CARA PANDANG DAN BERBAGAI IMPLIKASINYA

 Prolog

Cara pandang seseorang tentang sesuatu, apa saja, berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilakunya. Paradigma adalah suatu cara memandang dunia yang dianut oleh seseorang. Kepercayaan seseorang terhadap suatu paradigma mirip dengan keyakinan seseorang terhadap ideologi dan agama. Tidak mudah bagi seseorang untuk beralih dari satu paradigma ke paradigma lain Paradigma memiliki panduan / pedoman bagi para pengikutnya, sebagaimana layaknya kitab suci bagi penganut agama. Orang yang mencetuskan suatu paradigma, sudah dianggap seperti nabi oleh para pengikutnya. Paradigma memiliki komponen komponen yang memberi arah / pedoman tentang cara memandang dan memberikan tafsiran atas realitas, aturan main / tatacara metodologis berikut instrumen obsevasi / pengukuran dan ontologi predictive yang mengartikulasikan bagaimana bentuk paradigma ketika sudah mencapai puncak perkembangannya. 

Pendekatan kajian paradigmatik dapat digunakan untuk menganalisis fenonena yang sedang ramai dibicarakan di berbagai media, yaitu munculnya pagar laut di banyak perairan pesisir pantai beberapa pulau besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan pulau Timor. Awalnya tidak ada yang mengaku sebagai pemilik pagar laut. Pengakuan baru muncul ketika Menteri Agraria / Tata Ruang menyatakan bahwa laut yang dipagari itu ternyata sudah bersertifikat Hak Guna Bangunan dan Hak Milik. Sementara Peraturan Perundang undangan melarang penerbitan sertifikat di laut. Kemudian banyak pakar dan masyarakat memberikan reaksi keras kepada pejabat yang terlibat dalam penerbitan sertifikat. Mafia darat ternyata sudah merambah daerah operasinya sampai ke laut. Nyaris semua komentar itu tidak ada yang memberikan analisis yang menukik hingga ke landasan paradigmatik. Dengan analisis mendalam secara radikal, dapat ditelusuri sebab dasar mengapa orang membangun pagar laut. Kajian paradigma dapat membongkar akar masalah pembangunan pagar laut dan kasus kasus eksploitasi sumberdaya lainnya.


Paradigma Laut Sebagai Pemisah

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil. Kalau dilihat di peta rupa bumi, jelas terlihat semua pulau dikelilingi oleh perairan ( laut, samudera dan selat ). Satu paradigma memandang laut sebagai pemisah, antara satu pulau dengan beberapa pulau. Paradigma ini memberikan arahan tentang bagaimana cara menghubungkan dua pulau, khususnya yang berdekatan, yaitu dengan membangun jembatan, agar ke dua pulau terhubung. Jembatan antar pulau adalah infrastruktur besar yang untuk membangunnya membutuhkan biaya besar dan kajian mendalam. Kajiannya meliputi kelayakan secara teknis, ekonomis, lingkungan, sosial dan budaya. Ketika jembatan sudah selesai dibangun, maka orang, barang melintasi jembatan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jembatan adalah prasarana transportasi, kendaraan bermotor adalah sarana transportasi. Hal itu berarti orang memindahkan orang, barang, kendaraan dari satu pulau ke pulau lain dalam keadaan bergerak ( mobil ). Yang dipindahkan termasuk jalan raya dari matra darat ke matra air. Hal inilah yang menyebabkan biaya menghubungkan dua pulau jadi sangat besar. 

Paradigma ini mengarahkan pengikutnya untuk melihat matra darat dan matra air sebagai dua kontinuum ( dimensi ), yang terpisah. Tepi pantai ( tepi air ) adalah batas terujung dari suatu pulau. Orang pada umumnya dianggap tidak punya kepentingan dengan dasar laut, sehingga orang yang memiliki kemampuan besar di bidang finansial merasa boleh mengakuisisi dasar laut sebagai daerah tak bertuan. Kumpulan orang yang dinilai paling rentan dan paling sedikit tersentuh program bantuan ( nelayan ), dapat dinafikan. Sementara para  nelayan menggunakan tepi pantai sebagai akses jalan keluar- masuk kembali ke desanya. Dengan tindakan pembangunan pagar laut  pengkaplingan dasar laut, akses nelayan praktis tertutup. Laut sebagai sumberdaya alam yang bersifat open acces diubah menjadi close acces. Akibatnya terjadi benturan dan konflik antara nelayan dengan korporasi milik oligarki yang mengakuisisi pantai sebagai miliknya. 


