WARISAN MONUMENTAL CHRISTIAN SNOUCK HURGRONJE KEPADA UMAT ISLAM INDONESIA
Prolog
Sosok Christian Snouck Hurgronje untuk selanjutnya di dalam tulisan ini namanya disingkat menurut huruf pangkal tiap kata menjadi CSH. Dia dilahirkan di Oosterhoud pada tanggal 8 Februari 1857 dan wafat pada tanggal 26 Juni 1936 di Leiden. Tahun lahirnya bersamaan dengan tahun wafat ahli filsafat sosial dan pendiri ilmu sosiologi asal Perancis bernama August Comte. CSH adalah sosok yang penuh kontroversi. Bangsa Indonesia, khususnya suku bangsa Aceh menganggapnya penipu licik, penjahat, pengkhianat. Sebaliknya bagi bangsa Belanda CSH dianggap sebagai pahlawan, pakar cemerlang, yang membantu Belanda mengalahkan dan memadamkan perlawanan Kesultanan Aceh.
Tulisan ini dibuat berdasarkan landasan postulat sebagai berikut : Untuk dapat memberikan penilaian secara objektif terhadap seseorang adalah dengan memeriksa perilaku dan tindakannya. Setiap tindakan manusia diarahkan oleh sikap dan pikiran yang mendasarinya. Pikiran adalah sesuatu yang abstrak, tidak kasat mata. Cara paling baik untuk mengetahui pikiran seseorang adalah dengan memeriksa tulisan yang berisi pemikirannya. Berdasarkan postulat tersebut, untuk memberikan penilaian terhadap CSH secara fair adalah dengan memeriksa karya tulisnya yang sangat banyak. Kesempatan untuk menelusuri karya CSH, penulis dapatkan ketika belajar di Nederland. Karya tulisnya tersebar dalam bentuk 3 judul buku tebal, masing masing judul terdiri dari 2 jilid tebal. Buku pertama berjudul De Atjehers, Volume I ,II yang sebagian besar isinya berasal dari tulisan berjudul Atjeh Verslag. Buku kedua berjudul Het Gayo Land, Volume I, II. Buku ketiga berjudul Makkah Volume I, II. Ketiga buku itu merupakan karya monumental. Tulisan tulisan lain tersebar dalam berbagai publikasi seperti jurnal De Gids, Militaire Tijd. Banyak juga karyanya yang tidak dipublikasikan, berupa laporan rutin, memoar jabatan. Di sepanjang karir akademisnya selama 3 dekade CSH menghasilkan artikel sebanyak 1400 judul. Semua karya tulis itu dihasilkan dalam kapasitas jabatannya sebagai Advisoor Kementerian Jajahan di Nederland, Advisoor voor Inlandsche Zaken di Batavia dan Kuta Raja ( Banda Aceh ), Profesor Islamologi dan Bahasa bahasa Semit di Universitas Leiden, Nederland. Hasil penelusuran karya tulisnya, diharapkan dapat diungkapkan kepribadian, pikiran dan perilakunya secara lebih fair, khususnya yang berhubungan dengan penaklukan Aceh dan kebijakan dalam pengelolaan urusan kehidupan umat Islam di Indonesia.
Profil dan Biografi Singkat CSH
Setelah menamatkan pendidikan tingkat Hoogere Burgerschool ( setingkat sekolah menengah atas ), CSH melanjutkan pendidikan bidang teologi Kristen. Setelah menempuh pendidikan selama beberapa tahun, dia merasa tidak sesuai dengan pilihannya dan pindah bidang studi Islamologi dan Bahasa bahasa Semit di Universitas Leiden. Promotor di tingkat doktoral CSH adalah pakar Islamologi terkenal bernama Prof Dr Michael Jan de Goeje. Dia juga mendapat bimbingan dari pakar Islamologi terkemuka asal Jerman bernama Prof Dr Theodore Noldeke. Tahun 1880 CSH menempuh ujian promosi doktor di Universitas Leiden dengan disertasi berjudul Het Mekkansche Feest dengan judicium Cum Laude.
