MEDAN MENCONTOH KESALAHAN JAKARTA
Ditinjau dari segi kronologi waktu pendirian dan laju percepatan perkembangan kota, jelas Jakarta lebih tua dan lebih cepat berkembang dari Medan. Bermula dari kawasan Pasar Ikan, pelabuhan Sunda Kelapa, secara perlahan tetapi pasti, Jakarta mulai berkembang ke arah selatan. Dimulai dari perluasan kawasan kota ke arah kampung Luar Batang, dilanjutkan dengan pembukaan kawasan Gelodok, Pancoran Kota, Tanah Abang, Molenvliet ( jalan Gajah Mada / Hayam Wuruk, jalan Veteran, Roxy ). Dengan alasan kesehatan dan sanitasi kota, pada awal abad XIX, Gubernur Jenderal H W Daendels memindahkan pusat pemerintahan ke arah selatan yang disebut kawasan Weltevreden ( lapangan Monas, Istana Kepresidenan, Gambir, Lapangan Banteng, Kwitang, Pejambon ). Dalam perkembangan berikutnya, dibuka sedikit kawasan timur yang disebut Mester Cornelis ( Jatinegara ). Awal abad XX Belanda membuka daerah lebih ke selatan seluas lebih 600 Ha, yang dijadikan kota taman pertama di Asia Tenggara yang disebut kawasan Menteng Burt. Keindahan, keteraturan dan kenyamanan kawasan Menteng masih bertahan hingga sekarang. Belanda tidak merambah kawasan yang lebih ke arah selatan lagi. Sampai kawasan Menteng, Kuningan, Tebet, Pancoran Selatan Kalibata, Kebayoran Baru, konfigurasi kontur tanah masih relatif datar. Kontur tanah mulai bergelombang mulai dari Pasar Minggu ke arah selatan. Kontur tanah semakin berfluktuasi di sebelah selatan Pasar Minggu. Kontur tanah yang bergelombang adalah indikasi bahwa kawasan itu mulai mendekati kaki perbukitan. Kawasan itu sebenarnya merupakan daerah resapan air untuk mensuplai air baku bagi kawasan kota Jakarta.
Sejak awal dasawarsa 70 an perkembangan kota Jakarta mulai tidak terkendali. Kawasan selatan segera menjadi kawasan favorit bagi pemukiman. Sejak dasawarsa 80 an memang terjadi perkembangan pemukiman ke arah barat ( Slipi, Grogol, Kalideres, Tomang, Meruya, Kembangan, Rawa Buaya, jalan Daan Mogot ), juga ke arah timur ( Kali Malang, Pulo Gadung, Rawamangun ). Walaupun demikian, perkembangan kota ke arah selatan jauh lebih pesat.
Berdasarkan kajian ilmu geologi, hidrologi, geomorfologi, perkembangan kota ke arah selatan adalah keputusan ysng salah. Harusnya pemukiman dikonsentrasikan ke kawasan barat, industri ke kawasan timur. Kawasan pusat menjadi kawasan bisnis, komersil. Kawasan selatan diperuntukan bagi kawasan konservasi dan resapan air. Pertimbangan ke tiga disiplin ilmu di atas diabaikan dan pertimbangan komersil dikedepankan. Jadilah tampilan profil wajah kota Jakarta seperti yang dilihat hari ini. Jakarta jadi langganan banjir kalau musim hujan tiba. Rencana van Breen ( proyek Banjir Kanal Barat ), dan proyek Banjir Kanal Timur ( dibangun di masa Republik ) tidak dapat membebaskan Jakarta dari hantaman banjir.
Ketika di masa Kolonial, kota Medan dijuluki Parijs van Sumatera, karena keindahan penataan kotanya, terutama kawasan inti kota ( Gemeente ), kawasan pemukiman elit warga Eropa. Kawasan Gemeente meliputi jalan jalan jalan Ir. H Juanda, Sudirman, Imam Bonjol, Diponegoro, A Rivai, Masdulhak, Walikota. Agus Salim, Chik Ditiro, Agus Salim, H Misbach, Multatuli, Cut Mutia. Cut Nyak Dhien. Uskup Agung, Hang Tuah , Hang Lekiu, Suryo, Khairil Anwar dan masih ada beberapa ruas jalan lagi. Di Gemeente terdapat 6 tanah lapang / taman kota. Di luar kawasan kawasan itu terdapat kawasan Pecinan, dan kawasan Kesultanan yang kondisinya tidak sebagus kawasan Gemeente.
Setelah kemerdekaan dibuka kawasan pemukiman baru, di daerah yang disebut Medan Baru. Pada masa kolonial pengembangan kota diarahkan ke bagian utara, yaitu kawasan Gelugur dan Pulo Brayan, sejalan dengan pembukaan pelabuhan baru, yang dinamakan Belawan ( 1925 ). Kawasan Gelugur dan Pulo Brayan pada mulanya berupa rawa rawa, yang kemudian direklamasi. Bekas bekas lahan basah masih meninggalkan jejak berupa cekungan di kompleks perkantoran PT Pertamina dan sedikit cekungan di kompleks perbengkelan kereta api di Pulo Brayan.
Pada dasawarsa 70 dan 80 an mulai terjadi perubahan mendasar dalam tata ruang kota Medan. Kawasan utara diarahkan untuk menjadi kawasan industri, mendekati pelabuhan Belawan. Kawasan barat ( Helvetia, Kampung Lalang sampai Diski ) dijadikan daerah pemukiman dan industri. Kawasan timur ( Tembung, Sampali ), diarahkan untuk dijadikan kawasan pemukiman. Inti kota diarahkan menjadi kawasan bisnis. Pada dekade yang sama terjadi perkembangan yang mirip dengan Jakarta. Kawasan pemukiman di Medan mulai merambah kawasan selatan ( Padang Bulan, Simalingkar, Selayang, Johor, Tanjung Sari, Tanjung Selamat. Kawasan kawasan Tanjung Anom, Deli Tua, Namorambe yang sudah berada di Kabupaten Deli Serdang, juga tidak luput dari perambahan untuk dijadikan kantung kantung pemukiman. Kawasan selatan memiliki kontur tanah bergelombang, karena sudah mendekati kaki perbukitan.
Kawasan Medan Selatan memiliki bentang alam yang mirip dengan kawasan Jakarta Selatan. Kontur tanah bergelombang, solum tanah tebal, kualitas tanah / kemampuan lahan berdasarkan klassifikasi dari FAO, tergolong kelas 1, 2 dan 3. Solum tanah tebal, kualitas air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam sangat baik, kualitas udara tergolong bersih dan sejuk. Kondisi perkembangan yang mengarah ke kawasan selatan, sudah tentu tidak diharapkan, karena harusnya diperuntukkan bagi zona konservasi dan zona resapan air.
Agaknya Pemerintah Kota Medan memiliki kecerdasan yang tinggi karena dengan piawai mencontoh kesalahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Raya.
Warga kota Medan harus mengalami situasi serba salah. Salah pilih orang dan salah tempatkan orang. Orang yang tidak cerdas / tidak pandai diberikan kekuasaan, sementara orang cerdas / orang pandai tidak diberikan kekuasaan. Akibatnya warga kota Medan menderita karena sering dilanda banjir, didera kemacetan lalu lintas, listrik sering padam, kualitas air ledeng tidak prima, sampah tidak teratasi dengan baik, jalan raya berlubang.
Comments
Post a Comment