ROBOHNYA KAMPUS KAMI
Prolog
Pemilihan judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah novel berjudul Robohnya Surau Kami, karya A A Navis, sastrawan besar asal Minangkabau. Selain itu rasa keprihatinan atas situasi kondisi kampus tempat penulis berkarir sebagai pendidik dan akademisi, Universitas Sumatera Utara ( USU ), menjadi pendorong lahirnya tulisan ini. Tulisan ini dibuat sebagai oto kritik, dengan tujuan sebagai refleksi, review berbagai proses bisnis ( menurut istilah keren masa kini ), yang berlangsung di universitas. Dengan demikian diharapkan akan lahir tindakan tindakan improvment untuk perbaikan berkelanjutan. Tulisan ini tidak perlu disikapi secara reaktif, karena didukung oleh fakta fakta empirik yang dapat diperiksa oleh siapa saja. Tindakan reaktif tidak akan mengubah situasi, justru dapat memperburuknya.
Beberapa Postulat
Tulisan ini dibangun di atas beberapa postulat yang menjadi fondasi dalam membangun argumentasi. Adapun Postulat yang digunakan adalah :
1. Pendidikan adalah satu satunya mekanisme yang paling efektif dan efisien untuk memelihara dan mengembangkan peradaban.
2. Institusi pendidikan hanya dapat menjalankan peran dan fungsinya jika berhasil membangun relasi yang sehat di antara para stakeholdernya, khususnya peserta didiknya.
3. Relasi yang sehat di antara para stakeholdernya, hanya dapat dibangun di atas landasan kepercayaan ( trust ).
Warga Kampus Tidak Mampu Berpikir Abstrak
Kampus adalah wilayah tempat berkumpulnya intelektual dan orang terpelajar. Sub judul di atas seolah olah menafikan kenyataan bahwa warga kampus adalah orang yang memiliki kecerdasan di atas rata rata. Orang cerdas pasti mampu dan terlatih berpikir abstrak. Orang cerdas paham akan arti dan makna tanda / isyarat, simbol simbol. Kampus USU memperlakukan siapapun ( warga kampus dan non kampus ) sebagai orang yang tak mampu berpikir abstrak. Artinya kampus USU merendahkan dan memperlakukan warganya sebagai orang yang tidak terdidik.
Siapapun orang yang masuk ke wilayah kampus USU dari pintu gerbang utama, disambut dengan jalan lebar dua arah dengan pembatas lebar ( boulevard ) beraspal mulus, mirip Champs Elysees di pusat kota Paris. Kemegahan itu hanya tampak luar, di dalam rapuh dan keropos. Jalan utama itu diperuntukkan bukan untuk orang cerdas, karena baru berjalan beberapa puluh meter dari pintu gerbang, pengendara kendaraan sudah disambut dengan drample ( gundukan ), yang berfungsi sebagai penghambat laju kendaraan ( lihat Foto di bawah ini ).
Sumber : Dokumentasi pribadi
Jalan mulus dimaksudkan agar kendaraan berjalan lancar, Jika pengelola kampus ingin menghambat laju kendaraan dengan alasan mencegah kecelakaan lalu lintas, cukup membuat tanda / simbol batas maksimum kecepatan kendaraan yang melewati jalan tersebut. Tidak perlu memasang hambatan fisik yang menyiksa perut penumpang kendaraan yang tidak memiliki sistem suspensi canggih. Orang cerdas yang mampu berpikir abstrak tidak membutuhkan hambatan fisik. Fakta di lapangan menunjukkan kampus USU memperlakukan siapapun yang masuk ke wilayahnya sebagai orang yang tidak mampu berpikir abstrak. Kondisi ini sebenarnya merupakan pukulan telak yang menggoyahkan fondasi USU, dan membuatnya sempoyongan.
USU Adalah Organisasi Yang Tidak Efisien
USU adalah organisasi pusat pencerahan yang memancarkan cahaya kemilau dan kecemerlangan. USU mengajarkan bagaimana membuat dan mengelola organisasi secara efisien. USU Adalah organisasi yang memiliki banyak aset. Aset yang dikelola secara efisien, akan memberi banyak manfaat. Sebaliknya pengelolaan aset yang buruk justru akan menjadi beban organisasi dan status aset berubah jadi liability. Salah satu aset USU yang paling mencolok mata telah berubah jadi liability adalah lapangan rumput di sisi jalan utama ( jalan Universitas dan jalan Prof A Sofyan ). Siapapun tahu biaya pemeliharaan lapangan rumput seluas lapangan sepak bola sangat mahal. Biaya pemeliharaan yang mahal harus sebanding dengan manfaat yang didapat. Lapangan rumput adalah ruang publik yang bersifat open access. Warga kampus seharusnya dapat memanfaatkan lapangan itu untuk berbagai aktivitas. Faktanya lapangan rumput tersebut dilingkupi pagar besi dan kawat setinggi beberapa meter ( lihat Foto di bawah ini ).