Setelah lulus dari Leiden, CSH menjadi dosen di jurusan Indologi, mendidik calon Administratur Pemerintahan. Dia mengajukan proposal penelitian tentang Islam di lokasi jantung agama Islam Mekkah dan Medinah kepada Kementerian Jajahan. Tujuannya untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Masyarakat Aceh dikenal memiliki keyakinan kuat kepada ajaran agama Islam. Tahun 1884 CSH sudah berada di Mekkah dan merupakan orang Eropa kedua yang berhasil masuk kota Mekkah setelah Naturalis beken bernama Jacob Burchard. Untuk memuluskan rencananya, CSH masuk Islam dan mengucapkan Kalimasyahadat serta menggunakan nama Syech Abdul Ghaffar. Penguasaan pengetahuan agama Islam yang tinggi dan kemahiran berbahasa Arab serta keluwesan bergaulnya membuat CSH cepat diterima dan mendapat kepercayaan penuh daripada tokoh ulama besar di Mekkah dan Medinah. Dia menjalin persabatan dengan orang / ulama dari berbagai bangsa, termasuk dengan Habib Abdurrahman As Zahir, mantan Perdana Menteri Kesultanan Aceh, yang membelot dan menyerah kepada Belanda. Habib Abdurrahman bernegosiasi dengan Belanda, menuntut jaminan keselamatan, pengangkutan dengan kapal ke Tanah Hejaz dan minta uang pensiun dalam jumlah besar 10.000 ringgit per tahun. Habib menjalani hidup mewah seperti sultan di tempat yang dipilihnya.
Selama berada di Mekkah, CSH sempat melaksanakan ibadah haji. Dia sangat pandai, cermat dalam memilih responden, informan dan nara sumber yang benar benar kompeten. Cara kerjanya benar benar efisien. CSH adalah orang pertama yang mengembangkan sebuah metode penelitian yang baru, dan sangat modern pada masa itu, yang sekarang dikenal dengan nama metode observasi partisipasi aktif. Dia hidup di tengah tengah masyarakat yang diteliti, berpikir, berbicara , bersikap dan bertindak sesuai dengan kelompok masyarakat yang diteliti. Metode ini menuntut penguasaan bahasa lokal, daya observasi yang tajam, ketelitian dan kesabaran serta keluwesan bergaul dari peneliti.
Setelah tujuh bulan berada di Mekkah, terjadi konflik, kerusuhan yang diprovokasi oleh Wakil Konsulat Jenderal Perancis di Jeddah. CSH dituduh sebagai mata mata Belanda, memiliki niat mencuri artefak langka di Mekkah. Akibatnya CSH diusir dari Mekkah oleh Otoritas Kekhalifahan Turki Osmani yang pada waktu itu menguasai Mekkah. Atas perlindungan JA Kruyt, Konsulat Jenderal Belanda di Jeddah, CHS diselamatkan keluar dari Jazirah Arab. Berdasarkan bahan bahan yang berhasil dikumpulkan, lahir buku berjudul Makkah terdiri dari 2 jilid tebal. Buku itu menggemparkan komunitas ilmuwan di Eropa dan CSH menerima banjir pujian dari berbagai penjuru. Berbekal nama tenar CSH diangkat menjadi Advisoor Kementerian Jajahan. Dia tidak puas dengan pencapaian itu dan minta dikirim ke Hindia Belanda dengan misi membantu Pemerintah Hindia Belanda untuk menaklukkan Kesultanan Aceh.
