POLITIK DINASTI : SALAH SIAPA ?


Akhir akhir ini isu politik dinasti banyak diperbincangkan di berbagai media dan forum. Politik dinasti didefinisikan sebagai upaya sesorang yang sedang berkuasa, menduduki jabatan publik, kepala pemerintahan di berbagai level untuk memajukan anggota kerabatnya meraih jabatan publik melalui cara konstitusional. Berdasarkan definisi itu, politik dinasti sah dilakukan sepanjang tidak ada peraturan perundang undangan yang dilanggar. Walaupun persoalannya sudah jelas, isu itu tetap saja banyak menimbulkan stigma negatif di kalangan banyak orang, terutama bagi orang atau kelompok yang berminat untuk meraih jabatan yang sama. Beberapa orang menanyakan pendapat saya tentang fenomena itu. Oleh karena ini termasuk isu yang banyak diperbincangkan, maka dibuat narasi ini.


Ada lima aspek yang berinteraksi pada isu politik dinasti : 

1. Aspek Pemilih. 

Setiap pemilih yang sah adalah penguasa mutlak atas dirinya sendiri, dia pemegang remote kontrol atas dirinya sendiri. Apapun keputusan pilihannya di bilik suara tidak dapat digugat siapapun. Kalau dia memilih seseorang maka dia bertanggung jawab penuh atas pilihannya. Jika di kemudian hari keputusannya itu dinilai oleh banyak orang, termasuk dirinya sendiri, ternyata membawa kerugian bagi banyak orang, maka itu adalah tanggung jawabnya, tidak dapat mempersalahkan orang lain. Jadi dalam hal ini, pemilih bukan hanya korban, tetapi pelaku merangkap korban


2. Aspek Orang Yang Dipilih / Terpilih.

 Sepanjang semua persyaratan dipenuhi, semua prosedur ditempuh dan dia tidak melakukan kesalahan ataupun pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan, maka tidak ada yang boleh menggugat keabsahan keterpilihannya atas jabatan itu. Soal dikemudian hari ketika dia sudah menjabat, dinilai melakukan pelanggaran, ya dituntut saja secara hukum, sepanjang terpenuhinya 2 persyaratan yaitu adanya saksi dan adanya barang bukti. 


3. Aspek Penyelenggara Pemilu ( KPU atau KPUD ). 

Penyelenggara pemilu diseleksi dan dipilih dari para pelamar yang mengajukan dirinya, oleh Tim Seleksi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh peraturan perundang undangan. Tim Seleksi direkrut dari para pelamar yang ingin menjadi anggota Tim Seleksi. Peraturan tentang proses rekrutmen anggota tim seleksi itu dibuat oleh DPR dan DPRD, yang notabene juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Jika Tim seleksi bekerja menyimpang dari peraturan, sudah ada mekanisme untuk menggugatnya. Penyelenggara pemilu juga bekerja berdasarkan peraturan perundang undangan yang dibuat oleh para anggota legislatif yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Kalau penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran, ya digugat saja ke pengadilan. Semua mekanismenya sudah jelas.  


4. Aspek Partai Politik.

Partai politik berfungsi sebagai tempat pendidikan politik bagi para kadernya. Para lulusannya diharapkan menjadi politisi handal yang kemudian naik kelas menjadi negarawan. Ada puluhan partai politik yang lahir sejak era reformasi, tetapi hanya segelintir, jika tidak dapat dikatakan seluruhnya, yang menyelenggarakan pendidikan kader secara terstruktur, tersistematisasi, teratur dan  terjadwal. Banyak partai politik miskin kader berkualitas, akibatnya terpaksa menerima pelarian kader dari partai lain, sehingga muncul fenomena kader kutu loncat. Politisi yang sudah punya nama, dan merasakan tidak nyaman atau gagal meraih posisi di partai asal, sangat mudah menyeberang dan diterima di partai lain.

