GURU MENERAWANG, MURID MENGALAMI : FENOMENA ABSURDITAS

 Prolog

Pada suatu hari di sebuah gedung pertemuan yang megah diselenggarakan sebuah seminar nasional. Seminar itu mengusung tema Mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi tantangan di masa depan. Ada dua keganjilan yang tidak disadari oleh panitia penyelenggara seminar dan para pakar yang menjadi nara sumber dan peserta seminar. Pertama, semua peserta yang berada di ruang seminar adalah kumpulan manusia masa kini membicarakan situasi di masa depan, yang belum dikenali dengan akurat. Ke dua, mereka membicarakan soal nasib orang ( anak anak ) yang tidak seorangpun dari anak anak itu hadir pada pertemuan itu. 

Keganjilan itu makin kelihatan ketika para nara sumber dengan yakin sekali membentangkan tentang bagaimana cara mempersiapkan / membekali para siswa dengan pengetahuan, sikap, perilaku yang relevan dengan kondisi di masa depan. Mereka belum dapat memastikan seperti apa kondisi di masa depan, tetapi bertingkah laku seolah olah sudah pergi, melihat masa depan dan kembali ke masa kini dengan membawa kisah perjalanannya. Kemudian mereka merancang materi pelajaran yang relevan dengan kondisi di masa depan untuk diajarkan kepada siswanya. Sungguh suatu pemandangan yang penuh dengan absurditas.

Para pakar dan peserta seminar melupakan nasehat seorang pujangga besar asal Lebanon yang termashur, Khalil Gibran. Dalam karya monumental sang pujangga berjudul The Prophet, terdapat satu puisi berjudul Sang Anak. Dalam bait awal Khalil Gibran menulis : 

Anakmu bukan anakmu                                              Dia lahir darimu, tapi bukan milikmu.                  Boleh kau berikan kasih sayangmu, tetapi bukan bentuk pikiranmu,karena anakmu punya pikirannya sendiri.                                 Boleh kau buatkan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya.                                                     Jiwanya adalah penghuni rumah masa depan yang tak dapat kau kunjungi walaupun dalam mimpi, karena kehidupan tidak pernah berjalan mundur.

Khalil Gibran sudah memberikan pukulan telak kepada para guru / orang tua yang merasa lebih tahu dari penghuni rumah masa depan yang sejati. Ketika penulis mengingatkan akan hal itu, semua peserta termasuk para pakar terdiam, baru menyadari betapa konyol semua percakapan yang sudah berlangsung. Mereka kemudian meminta penulis untuk berbicara tentang topik itu, tepatnya tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Tulisan ini dibuat berdasarkan materi kuliah dari penulis kepada para pakar ( Profesor, Doktor, Master Sarjana ) yang selama satu jam lebih mendengarkan dengan takzim.       


Masa Depan Yang Tidak Pasti

Ketidak pastikan akan masa depan diketahui berdasarkan fisika kuantum yang memerikan perilaku unsur paling elementer di alam  pada tingkat mikro kosmos yaitu partikel dan gelombang. Kita tidak dapat memastikan posisi partikel dan menghitung momentumnya pada saat yang sama. Demikian juga dengan gelombang,  tidak dapat ditentukan frekuensi dan sela gelombang pada saat yang sama. Pada suatu waktu, partikel seolah olah berwujud materi, tetapi pada waktu yang lain seakan akan berwujud gelombang. Jika dilakukan pengamatan dan pengukuran dengan instrumen yang peka terhadap materi, maka yang tampak adalah wujud materi. Sebaliknya jika digunakan instrumen yang peka terhadap gelombang, maka yang tampak adalah gelombang. Dari sinilah lahir prinsip Ketidak pastian yang terkenal oleh Werner Heissenberg ( 1932 ). Kita tidak dapat meramalkan dengan tepat posisi lintasan elektron. Semua kejadian di tingkat atomik bersifat probabilistik. Konsekuensi logis dari pandangan ini, masa depan tidak mungkin dapat diketahui dengan pasti, tetapi dapat diduga dengan tingkat probabilitas tertentu. 

Sebelum suatu peristiwa terwujud di alam tiga dimensi (  dimensi tempat kita hidup ), sudah ada beberapa skenario yang tercetak di dimensi di atas 3. Skenario yang terwujud adalah salah satu dari sekian banyak skenario yang ada. Sebelum terwujud di dimensi 3, semuanya masih bersifat probabilitas. Seandainya kita sudah memiliki M Theory sekalipun yang mampu memerikan alam dimensi 10, tetap tidak dapat memastikan skenario apa yang bakal terwujud di alam dimensi 3. Matematika sudah mampu memerikan alam 26 dimensi, juga tidak dapat memberikan skenario yang pasti bakal terwujud di alam 3 dimensi. Penulis tidak akan mengungkapkan berbagai aspek fisika kuantum lebih dalam, karena sulit dipahami sebagian besar orang. Fisika kuantum menjungkir balikan pemahaman kita tentang banyak konsep yang dipahami selama ini yang masih menggunakan acuan fisika klasik. Sulit membayangkan seseorang bayi baru lahir, sebenarnya pada saat bersamaan dia sudah dewasa, sudah menikah, sudah punya anak dan cucu, serta sudah wafat. Hal itu mustahil menurut fisika klasik, tetapi sangat mungkin menurut fisika kuantum. 