Permohonannya dikabulkan, tahun 1889 CSH tiba di Batavia dan diberi jabatan sebagai Advisoor voor Inlandsche Zaken ( Penasehat Urusan Bumi Putera dan Timur Asing ). Dia masih belum puas dan minta ditugaskan ke Aceh sebagai Advisoor Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh. Niatnya ditentang oleh petinggi militer di Aceh. Setelah menunggu 2 tahun, pada tahun 1891 CSH tiba di Kuta Raja ( Banda Aceh ). Dia menolak menempati rumah ysng disediakan oleh Pemerintah. Dengan alasan untuk memudahkan tugasnya, CSH memilih sendiri lokasi huniannya, di daerah Nesu.
Selama bertugas di Kuta Raja, CSH melayani beberapa Gubernur Sipil dan Militer mulai dari Mayor Jenderal Henri Karel Frederick van Teijn, Mayor Jenderal F Pompe van Meerdervoot, Mayor Jenderal Christoffel Deykerhoff, Letnan Jenderal Jacobus Agustinus Vetter ( hanya beberapa bulan ), Mayor Jenderal Jan Jacob Karel de Mouline ( hanya dua hari ), Mayor Jenderal Johannes Wouter Stemford ( hanya beberapa hari ), Mayor Jenderal PJ van Vliet ( hanya satu tahun ), Mayor Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz. Hubungan kerja antara CSH dengan para atasannya kurang harmonis, kecuali dengan yang terakhir. Dapat dilihat selama 7 tahun keberadaan CSH di Aceh, sudah 8 orang Gubernur Sipil dan Militer bertugas di Aceh. Hal ini menunjukkan betapa panasnya kursi jabatan Gubernur Sipil dan Militer di Aceh.
Mayor Jenderal JB van Heutsz menjabat Gubernur Sipil dan Militer Aceh selama 6 tahun. Di masa kepemimpinannya perlawanan Aceh secara umum dapat dipadamkan. Sultan Aceh dan Para Panglimanya menyerah pada tahun 1903. Sebagai bentuk penghargaan kepada van Heutsz, pada tahun 1904, atas restu Ratu Wilhelmina, Menteri Jajahan mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, berkedudukan di Buitenzorg ( Bogor ) dan Batavia. CSH juga ikut pindah ke Batavia dan tetap bertugas sebagai Penasehat Urusan Bumiputera dan Timur Asing. Tahun 1906 CSH dipanggil pulang ke Nederland dan pada tahun 1907 dia diangkat menjadi Profesor Islamologi dan Bahasa bahasa Semit di Universitas Leiden hingga wafatnya tahun 1936. Dalam masa tugas sebagai Profesor, CSH tetap menduduki jabatan Penasehat Kementerian Jajahan. Dia tetap rutin menulis laporan berisi nasehat dan rekomendasi kepada Menteri Jajahan tanpa terputus sampai akhir hayatnya.
Sepanjang hidupnya CSH menikah 5 kali. Isteri pertama bernama Siti Dawilah, asal Hindia Belanda, dinikahi di Mekkah dan dari pernikahan itu mereka tidak memiliki anak. Istri ke dua bernama Sangkana, puteri Raden Haji M Thaib, Penghulu Besar di Ciamis. Mereka menikah tahun 1889 dan memiliki 4 anak yang masing masing bernama Salmah, Raden Oemar Ganda Prawira, Siti Aminah, Raden Ibrahim Ghaffar. Isterinya berikut bayi anak kelima wafat ketika melahirkan pada tahun 1896. Dua tahun kemudian CSH menikah dengan Siti Sadijah, puteri Penghulu Besar Bandung Raden Haji M Soe'ib, alias Kalipa Apo. Pernikahan ini menghadirkan seorang putera bernama Raden Joesoef yang berkarir sebagai polisi dan terakhir berpangkat Komisaris Besar. Raden Joesoef memiliki 11 orang anak dan anak sulung bernama Eddy Jusuf, srorang pebulu tangkis terkenal, pahlawan Tim Piala Thomas Indonesia. Isteri keempat bernama Siti Fatima, asal Aceh. Mereka menikah ketika CSH bertugas di Aceh. Isteri terakhir bernama Ida Maria Gort, puteri AJ Gort, dinikahi tahun 1910 dan melahirkan seorang puteri bernama Christine.