Sumber : Dokumentasi pribadi
Siapapun tidak dapat memanfaatkan lapangan itu dengan leluasa, kecuali atas ijin pihak pengelola kampus. Dengan situasi tersebut pemanfaatan lapangan itu jadi sangat terbatas, tidak sebanding dengan biaya pemeliharaannya. Fakta ini turut menggerogoti wibawa kampus sebagai lembaga pusat pencerahan. Mampu mengajari orang agar bertindak efisien, tetapi tidak mampu menerapkannya di rumah sendiri.
Warga USU Tidak Paham Manfaat Koridor
Koridor beratap adalah barang asing bagi suku suku bangsa di Nusantara. Rumah rumah tradisonal berbagai suku bangsa, bahkan keraton keraton di Jawa, tidak memiliki koridor beratap yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lain. Fungsi koridor beratap adalah sebagai jalur penghubung antar bangunan yang saling berdekatan, sehingga memperlancar aktivitas, tanpa terpengaruh oleh cuaca panas terik matahari dan hujan. Konsep koridor diperkenalkan oleh orang Belanda, dan diterapkan di rumah sakit rumah sakit, sebagai penghubung antar bangsal, dan rumah rumah petinggi perkebunan.
Sekarang seluruh bangunan di kompleks Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara telah dihubungkan oleh koridor beratap. Walaupun demikian ada satu koridor berukuran pendek, menghubungkan pendopo mahasiswa dengan koridor utama ditutup dengan pita polisi ( police line ) berwarna kuning dan hitam. Akibatnya pengguna pendopo tidak dapat melintasi koridor tersebut menuju bangunan lain. Kalau sedang hujan, dan ingin pindah ruangan, mereka harus basah kuyup atau menunggu hujan reda. Pengelola kampus agaknya belum paham akan fungsi koridor. Menurut petugas sekuriti, tindakan itu diambil, untuk mencegah orang memarkirkan sepeda motor di lintasan koridor. Fakta ini sekali lagi menunjukkan warga kampus tidak mampu berpikir abstrak, sehingga harus diganjal dengan hambatan fisik. Mungkin warga kampus USU harus belajar semiotika untuk membuatnya lebih peka menangkap pesan berupa tanda dan simbol. Tindakan itu membawa implikasi bahwa telah terjadi penghapusan manfaat koridor. Agar tidak terlihat konyol dan absurd, lebih baik dibongkar saja koridor itu ( lihat foto di bawah ini ).
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Pukulan Mematikan
Akhirnya pengelola kampus memberikan pukulan mematikan tanpa disadarinya ( Ouroboros Effect ), yang disimbolkan sebagai ular besar yang memakan ekornya sendiri. Dalam mitologi kuno, diceritakan ada seekor ular yang sangat besar dan panjang. Tubuhnya bergelung gelung menjalar ke berbagai arah. Oleh karena sudah demikian besar dan panjang, ular itu tidak dapat melacak posisi ekornya. Dia melihat di kejauhan ada sosok seperti mangsa, lalu diterkamnya , sambil mengerang kesakitan karena tanpa disadarinya dia telah menerkam ekornya sendiri.
Pengelola kampus mengambil tindakan melindungi peralatan edukasi ( in focus ), di ruang ruang kelas dengan cara membuat kerangkeng dari besi ( lihat Foto di bawah ini ).
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Niatnya adalah melindungi aset dari tindakan pencurian, tepi berdapak besar dan penting. Warga kampus harus sadar bahwa ada tiga golongan orang yang sehari hari berada di kampus yaitu dosen selaku pendidik, mahasiswa selaku anak didik dan pegawai sebagai supporting system. Ke tiga golongan ini dianggap berpotensi jadi tertuduh, terdakwa, pelaku tindak kriminal pencurian. Tindakan pemasangan kerangkeng besi itu telah menghancurkan rasa saling percaya di antara ke tiganya, sementara kepercayaan adalah landasan utama dalam membangun relasi yang sehat. Semua yang dilakukan oleh ke tiga kelompok orang itu jadi tidak berguna sama sekali. Fakta itu sekaligus jadi pukulan mematikan yang membunuh warga kampus, dan kampus sebagai institusi pusat kecerlangan. Coba bayangkan jika ada petinggi korporasi besar datang ke kampus USU, dengan niat ingin menjalin hubungan kerjasama atau merekrut para alumni muda ( fresh graduate ), melihat fakta tersebut. Bisa jadi si petinggi itu akan mengurungkan niatnya. Dia berpikir, bahwa tidak ada trust di kampus USU, tiap orang saling bercuriga. Di perusahaannya sudah terbangun sistem yang solid. Jika dia merekrut alumni USU, dikhawatirkan akan menjadi virus yang dapat merusak sistem mereka.
