Prolog
Keraton adalah kompleks kediaman resmi para sultan, raja. Di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 4 keraton yang masih eksis hingga sekarang. Di kota Surakarta ( Solo ) terdapat dua keraton, yaitu Kasunanan milik Sunan Paku Buwono dan Mangkunegaran milik Adipati Mangkunegara. Di Yogyakarta ada dua keraton yaitu milik Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman miliki Adipati Paku Alam. Kompleks keraton dikelilingi pagar tembok. Kompleks keraton Solo memiliki luas 157 Ha dan Yogyakarta seluas 144 Ha. Dua keraton lain, Mangkunegaran dan Pakualaman memiliki areal lebih kecil dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Berdasarkan kajian pakar arkeologi, diketahui bahwa keraton tidak hanya sekadar kompleks bangunan tempat kediaman para raja, tetapi juga mengandung berbagai sistem nilai, simbol, sistem mandala, yang memiliki arti dan makna filosofis.
Dalam memilih lokasi tapak bangunan inti keraton tidak sembarang / acak, tetapi harus mengikuti banyak pakem ( ketentuan ) yang wajib ditaati. Berbagai petunjuk yang bersifat geoastronomi, geospasial, sampai pada panduan supernatural wajib dijadikan patokan. Jika suatu lokasi tapak bangunan inti sudah ditetapkan, dsn ternyata terbentur pada aspek bentang lahan, misalnya aliran sungai, maka aspek bentang lahan yang harus dikalahkan. Aliran sungai sekalipun, harus dialihkan / dibelokan, demi mendapatkan tapak lokasi ideal. Kondisi ini terjadi pada saat menentukan titik pusat candi Larajongrang ( candi Prambanan ), yang berada tepat di tengah aliran sungai Opak. Aliran sungai Opak dialihkan untuk mendapatkan titik sakral candi Larajongrang. Petistiwa itu direkam pada prasasti Ciwagraha berangka tahun 856 M oleh Rakai ( Raja ) Pikatan. Berita dari prasasti Ciwa Graha mendapat konfirmasi positif dari hasil penelitian geomorfologi dan penafsiran citra foto udara di kawasan itu yang menunjukan terjadinya pergeseran aliran sungai Opak. Penjelasan di atas menunjukkan betapa pentingnya penentuan tapak lokasi sebuah bangunan penting, baik yang bersifat sakral maupun profan.
Keraton Yogyakarta, sebagai kediaman resmi para Sultan Hamengkubuwono mulai dari I hingga X, tidak terlepas dari ketentuan pakem tersebut. Hasil penelitian Robert von Heine Geldern, seorang pakar kelompok lingkaran Wina, menunjukan bahwa keraton keraton di Asia Tenggara memiliki konsep sistem mandala, sebuah konsep yang berbentuk lingkaran lingkaran konsentris berlapis lapis mengelilingi istana sebagai pusat. Keraton Yogyakarta juga merupakan sistem mandala.
Sistem Kosmologi Keraton Yogyakarta
Coba dibayangkan sebuah kompleks bangunan yang didiami oleh seorang tokoh besar, raja. Raja sebagai titisan dewa memiliki karisma, daya magis yang memancarkan aura ke segala arah. Raja ibarat benda yang memiliki daya magnet yang menyerap segala energi dari alam kemudian memancarkan energi itu ke segala arah. Semua orang berusaha berada sedekat mungkin dari sang raja, agar mendapat limpahan energi paling banyak. Sebagaimana layaknya pusat tenaga magnet, makin jauh posisi suatu benda dari pusat magnet, makin kecil daya magnet yang sampai kepadanya
Model sistem kosmologi keraton Yogyakarta dapat dimodelkan seperti gambar di bawah ini :
Gambar 1 : Sistem kosmologi Keraton Yogyakarta
Sumber : dibuat oleh penulis berdasarkan studi literatur.
Keraton sebagai pusat alam semesta, tempat kediaman para sultan. Di lingkaran berikutnya adalah wilayah ibu kota kesultanan. Seluruh bangsawan utama dan pejabat eselon teratas bermukim di ibu kota. Di lingkaran berikutnya adalah wilayah negara agung, wilayah terdekat dari ibu kota. Negara agung dikuasai / dipimpin oleh para kerabat terdekat sultan. Lingkaran terluar adalah wilayah mancanegara. Pengaruh sultan makin berkurang di wilayah ini. Wilayah mancanegara biasanya dipimpin oleh kerabat luas dari sultan yang dianggap loyal.
