SENSASI PERJALANAN DENGAN ATJEH STAATSSPOORWAGON ( ASS )

 

Prolog

Di awal dekade 1960 an, penulis menetap di desa / kebun Sungai Liput, daerah konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT Socfin ( Societe Financiere des Caotchoucs ) Indonesia ( Socfindo ), sebuah perusahaan PMA milik Belgia. Sungai Liput sebuah desa kecil, merupakan Emplassmen kebun, tempat lokasi kompleks pabrik pengolahan kelapa sawit, berikut perkantoran dan perumahan pimpinan serta staf perusahaan. Sungai Liput memiliki sejarah panjang sebagai hunian manusia purba sejak 12.000 tahun lalu. Tidak jauh dari lokasi pabrik dan sungai terdapat sisa bukit kerang ( kjokkenmoddinger ). Bukit kerang adalah tumpukan sampah cangkang kerang yang ditumpuk, hingga membentuk gundukan bukit, menjadi indikasi bahwa lokasi itu pernah menjadi tempat hunian manusia purba pada masa mesolitik. Tidak jauh dari rumah Administratuur kebun Sungai Liput, tempat tinggal penulis, terdapat lintasan rel kereta api uap milik ASS ( Atjeh Staasspoorwagon ). Stasiun Sungai Liput merupakan stasiun terakhir dari rangkaian 120 stasiun besar dan kecil milik ASS sebelum berakhirnya lintasan rel di desa Besitang, perbatasan Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara. 

Anak anak dan remaja ( termasuk penulis ) di sungai Liput sering bermain di lintasan rel kereta api. Lokomotif dan lintasan rel dijadikan sarana pembuatan gasing. Gasing adalah alat permainan yang dibuat oleh anak anak. Dibuat dari tutup botol bir,yang terbuat dari metal. Tutup botol itu diletakkan di atas rel kereta api. Waktu kereta api melintas, tutup botol digilas, sehingga terbentuk lempeng metal berbentuk lingkaran, tipis dan tajam. Lempeng itu digilas oleh roda lokomotif dan gerbong kereta api tiga sampai 4 kali, sehingga jadi sangat tipis dan tajam. Lempeng itu kemudian dilubangi di bagian tengah untuk tempat memasukkan benang atau tali. Gasing kemudian diputar dengan kedua tangan, dan gasing berputar kencang.

Penulis sering dilarang oleh orang tua bermain di rel kereta api. Lalu lalang kereta api membuat penulis bertanya tanya dari mana datangnya dan kemana tujuannya. Orang tua menjelaskan bahwa kereta api Aceh berangkat dari Banda Aceh sampai Besitang. Penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan ke Medan harus berganti kereta api. Kereta api Aceh berukuran lebih kecil ( 75 Cm ) tidak dapat melintas di atas rel kereta api Medan / Sumatera Utara yang berukuran lebih lebar ( 106,7 Cm ). Masih tidak puas dengan jawaban yang diberikan, penulis mendesak mami dan papi untuk bercerita lebih banyak tentang kereta api Aceh. Akhirnya mami berjanji akan menceritakan pengalamannya menjadi penumpang kereta api Aceh dari Banda Aceh sampai Besitang ( Kota di perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara ). Dari Besitang mami menumpang kereta api Medan yang ketika itu masih bernama Deli Spoor Maatschappij  ( DSM ) menuju Medan. Kisah yang diungkapkan  pada tulisan ini adalah pengalaman mami penulis ketika menumpang kereta api Aceh pada tahun 1951. 


