OTORITER, DEMOKRASI DAN KESEJAHTERAAN


Pada suatu hari penulis menghadiri suatu acara diskusi dengan topik sistem pemerintahan otoriter dan demokrasi. Arah diskusi terfokus pada cara, sarana terbaik, sehingga aspek tujuan terabaikan. Sementara itu menurut dalil, apapun sarana yang digunakan tidak ada gunanya jika tujuan yang ingin dicapai, tidak terwujud. Diskusi tersebut mengabaikan tujuan yang ingin diperjuangkan.Tulisan singkat ini bermaksud membuka kesadaran tentang apa hakekat dari dua sistem pemerintahan yang diperdebatkan dan potensinya untuk mencapai tujuan yaitu kesejahteraan rakyat. 


Otoriter adalah sistem pemerintahan yang dikendalikan ( bukan dijalankan ) oleh satu orang yang memiliki kekuasaan absolut. Semua orang harus melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sang penguasa tunggal. Tidak ada ruang sedikitpun untuk mempertanyakan atau memperdebatkannya. Penguasa otoriter selalu berjanji akan mensejahterakan rakyat. Kalau dia menepati dan mampu mewujudkan janjinya, maka dia dijuluki Despot Ringan. Sebaliknya jika dia gagal memenuhi janjinya, maka dia disebut Despot Lalim. Dalam menjalankan pemerintahannya, penguasa otoriter selalu mengumandangkan doktrin palsu untuk membius rakyat. Doktrin itu menyebutkan bahwa si penguasa mendapat mandat dari Tuhan untuk memerintah negeri dan rakyatnya. Doktrin itu terus menerus diucapkan berulang ulang dan mendapatkan pembenaran dari para elit agama dan kelompok cerdik pandai yang menghamba kepada penguasa.


Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang melibatkan banyak orang dalam proses pengambilan keputusan. Kekuasan membuat keputusan dan menjalankannya tidak berada di tangan satu orang. Secara berkala dalam durasi waktu tertentu rakyat yang memenuhi syarat memilih orang orang yang diberikan mandat untuk menjalankan pemerintahan. Setiap orang yang terpilih, selama proses pemilihan pasti juga mengumbar janji untuk mensejahterakan rakyat. Dalam menjalankan pemerintahan, para penguasa terpilih itu juga membius rakyat pemilih dengan doktrin palsu. Ada dua doktrin palsu yang selalu diulang ulang oleh penguasa pemerintahan demokratis sepanjang masa, yaitu : 

1. Vox Populi, Vox Dei, ungkapan dalam bahasa Latin yang artinya Suara Rakyat adalah Suara Tuhan

Doktrin ini jelas jelas membodohi rakyat, karena urusan politik praktis adalah murni urusan, pikiran, ucapan dan tindakan manusia, tidak ada urusannya dengan Tuhan. Ini adalah upaya mencuri stempel milik Tuhan, dan upaya menyandingkan Tuhan dengan manusia untuk mengelola rejim pemerintahannya.

2. Demokrasi adalah Pemerintahan Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat. Pada kenyataannya di banyak negara demokrasi, pemerintahnya berasal dari rakyat, oleh para elit dan untuk para elit. 

Doktrin palsu itu terus menerus disebut berulang ulang, sampai menjadi kebenaran semu oleh para penguasa dan dibenarkan oleh para pakar yang tidak punya integritas. Para penguasa di dua sistem pemerintahan itu menjadi murid jempolan dari ahli propaganda legendaris, Dr.Joseph Goebbels yang menciptakan dalil bahwa Kebohongan yang diucapkan berulang ulang akan menjadi kebenaran.


Algoritma Pemrosesan Data

Jika diajukan pertanyaan : Mana yang lebih unggul di antara dua sistem pemerintahan otoriter atau demokrasi?. Mungkin tidak ada yang satu lebih unggul dari yang lain. Satu sistem mungkin lebih sesuai di suatu lokasi, masyarakat pada waktu tertentu, dan tidak sesuai pada ruang - waktu yang lain. Dengan kata lain keunggulan suatu sistem tidak bersifat absolut, tetapi relatif, probabilistik dan temporal. Berdasarkan petunjuk sains termaju saat ini, demokrasi lebih berpeluang untuk sukses dari otoriter. Peluang keunggulan itu terletak pada algoritma pemrosesan data.

Menurut ilmu termaju saat ini, segala hal di alam, termasuk manusia tidak lain dari aliran data bio - fisik - kimia yang dapat diproses dengan algoritma yang menggunakan prosedur matematika. Perbedaan manusia dengan yang lain terletak pada tingkat kerumitan algoritma pemrosesan data. 

