ISU KEBUDAYAN : MULTIALEKTIKA TANPA AKHIR

 

Pengertian Kebudayaan 

Kata Kebudayaan merupakan imbuhan dari kata dasar budaya. Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yang tergolong dalam rumpun bahasa-bahasa Indo German. Penutur bahasa-bahasa Indo German menetap di sebaran wilayah luas dari Inggris, daratan Eropa hingga India. Kata budaya berasal dari akar kata budi dan daya.  Budi berarti akal dan daya berarti energi, kekuatan. Secara harfiah, kata budaya dapat diartikan sebagai kekuatan kekuatan pikiran.  Kebudayaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan segala hal yang berada di area area non fisik, mental, pikiran, ide, gagasan. Pikiran adalah motor penggerak yang mendorong kemampuan / kemauan seseorang untuk bicara, bersikap dan bertingkah laku. Ada hubungan langsung antara ide dengan perilaku ( sistem tindakan ). Setiap perilaku pasti memberikan hasil perilaku ( sistem artefak ). Setiap artefak pasti menimbulkan pengaruh, dampak yang berbeda beda bobot dan  magnitudenya baik positif maupun negatif terhadap lingkungan. Keseluruhan sistem ide, sistem perilaku dan sistem artefak serta pengaruh / dampakya terhadap lingkungan adalah kebudayaan. Konsekuensi pandangan ini adalah konsep kebudayaan mengalami perubahan secara struktural dan mendasar. Pada tahun 1952, dua ahli antropologi terkenal A L Kroeber dan C Kluckhon menerbitkan buku berjudul Culture : A Critical Review of Concepts & Definitions. Buku itu memuat 179 definisi kebudayaan yang tiap tiap definisi diulas secara mendalam berikut konsekuensinya dalam aspek filosofis, paradigma, teoritis dan metodologis. Setelah berlalu 70 tahun, tentunya deretan panjang definisi kebudayaan telah bertambah. Tulisan ini tidak berpretensi menambah panjang jajaran definisi kebudayaan.

Selama ini pengertian kebudayaan direduksi secara besar besaran, sehingga diartikan hanya membicarakan segala sesuatu yang memiliki nilai seni ( art ), seperti seni gerak / tari, suara / vokal, seni lukis, seni handycraft ( kerajinan tangan ) , meracik makanan / masakan ( kuliner ). Sebenarnya aspek yang dibahas oleh kebudayaan jauh lebih luas, dan besar. Meliputi beragam dimensi ruang, atmosfer ( angkasa ) geosfer ( terestrial dan aquatik ), biosfer ( botani, zoology, mikroorganisme ) dan neosfer ( manusia ) dan beragam dimensi waktu ( masa lalu dan masa kini ). Kebudayaan seharusnya membicarakan secara intens banyak aspek strategis seperti ketahanan dan keamanan pangan nasional / internasional,  laju pertumbuhan penduduk, pertahanan dan keamanan nasional, teknologi.Tulisan ini berupaya mengembalikan posisi kebudayaan pada tempat yang seharusnya, sebagai leading sektor dalam proses pembangunan,  berada di posisi terdepan sebagai pionir, perintis, layaknya pasukan komando dalam manuver militer. Dalam proses pembangunan, terutama yang berskala besar, tentunya harus didahului oleh serangkaian studi kelayakan di bidang teknik, ekonomi, lingkungan. Studi Kelayakan bidang budaya belum mendapat porsi perhatian sejajar dengan tiga bidang di atas. sudah waktunya kajian budaya dan sosial mendapat perhatian  yang sama besarnya. Kasus Rempang, Kedung Ombo jangan sampai terulang lagi. Tugas ahli sosial dan budaya adalah melakukan kajian pemetaan potensi masalah yang dapat terjadi jika tidak diantisipasi dan dipersiapkan langkah mitigasinya. Dengan demikian para ahli ilmu budaya dan budayawan dapat berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan yang penuh gejolak. Tugas budayawan bukan hanya mengurus pentas seni, pameran karya seni, lomba / festival seni budaya, tetapi jauh lebih penting lagi memikirkan isu isu besar dan strategis yang dihadapi negara dan bangsanya.