Gambar 1 : Foto Profesor Dr Christian Snouck Hurgronje ( CSH )
Sumber : Google
Gambar 2 : Foto Makam CSH di Leiden
Sumber : Google
Inti Sari Pemikiran CSH Tentang Cara Menaklukkan Aceh
Berdasarkan kajian literatur karya CSH, dapat diringkas pokok pokok pemikirannya tentang cara menaklukkan Aceh yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian :
1 Bidang Syariat ( ritual ibadah ). Pemerintah disarankan untuk tidak mencampurinya. Aktivitas penyebaran agama Kristen dilarang di Aceh. Pemerintah justru diharuskan membantu kelancaran penyelenggaraan urusan ibadah, misalnya membangun mesjid, meunasah ( langgar / mushola ), sekolah, fasilitas kesehatan dan pelayanan umum.
2 Bidang Sosial Kemasyarakatan. Pemerintah disarankan membantu umat Islam dalam mengembangkan sektor perekonomian, membangun fasilitas infrastruktur dan suprastruktur. Pemerintah disarankan membantu sektor pertanian, peternakan. Pemerintah disarankan membangun sekolah sekuler ala Barat untuk mendidik putra putri Para Bangsawan, Kepala Wilayah. Hasil kebijakan ini adalah lahirnya golongan elit lokal terdidik. Para Bangsawan dan Kepala Wilayah yang menyerah, harus dipulihkan kedudukan, harta dan martabatnya untuk menyurutkan niat memberontak. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, golongan ini yang secara de facto paling siap menerima tugas mengelola pemerintahan. Golongan elit terdidik ini juga banyak yang menerima pendidikan militer oleh Jepang dan kemudian menjadi perwira militer ketika Indonesia merdeka. Dengan perluasan kesempatan pendidikan, banyak rakyat biasa yang kemudian dapat melakukan mobilitas vertikal pada pasca kemerdekaan.
3 Bidang Politik. Untuk urusan politik, Pemerintah harus bersikap tegas, keras, tanpa ampun, tanpa toleransi. Kepada kelompok fanatik, garis keras, Pemerintah harus membasmi tanpa kompromi. Para gerilyawan harus terus menerus, diburu, ditekan sampai ke gunung gunung. Atas usulan seorang Jaksa bernama M Arifin dibentuk satuan khusus berkualifikasi ranger yang diberi nama kesatuan Marsose, yang menjadi cikal bakal pasukan komando seperti Kopasus, Marinir, Paskhas. Marsose adalah pasukan khusus yang memiliki kemampuan tempur mumpuni, mampu bertempur dalam jarak dekat, mahir menggunakan tangan kosong, senjata tradisional. Pasukan Marsose memiliki mobilitas tinggi, dapat bergerak tanpa ketergantungan logistik dari kesatuan intendan ( perbekalan ), kesatuan zeni. Mereka membawa sendiri perbekalan, tenda dan selimut. Marsose memiliki daya tahan tinggi untuk bertahan hidup di medan paling ekstrim sekalipun. Marsose dibentuk dari seleksi ketat, pemilihan personilnya diambil dari berbagai dari berbagai kesatuan.
Kehadiran pasukan Marsose sesuai dengan pemikiran CSH dan menjadi sarana untuk bertindak tegas kepada para gerilyawan Aceh. Pasukan Marsose menjadi kesatuan yang paling ditakuti dan disegani di medan perang Aceh. Kombinasi penerapan gagasan CSH terbukti ampuh dalam menyelesaikan perang Aceh. Atas keberhasilan itu CSH mendapatkan pujian dari banyak pihak dan dia menikmati kemashuran nama besarnya sebagai intelektual pemikir yang cemerlang, sekaligus sebagai praktisi yang yang handal.