Profil Sistem Kereta Api Aceh 

Aceh adalah daerah ke dua setelah Jawa Tengah yang memiliki lintasan jalur kereta api. Jalur pertama yang dibangun dan digunakan Belanda adalah jalur antara Kuta Raja ( Banda Aceh ) dengan pelabuhan Ulee Lheue sepanjang 5 Km pada tahun 1876. Rel kereta api dibangun oleh kesatuan Zeni pasukan Koninklijke Nederlandsche Indische Leger ( KNIL). Jalur itu khusus diperuntukan sebagai jalur logistik militer yang sedang berperang melawan pasukan Kesultanan Aceh. Sepanjang jalur itu penuh dengan rawa rawa, sehingga menyulitkan transportasi. Banyak perlengkapan perang terbenam di lumpur rawa rawa. Untuk keperluan tersebut dibangun jalur kereta api dengan lebar 106,7 Cm. Kemudian untuk mengurangi biaya konstruksi dan waktu pembangunan ukuran lebar rel dikurangi menjadi 75 Cm. Besi batang rel didatangkan dari Singapura dan kayu bantalan rel  didatangkan dari Malaka. Dua lokomotif didatangkan dari Inggris tipe Fox Walker dan satu tipe Hohenzollern dari Jerman. Ketika ukuran rel kereta api Aceh diubah jadi lebih kecil, tiga lokomotif tersebut dikirim ke Jawa dan diganti dengan lokomotif tipe 1 B Tender dari pabrik Hanomag, Jerman sebanyak 15 unit dan 35 unit gerbong kereta api. Tahun 1886 panjang jalur kereta api yang telah dibangun mencapai 40 Km.

Tahun 1897 dibangun jalur antara Kuta Raja - Lam Baro sepanjang 12 Km dan Gle Kambing sepanjang 27 Km. Tahun 1898 rel kereta api sudah mencapai Seulimum sepanjang 45 Km. Oleh karena topografi lintasan rel mulai menanjak, lokomotif 1 B dinilai terlalu lemah, dan digantikan dengan lokomotif tipe C - Tender yang lebih kuat. Tahun 1898 dan 1899 ruas Banda Aceh - Sigli sepanjang 93 Km selesai dibangun, melewati kota kota, Grung Grung. Padang Tiji.Tahun 1900 - 1904 ruas rel kereta api Kuta Raja - Lhok Seumawe sepanjang 251 Km selesai dibangun, melewati kota kota Beurneun, Pante Raja, Leung Putu, Trieng Gading, Meureudeu, Samalanga, Biereuen, Matang Glumpang Dua. Pada waktu bersamaan jalur rel antara Kuta Raja - Idi sepanjang 349 Km selesai dibangun,  melewati kota kota Geudong, Lhok Sukon, Panton Labu, Simpang Ulim. Antara tahun 1904 - 1917 jalur rel antara Kuta Raja -  Besitang sepanjang 511 Km berhasil dibangun, melewati kota kota Langsa, Kuala Simpang. Dengan demikian seluruh jalur Pantai Timur Aceh sudah terhubung dengan rel kereta api. Biaya yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun sistem perkereta apian Aceh mencapai 20 juta gulden. Proses pembangunan tersebut tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Sering diselingi dengan peristiwa gangguan, perusakan, penyerangan oleh para pejuang Aceh. Ketika terjadi peristiwa seperti itu pekerjaan terhenti, terjadi pertempuran antara pejuang Aceh dengan KNIL yang melibatkan pasukan setingkat detasemen, kompi bahkan batalion dari berbagai kesatuan tentara baik reguler maupun pasukan khusus Marsose. Ruas jalur rel yang sering mendapat serangan terutama di daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh  Utara yang merupakan kantung kantung perlawanan yang paling keras. 

