BANJIR DI ACEH : FAKTOR PENYEBAB, DAMPAK DAN IMPLIKASINYA

 

Prolog

Berdasarkan kajian data time series selama beberapa tahun,  perhitungan, simulasi dan  modeling matematis, di masa depan Aceh bakal lebih sering mengalami banjir dan tiap tahun ke depan, frekuensi, intensitas, magnitude banjir dan luas  genangan banjir akan lebih luas lagi. Akibatnya sebagian besar dana APBN, APBD terserap untuk memperbaiki infrastruktur ( jalan, jembatan, tanggul, perumahan ) yang rusak akibat banjir. Banjir, banjir bandang dan tanah longsor jadi kejadian rutin dan pekerjaan  rutin. Akibat selanjutnya, porsi dana yang tersisa untuk pelaksanaan pembangunan yang dirancang untuk menggerakkan perekonomian di sektor ril, semakin kecil. Akibat berikutnya laju pembangunan di Aceh akan melambat, bahkan stagnan, nilai indeks pembangunan manusia akan menurun dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara Aceh dengan provinsi lain akan semakin lebar. Skenario ini pasti akan terjadi, sifatnya matematis dan masa depan suram untuk Aceh sudah terbayang. Jika tidak ada perubahan secara struktural, mendasar dalam manajemen pembangunan Aceh, maka Aceh akan menambah panjang daftar pembuktian empirik atas kebenaran dalil kutukan sumberdaya alam. Dalil itu mengatakan bahwa daerah / negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang besar, wajib memiliki kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya yang besar. Ketimpangan kapasitas ke tiga sumberdaya itu, akan menimbulkan bencana akut. Jika Aceh ingin dapat terbebas dari kutukan tersebut, tidak ada pilihan lain selain memperbesar kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya.

Banjir yang terjadi pada akhir bulan Oktober dan awal November 2022, melanda Kabupaten kabupaten Aceh Tamiang,  Aceh Timur. Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Nagan Raya, Gayo Lues, Kota Subulussalam. Di Kabupaten Aceh Tamiang saja, luas genangan banjir meliputi 12 Kecamatan, 10.413 keluarga terdampak, 7.400 orang mengungsi. Momen banjir tahun ini harusnya menyadarkan Pemerintah Aceh untuk melakukan perubahan mendasar dalam paradigma pembangunan. Perhatian ekstra harus difokuskan pada pembenahan di sektor hulu, yaitu memperbaiki neraca hidrologi, karena bencana banjir disebabkan oleh faktor faktor hidroklimat. Manajemen keairan mutlak diperbaiki total, sehingga dapat menekan amplitudo aliran mantab. Dengan demikian pada musim kemarau, air tetap tersedia dan di musim hujan, air tidak melimpah ruah. Tulisan ini berusaha membongkar akar penyebab banjir di Aceh. Pendekatan yang digunakan di sini juga dapat diterapkan untuk menelaah masalah masalah lain. 


Problem Manajemen

Setelah melakukan perenungan dan kajian mendalam atas literatur dan fakta empirik, faktor penyebab banjir di Aceh bukan disebabkan oleh penebangan pohon di areal hutan, tetapi bersumber pada masalah masalah  manajemen. Problem manajemen Pemerintahan Aceh dalam masalah banjir dan tanah longsor dapat diidentifikasi, diantaranya adalah kesalahan memahami dan menerapkan konsep pengelolaan.  Konsep pengelolaan menurut literatur adalah serangkaian kegiatan yang dimulai dari adanya komitmen yang kuat dari pimpinan puncak dan konsisten untuk berbuat yang terbaik. Tanpa komitmen disertai konsistensi sikap, semua program tidak akan berhasil optimal. Setelah ada komitmen, disusun perencanaan program yang komphrehensif. Dalam tahap ini sudah dikaji berbagai dampak negatif dan risiko yang bakal timbul. Kajian itu meliputi kegiatan identifikasi dampak dan risiko, analisis dampak dan risiko, evaluasi dampak dan risiko, mitigasi dampak dan risiko. 

