SENSASI KONTROVERSI SITUS GUNUNG PADANG


Prolog

Beberapa bulan terakhir masyarakat Republik dihebohkan dengan beragam informasi tentang situs purbakala ( megalitik ) Gunung Padang di Provinsi Jawa Barat. Informasi yang dominan mengatakan bahwa situs Gunung Padang merupakan pusat peradaban Atlantis yang pernah berjaya di masa lalu ( 40.000 - 10.000 tahun lalu ), jaman pleistocene akhir, ketika Jawa, Sumatra dan Kalimantan masih bersatu dengan daratan Asia Tenggara. Peradaban Atlantis adalah peradaban yang musnah, tenggelam di dasar laut akibat naiknya permukaan air laut karena berakhirnya jaman es ( pleistocene ) dan bumi memasuki periode hangat ( holocene ). Filsuf Yunani bernama Plato adalah orang pertama yang menyebut ada benua yang berperadaban maju sudah tenggelam di dasar lautan ( kemudian diduga di Samudera Atlantik ). Pendapat ini dimotori oleh ahli geologi Danny Hilman Natawijaya. Sebenarnya sebelum Danny Hilman Natawijaya meramaikan kontroversi peradaban Atlantis di Nusantara, Arysio Nunes dos Santos seorang seorang pakar fisika nuklir dan geologi asal Brazil tahun 2005 sudah menggemparkan kalangan akademis dengan buku berjudul Atlantis, The Lost Continent Finally Found, yang mengatakan bahwa benua Atlantis berada di Indonesia. Pada akhir dekade awal abad XXI, sekelompok ilmuwan dimotori oleh Andi Arief, Staf Khusus Presiden yang mendapat dukungan penuh dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan riset tertutup di situs Gunung Padang. Hasilnya menimbulkan sensasi di kalangan masyarakat. Situs Gunung Padang merupakan pusat peradaban Atlantis. Begitu tertutupnya riset itu, sehingga pernah mengusir seorang arkeolog senior ( Prof Dr Mundarjito ) yang datang ke situs tersebut, karena dinilai tidak satu pendapat dengan rombongan peneliti tersebut. Danny Hilman Natawijaya adalah orang yang mengangkat kembali kontroversi situs Gunung Padang, menegaskan bahwa situs tersebut adalah pusat peradaban Atlantis. Situs Gunung Padang adalah piramid tertua dan terbesar di dunia. 


Riwayat Penelitian Situs Gunung Padang

Situs Gunung Padang pertama kali disinggung oleh arkeolog Belanda ternama Nicholas Johannes Krom, pada tahun 1914 di dalam Rapport van De Oudheidkundige Dients ( Laporan tahunan Dinas Purbakala ), yang dipimpinnya. Krom didatangkan khusus tahun 1910 untuk memimpin Commissie Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera, yang ditinggal wafat oleh Johannes Laurent Andries Brandes, seorang pakar kepurbakalaan yang pandai tahun 1905. Brandes memimpin komisi tersebut selama 5 tahun. Brandes mendapat reputasi tinggi di dunia akademis berkat publikasinya tentang kitab Negarakertagama. Kitab itu ditemukannya di reruntuhan istana Puri Cakranegara, Lombok seusai perang antara Lombok dengan pasukan KNIL Belanda tahun 1894. Krom dan Brandes memiliki latar belakang sebagai ahli filologi, satu almamater, di Univrsitas Leiden. Krom mengusulkan kepada Gubernur Jenderal agar status komisi ditingkatkan menjadi lembaga permanen dan disetujui oleh pemerintah. Maka pada tahun 1913 didirikan Oudheidkundige Dienst ( OD ), dan Krom ditunjuk menjadi Kepala OD pertama ( 1913 - 1916 ). Krom beruntung menerima warisan beberapa tenaga lapangan yang terampil hasil didikan Brandes, antara lain Leydie Melville, JJ de Vink, J Knebell. Hasil kerja tiga orang ini diolah dengan ketelitian, kecermatan dan kejeniusan NJ Krom, dan lahirlah laporan laporan tahunan yang berkualitas tinggi. Dengan masa tugasnya yang hanya 5 tahun, Krom menghasilkan karya karya monumental berjudul Monografi Candi Borobudur, Gesheidenis van Hindoe Java, Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst. Ketiga karya itu sampai sekarang masih menjadi acuan utama bagi siapa saja yang ingin mendalami pengetahuan arkeologi Indonesia periode klasik.

Krom bekerja sangat teliti, hati hati dan tidak suka berspekulasi dengan imajinasi tanpa dasar yang kuat. Krom berpendapat bahwa kepurbakalaan situs Gunung Padang adalah peninggalan budaya megalitik. Menurut referensi yang didasarkan pada ratusan riset di berbagai benua, situs megalitik tidak ada yang lebih tua dari 10.000 tahun. 

Pada tahun 1983 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menerbitkan sebuah monografi hasil penelitian di situs Gunung Padang. Hasil Penelitian itu menunjukkan bahwa usia situs megalitik Gunung Padang berkisar antara 3500 - 2000 tahun lalu. Di awal abad XX lahir pendapat baru dari Andi Arief dan Danny Hilman Natawijaya yang mengatakan bahwa situs Gunung Padang adalah piramid tertua dan terbesar di dunia dan menjadi pusat peradaban Atlantis yang hilang.


