LIRIK LAGU SEBAGAI SUMBER INSPIRASI RISET ILMIAH


Prolog

Banyak orang mengira bahwa lirik lagu hanya berisi fantasi dari seorang komponis. Kenyataanya, tidak sedikit komponis yang mendeskripsikan bentang alam, bentang sosial budaya dalam lirik lagu ciptaannya, sehingga dapat dijadikan referensi bagi generasi berikutnya. Salah satu lagu legendaris dan dapat dikatakan sebagai lagu abadi adalah lagu Bengawan Solo, ciptaan kompois besar, Gesang. Lirik lagu Bengawan Solo dapat dijadikan sumber inspirasi untuk merancang suatu riset ilmu ilmu kebumian dan kajian ilmu lingkungan. Salah satu ilmu dasar dari ilmu lingkungan adalah ekologi. Sangat menarik melakukan riset bentang ekologis pulau Jawa berikut perubahan struktur keruangan, perubahan sosial budaya di pulau Jawa dari masa ke masa. 


Lirik Lagu Bengawan Solo Sebagai Petunjuk Awal

Dari lirik lagu Bengawan Solo, ciptaan Ki Gesang, dapat ditafsirkan bahwa pada tahun 1940, dan sebelumnya, keseimbangan neraca air di DAS ( Daerah Aliran Sungai ) Bengawan Solo sudah rusak.  Indikasi rusaknya keseimbangan neraca air itu adalah ketidak stabilan debit air sungai sepanjang tahun, melimpah pada musim hujan dan menyusut drastis pada musim kemarau. 



Gambar 1 : Foto aliran sungai Bengawan Solo                             diambil dari udara.

Sumber : Google


Rusaknya keseimbangan neraca air disebabkan karena terjadi perubahan penggunaan lahan secara masiv di DTA ( Daerah Tangkapan Air ), di DAS, terjadinya eksploitasi / pemanfaatan lahan melebihi kapasitas daya dukung lahan. Pemanfaatan melampaui atau di bawah daya dukung, diukur dengan dua konsep yaitu kemampuan lahan dan kesesuaian pemanfaat lahan, serta satu indikator yaitu kelayakan. Hasil kajiannya adalah 3 kemungkinan yang dapat terjadi yaitu : 

1. Pemanfaatan di atas daya dukung, disebut tidak efisien.

2. Pemanfaatan selaras dengan daya dukung, disebut layak.

3. Di bawah daya dukung, di sebut tidak efektif.

Jadi lirik lagu dapat dijadikan petunjuk tentang kondisi ekologis atau aspek lainnya di suatu wilayah di masa lampau dan di masa kini. Dua sungai utama di Jawa yaitu Bengawan Solo dan Kali Brantas, sejak ribuan tahun lalu sudah mengalami eksploitasi berlebih, demi mendukung peradaban kuno berbasis sungai sebagai urat nadi dan jantung perekonomian negara sejak Ibu Kota dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur ( Medang Kahuripan , Kediri- Jenggala, Singosari, Majapahit ). Eksploitasi itu mengalami ekskalasi peningkatan tajam pada masa Kolonial Belanda. Peningkatan itu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 

1. Perluasan pembangunan infrastruktur ( jalan raya, jalan kereta api / jembatan), bendungan/ irigasi teknis. Kondisi ini menyebabkan penambahan luas areal yang dapat dimanfaatkan ( ekstensifikasi ), dan perbaikan tata kelola kegiatan pertanian   ( intensifikasi ).  

2. Perluasan pembangunan infrastruktur jalan raya, jembatan, irigasi, pembangunan pemukiman telah menyebabkan penyebaran penduduk lebih merata, sehingga kesannya pulau Jawa jadi lebih kosong. 

Dua faktor di atas mendorong timbulnya krisis tenaga kerja , ditambah faktor ke tiga, munculnya praktek tanam paksa, disusul dengan berkembangnya perusahaan  perkebunan pemerintah dan swasta berskala besar. Pembukaan areal perkebunan secara besar besaran dipicu oleh kehadiran Undang Undang Agraria tahun 1870. Undang undang tersebut telah membuka keran masuk dan diikuti dengan mengalir dersanya modal asing. Krisis tenaga kerja mendorong masyarakat menciptakan nilai baru dalam sistem sosial budayanya, yaitu nilai penting anak, sebagai salah satu aset ekonomi. Orang didorong untuk punya banyak anak.  Pada era inilah ( paruh ke dua abad XIX), muncul ungkapan banyak anak, banyak rejeki. Alur pikir di atas mendorong munculnya hipotesis bahwa telah terjadi perubahan nilai anak dalam pandangan orang Jawa. 