Warisan CSH Monumental Kepada Umat Islam Indonesia.
Pada tahun 1868 Terusan Suez dibuka, membuat lalu lintas pelayaran dari Eropa ke Asia dan sebaliknya jadi lebih lancar, lebih singkat dan lebih murah, karena tidak perlu mengelilingi benua Afrika. Kapal dari Eropa memasuki Laut Tengah melalui celah selat Gibraltar, kemudian melintasi Terusan Suez - Laut Merah - Samudera Hindia - Selat Malaka - Laut Tiongkok Selatan- Samudera Pasifik. Kota kota Port Said, Suez, Jeddah, Penang, Singapore dan Hongkong berkembang pesat menjadi kota pelabuhan besar dan penting.
Kemudahan perjalanan ini juga membuat perjalanan ibadah haji ke Mekkah jadi lebih mudah. Kemudahan di sektor infrastruktur tidak diimbangi kemajuan yang sama di sektor suprastruktur. Akibatnya timbul eksternalitas/ ekses yang justru merugikan pihak yang lebih lemah dalam sistem manajemen penyelanggaran ibadah haji. Terjadi lonjakan jumlah orang yang ingin melaksanakan ibadah haji. Situasi ini dimanfaatkan oleh para calo yang sebagian besar berasal dari Yaman dan Hadralmaut. Mereka membangun jaringan operasi yang berpusat di pulau Pinang ( Penang ) dan Singapore yang dikuasai oleh Inggris. Mereka menawarkan jasa pelayanan pengiriman calon jemaah haji asal Hindia Belanda. Jasa yang ditawarkan meliputi transportasi laut ke Jeddah pergi - pulang, transportasi darat selama berada di Tanah Suci, penginapan / pemondokan berikut makan / minum selama berada di sana, jasa pemandu ritual ibadah haji. Para calo itu menetapkan tarif yang sangat mahal. Sebagian besar calon jemaah haji adalah orang yang seumur hidupnya tidak pernah meninggalkan kampung halamannya. Mereka sangat rentan untuk menjadi korban penipuan oleh para calo. Setelah uang disetor oleh para calon jemaah haji, mereka kabur bersembunyi, posisinya digantikan orang lain sesama anggota sindikat yang mengaku tidak tahu menahu soal uang yang sudah diserahkan. Akibat praktek pencalonan ini, banyak calon jemaah haji asal Hindia Belanda terlantar di Penang dan Singapore. Mereka bekerja apa saja untuk menyambung hidup di negeri orang, sementara cita cita melaksanakan ibadah haji semakin jauh dari terwujud. Mereka hidup dan berkeluarga serta beranak pinak di negeri orang. Akhirnya mereka menjadi warga negara Malaysia dan Singapore. Sampai sekarang banyak keturunan calon jemaah haji asal Nusantara di ke dua negara itu.
Pada masa itu tidak seorangpun yang berpikir mencari solusi untuk memberantas praktek percaloan yang merugikan banyak orang. Pemerintah Hindia Belanda dan Inggris juga tidak berbuat apapun untuk melindungi kepentingan warganya. CSH datang membawa gagasan, proposal yang menyarankan Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih urusan ibadah haji, sesuai dengan kebijakan yang disarankannya dalam urusan ibadah / syariat. Pemerintah Hindia Belanda segera bertindak cepat, membangun sistem penyelenggaran ibadah haji. Mulai dari membangun Karantina Haji secara permanen dan mewah untuk ukuran pada masa itu di dua lokasi yaitu Pulau Onrust di Kepulauan Seribu, dan Pulau Rubiah, di perairan Teluk Pria Laot, dekat kota Sabang. Kapal kapal yang bagus untuk mengangkut calon jemaah haji disiapkan. Konsulat Jenderal Belanda di Jeddah mengkoordinasikan panitia penyediaan pemondokan, akomodasi, transportasi lokal, pemandu secara rutual ibadah haji untuk para jemaah haji. Begitu juga perjalanan kembali ke Tanah Air, setelah sebelumnya singgah di Karantina Haji. Upaya Pemerintah yang digagas oleh CSH telah memotong mata rantai bisnis percaloan yang sudah berakar selama puluhan tahun dan menimbulkan penderitaan pada banyak orang.
