SYEKH MUHAMMAD BIN SALIM AL KALALI : INTELEKTUAL ACEH YANG DILUPAKAN

 

Prolog

Pada suatu siang di bulan Juni 1985, di saat matahari  memancarkan panas terik, penulis duduk melepas lelah di sebuah warung kopi di kawasan Moon Geudong, kota Lhok Seumawe, Aceh Utara. Sejak pagi penulis blusukan menjelajahi pelosok situs situs arkeologi dari masa abad XIII - XV Masehi di sekitar Desa Samudera, Kecamatan Syamtarila, Kabupaten Aceh Utara. Kunjungan ke situs situs tersebut dalam rangka mengumpulkan data untuk penulisan tesis, di bawah bimbingan Ibunda Prof Dr Inajati AR, pakar arkeologi Islam terkemuka di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Salah satu pengunjung di warung itu secara sepintas menyebut nama yang tidak asing bagi penulis. Sudah beberapa bulan penulis berkutat dengan beragam literatur tentang kepurbakalaan di Aceh Utara. Dari berbagai literatur yang ditulis oleh para orientalis ( ahli ketimuran ) bangsa Belanda, penulis mengenal nama yang dibicarakan.

Nama tersebut menunjuk sosok intelektual Aceh  yang tidak lagi dikenal oleh kalangan generasi muda Aceh, Syekh Muhammad bin Salim Al Kalali. Penulis minta tolong diantarkan ke makam tokoh yang wafat pada tahun 1946 dalam usia 100 tahun. Makam itu berada di desa Hagu Selatan, dekat Moon Geudong, Gang Panti Asuhan. Di makam itu penulis membayangkan kiprah tokoh ini yang mendapat respek dari para ahli dan pejabat pemerintah Hindia Belanda. Tidak kurang dari tokoh tokoh kaliber besar seperti Snouck Hurgronje,  J P Moquette, G L Tichelman, J Hulshoff Pol dan H K J Cowan mengagumi keluasan dan kedalaman ilmu Syekh Muhammad Al Kalali. Para orientalis itu menjadikan Syekh Muhammad Al Kalali sebagai nara sumber terpercaya dan sering diminta bantuannya untuk mengkoreksi tulisan tulisan yang akan dipublikasikan. Mereka sangat terbantu dengan koreksi pembacaan inskripsi di makam makam tua,  mata uang emas, yang dalam bahasa lokal disebut derham dan  naskah naskah lama. Semua pejabat militer dan Sipil Belanda yang bertugas di Aceh sangat menghormati tokoh tersebut. 


Profil Syekh Muhammad bin Salim Al Kalali

Syekh Muhammad bin Salim Al Kalali dilahirkan di Singapura tahun 1846. Ayahnya bernama Syekh Salim bin Mubarak bin Abdurrahman bin Salim Al Kalali, berasal dari Hadralmaut, Yaman. Ketika masih kanak kanak, Muhammad Al Kalali, dibawa pulang ke kampung halaman. Ketika sudah dewasa Muhammad Al Kalali kembali ke kota kelahirannya dan mendirikan perusahaan dagang Pulau Pinang Al Kalali & Co, berpusat di Singapura. Perusahaan itu memiliki beberapa cabang, antara lain Batavia, Cirebon dan Surabaya. Menjelang penutup abad XIX, Muhammad Al Kalali memilih menetap di kota Lhok Seumawe dan tetap mengendalikan perusahaannya dari jarak jauh. Tidak diketahui alasan Al Kalali memilih kota Lhok Seumawe sebagai tempat menetap. Satu hal yang sudah diketahui, Muhammad Al Kalali sangat mencintai negeri Aceh dan ingin menghembuskan nafas terakhir di sana. 

Di Lhok Seumawe, Muhammad Al Kalali membangun reputasi sebagai saudagar kaya yang dermawan dan ilmuwan serta intelektual terkemuka di Asia Tenggara. Beliau banyak menyumbangkan hartanya untuk kemaslahatan Umat, memberikan bantuan dana kepada para pemuda berbakat untuk menuntut ilmu. Ada seorang pemuda Aceh berbakat besar bernama Muhammad Hasbi, menjadi murid kesayangannya. Setelah dirasa cukup memberikan ilmu, Al Kalali langsung mengantarkan Hasbi melanjutkan pendidikan di Perguruan Al Irsyad Surabaya, berguru kepada ulama terkenal Syekh Ahmad Soorkati Al Anshariy Assundaniy. Jejak Muhammad Al Kalali  sebagai intelektual ternama tercatat sebagai pendiri majalah Islam pertama di Asia Tenggara, bernama Al Iman. Majalah itu diterbitkan di Singapura oleh Percetakan Melayu Tanjung Pagar, edisi pertama terbit pada tanggal 1 Jumadil Akhir 1324 H, atau 23 Juli 1909 dan terbit setiap bulan sekali. Majalah itu memuat pemikiran pemikiran pembaharuan Islam, dan banyak mendapat inspirasi dari majalah Al Manar, yang diterbitkan oleh Syekh Muhammad Rashid Ridha, intelektual Islam, kelahiran Lebanon, murid dari Syekh Muhammad Abduh, Mufti Besar Al Azhar. Muhammad Abduh dikenal sebagai murid langsung Syekh Jamaluddin Al Afghani, tokoh perintis gerakan pembaharuan Islam. Al Manar terbit pertama kali pada tahun 1315 H. Dengan demikian percikan pemikiran ke tiga tokoh besar dari Timur Tengah itu juga berkembang di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.

