatasi diri pada perbincangan pada level filsafat. Pembahasan pada level teknis operasional akan dilakukan pada kesempatan lain dan pada tulisan berbeda. Sudah tentu penulis memiliki gagasan untuk mencegah korupsi. Jika gagasan itu diterapkan dengan komitmen penuh dan konsisten untuk menjalankan komitmen, terbuka peluang untuk mengendalikan tingkat korupsi ke tingkat minimal. Biaya upaya pemberantasan yang dijalankan selama ini dan mempersiapkan infrastruktur penjara berikut logistiknya, dapat dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu potensi kehilangan uang negara dapat diperkecil hingga ke tingkat minimal. 

Penulis menyadari gagasan pada tulisan ini mungkin bakal ditolak oleh sebagian besar orang termasuk para pakar ,khususnya para pejabat yang sedang berkuasa. Gagasan Max Planck yang menolak postulat Newtonian yang sudah bercokol di puncak singasana ilmu fisika klasik selama 3 abad, pada awalnya dianggap sepi. Setelah terbukti fisika klasik gagal menjelaskan banyak peristiwa anomali dalam berbagai eksperimen, barulah para fisikawan berpaling pada gagasan Max Planck yang kemudian menjadi tonggak awal kelahiran fisika kuantum.  Seorang pemikir besar asal Pakistan Sir Mohammad Iqbal pernah berkata : 

Aku tidak membutuhkan telinga masa kini, karena aku adalah pujangga / pemikir masa depan. 



Comments

Popular Posts