Setelah selesai tahap perencanaan, dilanjutkan dengan pelaksanaan. Kemudian dilanjutkan dengan pemanfaatan. Biasanya pihak manajemen sangat fokus di tahap ini, tetapi abai pada tahap pra dan pasca pemanfaatan. Hal ini disebabkan karena di tahap ini pihak manajemen mulai memetik hasil dan ada kebiasaan untuk berpikir, bersikap dan bertindak secara instan. Dalam tahap pemanfaatan seharusnya secara simultan dilakukan upaya konservasi. Biasanya pihak manajemen menganggap kegiatan konservasi tidak memberi manfaat nyata, memerlukan biaya yang dianggap sebagai beban dalam upaya pengelolaan. Biaya kegiatan konservasi dimasukkan ke dalam pos biaya eksternal dan merupakan faktor negatif dalam struktur biaya pengelolaan. Harusnya biaya konservasi dimasukkan dalam pos biaya internal,   merupakan faktor positif dalam struktur biaya pengelolaan. Akibat kegiatan konservasi diabaikan, konsekuensi logis berikutnya, kegiatan monitoring ( pemantauan ) juga diabaikan. Dengan terabaikannya kegiatan monitoring, maka konsekuensi berikutnya, kegiatan evaluasi juga terabaikan. Tidak ada data yang dijadikan bahan evaluasi. Tanpa adanya evaluasi, maka tidak mungkin dapat dilakukan upaya perbaikan berkesinambungan terhadap dokumen perencanaan dan langkah perbaikan pelaksanaan. Tanpa ada upaya pelaksanaan secara  menyeluruh terhadap konsep pengelolaan maka jika ada kesalahan, maka kesalahan itu akan berlanjut, berulang tetap dari tahun ke tahun. Kondisi perilaku manajemen pemerintahan seperti itu lebih buruk dari keledai, karena keledai saja tidak mau terperosok pada lubang yang sama untuk kedua kali. Sudah waktunya pihak manajemen mengubah pemahaman tentang konsep pengelolaan. Di bawah ini ditampilkan bagan siklus konsep pengelolaan yang benar menurut literatur akademik.




Sumber  :  Wirtjes, 2022


Kesalahan demi kesalahan yang dibuat oleh pihak manajemen, akan memicu timbulnya sebab dasar dari terjadinya bencana. 


Sebab Dasar

Perencanaan dan pelaksanaan yang buruk, akan mendorong orang untuk hanya memikirkan kegiatan pembangunan yang berorientasi pada proyek dengan skala satu tahun anggaran. Proyek harus dapat memberikan hasil nyata dalam waktu singkat ( instan ). Orang tidak tertarik melakukan kegiatan yang berorientasi pada program berskala multi tahun secara berkesinambungan.  Hal ini akan memicu munculnya sebab langsung. 


Sebab Langsung

Sudah dapat diduga bahwa kegiatan pembangunan seperti itu akan mengeksploitasi sumberdaya alam secara masiv, melampaui batas daya dukung, daya tampung dan kapasitas bawa lingkungan. Seharusnya program yang dirancang harus berdasarkan  kajian evaluasi sumberdaya lahan, berdasarkan kemampuan lahan, kesesuaian lahan, tata guna lahan, rencana penataan ruang. Oleh karena berbagai kajian tersebut tidak dilakukan, maka kesalahan demi kesalahan terus dilakukan dan berakumulasi menjadi tumpukan besar kesalahan. Kerapatan vegetasi  di bagian lereng perbukitan berkurang drastis, bahkan ada yang terbuka total tanpa tanaman penutup. Kekuatan agregat butiran butiran tanah melemah, kemampuan infiltrasi tanah menyerap air menyusut tajam, koefisien run off ( limpasan ) meningkat tajam, tingkat sedimentasi meningkat tajam, sehingga mengurangi luas penampang badan air ( sungai ), mengurangi volume daya tampung sungai. Dalam situasi demikian maka bencana banjir dan tanah longsor hanya tinggal menunggu waktu. Jika turun hujan dengan frekuensi tinggi, intensitas tinggi, durasi hujan yang relatif lama, jarak waktu jeda antara satu hujan dengan hujan berikutnya, dapat dipastikan secara matematis, akan terjadi banjir. Volume air dan debit air, dipastikan tidak tertampung oleh sungai dan meluap melewati batas tebing sungai, menggenangi areal yang dalam keadaan normal tidak tergenang, dan terjadi bencana banjir dan / atau tanah longsor.