Titik awal membuat rumusan hipotesis di atas  adalah data hasil sensus penduduk yang pertama kali  dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H Daendels ( 1808  1811 ). Sensus mencatatat bahwa penduduk pulau Jawa berjumlah 4,5 juta jiwa. Tahun 1900  ( berjarak waktu 89 tahun ), dilakukan sensus penduduk oleh van Deventer yang mencatat jumlah penduduk pulau Jawa 30 juta jiwa. Dalam rentng waktu kurang dari seabad, jumlah penduduk pulau Jawa meningkat sebesar 750%. Apa yang terjadi di pulau Jawa pada abad XIX,  sehingga jumlah penduduk meningkat fantastis. Data sensus di atas dapat dijadikan titik tolak perumusan hipotesis tentang perubahan nilai anak dalam pandangan orang Jawa. Hipotesis ini harus dapat diuji dengan fakta / data empirik.  

Hipotesis tidak dapat diuji, selama tidak diturunkan ke dalam bentuk yang lebih konkrit dalam bentuk bridging argument, atau deduksi hipotesis, yang dapat dikonfirmasi pada data. Rumusan deduksi hipotesis nya adalah: Jauh sebelum abad XIX, orang Jawa sudah mengenal dan memanfaatkan secara luas pengetahuan tentang ramuan tradisional yang dapat menjarangkan kelahiran. Dasar argumentasinya, pada masa lampau belum dikenal alat kontrasepsi modern ( pil KB, IUD, diafragma, suntik, susuk ). Tanpa ramuan tradisional untuk menjarangkan kelahiran, mustahil orang Jawa punya kemampuan memilih alternatif kapan ingin punya sedikit anak atau banyak anak. 

Cara menguji deduksi hipotesis itu adalah memeriksa dengan cermat isi kepustakaan lama di keraton, mencari naskah yang berisi pengetahuan ramuan tradisional yang dapat menjarangkan kelahiran. Jika naskah itu ditemukan, maka praktis deduksi hipotesis nya benar dan otomatis pula hipotesis nya benar. Kraton memiliki tradisi tulisan lebih baik dari institusi tradisional lainnya. Sumber tertulis tentang ramuan tradisional yang berguna untuk menjarangkan kelahiran ditemukan bertaburan di khazanah kepustakaan keraton. Dengan demikian deduksi hipotesis mendapat dukungan kuat dari sumber sumber tertulis otentik. 


Outcome / Novelty Dari Pembuktian Hipotesis

Selama masa pemerintahan rejim Suharto, program Keluarga Berencana dengan pelaksananya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional  ( BKKBN ) adalah salah satu puncak prestasi nasional yang fenomenal. Program Keluarga Berencana dapat berhasil karena dukungan politik dan dana yang hampir tidak terbatas, dengan laju pertumbuhan penduduk rata rata kurang dari 2% per tahun. Pada abad XIX, masyarakat Jawa meningkatkan jumlah penduduk karena mengusung nilai baru yaitu banyak anak, banyak rejeki. Selama satu abad nilai itu terus dikembangkan sampai dekade 1970 an. Jika ada program Keluarga Berencana yang ingin menekan laju pertumbuhan penduduk, maka harus diikuti dengan mengusung nilai nilai tandingan. Harus dibuat program kampanye dengan jargon dan narasi anti banyak anak. Seandainya pada masa rejim Suharto dilakukan kampanye menerapkan nilai nilai baru ( kembali ke nilai lama ), mungkin program Keluarga Berencana akan mencetak keberhasilan lebih besar. Bisa jadi angka laju pertumbuhan penduduk di bawah 1% per tahun. 


Epilog

Ternyata lirik lagu legendaris Bengawan Solo dapat dijadikan titik awal atau inspirasi untuk  melakukan kajian perubahan bentang ekologi, perubahan struktur keruangan fisik, perubahan  sosial budaya di pulau Jawa pada masa lampau hingga masa kini. Kajian ini diharapkan dapat mendorong munculnya kajian kajian sejenis dengan memanfaatkan karya seni yang lain, seperti lukisan, dan pahatan yang banyak terdapat pada dinding candi.

Comments

Popular Posts