Paradigma Laut Sebagai Penghubung

Paradigma ini memandang laut adalah penghubung. Jika diamati peta geomorfologi laut ( bathimetri ), semua dasar laut ( landas kontinen ), merupakan satu kesatuan. Pada bagian cekungan atau rendah terisi oleh air asin. Jika cekungan itu sangat luas disebut samudera, yang lebih kecil disebut laut dan bagian terkecil disebut selat. Oleh karena daratan dan dasar laut serta landasan kontinen merupakan satu kesatuan, maka air tidak dipandang sebagai pemisah, melainkan penghubung satu daratan dengan daratan lain. Paradigma ini menuntun penganutnya agar tidak membangun infrastruktur jembatan, karena air sudah berfungsi sebagai jembatan. Yang perlu dibangun adalah sarana angkutan berupa kapal, Ferrari / ro - ro, berikut pelabuhan untuk melepas dan menerima kapal di tempat asal dan tujuan. Biaya pembangunan jembatan antar pulau jauh lebih mahal dari biaya pembangunan pelabuhan dan penyediaan kapal. Orang, barang, kendaraan dinaikkan ke dalam kapal dan selama perjalanan mobil berada dalam keadaan diam.  

Tapi pantai tidak dianggap sebagai batas akhir dari matra darat, atau pintu depan atau belakang, tetapi pintu tengah. Laut bukan wilayah tak bertuan, pemiliknya bukan individu,  kelompok, korporasi, melainkan negara dan laut lepas milik internasional atau  / semua bangsa. Tepi pantai berikut laut adalah akses masuk - keluar untuk tiap orang, tidak boleh dikapling oleh individu, kelompok dan korporasi. Dalam pembicaraan selanjutnya, konsep kepemilikan menjadi penting untuk dikaji. Untuk mengetahui apa dan bagaimana asal usul konsep kepemilikan, kita perlu meninjau ke masa lalu. 


Asal Usul Konsep Kepemilikan

Sejak kehadiran manusia di bumi pada empat  juta tahun lalu, manusia hidup dengan cara berburu, mengumpulkan makanan. Manusia hidup tidak menetap, terus bergerak mencari sumberdaya yang dapat dimakan. Semua kebutuhan hidupnya didapat, dicomot begitu saja secara taken for granted. Pada kondisi cara hidup demikian, gagasan memiliki segala  sesuatu di alam terasa aneh. Bagaimana mungkin manusia memiliki tanah, sungai yang tidak dapat dibawa ketika mereka berpindah lokasi?. Barang yang dapat dibawa hanya sebongkah batu atau sebatang ranting kayu yang banyak berserakan di permukaan tanah. 

Baru pada 12.000 tahun lalu manusia bereksperimen mendomestikasi sejenis tanaman rumput rumputan liar yang kemudian dikenal sebagai tanaman gandum. Selain tanaman, manusia juga mendomestikasi hewan jenis unggas dan mamalia. Agar dapat memberikan hasil yang baik, tanaman dan hewan yang didomestikasi harus ditanam, dirawat / dipelihara di lokasi secara permanen. Untuk merawat tanaman dan hewan manusia harus hidup menetap secara permanen di lokasi tersebut. Terjadi perubahan mendasar terhadap cara hidup manusia. Pada masa berburu dan meramu, manusia hanya mampu mengambil / memungut dan memanfaatkan. Kata kunci dari perubahan cara hidup tersebut adalah upaya menanam, memelihara / merawat yang membutuhkan usaha, energi, materi, informasi, ruang - waktu ( semuanya termasuk kategori sumberdaya ). 