Sistem otoriter menggunakan algoritma pemrosesan data terpusat, yang sifatnya kaku, lambat mengandung risiko kesalahan pada tahap tahap identifikasi, prediksi, analisis, evaluasi dan upaya mitigasi. Otoriter hanya menggunakan satu prosesor untuk memproses seluruh jalur lalu lintas aliran data. Beban kerja prosesor sistem otoriter terlalu berat, berjalan lambat akibatnya proses pengambilan keputusan relatif lebih lama dan potensi terjadinya kesalahan lebih besar serta sulit terdeteksi pada tahap paling dini. Akibatnya tindakan penguasa cenderung reaktif dan terlambat melakukan tindakan antisipasi, tindakannya lebih bersifat penanggulangan, bukan pencegahan. 

Sistem demokrasi menggunakan algoritma pemrosesan data terdistribusi yang bersifat fleksibel, lentur, dapat mendeteksi kesalahan di tahap paling dini, mulai dari tahap identifikasi, prediksi, analisis, evaluasi, mitigasi, sehingga cepat dapat dilakukan tindakan koreksi, perbaikan dan recovery. Tindakannya lebih bersifat antisipasi, pencegahan, bukan reaktif dan bukan penanggulangan. Hal itu dapat dilakukan karena sistem demokrasi menggunakan banyak prosesor dalam mengatur arus lalu lintas aliran data, sehingga aliran data berjalan lebih kencang. Melihat keunggulan algoritma pemrosesan data tersebut, secara teori dan normatif, rejim demokrasi lebih berpeluang menciptakan kesejahteraan dibanding rejim otoriter.  

Masalah berikutnya adalah secara empirik, ternyata banyak rejim demokrasi gagal mensejahterakan rakyatnya. Para pendukung demokrasi mengajukan alasan yang bersifat apologi, bahwa pemerintahan demokrasi usianya belum matang Diperlukan waktu ratusan tahun berdemokrasi seperti Amerika Serikat untuk mensejahterakan rakyatnya. Jawaban ini tentu saja tidak dapat diterima. Bagaimana menjelaskan bahwa ada negara otoriter ( Tiongkok ), yang wilayahnya sangat luas, etnik, budaya dan bahasa serta agama sangat beragam, secara ekonomi dan teknologi masuk kategori terbelakang, tetapi dalam waktu singkat ( 30 tahun ), mampu menjelma menjadi negara maju secara ekonomi, teknologi dan kuat secara militer sehingga disegani oleh bangsa bangsa lain. Agaknya ada variabel lain, selain durasi waktu penerapan dan bentuk sistem pemerintahan yang berperan dalam upaya mensejahterakan rakyatnya.


Dukungan Politik dan Uang Sebagai Penjara Virtual

Di negara negara tertentu, seperti Republik 62, siapapun penguasa rejim demokrasi yang naik ke tampuk kekuasan, sudah tersandera di penjara yang dibuat oleh dirinya sendiri dan penguasa rejim sebelumnya. Misalnya Republik sudah menjalani rejim demokrasi selama 25 tahun dan sudah menghasilkan 4 orang presiden, tetapi belum mampu mensejahterakan rakyatnya. Siapapun presidennya, membutuhkan dukungan suara dan dukungan politik yang tidak grstis dari partai politik. Selain itu juga butuh dukungan dana dari korporasi, konglomerat yang juga tidak gratis. Dukungan politik dari partai politik dibutuhkan untuk kelancaran programnya dari potensi hadangan di parlemen. Dukungan uang diperlukan sebagai amunisi di masa kampanye, hari pemungutan suara, untuk memenuhi tuntutan sebagian rakyat yang menginginkan pemberian uang tunai sebagai barter dukungan suara. Ketika penguasa terpilih, maka dia tidak dapat lagi memaksimalkan upaya mensejahterakan rakyat. Rakyat yang menuntut pemberian uang juga harus tahu diri, untuk tidak menuntut penguasa segera mensejahterakannya, karena sudah menggadaikan kedaulatannya dengan sejumlah uang secara instan. Jadi kondisi tidak sejahtera bukan sepenuhnya kesalahan penguasa dan rakyat bukan semata mata korban. Rakyat adalah korban merangkap pelaku dan pelaku merangkap korban.


Kucing Deng Xiao Ping

Dari pada berdebat panjang lebar tanpa akhir tentang sistem pemerintahan yang terbaik, lebih baik merenungkan apa yang diucapkan Deng Xiao Ping, seorang negarawan besar dari Tiongkok. Selama meniti karir, Deng Xiao Ping banyak dibina dan dilindungi oleh seniornya Zhou En Lai negarawan besarTiongkok yang berhati lembut. Salah satu nasihat Deng Xiao Ping yang terkenal adalah : Tidak penting kucing itu hitam atau putih, yang penting dia efektif menangkap tikus. Diakhiri saja perdebatan tentang sistem, metode penyelenggaraan negara. Tidak penting lagi apakah otoriter atau demokrasi, yang penting cara yang dipilih dapat mensejahterakan rakyat, memajukan negara dalam ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, militer dan meningkatkan martabat bangsa dalam kancah diplomasi pergaulan antar bangsa.

Comments

Popular Posts