Profil Situs Gunung Padang

Situs Gunung Padang terletak di atas perbukitan. Di atas permukaan tanah berserakan tumpang tindih tumpukan batu monolit berupa tiang tiang batu berbentuk persegi panjang. Pada masa lampau tiang tiang batu tersebut berdiri tegak ditanam membentuk menhir, tiang ( tugu ) batu khas budaya megalitik. Menhir adalah cikal bakal bentuk tugu obelisk di masa yang lebih muda. Melihat sebaran keletakan tumpukan batu itu, fenonena itu dihasilkan oleh proses acak, bukan dilakukan secara sistematis. Proses itu lebih disebabkan karena peristiwa alam ( gempa, gerakan tanah disebabkan oleh gaya endogen ). Kalau dilihat secara umum, tumpukan batu monolit itu berada di atas struktur punden berundak ( struktur buatan manusia ). Persamaan punden berundak dengan piramid adalah keduanya merupakan struktur buatan, bertingkat, ukuran landasan di atas ukurannya lebih kecil dari landasan di bawahnya dan makin ke atas makin kecil. Perbedaan mendasar antara piramid dengan punden berundak adalah :  Piramid memiliki ukuran lebar teras jauh lebih kecil dibandingkan dengan punden berundak. Hal ini disebabkan karena piramid lebih fokuskan untuk menghasilkan struktur yang menjulang tinggi ( aspek vertikal ). Lebar teras piramid tidak memungkinkan melakukan aktivitas domestik atau ritual keagamaan. Punden berundak memiliki ukuran teras yang jauh lebih luas, karena memang difokuskan untuk menghasilkan bentang bidang datar yang relatif luas ( aspek horizontal ). Bentang ruang teras yang luas memungkinkan untuk mendirikan bangunan profan ataupun sakral dan melakukan aktivitas domestik. Piramid memiliki teras berjumlah puluhan atau ratusan tingkat, sementara punden berundak biasanya memiliki 3, 5. 7, atau 9 tingkat. Dilihat dari kenampakan struktur situs Gunung Padang, dapat di pastikan bahwa itu bukan piramid, tetapi punden berundak.


Kronologi Situs Gunung Padang

Berdasarkan laporan publikasi ROD oleh NJ Krom, tidak terlalu sulit menentukan kronologi situs Gunung Padang. Melihat tumpukan tiang batu yang bentuknya masiv, tanpa banyak ornamen, tanpa melakukan uji dating radio karbon C14, usia situs itu ditaksir berkisar 3500 - 2000 tahun lalu ( megalitik tua , menurut klasifikasi dari arkeolog beken Robert von Heine Geldern). Kalau mendengar penjelasan Tim Andi Arief dan Danny Hilman Natawijaya, berdasarkan katanya, ada temuan keramik Cina dari periode dinasti Ming bahkan Ching, uang logam dari masa kolonial, kronologinya jauh lebih muda. Harap diingat bahwa penelitian itu tidak terbuka, sulit dikonfirmasi oleh orang ahli lain. Proses penelitian, asumsi dan postulat, rumusan masalah, metode penelitian, jenis temuan, metode pengumpulan data, pengolahan data, analisis data tidak pernah dibuka secara keseluruhan, sehingga pihak lain sulit memberikan penilaian. 


Kelemahan utama dari hasil penelitian Arysio Nunes dos Santos, Andi Arief dan Danny Hilman Natawijaya adalah sebagian besar hasilnya berupa uraian argumentatif, hopotetik, bukan fakta, konfirmasi hipotesis dengan fakta. Sering terlontar kata kata, "berdasarkan hasil penelitian, kami berhasil membuktikan......", tetapi setelah dibaca dengan teliti seluruh isi bukunya ternyata tidak ada satupun paragraf yang berisi pembuktian atau konfirmasi antara pernyataan argumentatif dengan fakta empirik. Kelemahan lainnya adalah pada tampilan gambar yang lebih bersifat ilustrasi daripada rekonstruksi, lebih bersifat imajinasi dari pada faktual



Kesimpulan

Situs Gunung Padang adalah situs megalitik berupa punden berundak, memiliki kronologi 3500 - 2000 tahun lalu. Situs punden berundak Gunung Padang merupakan peninggalan budaya megalitik tua ( situs pemujaan ).


Epilog

Akhir akhir ini sejak maraknya penggunaan berbagai aplikasi media sosial, bangsa Republik jadi sangat gandrung dengan berita / informasi yang bersifat sensasional, bombastis, kontroversi. Hal ini menunjukkan rendahnya kemampuan literasi masyarakat. Kelompok akademisi juga ikut ikutan terpengaruh, karena lemahnya kemampuan telusur, metode berpikir sistematis logis, sehingga tidak mampu membedakan konsep konsep opini, fakta, data, informasi, asumsi, postulat, argumentasi, pembuktian, metode, teknik, sistem, dalil, hukum, teori dan berbagai konsep konsep keilmuan. Masyarakat lebih suka dengan informasi yang dangkal, karena lebih terdidik dalam budaya. melihat dan mendengar, bukan budaya meneliti dan membaca. Itu adalah tipiikal masyarakat tradisional, lebih suka budaya / tradisi oral dari budaya / tradisi leterel.


Comments

Popular Posts