Kepastian, Ketidakpastian dan Investasi Sebagai Dasar Gagasan Kepemilikan

Banyak orang mengira cara hidup secara berburu dan meramu memiliki hasil dengan tingkat kepastian yang rendah dan cara hidup dengan pertanian menetap memberikan hasil dengan tingkat kepastian yang lebih tinggi. Sumberdaya yang digarap pada masa pra pertanian bersifat mobil dan pada masa pertanian lebih bersifat stasioner. Sebenarnya kedua cara hidup tersebut memiliki tingkat ketidakpastian yang relatif sama. Faktor ketidakpastian dalam cara hidup berburu dan meramu terletak pada gerak migrasi hewan, fluktuasi dan amplitudo cuaca. Pada cara hidup bertani, faktor ketidakpastian terletak pada fluktuasi cuaca, temperatur udara, kekeringan, kebanjiran, hama penyakit tanaman. Model alam semesta yang penuh dengan ketidakpastian sangat sesuai dengan apa yang digambarkan oleh fisika kuantum. Banyaknya ketidakpastian pada aktivitas pertanian, membuat manusia melakukan berbagai upaya rekayasa untuk mengurangi intensitas dan bobot dampak negatif yang ditimbulkan oleh situasi ketidakpastian. Upaya rekayasa tersebut harus dianggap sebagai investasi energi, materi, informasi dan waktu oleh para pelaku ( petani ). Nilai besaran dan bobot nilai investasi dari tiap orang atau kelompok di dalam suatu entitas, tidak sama. Situasi tersebut membuat orang yang berinvestasi lebih besar, merasa lebih berhak atas hasil atau sebagian besar hasil berupa surplus produksi. Dari sinilah awal mula tumbuh dan berkembangnya gagasan kepemilikan atas sumber daya. Selanjutnya orang mulai membuat kapling kepemilikan lahan dengan batas batas yang jelas, untuk membedakan kapling milik seseorang dengan orang lain. Pada masa berburu dan meramu orang tidak berinvestasi dalam jumlah besar pada suatu ruang tertentu, semua anggota entitas dianggap melakukan upaya yang setara. Dalam situasi tersebut, tidak relevan orang berbicara tentang kepemilikan secara individu atas sumberdaya. Gagasan tentang kepemilikan sumberdaya hanya berkembang pada masyarakat dengan adanya indikator perbedaan besaran nilai investasi untuk memproduksi  makanan di antara para anggota komunitas.

 Gagasan kepemilikan akan sumberdaya kemudian diperluas lagi, dengan membolehkan manusia memiliki manusia lain, yang disebut budak. Entah apa dasar pemikiran yang melandasi gagasan bahwa seseorang manusia boleh menguasai dan memiliki manusia lain. Gagasan  itu diperluas lagi dengan menganggap seorang lelaki boleh memiliki seorang atau beberapa perempuan. Gagasan itu tidak ada pada masyarakat berburu dan meramu. 


Kekhawatiran dan Kecemasan Akan Masa Depan

Walaupun seseorang sudah melakukan investasi dan rekayasa, tetap tidak ada jaminan akan  memberikan hasil yang baik berupa surplus makanan. Pada tahap ini mulai muncul rasa kekhawatiran dan kecemasan akan masa depan. Rasa khawatir dan cemas membuat manusia mulai memikirkan tentang pentingnya bekerjasama secara luas dan terus menerus. Hanya dengan bekerjasama yang melampaui batas wilayah kapling lahan, atau desa / kota, bentang alam / bentang budaya, ekosistem atau bahkan biom. Kebutuhan membangun jaringan kerjasama tanpa batas, manusia mengalami kendala. Tidak seperti semut atau lebah yang sudah mengalami evolusi selama jutaan tahun untuk terbentuknya gen biologis yang mengatur mekanisme kerjasama. Jumlah manusia dalam suatu kelompok selama jutaan tahun tidak pernah melampaui 1000 orang. Jumlah itu tidak membutuhkan jaringan kerjasama secara luas, sehingga tidak diperlukan gen biologis untuk kerjasama. Baru kurang lebih 10.000 tahun terakhir jumlah populasi manusia dalam suatu kelompok mencapai lebih 1000 orang. Belum cukup waktu untuk terbentuknya gen biologis yang mengatur kerjasama. 