Majalah Al Iman memiliki jaringan peredaran meliputi hampir seluruh wilayah Nusantara dari Aceh hingga Maluku. Majalah itu memiliki perwakilan dan kontributor di beberapa kota,  seperti Dr. Haji Abdul Karim Amarullah ( ayah dari buya HAMKA ) di Padang Panjang, Syekh Thahir Jalaluddin Al Azhariy, di Padang, seorang alumnus dari Universitas Al Azhar, Kairo. Said Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab di Batavia, Syekh Ahmad Soorkati Al Anshariy Assundaniy di Surabaya. Penulis tetap di majalah Al Iman adalah Syekh Muhammad Al Kalali dan Syekh Thahir Jalaluddin Al Azhariy. Penulis pernah berkesempatan memegang salah satu edisi majalah itu di rumah salah seorang ahli waris Al Kalali. Dengan tangan bergetar, penulis membuka lembar demi lembar majalah yang sudah menjadi artefak langka sambil membayangkan wajah pengagasnya.

Syekh Muhammad Al Kalali memiliki jaringan pergaulan yang luas. Kharisma beliau seperti magnet kuat yang menarik bagi orang yang tahu keluasan dan kedalaman ilmunya. Buya HAMKA, ulama terkemuka ketika masih remaja  pada tahun 1930, pernah diajak oleh ayahandanya mengunjungi Al Kalali di Lhok Seumawe. Para pejabat sipil dan militer serta sarjana  Belanda selalu menyempatkan diri berkunjung ke kediamannya. 

Syekh Muhammad Al Kalali memiliki 5 putera dan 4 putri yang didapatkannya dari dua orang istri di Aceh dan Cirebon. Putera dan Puteri beliau juga bukan orang sembarangan,  memiliki kaliber tidak  jauh berbeda dengan sang ayah. Putera Puteri Al Kalali bernama As'ad, Abdul Muin, Abdul Hamid, Ahmad, Umar, Ruqayah, Fathima, Hamidah dan Aisyah. Syekh Muhammad Al Kalali sempat menghirup udara kemerdekaan bangsa Indonesia. Setahun setelah proklamasi kemerdekaan, Syekh Muhammad Al Kalali wafat dalam usia 100 tahun, dengan meninggalkan nama besar, amal kebaikan yang terus dikenang. Beliau adalah prototipe manusia paripurna, memiliki banyak harta, memiliki kadar keilmuan yang mumpuni dan  berkarakter intelektual kelas premium.

Jasad orang besar itu kini terbaring di kuburan yang tidak layak untuk orang yang sudah banyak berjasa untuk masyarakat dan negerinya. Makam tua dan tidak terawat itu sering tergenang air setelah turun hujan. Sebelum jejak bukti fisik otentik berupa makam, tokoh besar itu lenyap tersapu air hujan atau banjir, Pemerintah Kota Lhok Seumawe harus segera mengambil tindakan preventif dengan melakukan pemugaran makam tersebut. Semboyan yang sering didengungkan: Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, harus dibuktikan dengan tindakan nyata. Ada sebuah ironi di masyarakat Aceh masa kini. Jika dilakukan pengambilan sampel 1000 orang yang tersebar di seluruh Aceh secara random ( acak ), kemudian orang orang yang terpilih itu ditanyakan tentang apa dan siapa Muhammad Al Kalali, maka penulis yakin tidak sampai sepuluh orang yang tahu tentang tokoh itu. Penulis pernah melakukan itu pada 30 an orang dan tidak satupun yang pernah mendengar nama itu. Sungguh ironis, masyarakat Aceh melupakan tokoh intelektualnya sendiri yang banyak meninggalkan jejak di bumi Nusantara.