Bencana Banjir

Pada tahap ini orang panik menyelamatkan diri, harta benda bergerak yang dapat dibawa. Pihak BASARNAS, Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB ), Badan Penanggulangan Bencana Daerah tingkat Provinsi, Kabupaten / Kota jadi super sibuk melakukan tindakan evakuasi, membangun barak penampungan / tenda darurat, dapur umum untuk menampung arus pengungsi. Kegiatan itu dibantu oleh aparat militer, polisi dan perangkat pemerintahan setempat. Perahu karet diterjunkan untuk menyelamatkan orang yang terdampak banjir. Pada tahap ini pengungsi dan orang yang terdampak banjir akan mengalami depresi mental, mengalami penurunan tingkat kebugaran tubuh, penurunan daya resistensi daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Dalam keadaan seperti itu, para pengungsi dan korban banjir justru mendapat asupan gizi di bawah standar, kaya karbohidrat, miskin protein dan serat. Sebagian besar menu yang disantap adalah mie instan. Pada situasi itu pasokan air bersih sangat minim, demikian juga dengan fasilitas sanitasi dan urinoir. Kondisi itu akan memicu timbulnya wabah penyakit. Banjir juga akan menghambat kelancaran arus logistik. Keadaan ini memicu terjadinya kelangkaan bahan pangan dan bahan bakar minyak, yang kemudian akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. 


Kerugian Jiwa dan Materi

Konsekuensi dari peristiwa bencana adalah timbulnya korban jiwa dan materi. Tingkat risiko terjadinya korban jiwa dan materi sangat dipengaruhi oleh faktor faktor :

1. Tingkat probabilitas kejadian bencana

2. Besaran dan magnitude dampak 

3. Kapasitas kelembagaan, kapasitas kemampuan sumberdaya manusia, kapasitas peralatan, kapasitas finansial. 

Hubungan faktor faktor tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis di bawah ini : 

                             P  X  D 

               R =    -----------------

                                  K


Keterangan : R ( Risiko )

                         P ( Probabilitas )

                         D ( Dampak )

                         K ( Kapasitas  )                                                              

Nilai R  dapat diperkecil dengan memperbesar nilai K. Semakin besar nilai K, maka nilai R makin kecil. Tugas para stakeholder, khususnya Pemerintah untuk memperbesar nilai K.


Uraian di atas dapat digambarkan dalam bentuk bagan di bawah ini 



Sumber : Wirtjes, 2022


Untuk meminimalisir tingkat kerugian Jiwa dan Materi perlu dilakukan upaya pembenahan di tingkat manajemen pemerintahan. Upaya perbaikan tersebut pada akhirnya dapat memutuskan rantai sebab akibat di antara kotak no 1,2, 3 dengan no 4. Dengan terputusnya mata rantai tersebut, maka bencana tidak terjadi lagi.  Dengan tidak adanya bencana, maka praktis tidak ada korban jiwa dan materi. Hal ini dapat diperjelas dengan gambar bagan di bawah ini 




Sumber :  Wirtjes, 2022

Menaksir Besaran Kerugian Akibat Banjir 

Kerugian akibat banjir di Aceh dapat ditaksir dengan pendekatan piramida kerugian. Kerugian itu tidak hanya yang tampak mata, tetapi ada kerugian lain yang tidak tampak mata / tidak disadari, tetapi ril adanya. Coba bayangkan gunung es yang mengambang di atas permukaan air di perairan daerah kutub bumi. Bagian yang tampak di atas air adalah bagian puncak gunung es. Puncak gunung es hanya merupakan sebagian kecil dari gunung es. Sebagian besar massa gunung es tidak kelihatan karena letaknya di bawah permukaan air. Kerugian yang mudah dihitung adalah kerugian yang tampak mata. 