Dibutuhkan rekayasa sosial untuk membangun jaringan kerjasama di antara sesama manusia. Rekayasa itu menghasilkan beragam mitos. Mitos itu membantu manusia membentuk jaringan kerjasama secara luas. Kesamaan kisah, mitos dan legenda yang dipercaya membuat manusia mau bekerjasama untuk mengatasi berbagai masalah. Dengan kerjasama secara luas, dapat dihasilkan surplus makanan dalam jumlah besar. Kondisi itu membuat manusia berkumpul dalam jumlah besar di suatu ruang yang sempit, padat, sehingga terbentuk desa dan kota. Konsentrasi penduduk dalam jumlah besar membuat potensi konflik, pertikaian dan pertengkaran jadi besar. Untuk memperkecil potensi konflik, dibutuhkan seperangkat aturan, norma, kodifikasi dan hukum yang mengatur tata kelakuan orang dalam berinteraksi dengan sesamanya. Untuk menjamin terlaksananya tata kehidupan yang teratur, dibutuhkan sebuah institusi yang disebut negara kota, negara baik yang berbentuk kerajaan maupun republik. Negara adalah suatu bentuk realitas intersubjektif yang keberadaannya sangat tergantung pada adanya kepercayaan orang terhadap institusi tersebut. Negara ada selama masih banyak orang yang percaya dengan keberadaannya. Ketika sebagian besar orang sudah tidak percaya akan adanya negara, maka seketika itu juga negara sudah lenyap. Agar orang tetap percaya pada negara, dibuatlah beragam mitos. Beberapa mitos yang sudah berjasa mempertahankan keberadaan negara, antara lain keberadaan Dewata / Tuhan yang bertahta di langit dan mitos manusia terpilih sebagai wakil Dewa / Tuhan untuk mengatur negara / rakyat. 

Surplus makanan mendorong sekelompok kecil elit yang mengklaim diri sebagai manusia pilihan untuk menguasai surplus itu. Para elit yang sudah dibebaskan atau membebaskan diri dari kewajiban menghasilkan makanan, justru menikmati bagian terbesar dari surplus produksi. Mereka menggunakan surplus itu untuk membiayai perang, pembangunan monumen raksasa. Sungguh ironis nasib rakyat, yang setiap hari memeras keringat, memungut sisa sisa bulir gandum / padi, dan bagian tetbesarnya  dinikmati oleh para elit yang tidak pernah memegang peralatan pertanian. Tersedianya surplus makanan dalam jumlah besar, tidak menjamin bahwa para elit tidak berkonflik. Mereka tidak pernah merasa cukup, terus kekurangan dan terus menuntut bagian lebih besar. Pada perkembangan berikutnya, mitos, legenda dan surplus produksi tidak lagi cukup memadai untuk membuat para elit berhenti bertikai. Pada tahap inilah para penguasa puncak wajib melakukan satu hal lagi. Bukan membangun pasukan yang kuat, bukan pula menciptakan mitos baru atau memberikan bagian lebih banyak dari surplus produksi kepada para elit ataupun rakyat. Sekarang menjadi jelas bangunan peradaban manusia dibuat berdasarkan rasa khawatir dan cemas akan masa depan. Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu daerah, surplus produksi pangan.  jaringan infrastruktur  yang canggih dan jejaring perdagangan belum cukup untuk mendirikan kota atau negara. Masih dibutuhkan satu lagi unsur penting. Unsur penting apakah itu?. Unsur penting itu akan membuka jalan menuju pintu dan ruangan yang merupakan solusi dari masalah konflik kepemilikan sumberdaya. 


Epilog

Tulisan ini hanya memetakan akar masalah, tanpa mau memberikan solusi. Tentunya banyak orang bertanya mengapa tidak sekalian disertakan solusi atas masalah tersebut. Perlu penulis bentangkan sebabnya. Solusi sebagus apapun tidak ada gunanya jika tidak dieksekusi. Untuk mengeksekusi suatu kebijakan diperlukan kewenangan, dan di balik kewenangan, pasti harus ada tanggung jawab, sebagai unsur penyeimbang. Penulis tidak punya kewenangan  dan praktis tidak memiliki tanggung jawab. Jika Pemerintah menginginkan solusi cerdas atas masalah pagar laut dan beragam konflik perebutan kepemilikan sumberdaya dan menjamin, di masa depan tidak bakal terjadi lagi, maka Pemerintah dapat menghubungi penulis untuk menegosiasikan beberapa hal yang akan berujung pada lahirnya kesepakatan.



Comments

Popular Posts