Sumbu Filosofis Yogyakarta Sebagai Pandangan Kosmologi
Sumbu filosofi Yogyakarta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep kosmologi Jawa yang melihat kehidupan sebagai wujud dari hubungan sinergi harmonis antara dua sumber kekuatan alam yang diwakili oleh gunung Merapi di utara dan laut Selatan dan kedua kutub itu seakan terhubungkan oleh suatu garis sumbu imajiner. Di antara dua objek alam itu yang berada dalam satu garis sumbu terdapat satu tugu batu berwarna putih. Gunung Merapi dan tugu batu simbol laki laki ( lingga phalus ). Di selatan gunung dan tugu terdapat keraton tempat sultan bersemayam. Di sebelah selatan keraton masih berada dalam garis sumbu imajiner terdapat Panggung Krapyak. Di selatan Panggung Krapyak terdapat hamparan Laut Kidul. Panggung Krapyak merupakan bangunan peninggalan sultan Hamengkubuwono I, didirikan tahun 1782 yang berfungsi sebagai pangkalan berburu hewan liar. Panggung Krapyak disimbolkan sebagai alat kelamin wanita ( yoni ). Panggung Krapyak memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep kosmologi keraton Yogyakarta. Di bawah ini ditampilkan peta sketsa sumbu filosofi Yogyakarta.

Gambar 2 : Sketsa posisi Gunung Merapi, Tugu batu putih, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, Laut Selatan
Sumber : Google
Gambar 3 : Sketsa Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sumber : Google
Gambar 4 : Perbandingan gambar peta DIY dsn Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sumber : Google
Gambar 5 : Garis imajiner Sumbu Filosofi Yogyakarta ternyata membentuk sudut 10 - 11°.
Angka ini selalu muncul di dalam perwujudan sistem kosmologi Jawa sejak abad VII - abad XVIII . Sepertinya angka tersebut merupakan konstanta dalam kosmologi Jawa.
Sumber : Wirtjes ( 2023 ), tidak diterbitkan.
Gambar 6 : Pemandangan dari ketinggian mulai Tugu Batu Putih hingga Panggung Krapyak.
Sumber : Google
Profil Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta terletak di dataran rendah, dekat kaki gunung Merapi, tepatnya pada 110° 24' 9'' - 110° 28' 53'' Bujur Timur dan 7° 15' 24'' - 7° 46' 26'' Lintang Selatan, dengan ketinggian rata rata dari permukaan laut 114 m. Luas kota Yogyakarta 32,5 Km persegi, meliputi 14 kecamatan dan 45 kelurahan. Kota Yogyakarta beriklim tropis dengan curah hujan rata rata 2012 mm / tahun, jumlah hari hujan 120 hari hujan, temperatur rata rata 26,6 °C, kelemahan rata rata 24,7%. Curah hujan tertinggi pada bulan Desember 524 mm dan terendah bulan Juli 2 mm dan bertiipe iklim AM dan AW. Jumlah penduduk kota Yogyakarta 461.225 ( 2023 ).
Jenis tanah regosol / vulkanik muda. Tekstur tanah butiran kasar dari material gunung Merapi berupa endapan alluvial yang baru terbentuk. Terdapat tanah bertekstur pasir, geluh. Struktur tanah bergumpal lunak, solum tanah tebal, koefisien infiltrasi sedang - tinggi dengan perkolasi yang baik untuk timbunan air tanah.
Kota Yogyakarta dibelah oleh 3 aliran sungai yang mengalir dari utara ke selatan, yaitu sungai Winongo di bagian barat, sungai Code di bagian tengah dan sungai Gajah Wong di bagian timur. Dengan kondisi topografi, jenis tanah, maka kota Yogya dapat dikatakan bebas banjir. Di bawah ini ditampilkan Sketsa penampang geohidrologi cekungan air tanah kota Yogyakarta.
Gambar no.7 : Sketsa penampang cekungan air tanah kota Yogyakarta
Sumber: Tim Peneliti.Fakultas Teknik Sipil UGM ( 2011 )
Gambar no 8 : Peta Ketebalan Lapisan Akifer di kota Yogyakarta
Sumber : Tim Peneliti Fakultas Teknik Sipil UGM, ( 2011 ).
Berdasarkan penelitian ketersediaan air tanah di Yogyakarta, kecamatan Gondokusuman menduduki peringkat pertama, disusul oleh kecamatan Tegal Rejo. Data ketersediaan air tanah di Yogyakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Gambar 9 : Tabel Ketersediaan Air tanah Dinamis pada masing masing kecamatan di kota Yogyakarta.
Sumber : Tim Peneliti Fakultas Teknik UGM Yogyakarta ( 2010 )
Gambar 10: Tabel Ketersediaan Air tanah Dinamis pada Dua Lapisan Akifer di kota Yogyakarta.
Sumber : Tim Peneliti Fakultas Teknik UGM Yogyakarta ( 2010 ).