Tahun 1874 Sampai tahun 1916 sistem perkereta apian Aceh dikelola oleh Atjeh Tram ( AT ). Mulai tahun 1916 - 1942 pengelolaan berpindah tangan kepada Atjeh Staassporwagon. Setelah kemerdekaan pengelolaan sistem perkereta apian Aceh dikelola oleh Perusahaan Negara Kereta Api  ( PNKA ), kemudian digantikan oleh Perusahaan Jawatan Kereta Api  ( PJKA ). Pada masa pengelolaan oleh PNKA dan PJKA, selain menggunakan lokomotif warisan dari ASS, didatangkan lokomotif baru, terdiri dari 4 unit tipe BB8 dan 6 unit tipe C7 dari Nippon Sharyo, Jepang serta 8 unit tipe C301 dari NCM Holland. Pada dasawarsa 70 an secara perlahan lahan sistem perkereta apian Aceh mengalami kemunduran dan pada tahun 1982 tamat riwayatnya. Di abad XXI muncul wacana menghidupkan lagi sistem perkereta apian Aceh, tentunya dengan mengganti seluruh rel dengan rel baru yang lebarnya 143,5 Cm, membangun jembatan baru, stasiun baru, lokomotif baru dan gerbong baru serta sistem persinyalan yang baru. Walaupun demikian jaringan rel baru masih tetap menggunakan lintasan jalur lama. Sekarang yang sudah berhasil diwujudkan adalah segmen antara Lhok Seumawe - Krueng Geukueh di Aceh Utara sepanjang 11,3 Km.



Foto 1 :  Stasiun Banda Aceh                    

Sumber : Google


Foto 2 : Lokomotif Kereta Api ASS ( Aceh )        
 Sumber :  Google 


Merencanakan Perjalanan 

Awal tahun 1950 seluruh wilayah Republik termasuk Aceh masih dilanda suasana eforia kemerdekaan. Rasa nasionalisme begitu kuat, semangat memajukan negeri begitu kuat. Kereta api Aceh yang sudah mati suri selama hampir satu dekade diupayakan untuk hidup kembali, dikelola oleh bangsa sendiri. Di tengah keterbatasan di segala bidang, upaya menghidupkan kembali kereta api Aceh dapat diwujudkan. Jawatan Kereta api Aceh segera merekrut semua mantan personil ASS, dengan dasar pertimbangan pengalaman dan kompetensi mereka. Banyak orang ingin mencoba merasakan perjalanan dengan kereta api dari Banda Aceh menuju Medan, terutama setelah mendengar cerita dari orang yang sudah mencobanya. Kisah kisah dramatis tentang sulitnya perjalanan yang ditempuh, tidak menyurutkan minat orang untuk mencobanya. Termasuk keluarga mami penulis, ikut terjangkiti demam pergi ke Medan dengan menumpang kereta api Aceh yang masih menggunakan nama ASS. Lambatnya laju kereta api Aceh menimbulkan nada sindiran, dan nama kereta api Aceh yang keren dalam bahasa Belanda Atjeh Staasspoorwagon ( ASS ) diplesetkan menjadi Asal Sampai Saja. 

Pada wal tahun 1951, keluarga mami mulai menyusun rencana perjalanan. Dari pengalaman orang yang sudah merasakan perjalanan itu, untuk pergi ke Medan dengan kereta api Aceh dibutuhkan persiapan matang dari aspek fisik dan mental. Waktu tempuh sejauh 600 Km ( 511 Km dengan kereta api Aceh  dan 90 Km dengan kereta api DSM ), mencapai 5 hari 4 malam. Dua hari di antaranya dihabiskan untuk menempuh jarak 93 Km dari Banda Aceh  - Sigli. Kereta api Aceh berjalan hanya ketika masih ada cahaya matahari dan berhenti ketika menjelang magrib. Sepanjang jalur Banda Aceh - Sigli tidak ada kampung yang dapat menyediakan makanan dan minuman. Berarti harus dipersiapkan perbekalan makanan dan minuman minimal untuk 2 hari. Makanan yang dibawa harus makanan kering yang relatif awet, seperti sambal goreng tempe, rendang, Minuman berupa air putih juga harus dapat memenuhi kebutuhan minimal untuk 2 hari.

 Awak kereta api juga membuat persiapan yang sama, membawa batu bara atau kayu bakar yang lebih banyak dari biasanya, air ketel untuk menghasilkan uap. Atap, dinding dan gerbong kereta api terbuat dari kayu. Pintu dan jendela juga terbuat dari kayu. Penutup jendela dapat dinaikkan dan diturunkan dengan bentuk / model sisir. Satu lokomotif menarik 3 sampai 4  gerbong penumpang, satu gerbong bahan bakar. Masinis dan kondektur mengenakan pakaian warna putih, dari bahan katun dan dikanji. Dilengkapi dengan topi putih, mereka tampil gagah dan perlente. Baju lengan panjang atau lengan pendek, celana panjang, sepatu kulit warna hitam.