Pihak pengelola kampus boleh saja mengajukan dalih yang bersifat apologi, tetapi itu makin membuat USU terlihat konyol dan rapuh. Pihak kampus boleh saja berdalih bahwa pemasangan kerangkeng besi ditujukan bukan untuk mencurigai orang dalam tapi mencegah maling profesional dari luar kampus. Kalau itu dijadikan dalih, USU memperlihatkan dirinya tidak kompeten menjaga aset, tidak mampu menciptakan dan menjalankan sistem pengaman yang dapat diandalkan. Korporasi juga memiliki masalah yang sama, tetapi tidak sampai melakukan pengkerangkengan aset, karena mereka memiliki sistem pengamanan yang handal. Fakta di lapangan menunjukkan USU tidak mampu membangun relasi yang sehat berlandaskan rasa saling percaya.
Mengajar di Korporasi Atau Belajar Dari Korporasi?
Penulis punya pengalaman panjang bertindak selaku konsultan dan penasehat di beberapa korporasi besar. Selain memberikan nasehat, penulis juga sering memberikan pelatihan dan ceramah tentang implementasi berbagai sistem standardisasi internasional bidang manajemen lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja, keamanan pangan, manajemen risiko. Dari pengalaman itu penulis berpendapat bahwa korporasi lebih progresif dari birokrasi pemerintahan , bahkan dari universitas sekalipun. Mereka lebih tanggap dan responsif dengan perubahan dan inovasi yang sebenarnya banyak berasal dari universitas. Sebagai contoh dalam bidang transparansi manajemen aset, manajemen energi dan manajemen anti suap / anti bribery, korporasi bertindak lebih maju.
Dalam salah satu sesi pelatihan, penulis bertindak selaku nara sumber, seorang peserta mengajak diskusi secara intensif. Dia bertanya, apakah semua yang dipaparkan, telah diimplementasikan di tempat penulis mengajar. Ketika dijawab belum, dia terus mencecar, mengapa universitas hanya pandai mengajarkan, tapi tidak melaksanakannya di rumah sendiri. Penulis tidak punya pilihan selain menjawab berdasarkan fakta, bahwa di universitas penulis hanya penumpang di gerbong paling belakang ( pangkat paling rendah ), bukan masinis di lokomotif atau pilot di kokpit pesawat terbang. Staf korporasi itu terus mendesak, mengapa universitas mengirimkan personil rendahan untuk mengajari mereka. Penulis langsung memberikan jawaban pamungkas untuk menghentikan serangannya. Korporasi anda memanggil penulis bukan sebagai utusan dan tidak membawa nama universitas tapi sebagai pribadi yang dipandang memiliki kompetensi.
Berdasarkan pengamatan, apa yang dilakukan korporasi dan universitas, penulis melihat ada satu atau dua keunggulan korporasi. Mereka lebih memiliki komitmen dan lebih konsisten dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, pemantauan / evaluasi dan tindakan perbaikan berkelanjutan. Universitas boleh saja mengajari korporasi satu atau dua aspek tertentu, tetapi lebih banyak yang perlu dipelajari oleh universitas dari korporasi.
Epilog
Judul tulisan ini sudah tentu bukan dalam arti harfiah, tetapi sebuah kiasan, perumpamaan. Universitas Sumatera Utara secara fisik memang masih berdiri tegak kokoh. Perlahan tetapi pasti USU sedang mengalami krisis kepercayaan. Ketika di antara para pihak sudah tidak ada rasa saling percaya, apapun yang dilakukan USU, jadi tidak bermakna. Dengan kondisi seperti itu, apakah USU masih dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai pemelihara dan pengembang peradaban ?. Penulis tidak berpretensi untuk melakukan penilaian. Biarkan alam semesta dan waktu yang akan mengadili dan memvonisnya.
Comments
Post a Comment