Berdasarkan data ketersediaan air tanah baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam, tapak lokasi keraton memiliki cadangan air tanah tidak sampai 50% dari kecamatan Gondokusuman atau kecamatan Tegal Rejo. Ditinjau dari ilmu geohidrologi, lokasi keraton bukanlah lokasi ideal untuk dijadikan tapak berdirinya keraton Yogyakarta. Seandainya lokasi keraton berada di kecamatan Gondokusuman ( di sebelah barat laut keraton ) atau di kecamatan Tegal Rejo ( di sebelah Timur laut keraton ), maka garis imajiner Sumbu filosofi Yogyakarta tidak memenuhi konstanta kosmologis Jawa ( 10 - 11° ). Agaknya pertimbangan pemenuhan persyaratan konstanta kosmologis Jawa jauh lebih penting dari pertimbangan geohidrologi.
Gambar 11 : Model garis imajiner sumbu Filosofi Yogyakarta, membentuk sudut 10 -11°. Angka tersebut adalah tetapan kosmologi Jawa yang digunakan sejak abad VIII hingga abad XVIII.
Sumber : dibuat oleh Wirtjes ( 2024 )
Formulasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat diformulasikan masalah akibat pemilihan tapak lokasi pembangunan kraton yang dibatasi oleh dua faktor pembatas, yaitu ketersediaan air tanah dan posisi terbaik untuk mendapatkan angka koefisien tetapan kosmologi Jawa. Jika memilih lokasi dengan ketersediaan air tanah terbanyak dan terbaik ( kecamatan Gondokusuman atau Tegal Rejo ), maka hilang kesempatan mendapatkan tetapan kosmologi untuk menghadirkan sumbu filosofi Yogyakarta. Sebaliknya jika memilih tapak lokasi terbaik untuk mendapatkan tetapan kosmologi sumbu imajiner ( kecamatan Keraton ), maka hilang pula kesempatan mendapatkan lokasi dengan ketersediaan air tanah terbaik. Inilah masalah utama yang harus dicari solusi terbaik. Bagaimana mendapatkan lokasi yang ideal menurut tetapan kosmologi Jawa untuk garis imajiner sumbu filosofi Yogyakarta, sekaligus memiliki ketersediaan air tanah yang cukup.
Peran Kearifan Lokal Keraton Yogyakarta
Kearifan lokal diartikan sebagai seperangkat pengetahuan / nilai yang bersifat strategis / taktis dan cerdas , bersifat khas lokal yang dapat mengatasi masalah / pembatas akibat terbatasnya pilihan yang tersedia. Dalam contoh kasus di atas, perancang tata ruang kota Yogyakarta di masa lalu memberikan solusi cerdas, yaitu memilih lokasi berdirinya Keraton dengan lebih mempertimbangkan aspek tetapan kosmologis dari pertimbangan ketersediaan air tanah. Sebagai langkah strategis dan taktis akibat pilihan itu adalah dengan menanam pohon beringin ( Banyan Arbor ) di sekeliling alun alun utara dan alun alun selatan, dan di banyak ruang terbuka berupa halaman dalam keraton dan halaman rumah rumah para bangsawan keraton Yogyakarta. Jajaran pohon beringin itu masih dapat disaksikan hingga sekarang, seperti yang terlihat pada foto yang diambil dari ketinggian dengan menggunakan drone.
Gambar 12 : Alun alun utara Keraton Yogyakarta di lihat dari ketinggian
Sumber : Google
Gambar 13 : Foto kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya
Sumber : Google
Gambar 14 : Google kawasan Keraton Yogyakarta di lihat dari ketinggian
Sumber : Google
Gambar 15 : Sketsa maket Keraton Yogyakarta
Sumber : Google
Dengan menanam jajaran pohon beringin di area terbuka hijau di kawasan keraton, maka ketersediaan air tanah terjamin sepanjang tahun. Rumah rumah yang berada di kawasan itu dan masih mengandalkan air tanah dangkal melalui sumur gali, untuk kebutuhan domestik, tidak pernah kekurangan air walaupun di musim kemarau. Manfaat pohon beringin sudah diketahui sejak dahulu sebagai penangkap air dan membuat cadangan air tanah tetap stabil sepanjang tahun.
Epilog
Sejak dua dekade terakhir banyak dimunculkan istilah kearifan lokal. Demikian banyak dan sering diucapkan olah berbagai kalangan, sehingga terjadi distorsi pemaknaan arti / konsep kearifan lokal. Salah satu efek negatif dari perkembangan itu, penggunaan konsep itu cenderung liar tidak terkendali dan over dosage. Tulisan ini berupaya mendudukkan kembali konsep kearifan lokal secara proporsional. Jangan sampai terjadi segala hal yang terkait dengan tradisi / ketradisionalan dianggap sebagai kearifan lokal. Dalam contoh ekstrim, tarian jaipongan pun dianggap sebagai kearifan lokal tanpa ada penjelasan yang memadai baik dari aspek filosofi, teoritik, metodologis, maupun dari aspek praktis .
Comments
Post a Comment