Beberapa Contoh Isu Strategis 

Bangsa Indonesia menghadapi banyak isu strategis, beberapa isu akan dibahas lebih mendalam sebagai contoh dimana dan bagaimana para budayawan dapat memainkan perannya dalam proses pembangunan. Budayawan adalah orang yang memiliki insting tajam, berwawasan luas, memiliki kepekaan yang dapat menangkap sinyal-sinyal tanda perubahan jaman di tahap yang paling dini, ketika orang biasa belum menyadarinya. Kemudian budayawan tampil dengan gagasan baru dan segar serta menyerahkan dan mempublikasikannya. Dengan demikian para pembuat kebijakan memiliki referensi yang dapat diandalkan. Hal itu akan meningkatkan rasa percaya diri dari para penyelenggara pemerintahan dan masyarakat dalam mengarungi proses perubahan yang bakal dan sedang terjadi.

Bangsa Indonesia sekarang sedang menghadapi masalah di bidang keamanan dan ketahanan pangan. Masalah kelangkaan dan lonjakan kenaikan harga pangan dapat memicu kerusuhan sosial. Daya produksi beras sudah melemah sejak beberapa dekade terakhir akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk dan konversi lahan pertanian untuk beragam kebutuhan. Kekurangan produksi nasional ditutupi dengan cara import beras dari Thailand, Vietnam, Myanmar. Import beras dapat menutupi kekurangan produksi dalam negeri. Selama memiliki devisa untuk membeli beras, masalah dapat teratasi. Masalah mulai timbul ketika cadangan devisa tidak mencukupi untuk import, atau terjadi perubahan iklim yang dapat menyebabkan kegagalan panen di negara produsen. Tingkat konsumsi beras rata rata bangsa Indonesia 139 Kg per kapita per tahun. Sementara tingkat konsumsi beras orang Thailand ysng notabene negara eksportir beras 60 Kg per kapita per tahun. 

Langkah strategis yang dapat mengatasi kelangkaan pangan, adalah diversifikasi pangan berbasis karbohidrat. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Tumbuhan yang memiliki karbohidrat yang tinggi tersebar di berbagai pulau besar dan kecil. Beberapa jenis tanaman yang dapat menjadi sumber karbohidrat antara lain ubi kayu, ubi jalar, sagu, jagung, keladi / talas, sukun, sorgum. Dengan diversifikasi pangan pokok berbasis karbohidrat, masalah kelangkaan dan lonjakan harga pangan, dapat diatasi. Ternyata masalah ketersediaan pangan tidak sesederhana itu. Ada faktor lain yang membuat program diversifikasi pangan terhambat. Walaupun aneka jenis pangan sudah tersedia dalam jumlah melimpah, mayoritas rakyat masih tetap memburu beras. Mengapa hal itu terjadi?. Sudah terbentuk stigma di benak rakyat bahwa kalau belum makan nasi, berarti belum makan, walaupun mereka baru saja mengkonsumsi ubi, atau jagung, sagu, atau talas. Di sinilah budayawan dapat berperan penting menyusun narasi kampanye yang dapat mengubah mindset orang bahwa kalau belum makan nasi berarti belum makan. Selama ini beras dianggap makanan bergengsi, lebih tinggi prestisenya dibanding ubi atau jagung. Perubahan mindset hanya dapat dilakukan melalui rekayasa budaya yang menjadi keahlian dari para budayawan. Puluhan dekade yang lalu, makanan pokok bangsa Indonesia masih beraneka ragam menurut wilayah yang memiliki tanaman sumber makanan pokok. Penduduk Nusa Tenggara Timur mengkonsumsi jagung, Papua mengkonsumsi sagu, talas dan ubi jalar. Warga Maluku mengkonsumsi sagu dan Madura mengkonsumsi jagung. Beberapa wilayah di pulau Jawa terbiasa dengan beberapa jenis makanan pokok, beras dan ubi. Seandainya pola konsumsi makanan pokok dikembalikan lagi seperti masa lalu, mungkin kita tidak terlalu direpotkan dengan masalah keamanan dan ketahanan pangan nasional. Tujuan itu akan lebih mudah dicapai dengan bantuan para budayawan. 