Gambar 1 : Foto Syekh Muhammad bin Salim Al                        Kalali

Sumber     : Google


Jejak Syekh Muhammad bin Salim Al Kalali di Jawa

Dengan kapasitas kemampuan yang dimilikinya, tidak mengherankan jika Syekh Muhammad bin Salim Al Kalali meninggalkan banyak jejak di Jawa, antara lain : 

1. Putera sulung beliau yang bernama As'ad, kelahiran Cirebon, mendirikan perguruan Al Irsyad, cabang Cirebon. Ustadz As'ad pernah mengajar di sekolah Muhammadiyah di Kalimantan. Beliau pernah menjadi Anggota Konstituante pada periode 1957 - 1959 dari partai Masyumi. Beliau juga menghasilkan karya monumental berupa Kamus Lengkap Bahasa Arab - Indonesia. Ustadz As'ad wafat pada tahun 1988. 

2. Puteri bungsunya yang bernama Aisyah mendirikan perguruan Ma'had Islam Al Irsyad Tahfidz Al Qur'an, khusus untuk Puteri, di bawah naungan Yayasan Wanita Al Irsyad Al Islamiyyah di Pekalongan;

3. Cucu ( anak dari puterinya yang bernama Hamidah ), yang bernama Farida Afif, mendirikan perguruan Puteri Al Irsyad Al Islamiyyah Darul Marhamah di Cileungsi, Bogor;

4. Prof. Dr. Teungku Mohammad Hasbi As Shiddiqi, murid Al Kalali yang paling menonjol, menjadi Profesor di Institut Agama Islam ( IAIN ) Sunan Kali Jaga, Yogyakarta. Syekh Muhammad Al Kalali membantu Hasbi melacak asal usul leluhurnya hingga ke Tanah Hejaz dan Hadralmaut,semenznjung Arabia. Hasilnya, Hasbi adalah keturunan ke 37 dari Khalifah Abu Bakar As Shiddiqi RA, sahabat utama Nabi Besar Muhammad SAW. Al Kalali kemudian menambahkan kata As Shiddiqi di belakang namanya. Sepanjang karirnya sebagai akademisi Islamologi terkemuka, Mohammad Hasbi As Shiddiqi menghasilkan 96 judul buku, dengan jumlah lebih dari 150 jilid, 50 artikel. Prof Hasbi juga pernah menjadi Anggota Konstituante pada periode 1956 - 1959. Hasbi As Shiddiqi, wafat pada 9 Desember 1975, meninggalkan seorang penerus sebagai profesor di IAIN Sunan Kali Jaga; 

5. Prof Dr Nourouzzaman As Shiddiqi MA,  adalah putera dari Prof Dr Teungku Mohammad Hasbi As Shiddiqi. Beliau menempuh pendidikan lanjutan di Mc Gill University, Montreal, Kanada. Pemikiran ayahanda beliau dijadikan topik penelitian disertasinya yang dipertahankan di IAIN Sunan Kali Jaga. Kemudian Nourouzzaman As Shiddiqi berhasil mencapai predikat profesor, seperti ayahnya. Penulis merasa beruntung pernah menimba pengetahuan dari Abu Nourouzzaman As Shiddiqi, di bidang Islamologi. Berkat jaringan relasi dan otoritas keilmuannya, penulis berkesempatan belajar Islamologi program non degree di Mc. Gill University selama 1 tahun. Selain dengan beliau, penulis juga sempat belajar kepada K H Ahmad Azhar Basyir MA, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadyah.


Epilog

Puluhan tahun lalu penulis pernah menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Medan, mengajar mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar dan Hukum Lingkungan. Di sana penulis memiliki seorang senior yang sama sama pernah kuliah di Mc Gill University yang sekarang sudah menjadi profesor di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, namanya Prof. Dr. Hasballah Thaib MA dan beliau mengajar mata kuliah Hukum Islam. Pada suatu hari Pak Hasballah meminta penulis mengajar di kelasnya, menggantikan beliau yang berhalangan. Penulis melaksanakan tugas itu dengan baik, tetapi ternyata hal itu menimbulkan gosip miring bahwa penulis mengajar bidang yang tidak dikuasai. Gosip itu sampai ke petinggi universitas dan penulis harus memberi penjelasan atas hal itu. Penulis minta kepada Pak Hasballah menjelaskan hal itu dan beliau dengan enteng memberi pernyataan " Jangan pernah meragukan kapasitas dan kompetensi keilmuan bidang Islamologi dari orang yang pernah belajar di Mc Gill University dan terutama orang itu pernah belajar dari dua orang Empu Islamologi di negeri ini". Terus terang penulis terkesan dengan cara sang senior memulihkan nama baik juniornya. Terima kasih senior, Prof Dr Hasballah Thaib MA.




Comments

Popular Posts