Akibat Ketidak pastian masa depan, konsekuensinya,  masa depan tidak dapat diperikan dengan pasti. Akibat selanjutnya tidak diketahui apa saja tantangan / kendala dan apa yang dibutuhkan generasi di masa depan. Konsekuensi berikutnya apa yang kita kira sudah memberikan bekal kepada para siswa untuk menghadapi masa depan, tidak lebih dari omong kosong belaka. Secara teori dan pengalaman empirik, para siswa hari ini lebih berpeluang besar menyaksikan dan mengalami situasi pada paruh ke dua abad XXI dibandingkan para gurunya. Mereka yang akan menjalani kehidupan di masa itu. Mereka yang lebih tahu apa yang dibutuhkan di masa depan dibanding kita para gurunya. Di masa kini saja sudah banyak contoh bahwa para siswa lebih cepat beradaptasi dengan teknologi terkini di bandingkan dengan generasi seusia para gurunya. Konon pula di masa depan, di saat para gurunya sudah uzur dan renta, pengetahuannya semakin berjarak.  


Pengetahuan Apa Yang Dibutuhkan Siswa di Masa Depan ?

Perubahan di masa depan akan berlangsung lebih cepat. Kita sudah bukan lagi hidup di epoch ( kala ) Holocen, tetapi sudah di kala Anthropocene. Holocen adalah periode yang ditandai dengan kondisi serba tenang, sementara kala anthropocene ditandai dengan situasi yang penuh gejolak, banyak pusaran topan terjadi. Kondisi anthropocene yang demikian terjadi karena disebabkan oleh perilaku manusia modern yang suka mengacak acak alam. Indikasi kita sudah berada di kala anthropocene adalah kekacauan iklim, cuaca, perubahan iklim, gelombang udara panas dan dingin, musim dingin berkepanjangan, kemarau berkepanjangan,  kenaikan temperatur dan penurunan temperatur  di banyak permukaan bumi, munculnya banyak jenis wabah penyakit  baru. 

Dalam suasana yang tidak pasti dan segala sesuatu sangat cepat berubah, maka yang mutlak dibutuhkan  di masa depan adalah pengetahuan  dan skill yang dapat meningkatkan kemampuan adaptif. Pengetahuan yang diberikan harus dapat memperkuat fleksibilitas dan daya lenting. Daya lenting adalah kemampuan beradaptasi terhadap perubahan ekstrim yang memiliki amplitudo yang besar.   Konsekuensi logisnya adalah segala bentuk kurikulum yang kaku, baku  tidak laku lagi. Model pembelajaran dengan menggunakan acuan baku seperti Rencana Pembelajaran Semesta  ( RPS ), Garis Besar Pendidikan Pengajaran ( GBPP ), Satuan Acara Perkuliahan ( SAP ) sudah ketinggalan jaman dan harus disingkirkan.  Kebijakan lineritas disiplin keilmuan hanya membuat siswa tidak adaptif dengan perubahan yang terjadi. Apa yang diajarkan hari ini, bulan depan atau tahun depan sudah usang. 

Para siswa cukup diberikan ilmu ilmu dasar, ( sains alam, sains sosial, humaniora ), skill dasar seperti logika , statistik, matematika, komputasi, bahasa dan kemampuan telusur serta mengakses pengetahuan. Jumlah mata pelajaran tidak perlu banyak. Selanjutnya beri kebebasan kepada masing masing siswa untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Mereka yang tahu apa yang menjadi kebutuhannya. Segala bentuk penyeragaman hanya menghambat pengembangan daya adaptif, melemahkan daya lenting, dan menumpulkan daya fleksibilitas serta kreativitas siswa. 


Epilog

Kemampuan para guru hanya sebatas menerawang masa depan yang skenarionya belum tentu terjadi ( probabilitas ). Siswa adalah orang yang mengalami sendiri kondisi yang sudah terwujud di alam 3 dimensi. Oleh karena itu para guru jangan terlalu mendiktekan apa yang harus dipelajari siswa dalam menghadapi dan menjalani masa depan yang tak dapat dikunjunginya  walaupun dalam mimpi. Ada dalil yang mengatakan bahwa sebaik baik pengamatan dari jauh tidak dapat menandingi pengalaman nyata. Guru yang baik adalah guru yang membukakan mata muridnya agar dapat mengenali dirinya sendiri. Mengenal diri sendiri berikut potensi diri adalah pengetahuan tertinggi dan menjadi modal dasar untuk mempelajari pengetahuan apa saja. Guru yang baik adalah guru yang membimbing dan menuntun muridnya hingga pintu gerbang gudang ilmu pengetahuan. Kemudian sang murid yang harus membuka sendiri pintunya lalu masuk menelusuri lorong lorong dan ruang ruang tempat ilmu tersebut tersimpan. Guru yang baik tidak memperlakukan muridnya seperti anak balita yang terus harus digendong, dipanggul. Biarkan murid itu berjalan sendiri, menuju dan menggapai dunianya. 

Penulis mengakhiri kuliah tersebut dalam keheningan. Para pakar itu terdiam tidak berkomentar. Diskusi yang diharapkan tidak terjadi, mungkin karena dianggap sudah sangat  jelas. Penulis meninggalkan gedung pertemuan sambil membayangkan wajah para guru yang pernah membimbing dan memberikan ilmu ilmu yang berguna dan tentu saja membayangkan wajah Pujangga Besar Khalil Gibran dan Guru Agung Ki Hadjar Dewantara yang hari ini genap berusia 136 tahun dan setiap tahun diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. 


Comments

Popular Posts