Masalah jumlah populasi dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menjadi isu strategis bangsa Indonesia.  Program Keluarga Berencana sudah berpuluh tahun digulirkan dengan kampanye besar besaran dan penyediaan tenaga medis serta sarana / alat alat kontrasepsi yang beraneka ragam. Hasilnya tidak terlalu menggembirakan, laju pertumbuhan penduduk masih berada di kisaran angka 2% per tahun. Beberapa riset dari pakar asing dan nasional menunjukkan indikasi ada satu variabel penting yang luput dari perhatian pemerintah. Kuat dugaan telah terjadi perubahan pada sistem nilai di benak etnik Jawa sejak pertengahan abad XIX tentang nilai anak. Menurut catatan Sir Thomas Stamford Raffles, tahun 1811 dilakukan sensus penduduk pertama di Jawa. Jumlah penduduk berkisar 4,5 juta jiwa. Tahun 1900 Th. van Deventer melakukan sensus penduduk di Jawa. Jumlah penduduk sudah melonjak 7,5 kali lipat dalam rentang waktu 89 tahun, sebesar 30 juta jiwa. Muncul pertanyaan penting. Apa yang terjadi di pulau Jawa pada waktu itu?. Mengapa Jumlah penduduk melonjak sebesar itu?. Clifford Geertz, antropolog terkenal asal Amerika Serikat membuat hipotesis bahwa telah terjadi perubahan nilai anak dalam pandangan orang Jawa. Biasanya Jumlah penduduk melonjak ketika tercapai kondisi sejahtera dan makmur. Sementara itu pada periode tersebut pulau Jawa menderita kemiskinan yang paling hebat akibat adanya program / kebijakan Tanam Paksa. Sejak diberlakukan  sistem Tanam Paksa pada pasca perang Jawa ( 1825 - 1830 ), terjadi perubahan pandangan orang Jawa tentang nilai anak. Banyak laki laki dewasa dikerahkan bekerja di lahan lahan perkebunan milik Pemerintah Hindia Belanda dan sejak tahun 1870 perusahaan swasta asing juga membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Akibatnya lahan pribadi terlantar, dan masalah ini direspon oleh orang Jawa dengan menambah jumlah anak untuk dipekerjakan di lahan pribadi dan nilai ekonomi anak meningkat. Selain itu pembukaan jaringan jalan raya dan jaringan rel kereta api telah meningkatkan mobilitas penduduk dan barang. Penduduk jadi menyebar lebih merata, sehingga pulau Jawa terkesan menjadi lebih kosong. Penyebaran penduduk yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, irigasi teknis membuat tingkat produksi meningkat tajam. Penambahan jumlah anak dianggap sebagai solusi tanpa menghadirkan masalah baru ( kekurangan pangan ). Dari perubahan ini muncul ungkapan banyak anak banyak rejeki. Selama satu abad lebih berlangsung nilai baru tersebut, baru dirasakan masalah yang menghadang di depan. Pada masa rejim Suharto, tingkat laju pertumbuhan penduduk sudah berada di tahap mengkhawatirkan, sehingga program Keluarga Berencana gencar dilaksanakan. Program itu tidak memberikan hasil terbaik, karena masih bercokol nilai anak yang tinggi di alam pikiran mayoritas penduduk. Ungkapan banyak anak banyak rejeki harus dapat digusur lebih dulu dari mindset masyarakat.  Para ahli budaya dan budayawan dapat merancang materi kampanye tadingan untuk melawan nilai yang sudah bercokol lama. Selama ini jasa para budayawan dan pakar budaya tidak dimanfaatkan secara optimal, karena semua orang berpendapat bahwa itu bukan masalah budaya dan bukan ranah budayawan, melainkan kaplingnya bidang medis. Penulis pernah berkutat menelusuri kepustakaan  lama di museum dan keraton, mencari bukti kebenaran hipotesis tentang terjadinya perubahan nilai anak pada orang Jawa untuk memastikan peran variabel sistem nilai. Hipotesis itu diturunkan dengan kaidah logika deduksi agar dapat diuji pada fakta empirik. Ramalannya adalah sebelum abad XIX orang jawa sudah mengenal secara luas ramuan tradisional untuk menjarangkan kelahiran. Ramalan ini didasarkan pada argumentasi bahwa pada abad XIX belum dikenal alat kontrasepsi modern. Tanpa pengetahuan ramuan tradisional tersebut, orang Jawa tidak memiliki kemampuan memilih alternatif kapan ingin punya sedikit anak dan kapan ingin memiliki banyak anak. Pengetahuan itu ternyata sudah dikenal luas, dan tercatat di dalam naskah naskah lama yang masih tersimpan di Museum dan di Kraton. Dengan bukti itu sudah jelas bahwa memang sudah terjadi perubahan nilai anak dalam benak orang Jawa. Untuk membuat program Keluarga Berencana lebih berhasil, mutlak diperlukan peran budayawan.