Penulis pernah eberapa kali melakukan penelitian arkeologi di Kompleks Karantina Haji di Pulau Rubiah Sabang. Kompleks itu sangat spektakuler, visioner, dirancang dan dibangun dengan dengan presisi tingkat tinggi. Lay out bangunan dibangun mengikuti kontur lahan, berundak dari atas ke bawah. Hal ini memudahkan pembangunan sistem sanitasi, drainase, pengolahan limbah padat dan cair. Kompleks itu terdiri dari paviliun couple berjumlah 1000 unit, berarti tersedia 2000 kamar, masing masing orang menempati satu paviliun, tiap unit memiliki teras depan, kamar mandi, WC, air bersih mengalir lancar 24 jam sehari, lampu listrik menyala 24 jam sehari. Kompleks itu memiliki pembangkit listrik secara mandiri dan memiliki tandon air raksasa untuk melayani kebutuhan hidup lebih dari 2000 orang. Air bersih berkualitas premium didatangkan dari Sabang, diangkut dengan kapal tanker air. Dari kapal air dipompa ke dalam tandon air. Dari tandon, air disalurkan melalui jaringan pipa ke seluruh bangunan. Di beberapa titik distribusi dibangun bak kontrol untuk memeriksa kualitas air yang akan di saluran ke seluruh bangunan. Antar paviliun dihubungkan dengan jalan setapak yang diperkeras agar tidak becek ketika turun hujan.
Kompleks Karantina Haji dilengkapi dengan ruang makan berukuran besar, ruang aula rumah sakit setara rumah sakit tipe B, paviliun dokter, perawat, para medis, ruang operasi, ruang perawatan, dermaga pelabuhan dan mesjid. Kelengkapan itu dibutuhkan karena masa tinggal jemaah haji di Karantina paling singkat satu bulan menjelang berangkat dan satu bulan menjelang kepulauan ke kampung halaman masing masing. Kompleks Karantina Haji di Pulau Rubiah Sabang sekarang tinggal reruntuhan, tetapi jejak denah bangunan dan fondasi yang tersisa masih dapat dikenali oleh mata yang terlatih. Kehancuran kompleks Karantina Haji Pulau Rubiah dimulai pada akhir Perang Dunia II. Kompleks itu dibombardir oleh pesawat pembom Sekutu, karena di ujung utara pulau terdapat benteng pertahanan pantai Jepang. Kerusakan di kompleks Karantina Haji sebenarnya tidak terlalu parah. Kerusakan lebih parah justru dilakukan oleh penduduk Sabang pada dekade 60 dan 70 an. Kompleks itu dijarah secara besar besaran, mulai dari atap genteng, reng besi, kusen pintu / jendela, lantai tegel untuk kemudian dipasang pada bangunan bangunan yang sedang atau akan dibangun di Sabang. Kompleks itu hancur karena tindakan vandalisme oleh penduduk yang tidak mengerti nilai pentingnya, ditambah lagi pada masa itu penerapan regulasi Monumenten Ordonansi. Staatblad No 238 Tahun 1931, belum optimal. Untuk memulihkan situs Cagar Budaya Kompleks Karantina Haji, perlu segera dilakukan kajian arkeologi dan upaya pemugaran serta pemeliharaan. Sekarang sudah ada Undang Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang lebih komphrehensif yang dapat dijadikan landasan hukum untuk upaya penelitian, pemugaran, pemeliharaan dan pemanfaatannya.
