MENATA ULANG RELASI YANG TIDAK SEIMBANG

 Tulisan ini dibuat sebagai refleksi di peringatan hari lingkungan hidup sedunia pada 5 Juni. Tulisan ini juga didedikasikan kepada para pejuang di bidang lingkungan hidup. 


" Bumi hanya satu, penghuninya hampir 8 milyar manusia dan puluhan miliar populasi hewan, tumbuhan serta mikroorganisme. Untuk dapat mempertahankan keberlanjutan eksistensinya  di alam, manusia wajib menanggalkan rasa ego / kesombongannya, rela berbagi dan menjadikan semua mahluk sebagai  stakeholder ". 

( HMMC Jan Wirtjes  XVI ).


Prolog

Kesadaran orang mengenai pentingnya upaya pemeliharaan lingkungan baru muncul pada paruh kedua abad XX. Dimulai dari hentakan akibat pencemaran perairan di Teluk Minamata, disusul dengan terbitnya buku buku berjudul Silent Spring karya Rachel Carlson dan Limit to Growth karya Dennys Meadow, dunia mulai menyadari pentingnya lingkungan dikelola lebih baik. Sejak itu berbagai instrumen pengelolaan lingkungan dikembangkan, mulai dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Audit Lingkungan, Analisis Daur Hidup Produk, Eko Label, ISO Varian 14000, Produksi Bersih, Mekanisme Perdagangan Karbon, Menghitung Jejak Karbon / Jejak Ekologis, Mekanisme Pembangunan Bersih, hingga  Nilai Konservasi Tinggi. Berbagai Konferensi Tingkat Tinggi, Seminar, Diskusi diselenggarakan di berbagai negara untuk menunjukkan tingginya tingkat kepedulian warga bumi terhadap isu lingkungan. Berbagai peraturan perundang undangan terus diciptakan untuk memperkuat basis aksi / tindakan, berbagai Lembaga Negara, Lembaga Swadaya Masyarakat didirikan sebagai wadah aktivitas warga peduli lingkungan. Berbagai literatur, jurnal ilmiah bergengsi diterbitkan untuk menampung hasil riset para pakar lingkungan.  Berbagai universitas di berbagai negara mendirikan program studi ilmu lingkungan dan pusat studi lingkungan untuk mendidik calon pakar lingkungan dan melakukan berbagai riset ilmiah di bidang lingkungan. Setelah berjalan lebih dari 5 dekade, bagaimana progres dan bagaimana hasilnya?

Mutu lingkungan makin merosot, indeks keanekaragaman hayati dan non hayati makin menurun, eskalasi tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan makin parah, peristiwa bencana ekologis yang dipicu oleh faktor hidroklimat makin meningkat frekuensi dan bobot / derajat magnitudenya. Setelah dicermati seolah olah ada korelasi asimetris antara tingkat kepedulian dan bobot aktivitas manusia dengan tingkat mutu lingkungan. Semakin gencar upaya pemeliharaan lingkungan justru semakin buruk kualitas lingkungan. Sepertinya ada yang salah dengan berbagai skenario yang dijalankan. Penelusuran yang dilakukan memberikan hasil yang mengejutkan. Di bagian hulu ternyata ada kesalahan yang cukup fatal, sehingga hasil yang dicapai di bagian hilir mengecewakan. Apa, bagaimana dan di mana letak kesalahan itu?. 


Ideologi Sebagai Pangkal dan Sumber Masalah

Semua ideologi termasuk agama menjadikan manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Posisi kedudukan manusia dianggap bukan bagian dari alam, menempati kelas tersendiri sebagai mahluk Very Very Important Person. Semua mahluk harus tunduk, mengabdi pada kepentingan manusia. Manusia boleh berbuat apa saja kepada mahluk lain, termasuk merampas hak hidupnya, merampok habitat, ekosistem dan ruang hidup serta sumber makanan mahluk lain di seluruh permukaan bumi. Sementara mahluk lain yang telah terdesak hingga ke pojok ambang batas daya tahan hidupnya, tidak boleh menyentuh bahkan mendekati batas wilayah habitat / ekosistem manusia. Seekor atau kawanan hewan liar seperti gajah yang terpaksa menerobos area pemukiman manusia untuk mencari makan karena sumber makanan mereka sudah dikuasai manusia, langsung dibantai habis tanpa ampun. Manusia melakukan itu semua karena dibimbing oleh ajaran ideologinya bahwa dirinya adalah mahluk istimewa dan sudah diberi status sebagai Wakil Tuhan / Pemimpin di muka bumi. 