Memulai Perjalanan Di Etape Neraka

Menurut cerita orang yang sudah mengalaminya, ruas jalur kereta api Aceh yang terberat adalah antara Banda Aceh dan Sigli, tepatnya di daerah Gunung Seulawah, sehingga dikenal dengan nama etape neraka. Pada hari yang sudah ditentukan ( Senin ) keluarga mami berangkat ke stasiun untuk memulai petualangannya. Banyak sanak famili ikut mengantar ke stasiun, seperti hendak melepas keberangkatan jemaah haji. Setelah pluit tanda keberangkatan dibunyikan, roda kereta api mulai bergerak dengan mengeluarkan suaranya yang khas .....Jeess......jeess.....jeess.......jes. jes. jes , kereta api mulai bergerak, makin lama, makin cepat, hingga mencapai kecepatan maksimumnya 30 - 35 Km / jam. Penumpang menghindari bangku duduk di dekat jendela, terutama di gerbong paling depan, untuk menghindari percikan arang / bara api kecil yang beterbangan dari lokomotif. Jika mengenai baju, akan bolong bolong. Di sepanjang jalur rel terdapat tiang kabel telephone dan hamparan sawah / ladang / pemukiman penduduk. Dari Banda Aceh, Leung Bata, Lam Baro, hingga Indrapuri, topografi masih datar hingga landai. Setelah keluar dari Seulimum, jalur rel mulai menanjak, terus naik merambah punggung gunung Seulawah. Hambatan mulai terasa di lintasan ini. Lokomotif tua yang kurang perawatan rutin, ditambah kondisi rel yang tidak terawat selama bertahun tahun, kerusakan akibat perang berkepanjangan, telah menyebabkan lokomotif tidak mampu meneruskan perjalanan. Di etape inilah ujian pertama dirasakan sangat menyiksa. Kereta berjalan sangat lambat, tiba tiba kereta berhenti sama sekali, bahkan disusul dengan kereta mulai meluncur turun. Masinis sudah menarik tuas rem dengan tenaga penuh sampai mengeluarkan suara berdecit decit, tetap saja kereta meluncur turun. Di bagian agak landai,  kereta dapat berhenti total. Masinis dan kondektur memohon kepada seluruh penumpang turun dari gerbong tanpa kecuali, orang tua sampai anak anak, wanita. Penumpang diminta menggosok gosok permukaan rel dengan pasir dan tanah, agar menjadi lebih kesat. Rel kereta yang digosok mencapai 1 Km.  Setelah itu Penumpang diminta naik kembali untuk melanjutkan perjalanan. Baru berjalan 1- 2 Km, kejadian serupa terulang lagi, dan penumpang harus turun untuk menggosok rel sepanjang seperti yang pertama. Pekerjaan itu dilakukan di bawah terik sinar matahari. Jika lelah, penumpang boleh istirahat  sambil makan bekal yang dibawa dari rumah. Pada momen seperti itu terbangun rasa solidaritas persaudaraan senasib dan sepenanggungan. Sambil makan mereka bercanda, tertawa membicarakan kondisi perjalanannya. Mereka makan dengan cara saling tukar menukar bekal makanannya. Ada penumpang yang membawa bekal sedikit dan sudah habis, dengan spontan banyak penumpang lain yang bekal makanannya masih banyak, memberikan makanan kepada yang kurang. Ketika malam tiba, penumpang tidur di gerbong kereta yang gelap gulita dan penuh nyamuk serta udara gunung yang dingin. Mereka agak beruntung jika kereta api terhenti di dekat sumber air / sungai, dapat menambah bekal air dan mandi untuk menyegarkan badan. 