Dalam beberapa tahun terakhir,  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset Teknologi melaksanakan program unggulan Jalur Rempah, antara Timur Dekat, Timur Tengah, Eropa dengan kawasan Nusantara via laut. Jalur rempah merupakan lintasan koridor yang mengalirkan materi, energi dan informasi yang panjangnya mencapai ribuan Km, ditempuh dengan kapal laut dengan memanfaatkan tenaga angin yang berubah arah setiap 6 bulan. Banyak orang  mengira jalur rempah sekadar fenonena ekonomi semata. Banyak aspek kehidupan terkait dengan jalur rempah, seperti pertukaran dan penyebaran budaya, penyebaran aliran genetik,  pertahanan dan keamanan negara. 

Peran jalur rempah sangat penting dalam perkembangan peradaban dunia, sehingga UNESCO badan organik yang memiliki otoritas di bidang kebudayaan dan berada di bawah naungan PBB, menetapkannya sebagai warisan dunia. Jalur rempah yang dapat dipetakan, diidentifikasi dan dibuktikan keberadaannya di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dijadikan dasar klaim atas wilayah perairan pulau pulau terluar sebagai milik sah negara kita, seperti Kepulauan Anambas, Natuna. Para ahli budaya material dapat memaparkan bukti bukti adanya sumber daya bahan baku rempah rempah berupa kebun tanaman rempah, pabrik pengolahan, aktivitas pasar tempat komoditi rempah diperdagangakan, mata uang kuno. Penulis pernah terlibat sebagai anggota Tim Ekspedisi Penelitian Arkeologi di Pulau Bintan, tepatnya di perairan dan pantai di desa Pengudang. Di lokasi penelitian ditemukan bangkai kapal, kebun gambir, pabrik / dapur pengolahan gambir berikut tungku pembakaran dan peralatan pembuatan gambir. Desa Pengudang ternyata menjadi salah satu titik dalam mata rantai perdagangan rempah. Persyaratan sebagai lokasi produsen dan letak strategis berada di jalur perdagangan rempah dapat dijadikan dasar klaim kepemilikan sah Indonesia atas wilayah itu. Hal ini menjadi dasar klaim atas hadirnya kekuatan militer Indonesia di wilayah tersebut. Implikasi berikutnya adalah Indonesia berhak mendirikan pangkalan militer dan operasi patroli rutin untuk menegaskan eksistensi negara di wilayah itu. Penelitian serupa dapat di lakukan di berbagai wilayah terluar teritorial,  terutama wilayah yang disengketakan oleh beberapa negara tetangga seperti Kepulauan Anambas dan Natuna. Sengketa itu terutama dipicu oleh temuan cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar. Cadangan sumberdaya energi yang masuk kategori vital harus dapat diamankan demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Tiga contoh yang dipaparkan di atas dianggap sudah cukup menggambarkan bagaimana vital dan strategisnya peran budayawan dalam pembangunan negara. Selama ini peran itu tidak dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, karena kurangnya visi, dangkalnya pemahaman para budayawan,  pejabat negara dan masyarakat umum akan konsep kebudayaan. 