Warisan monumental CSH kepada Umat Islam Indonesia adalah Sistem Manajemen Penyelanggaran Ibadah Haji yang sampai sekarang masih dilanjutkan oleh Pemerintah Republik. Tentunya sistem itu sudah mengalami perubahan, tetapi bentuk dasar masih tetap sama. Sistem itu didesain oleh orang yang memiliki visi jauh ke depan, direncanakan dengan ketelitian tinggi dan terbukti telah memberi manfaat besar yang dirasakan oleh jutaan Umat Islam Indonesia.
Ahli Waris Yang Cerdas Memanfaatkan Warisan
Sejak akhir abad XIX, dengan tekanan dari kelompok politisi liberal dan gerakan Politik Etis dari Th van Deventer, Ir. H H van Koll, Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun sekolah sekolah mulai dari tingkat dasar ( Sekolah Rakyat, HIS. ELS ), sekolah menengah ( MULO, HBS, AMS ), dan sekolah Tinggi ( STOVIA RHS di Batavia, THS di Bandung, Faculteit van Landbow Wetenschap ( Sekolah Tinggi Pertanian / Perkebunan di Buitenzorg ). Setelah beberapa dekade, muncul lapisan golongan elit terdidik berpendidikan Barat. Mereka segelintir orang yang paham, punya kesadaran politik, status sebagai manusia yang memiliki hak hak dasar kemanusiaan dan selama ini diabaikan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Mereka mulai memperjuangkan hak hak nya dengan menggunakan sarana sarana modern yang dilindungi oleh undang undang seperti partai, organisasi dan pers. Mereka mendirikan organisasi modern yang memiliki azaz, tujuan, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, susunan pengurus organisasi yang bertanggung jawab, dan didaftarkan di lembaran negara, disahkan dengan akta notaris. Pemerintah tidak dapat semena mena membubarkan organisasi atau menangkap pengurusnya. Pada dekade 20 an garis perjuangan politik dinyatakan lebih eksplisit, dipelopori oleh Sukarno dan kawan kawan lewat Partai Nasional Indonesia ( PNI ).
Para tokoh pergerakan kemerdekaan mulai memperluas basis dukungan dengan merekrut anggota baru dan memberikan kursus kursus pendidikan politik, khususnya kepada kelompok terdidik lulusan sekolah sekolah Belanda di berbagai jenjang tingkatan. Pemerintah mulai kebingungan menghadapi bentuk perlawanan gaya baru ini, mulai kehilangan kendali dan kesabaran. Tindakan represif mulai dijalankan kepada orang / tokoh pergerakan terutama yang bersifat radikal. Pemerintah mengerahkan personil Politieke Inlichtingen Dienst ( Dinas Polisi Rahasia Politik ) untuk memata matai, menguntit sasarannya pada jarak 5 meter di belakang. Sewaktu waktu target sasaran dapat dibekuk, dijebloskan ke tahanan. Biasanya tahanan dilepaskan setelah menang di proses pengadilan. Untuk tahanan kaliber kelas berat, seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, Pemerintah terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya yaitu Exorbitante Rechten , Hak Istimewa Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk membuang / mengasingkan orang yang tidak disukainya ke wilayah terpencil, jauh dari massa pendukungnya.
Dalam situasi tertekan seperti itu , para tokoh pergerakan berpikir keras mencari solusi tentang cara penyebaran paham nasionalisme dan wawasan kebangsaan kepada rakyat terdidik tetapi relatif aman bagi keamanan, keselamatan dan kelangsungan serta keberlanjutan perjuangan. Mereka menemukan celah sempit tetapi aman yaitu Karanti Haji di Pulau Onrust dan Pulau Rubiah. Para calon jemaah haji sebagian besar adalah orang yang mapan secara ekonomi dan finansial. Mereka merupakan pemuka / tokoh masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan di atas rata rata rakyat umum, mereka melek huruf dan melek politik karena membaca surat kabar. Mereka paham situasi sosial politik termutakhir, peta politik dan sepak terjang tokoh pergerakan. Para calon jemaah haji sebelum berangkat dibina dan dibrifing oleh para tokoh pergerakan dalam ideologi nasionalisme dan wawasan kebangsaan.