Keesokan hari, setelah mata hari muncul di ufuk langit sebelah timur, perjalanan dilanjutkan. Sebelumnya sejak menjelang subuh, kondektur sudah menyalakan api,  memanaskan air ketel untuk menghasilkan uap sebagai tenaga penggerak lokomotif. Setelah melewati puncak ketinggian topografi lintasan rel, perjalanan menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Kejadian menggosok rel kereta sudah berlalu. Menjelang sore di hari ke dua, kereta api memasuki desa Grung Grung dan tidak lama kemudian masuk desa Padang Tiji. Menjelang magrib, kereta api tiba di kota Sigli. Di kota ini kereta api wajib berhenti agak lama, karena merupakan depo dan bengkel terbesar di Aceh. Lokomotif diperiksa oleh teknisi mengenai kelaikan untuk meneruskan perjalanan. Jika dinilai tidak layak, maka lokomotifnya diganti dengan yang masih segar. Seluruh awak kereta api dan penumpang menginap di stasiun Sigli. Pada masa itu sangat sulit mencari penginapan yang dapat menampung seluruh penumpang. Di Sigli para penumpang berkesempatan menambah perbekalan untuk perjalanan berikutnya. Untuk menempuh jarak tidak sampai 100 Km dibutuhkan waktu 2 hari satu malam. Walaupun demikian di wajah para penumpang terlihat perasaan lega setelah melewati etape neraka. Perjalanan berikutnya akan lebih menyenangkan. 


Istirahat di Tempat Legendaris

Kondektur memberi tahu penumpang bahwa kereta api akan berangkat tepat setelah subuh, karena akan berhenti agak lama di Batee Iliek, sebuah tempat yang punya arti khusus bagi warga Aceh. Batre Iliek adalah daerah perbukitan yang dialiri sungai berair jernih beraliran deras dengan batu batu besar. Sampai sekarang, Batee Illiek menjadi tempat wisata yang ramai dikunjungi pada hari libur. Tidak jauh dari aliran sungai terdapat benteng pertahanan pejuang Aceh yang terkenal kuat. Banyak kisah heroik terjadi di sana. Selama bertahun tahun pasukan KNIL tidak dapat menembus pertahanan Aceh. Setelah dihujani tembakan artileri Medan dari meriam meriam besar dan serbuan pasukan infantri dibantu pasukan Marsose, baru di awal abad XX benteng Batee Illiek dapat direbut oleh pasukan KNIL di bawah komando Jenderal Johannes Benedictus  van Heutz. Sambil mandi di sungai itu, para penumpang membayangkan bagaimana serunya pertempuran di benteng Batee Illiek. Setelah melewati kota / kampung di lintasan jalur rel sepanjang 160 Km dari kota Sigli,  antara lain Meureudue, Samalanga, Biereuen, Matang Glumpang Dua, kereta api tiba di kota Lhok Seumawe dan menginap di sana. 