Relasi Yang Tidak Seimbang

Sejak awal kemunculannya di bumi pada 4 juta tahun lalu manusia adalah mahluk lemah tidak berdaya di antara mamalia besar seperti gajah, singa, harimau. Jalur evolusi yang ditempuh manusia kemudian memberi manusia banyak kelebihan / keunggulan kompetitif dibanding mahluk lain. Kebiasaan berjalan tegak dengan dua kaki menjadi faktor pendorong yang memicu berkembangnya keunggulan manusia seperti ratio volume otak dengan bobot tubuh, kelincahan / kelenturan gerak anggota badan, kemampuan berbahasa, menciptakan dan menggunakan peralatan, membangun kerjasama tanpa batas dengan sesamanya. Kemampuan itu  dijadikan dasar untuk membedakan manusia dengan mahluk lain. Segera setelah mencapai posisi superior, manusia mulai mengembangkan relasi yang tidak seimbang dengan mahluk lain. Akibatnya terjadi eksplorasi, eksploitasi lingkungan alam tanpa batas dan tanpa jeda. Manusia adalah subjek dan tuan di muka bumi, sementara mahluk lain yang jauh lebih senior dari segi usia kemunculannya, berperan sebagai objek. Subjek jelas tidak setara dalam semua hal dengan objek.  


Lingkungan ( Alam ) Sebagai Stakeholder

Di dalam seluruh literatur tidak ditemukan narasi yang menempatkan lingkungan sebagai subjek dan stakeholder ( pemangku kepentingan ) manusia. Semua stekeholder pasti menunjuk pada  sosok yang disebut manusia. Segala hal yang di luar manusia adalah objek. Ada miliaran objek di alam, tetapi hanya satu subjek, yaitu manusia. Sekarang sudah waktunya menempatkan lingkungan sebagai stakeholder manusia dalam relasi yang setara sebagai subjek. Dengan demikian akan tercipta hubungan yang lebih seimbang, setara, lebih sehat. Hubungan yang seimbang akan menumbuhkan rasa saling menghormati dan saling menghargai. Akan tercipta hubungan  bersifat mutually symbiosis yang sejati. Semua mahluk berperan penting di relung ekologi ( niche ) masing masing mulai dari autothrop, heterothrop, saptothrope dan teknothrop. Implikasi dari pandangan ini, hasil karya manusia ( budaya ), seperti karya seni pahat, arsitektur, ukir, lukis, tenun, kuliner, tari , lagu, musik, cerita, tradisi, ritual juga harus dipandang sebagai subjek. Konsekuensi logis berikutnya budaya tidak lagi dipandang sebagai objek dan istilah objek pemajuan kebudayaan yang tertera di dalam peraturan  perundang undangan juga harus diubah menjadi subjek pemajuan kebudayaan. 


Epilog

Agama leluhur penutur bahasa Austronesia memberi tuntunan kepada manusia hidup selaras,  harmonis dengan lingkungannya. Ideologi modern dan agama Abrahamik  membuat hubungan manusia dengan lingkungan jadi berjarak, terpisah dalam bentuk relasi subjek dengan objek. Terjadi eksplorasi, eksploitasi lingkungan secara berlebihan sehingga alam dipenuhi dengan berbagai bentuk eksternalitas dan entropi. Berbagai metode, teknik, instrumen pengelolaan lingkungan ternyata tidak mampu memperbaiki kualitas lingkungan, malah justru makin memperburuknya. Kemudian hadir sains modern lewat ilmu ilmu genetika, ekologi sistem dinamis, dinamika populasi, bioteknologi dan  mikrobiologi mengembalikan kesadaran dan menumbuhkan pemahaman baru tentang bentuk relasi seimbang antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. 


Comments

Popular Posts