Para Ketua Umum partai politik yang sangat kuat dan dominan dalam pengambilan keputusan di partainya juga menerapkan politik dinasti. Putera, puteri atau kerabat dekatnya ditempatkan pada posisi strategis dekat pada posisi puncak untuk memuluskan proses suksesi jabatan ketua umum partai. Sering terjadi keluarga ketua umum partai politik menyisihkan kader terbaik dalam persaingan meraih jabatan kunci. Pengelolaan partai yang masih bersifat tradisional juga ditiru secara lebih ekstrem oleh partai  yang mengklaim diri sebagai  partai kaum millenial. Seorang putera presiden yang sedang berkuasa mendapat previllege luar biasa. Baru dua hari menjadi anggota partai, langsung nenjadi ketua umum partai. Pengurus partai anak muda itu benar benar menerapkan ajaran guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mereka melakukan hal yang tidak terbayangkan oleh imajinasi terliar sekalipun di  benak para politisi senior. Dari uraian di atas sudah menjadi terang, siapa yang menyemai benih, memupuk dan melihara pohon politik dinasti. Sekarang tiba masa memanen hasilnya. Ketika hasil panen tidak sesuai dengan ekspektasinya, para politisi berteriak teriak minta tolong kepada rakyat untuk menghentikan praktek politik dinasti yang dijalankan oleh presiden. Siapa yang berjasa mendudukkan para politisi kutu loncat, kader  karbitan, oportunis tulen di tahtanya?, tidak lain dari  rakyat juga. Jika rakyat menghukumnya dengan tidak memberikan suara, mereka bukan apa apa dan bukan siapa siapa. 


5. Aspek Regulasi ( Peraturan perundang undangan). 

Regulasi dibuat oleh DPR, Pemerintah dan DPRD. Ketiga kelompok itu dapat berkuasa membuat regulasi, karena rakyat pemilih yang telah memilihnya dan memberi mandat penuh untuk melakukannya. Mereka tidak dapat duduk di tahtanya jika rakyat tidak memilihnya. 


Aspek regulasi yang sekarang banyak disorot. Menurut peraturan perundang undangan usia minimal calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun. Seorang calon wakil presiden ( putera sulung presiden yang sedang berkuasa ) masih berusia 35 tahun tetapi diloloskan mengikuti proses pemilihan presiden dan wakil presiden. Mahkamah Konstitusi membuat klausul baru, yaitu usia calon presiden dan wakil presiden boleh di bawah 40 tahun, asalkan memiliki pengalaman menjadi Kepala Daerah. Keputusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dianulir, dan sang calon wakil presiden itu melenggang mulus mengikuti pemilu. 


Kejadian itu menunjukkan bahwa sistem hukum di Republik kacau balau. Terlalu banyak undang undang berisi pasal pasal karet, pasal abu abu, pasal diskresi, yang menimbulkan celah yang dapat dieksploitasi habis habisan oleh siapa saja yang punya kepentingan dan punya power / kekuasaan serta dana melimpah. Pihak eksekutif, eksekutif dan yudikatif terkesan memang menghendaki keberadaan pasal pasal seperti itu. Hari ini pihak eksekutif berhasil memanipulasi situasi dan mengeksploitasi pasal karet abu abu, diskresi. Pihak yang merasa dirugikan, sampai memelas minta tolong kepada rakyat untuk tidak tinggal diam, bersama sama menggugat, menolak keabsahan keputusan Mahkamah Konstitusi. Tindakan minta tolong kepada rakyat itu tidak fair, karena dalam membuat keputusan penting, pendapat rakyat tidak pernah diminta. Semua keputusan dibuat di ruang tertutup, dalam lobby lobby di kalangan terbatas, atas dasar transaksi, siapa mendapat apa dan kapan?. Siapa yang berjasa mendudukkan para pelaku penyelenggara negara?. Lagi lagi rakyat. 


Sekarang persoalannya jadi jelas terang benderang. Jika figur yang terpilih termasuk kategori politik dinasti ternyata berprestasi bagus dan meberikan kesejahteraan bagi masyarakat, tentunya tidak ada masalah. Bagaimana pula jika terpilih figur yang masuk kategori politik dinasti dan dalam periode kepemimpinannya, dinilai banyak menimbulkan masalah dan kesengsaraan pada banyak orang?. Lalu siapa yang pantas dipersalahkan atas terjadinya fenomena politik dinasti?. Hanya satu dan satu satunya pihak yang dapat dipersalahkan dan harus menanggung semua konsekuensi yang ditimbulkannya yaitu : RAKYAT PEMILIH. Biarkan saja semua petaka dan bencana itu terjadi, biarkan rakyat pemilih merasakan penderitaan akibat pilihannya sendiri. Dengan demikian Rakyat Pemilih akan menjadi semakin dewasa dan matang menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Jangan pelihara sikap dan perilaku yang suka mencari kambing hitam atas semua situasi buruk yang menimpanya. Masyarakat pemilih harus disadarkan bahwa mereka harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Mereka memang Korban,  tetapi mereka juga berstatus sebagai Pelaku

Comments

Popular Posts