Pada hari ke empat kereta api berangkat menuju kota Langsa yang berjarak lebih kurang 100 Km dari kota Lhok Seumawe. Kota kota yang dilewati antara lain, Geudong, Lhok Sukon, Panto Labu, Idi. Menjelang sore, kereta spi memasuki kota Langsa dan menginap di sana. Ini adalah kota besar terakhir di Aceh, sebelum memasuki perbatasan Provinsi Sumatera Utara. Pada hari ke lima sejak meninggalkan kota Banda Aceh, akhirnya lokomotif ASS tiba di kota perbatasan setelah melewati kota / kampung Tualang Cut, Kuala Simpang,  Sungai Liput ( desa tempat penulis menetap, Seumadam. Menjelang tiba di kota Besitang, kondektur menampilkan adegan lucu yang menimbulkan suara tawa yang riuh. Kondektur menyampaikan bahwa sebentar lagi kita akan tiba di ........, dia menghentikan ucapannya sambil memperlihatkan ke dua tangannya menggenggam sebuah tang besar yang menjepit sepotong besi. Pada mulanya penumpang tidak paham akan maksud kondektur dan dia tidak meneruskan ucapannya. Setelah diperagakan berulang kali, barulah penumpang paham akan bahasa simbolik yang digunakan Sang Kondektur. Tang dan besi adalah bahasa simbol yang berarti Besitang, kota perhentian terakhir kereta api ASS. Perjalanan selanjutnya menuju kota Medan akan menggunakan kereta api DSM. Kondektur mengatakan kereta api ini tadi berhenti agak lama di Kwala Simpang. Dikhawatirkan ketika tiba di Besitang, kereta api DSM sudah berangkat menuju Medan. Kalau hal itu yang terjadi, maka para penumpang terpaksa menginap satu malam lagi di stasiun Besitang, untuk menunggu kedatangan kereta api DSM esok hari. Biasanya kereta api DSM berangkat dan tiba selalu tepat waktu. Kereta api itu berangkat dari stasiun Besitang pukul 14.00 dan tiba di kota Medan tepat pukul 16.00 WIB. Kekhawatiran itu terjadi juga, ketika kereta api Aceh tiba di Besitang, kereta api DSM sudah berangkat 30 menit yang lalu. Masinis, Kondektur dan seluruh penumpang terpaksa  menginap di stasiun Besitang. Penumpang dari Medan yang akan menuju ke Banda Aceh juga harus menginap di stasiun Besitang.  Semua penumpang menerima kenyataan itu dengan ikhlas tanpa mengomel sedikitpun. Alumni penumpang kereta api Aceh pasti sudah teruji mental, fisik dan kesabarannya.  Praktis, secara de facto durasi  perjalanan dari Banda Aceh ke Medan sepanjang 600 Km ditempuh selama 6 hari 5 malam. Dalam keadaan normal ( lokomotif dan kondisi rel sehat ), seperti kereta api DSM, waktu tempuhnya 2 hari. 


Menyambut Kedatangan Kereta Api DSM

Pada hari ke enam sejak meninggalkan Banda Aceh, tepat pukul 11.00 kereta api DSM yang ditunggu, tiba di stasiun Besitang. Ke dua sistem perkereta apian Aceh dan Sumatera Utara berhadapan hadapan yang diwakili oleh lokomotif, gerbong, Masinis, Kondektur. Perbandingan yang sangat timpang. Lokomotif kereta api ASS tampak ringkih, kecil dibandingkan lokomotif kereta api DSM, demikian juga dengan ukuran dan kondisi gerbongnya. Walaupun demikian, Masinis dan Kondektur kereta api ASS, tampil sama gagahnya dengan rekannya dari kereta api DSM, tanpa rasa canggung, ataupun minder. Mereka saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Setelah acara serah terima penumpang dan menandatangani dokumen manifest perjalanan dengan disaksikan Kepala Stasiun Besitang, Pimpinan Perjalanan dan Inspektur Perjalanan, semua penumpang dipersilakan naik ke gerbong kereta api masing masing. Didahului dengan keberangkatan kereta ASS, beberapa menit kemudian kereta api DSM berangkat meninggalkan stasiun Besitang, menuju kota Medan.




Foto  3 : Lokomotif Kereta Api DSM ( Sumatera Utara)