Kerugian yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: 

1. Kerugian yang teridentifikasi dan terhitung / terasuransi. Jumlah kerugian jenis ini tergolong kecil.  Seperti jumlah rumah, fasilitas infrastruktur yang rusak, areal tanaman  pangan dan tanaman perkebunan yang rusak, hasil panen yang rusak, hewan ternak yang mati, jumlah peralatan elektronik yang rusak, mobil dan kendaraan bermotor yang rusak.  

2. Kerugian yang teridentifikasi tetapi tidak terhitung / tidak terasuransi. Jumlah kerugian ini lebih besar dari yang pertama. Adapun jenis kerugian ini antara lain, hari kerja produktif yang hilang, jumlah jam belajar para siswa dan mahasiswa yang hilang, depresi akibat banjir, tingkat kesuburan tanah yang menurun. Banjir membawa lumpur dan ketika banjir surut, partikel lumpur menutupi pori pori tanah, pasokan oksigen untuk hewan tanah ( cacing ) terhenti, akibatnya hewan hewan itu mati. Sementara hewan hewan tanah itu adalah komponen yang membentuk kesuburan tanah. Lumpur itu akan mengeras, membuat kemampuan tanah menyerap air menurun. Akibatnya jika ada banjir berikutnya, luas genangan banjir akan lebih luas lagi. Sirkulasi arus aliran barang, logistik dan jasa akan melambat, karena alat transportasi tidak dapat berjalan. Biaya membersihkan rumah dari lumpur dan sampah, jumlah bbm solar yang hilang percuma. Selama proses pengolahan tanah sawah, menggunakan traktor yang butuh bbm solar, sementara panennya gagal, upah operator traktor, biaya pestisida, herbisida, insektisida di sektor pertanian / perkebunan. Biaya pemeliharaan hewan ternak berikut biaya pakan, perbaikan kandang, upah pekerja. Semua pengeluaran itu menjadi sia sia. Biaya kerugian itu semua dipikul oleh pemilik properti. Sementara Pemerintah memikul biaya evakuasi korban, biaya selama ditempat penampungan, biaya pencarian korban, biaya perawatan kesehatan para korban.

3. Kerugian yang tidak teridentifikasi dan tidak terhitung / tidak terasuransi. Kerugian jenis ini jauh lebih besar lagi. Kerugian jenis ini antara lain, hilangnya waktu yang tidak pernah bisa kembali dan tidak bisa dikonversi dengan uang berapapun banyaknya. Selain waktu, banyak peluang bisnis / transaksi bisnis yang hilang atau terhalang / tertunda. Selama masa itu, peluang itu dapat lenyap, direbut pihak lain yang jauh lebih siap. Pihak kompetitor dapat memperoleh peluang tanpa berinvestasi, tanpa berkompetisi. Sementara Aceh mendapatkannya melalui kerja keras, melobby mitra secara intensif, mengeluarkan modal, tenaga dan waktu, biaya promosi, ekspo, seminar/ pameran.

Demikian sekilas pemaparan tentang taksiran kerugian Aceh akibat banjir. Yang pasti jumlahnya akan membuat orang terperangah, tercengang, terkejut dan prihatin. Gambar bagan di bawah ini dapat memperjelas pendekatan piramida kerugian.

.


Sumber : Wirtjes, 2020


Pada akhir tahun 2006 terjadi banjir besar di Kabupaten Aceh Tamiang. Penulis mencoba menaksir kerugian yang ditimbulkan oleh banjir dengan menggunakan teknik rapid appraisal.  Teknik perhitungannya menggunakan analisis ekstrapolasi sederhana, analisis gradien, analisis regresi. Teknik appraisal dikombinasikan dengan hasil interpretasi 2 kelompok citra satelit IKONOS skala 1: 10.000 yang diambil pada waktu 1 minggu sebelum terjadinya bencana banjir dan pada saat kejadian. Hasilnya membuat Pejabat Gubernur Aceh terpana, gelang gelang kepala melihat angkanya mencapai 3 kali dana APBD Provinsi Aceh tahun itu. 