Re Visi, Re Posisi, Re Vitalisasi Kebudayaan 

dan Budayawan


Selama ini kebudayaan diartikan sebagai kata benda, produk, statis, dianggap sebagai paket yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan pesan agar dilestarikan. Pandangan ini harus diubah, bahwa kebudayaan harus dipandang lebih sebagai kata kerja / kata sifat yang terus berproses tanpa henti, bersifat dinamis. Kebudayaan harus dipandang sebagai cara berpikir, cara berbicara, cara bersikap dan cara berperilaku. Dengan kata lain, kebudayaan adalah sebuah metode dalam melakukan proses pembangunan dan menjalani kehidupan. Kebudayaan tidak hanya berurusan dengan kesenian dan tradisi warisan masa lalu, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan masa lalu, masa kini dan masa depan. 

Sebagai konsekuensi logis dari re visi di atas, maka budayawan harus melakukan re posisi dari yang terjadi pada saat ini. Selama ini peran budayawan dianggap remeh, tidak penting, tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan penting. Posisi duduk budayawan di deretan paling belakang. Setelah disadari betapa luasnya cakupan kebudayaan dan pentingnya kebudayaan dalam menjalani kehidupan, para budayawan harus membuat lompatan kuantum agar dapat berada di posisi grid terdepan ( pole position ). Persoalannya, untuk membuat lompatan kuantum dibutuhkan energi besar. Artinya para budayawan harus mau belajar terus menerus untuk menambah dan meningkatkan level pengetahuannya agar terus up date dengan perkembangan ilmu termutakhir, sehingga dapat berperan sebagai pembawa obor peradaban, nakhoda yang membawa kapal peradaban. Tanpa kemampuan yang mumpuni, budayawan akan terus berada di grid belakang.

Para budayawan harus dapat mengubah stigma yang sudah tertanam kuat di benak sebagian besar masyarakat, bahwa kebudayaan hanya berurusan dengan kesenian warisan dari masa lalu. Budayawan / Seniman adalah komunitas unik tempat berkumpulnya orang yang berpanampilan sesuka hatinya, memiliki kebiasaan / kode unik yang berbeda dari masyarakat umum. Gambaran itu harus diubah, bahwa budayawan dan seniman serta filsuf adalah mata, telinga, otak yang super peka dalam  menangkap sinyal perubahan di masa depan. Kemampuan itu membuatnya pantas diberi tempat posisi terdepan dalam proses pembangunan. Sebelum suatu proyek pembangunan berskala besar yang diduga bakal menimbulkan dampak besar dan penting, budayawan harus diterjunkan sebagai pionir, pelopor, pembuka jalan ibarat pasukan komando yang mempersiapkan landasan pendaratan bagi pasukan reguler. Hasil kajian budayawan menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan.  