Sumber  :  Google




Foto  4 :  Stasiun Besitang 

Sumber  :  Google

Kereta api DSM melaju kencang dengan kecepatan 60 Km per jam. Dalam waktu tidak terlalu lama,  kota kota Pangkalan Berandan, Tanjung Pura dan Stabat dilalui. Setelah lewat satu jam sejak berangkat kereta api DSM tiba di kota Binjai, berhenti selama 15 menit. Setengah jam kemudian kereta api tiba di stasiun besar Kota Medan. Ukuran stasiun Medan juga tidak dapat dibandingkan dengan stasiun Banda Aceh yang  merupakan stasiun terbesar di Aceh. Sebelum berpisah, para penumpang kereta api Aceh yang selama 6 hari melewati pengalaman yang sama, merasa sudah menjadi saudara,  saling bersalaman, berangkulan, saling bertukar alamat di Medan dan Banda Aceh. Setelah kembali ke Aceh, banyak yang masih memelihara hubungan persaudaraan. Mami penulis menutup ceritanya tentang pengalaman menjadi penumpang kereta api Aceh. Perjalanan itu tidak hanya memberikan sensasi pengalaman unik, tetapi juga berfungsi sebagai sarana membangun hubungan persaudaraan di antara sesama penumpang dan antara penumpang dengan awak kereta api. Kondektur yang sering berbicara dengan penumpang adalah orang yang ramah dan memiliki pengetahuan sejarah yang luas. Kisah pertempuran seru di Batee Illiek adalah salah satunya. Ketika memasuki kota Samalanga, Kondektur bercerita tentang tanda mata tidak terlupakan seumur hidup yang diterima oleh Jenderal Karel van der Heyden dari pejuang Aceh dalam pertempuran di Samalanga. Mata kiri Sang Jenderal terkena tembakan pejuang Aceh, hingga buta permanen. 





Foto  5 :  Stasiun Medan 

 Sumber  :  Google


Epilog

Kisah perjalanan yang seru itu ternyata tidak dapat menghilangkan rasa penasaran seorang anak kecil yang serba ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru. Setiap hari penulis terus memohon kepada mami dan papi agar dapat menjadi penumpang kereta api Aceh. Permintaan itu tentu saja sulit dipenuhi oleh ke dua orang tua, karena butuh persiapan dan harus menyediakan waktu dua minggu khusus untuk itu. Desakan penulis yang terus menerus akhirnya, membuat papi harus bernegosiasi dengan anak kecilnya. Papi menawarkan kesempatan menjadi penumpang kereta api Aceh selama sehari penuh dengan rute yang dipesan khusus kepada PNKA Aceh. Rute perjalanannya adalah dari stasiun Sungai Liput sampai stasiun Besitang. Berangkat pukul 09.00 dan tiba di stasiun Besitang pukul 11.00. Setelah makan siang dan istirahat, pukul 15.00 kembali ke stasiun Sungai Liput. Papi sampai mengajukan permintaan khusus kepada PNKA Aceh dengan harga khusus. Penumpangnya adalah seluruh anggota keluarga Staf dan Karyawan Kebun Sungai Liput PT Socfindo. Kami menggunakan 3 gerbong penumpang. Penulis tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan papi.

Pada hari minggu yang sudah disepakati, kami naik kereta api Aceh yang selama ini hanya dapat dilihat saja tanpa pernah dapat kesempatan merasakan jadi penumpangnya. Kami semua membawa bekal makanan, minuman, buah buahan dalam jumlah kelimpahan. Sambil menikmati makanan, penulis membayangkan perjalanan dari Banda Aceh ke Besitang yang sesungguhnya. Waktu perjalanan pulang, si anak kecil minta diijinkan berada di ruang Masinis di lokomotif. Untungnya Masinis mengijinkan dengan 2 syarat : pertama  tidak boleh menyentuh peralatan mekanis di lokomotif dan ke dua, diijinkan berada di ruang Masinis dalam waktu tidak lebih dari 10 menit. Syarat itu tidak dapat ditawar tawar, karena klausul persyaratan itu saja sudah melanggar kode protokol perjalanan, dan jika diketahui oleh Inspektur Perjalanan, dapat berakibat fatal terhadap masa depan karir Masinis. Sekali lagi penulis terpaksa menerima persyaratan itu, yang penting sudah merasakan pengalaman unik yang tidak pernah dialami oleh mami dan papi. Tanpa terasa perjalanan istimewa itu berakhir di stasiun Sungai Liput. Setelah semua penumpang turun, kereta api Aceh melanjutkan perjalanan kembali ke stasiun Besitang untuk bersiap besoknya berangkat ke Banda Aceh. Bagi penulis,  itu adalah perjalanan pertama sekaligus terakhir menjadi penumpang kereta api ASAL SAMPAI SAJA.








Comments

Popular Posts