Output dan Outcome

Output dari upaya perbaikan pada manajemen pemerintahan antara lain : 

1. Berkurangnya frekuensi, intensitas dan magnitude banjir dan tanah longsor.
2. Berkurangnya tingkat kerusakan infrastruktur, properti.
3. Berkurangnya korban jiwa dan materi.

Dengan demikian dana APBN dan APBD dapat difokuskan untuk mengembangkan sektor ril, sehingga memberikan dampak langsung pada tingkat kesejahteraan masyarakat. 

Outcome yang ditimbulkannya adalah membaiknya iklim investasi, sehingga mendorong para calon investor untuk menanamkan modalnya di Aceh. Dengan demikian denyut perekonomian Aceh meningkat.


Epilog

Aceh membutuhkan kepala daerah ( Gubernur, Bupati dan Walikota ) yang visioner, mau dan berani untuk tidak populer. Masa jabatan maksimal seorang kepala daerah ( 10 tahun ), difokuskan untuk " mencuci piring kotor dan menata ruang pesta yang berantakan " , akibat pesta pora di masa lampau yang bukan perbuatannya. Kepala daerah harus menggelontorkan dana besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, agar neraca hidrologis Aceh dapat sehat kembali. Konsekuensi logisnya dana yang tersisa untuk menggerakkan perekonomian sektor ril tidak besar. Akibatnya laju pertumbuhan ekonomi daerahnya melambat. Mungkin dia akan dikenang sebagai kepala daerah yang tidak banyak melakukan pembangunan menurut pandangan mainstream. Walaupun demikian dia akan dikenang sebagai kepala daerah yang membangun fondasi jalur lintasan yang akan dilalui oleh para kepala daerah berikutnya. Hal itu pernah dilakukan oleh Hartomo Walikota Surakarta pada dekade 80 an. Darmakun Darmokusumo Bupati Kabupaten Gunung Kidul periode 1974 - 1984,  yang berhasil menyulap wilayahnya dari stigma tandus, kering, miskin, menjadi daerah yang hijau, subur dan makmur. Sekarang penduduk di dua daerah itu tersebut menikmati hasil kerja keras kepala daerahnya. Kedua tokoh tersebut tetap dikenang sebagai orang yang membangun fondasi lintasan, sehingga ke dua daerah itu melaju kencang meninggalkan daerah tetangganya. 

Pada awal tahun 2000 an Provinsi Jawa Tengah menerapkan model pembangunan berbasiskan bentang ekologis yang dikenal dengan nama model pembangunan SWS ( Satuan Wilayah Sungai ). Jawa Tengah dibagi menjadi 6 SWS, salah satunya berkembang menjadi SWS terbaik di Indonesia. SWS dimaksud dinamakan Jratunseluna, singkatan dari nama sungai sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, Juwana. SWS Jratunseluna terdiri dari 13 Kabupaten yang sebelumnya sering mengalami bencana banjir, tingkat erosi yang tinggi, tandus, kering, miskin. Dalam waktu 10 tahun ke 13 Kabupaten berubah menjadi daerah yang bebas dari bencana banjir, hijau, subur dan makmur. Penulis terlibat dalam Tim SWS Jratunseluna dan merasa bangga karena ikut mentransformasikan daerah minus menjadi makmur sejahtera dan meraih predikat SWS terbaik di Indonesia serta dijadikan role model.  Di akhir tulisan penulis masih menyisakan satu pertanyaan penting. Adakah Kepala Daerah di Aceh yang mau dan berani menjadi martir pembangunan yang siap mengorbankan dirinya secara total untuk kejayaan masyarakat Aceh?. Hanya masyarakat Aceh dan waktu yang dapat menjawab pertanyaan itu. 







Comments

Popular Posts