Peran Strategis Dewan Kebudayaan 

Dewan Kebudayan lahir sebagai konsekuensi logis dari adanya pergeseran paradigma pengelolaan kebudayaan. Di masa lalu, pemerintah adalah pemegang otoritas tunggal dalam pengelolaan kebudayaan. Budayawan ysng ingin sukses dan eksis,  harus berafiliasi dengan organisasi underbow pemerintah, misalnya kelompok Artis Safari. Kemudian terjadi pergeseran paradigma, dengan memperluas basis keterlibatan dan partisipasi masyarakat.  Perubahan ini mendorong lahirnya Undang Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Undang undang ini kemudian mendorong terbentuknya Dewan Kebudayaan  di tingkat Nasional,  Provinsi. Kabupaten / Kota. Dewan Kebudayaan  bertugas memberikan pertimbangan kepada pemerintah dalam bidang pengembangan kebudayaan dan kuratorial kebudayaan. Dewan Kebudayaan diharapkan menjadi mitra kerja bersama pemerintah yang dapat diandalkan, bukan dalam posisi sebagai oposan. Dewan Kebudayaan diharapkan menjadi, think tank tempat berkumpulnya para pemuka dari berbagai latar belakang, pemikir, pelaku / pegiat budaya, birokrat, akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat. Masing masing diharapkan dapat memberikan kontribusi positif secara optimal demi memajukan kebudayaan. Dewan Kebudayaan diharapkan dapat mendorong percepatan penyelesaian pembuatan Dokumen Pokok Pokok Pikiran Pemajuan Kebudayaan Daerah  ( PPKD tingkat Kabupaten  / Kota , Provinsi ). Dokumen itu menjadi dasar penyusunan Dokumen Strategi Kebudayaan Nasional. Selanjutnya dokumen itu sekarang menjadi dasar penyusunan Dokumen Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. Dokumen terakhir ini akan menjadi acuan bagi setiap penyusunan rencana / program kegiatan Pemajuan Kebudayaan Daerah.  Tanpa dokumen dokumen itu, pembangunan / pemajuan kebudayaan berjalan tanpa arah yang jelas. Kepemilikan rangkaian dokumen ini menjadi indikator utama dalam menyusun ranking / posisi suatu Provinsi dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan  ( IPK ) . Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2022 menduduki peringkat 27 dari 34 provinsi. Untuk menaikkan peringkat IPK, Sumatera Utara tidak punya pilihan lain, selain segera merampungkan penyusunan dan pengesahan dokumen PPKD. Dewan Kebudayaan sangat berkepentingan dengan penyelesaian tugas penyusunan dokumen pokok pokok pikiran pemajuan kebudayaan. Sudah 6 tahun berlalu, masih ada provinsi yang belum menyelesaikan tugas tersebut.  Hal ini dapat menimbulkan akibat berantai berikutnya yang tidak diharapkan. Pemerintah Pusat dapat saja membekukan pencairan Dana Alokasi Khusus ,( DAK ) untuk sektor kebudayaan.  Tanpa adanya dana tersebut, dapat dipastikan akan menghambat pelaksanaan kegiatan / program yang sudah disusun. Dokumen PPKD harus dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (  RPJMD ) dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek Daerah ( RPJPD ), agar mendapatkan jatah anggaran pembangunan. Tanpa dimasukkan dalam rencana pembangunan, dokumen PPKD tetap tinggal menjadi tumpukan kertas tidak berharga. Dewan Kebudayaan juga harus dapat mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Pemerintah Provinsi menerbitkan Peraturan Daerah yang mewajibkan semua proyek pembangunan berskala besar agar didahului dengan kajian kelayakan sosial budaya, disamping kajian kelayakan ekonomi, teknik dan lingkungan. Para budayawan dapat memberikan kontribusi nyata dan terlibat aktif dalam proses pembangunanDengan demikian, berbagai potensi akibat  / dampak negatif dapat diantisipasi dan dipersiapkan langkah tindakan pencegahan dan mitigasi. Sebagai penutup, disampaikan pernyataan sebagai berikut :


1. Orang bodoh hanya mampu membuat dan menghadirkan masalah 

2. Orang pintar hanya mampu memberikan solusi untuk mengatasi masalah.

3. Orang arief bijaksana mampu mencegah timbulnya masalah. 







Comments

Popular Posts