Di kapal dan di Karantina Haji mereka bertemu dengan orang dari berbagai daerah dan latar belakang. Mereka punya banyak waktu bertemu, berdiskusi saling berbagi informasi. Beberapa bulan berinteraksi secara intensif telah membentuk ikatan hubungan emosional yang bahkan sudah seperti hubungan saudara kandung. Ketika mereka sudah berada di kampung halaman masing masing mereka menyebarluaskan pengetahuan dan pengalaman yang didapat selama beberapa bulan. Kontrol Pemerintah terhadap aktivitas di Karantina Haji nyaris tidak ada, karena mereka mengikuti doktrin CSH bahwa Pemerintah tidak boleh mencampuri urusan ibadah umat Islam. Fasilitas Karantina haji telah dimanfaatkan oleh tokoh pergerakan dengan sangat cerdik. Dari sana paham kebangsaan dan nasionalisme disebarkan ke seluruh pelosok negeri. Tidak mengherankan ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta tanggal 17 Augustus 1945, dalam beberapa hari kemudian datang gelombang dukungan penuh dari berbagai daerah. Situasi sudah dimatangkan di Kompleks Karantina Haji oleh para jemaah haji di berbagai pelosok negeri. Demikian besar peranan kompleks Karantina Haji yang digagas oleh CSH dalam penyebaran paham nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Hal itu sangat membantu upaya mencapai kemerdekaan dan upaya mempertahankannya.
Gambar 8 : Foto salah satu ruang perawatan di kompleks Karantina Haji di Pulau Rubiah, Sabang
Sumber : Koleksi pribadi penulis
Epilog
Di keheningan malam, penulis merenungkan jalan hidup, sepak terjang CSH dalam menjalani karir. Tidak terdapat satupun indikasi bahwa dia adalah pengkhianat. Dia seorang profesional sejati. Soal dia mengucapkan kalimat syahadat yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan, hal itu adalah bagian dari taktik untuk mempelajari agama Islam di pusat sumber / kelahiran agama tersebut. Sebagai pemeluk agama Kristen dia sudah pasti tidak mungkin mendapatkan akses itu. Dia juga tidak pernah menikmati jabatan dan uang dari Kesultanan Aceh yang diperanginya. Berbeda dengan Habib Abdurrahman As Zahir yang sudah lama menikmati penghasilan dan jabatan perdana menteri, tapi berbalik memihak Belanda, dan menikmati uang pensiun besar yang bahkan tidak mungkin dapat diperoleh oleh Panglima tertinggi KNIL sekalipun. Soal dia menggunakan pengetahuannya untuk kepentingan negara / organisasi, bukankah memang demikian yang dilakukan semua orang profesional?. Ada jasa baik yang dilakukannya untuk membela kepentingan umat Islam yang sampai sekarang masih terus dinikmati oleh jemaah haji, yaitu keselamatan, kemudahan dan kenyamanan dalam menjalankan ritual ibadah haji.
Kehidupan memang tidak bersifat hitam atau putih. Kehidupan terlalu rumit dan kompleks untuk dipahami dengan sistem taksonomi yang sederhana seperti hitam atau putih, baik atau jahat, indah atau buruk, malaikat atau iblis, pahlawan atau pengkhianat. Seratus tahun lebih telah berlalu setelah CSH menginjakkan kaki di bumi Aceh, seharusnya perasan dendam yang penuh kebencian sudah mencair. Sudah waktunya kita membongkar bukti bukti tertulis otentik atau bukti artefak lainnya untuk kemudian memberikan evalusi yang lebih berimbang. Hasil kajian dan evaluasi kita jadikan sebagai bahan pelajaran dalam menatap dan melangkah ke masa depan.
Comments
Post a Comment