TEGEN STROOM EFFECT DALAM DUNIA KEILMUAN DI REPUBLIK

 Prolog

Istilah tegen stroom pertama kali dicetuskan oleh arkeolog Belanda terkenal bernama Frederick David Kan Bosch pada dasawarsa 30 an di abad XX. Konsep tegen stroom digunakan Bosch untuk menjelaskan proses masuk dan penyebaran budaya India di Nusantara. Dalam perdebatan tentang siapa pembawa budaya India ke Nusantara, banyak teori yang diajukan para ahli. Hendrik Kern mengajukan teori  Brahmana, pembawa budaya India adalah kaum Brahmana ( pemuka agama ). Nicholas Johannes  Krom, mengajukan teori Ksatria, pembawa budaya India adalah golongan  Ksatria. Jacob Cornelis van Leur, berpendapat bahwa pembawa budaya India adalah golongan Waisya ( pedagang ). Bosch datang dengan teori yang lebih kekar yang disebutnya teori tegen stroom ( arus balik ). Menurut teori ini, pada mulanya budaya India dibawa masuk ke Nusantara oleh bangsa India,  namun suku suku bangsa di Nusantara tidak pasif. Setelah menerima budaya India, bangsa Indonesia kemudian bertindak aktif, pergi dan belajar langsung di India. Setelah tamat belajar, kembali ke Indonesia menyebarkan budaya India di Nusantara. Bahkan putera putera terbaik Nusantara mampu mendirikan perguruan tinggi agama Budha di ibu kota kerajaan Sriwijaya yang pamornya setaraf dengan Universitas Nalanda di India. Perguruan tinggi itu menjadi pusat pencerahan di kawasan Asia Tenggara, menerima mahasiswa dari mancanegara, termasuk dari Cina, seperti I Tsing. Di Perguruan tinggi itu ada 2 maha guru kaliber dunia,  yaitu Dharmapala dan Syakhyakirti. Universitas Sriwijaya mampu mensejajarkan dirinya dengan Universitas Nalanda dan terbangunnya hubungan kemitraan yang setara. 

Para leluhur bangsa Indonesia sudah menorehkan jejak fenomenal,  bagaimana cara membangun pusat kecemerlangan peradaban. Perlu upaya intelektual untuk menerima gagasan, mengolahnya dan melahirkan gagasan baru untuk disebarkan ke berbagai penjuru dunia. Demikianlah eksplanasi makna konsep tegen stroom. Dengan konsep itu dicoba menjelaskan fenomena yang melanda para ilmuwan Indonesia dalam satu dekade terakhir.

Sejak Indonesia merdeka, sudah puluhan ribu putra putra terbaiknya dikirim belajar di universitas universitas top di Amerika Serikat, Kanada, Australia, negara negara Eropa, Jepang. Hasilnya adalah lahirnya para doktor, master dari berbagai disiplin ilmu. Kemudian apakah juga terjadi tegen stroom effect di Indonesia saat ini?. Apakah para ilmuwan top di universitas universitas besar mampu memposisikan institusinya sebagai pusat penyebaran pencerahan dengan segala atribut dan benefit yang ditimbulkannya. Jika ditelaah lebih dalam, memang benar telah terjadi tegen stroom effect di Indonesia, tetapi dalam bentuk yang memprihatinkan. Bentuk relasi yang terbangun antara universitas di mancanegara dengan universitas universitas di Indonesia adalah hubungan antara metropolis dengan pheri pheri. Fenomena itu mengingatkan akan teori Dependencia, yang populer pada dekade 70 an dan 80 an dengan para tokohnya Raul Prebisch, Paul Baran, Cordoso dan Andre Gunder Frank. Para pakar dan ilmuwan Indonesia sudah memposisikan dirinya seperti comprador dari para mantan gurunya di metropolis. Kondisi ini bertolak belakang dengan apa yang sudah diperlihatkan oleh para leluhur bangsa Indonesia. Dapat dikatakan sudah terjadi involusi ( penurunan mutu ) peradaban, involusi intelektualitas di Indonesia. 


Nusantara Sebagai Magnet

Tidak dapat disangkal bahwa kepulauan Nusantara adalah wilayah eksotik di bumi, dengan nilai variabilitas tipe biome yang tidak tertandingi oleh wilayah lain. Biome adalah satuan bentang alam level tertinggi, di atas ekosistem. Hampir semua tipe biome, di bumi ada di Nusantara. Nilai variabilitas geo-bio-cultur diversity juga tertinggi di dunia. Semua keunikan dan keistimewaan itu menjadi magnet yang menarik minat orang untuk datang, melihat dan menelitinya. Sejak awal millenium pertama banyak pengunjung dari India dan Cina datang berkunjung dengan beragam motif. Sejak awal millenium ke dua sudah ada orang Eropa datang berkunjung. Marcopolo, pengelana dari Italia singgah di Samudera Pasai, Aceh, selama beberapa bulan dalam perjalanan dari Cina ke Eropa. Kisah perjalanan Marcopolo sangat membangkitkan minat orang Eropa  pergi ke Dunia Timur. Awal abad XVI mulai berdatangan para musafir dari Eropa.  Mereka melakukan pengamatan dan pencatatan dengan pendekatan geladak kapal, suatu cara observasi yang dilakukan dari tepi pantai, tanpa observasi cermat dan mendalam. Beberapa orang yang melakukan pendekatan itu antara lain: 

- Tome Pires, pelaut asal Portugis yang menuliskan pengalamannya dalam 6 jilid tebal buku berjudul Suma Oriental.

- Antonio Pigafetta, musafir asal Itali yang banyak mencatat pengalamannya berkunjung di Nusantara.

- De Baros, pelaut asal Portugis, banyak melukiskan kisah perjalanannya di Banten, Malaka, Maluku.

- Jan Carstensz, pelaut asal Belanda yang melaporkan adanya pegunungan yang puncaknya berlapis salju abadi di wilayah katulistiwa ( Papua).

Selain itu ada peneliti yang serius melakukan penelitian dengan menggunakan metode keilmuan secara ketat, antara lain : 

- Georg Eberhard Rumphius, asal Belanda, melakukan penelitian tentang tumbuhan dan kerang kerangan di Maluku. Hebatnya, Rumphius melakukan penelitian dalam kondisi buta, sehingga terkenal dengan julukan peneliti buta dari Ambon. Rumphius menerbitkan hasil penelitiannya dalam dua buku legendaris berjudul Herbarium Amboinense dan Amboinsche Rariteitkamer.

- Georg Muller, seorang perwira KNIL berpangkat mayor, melakukan ekspedisi dan pemetaan di pedalaman Kalimantan. Muller menemukan formasi batuan kapur berbentuk dinding terjal yang jadi pembatas ekologis antara kawasan Barito dengan Mahakam, dan dinamakan Diinding Muller.

-Hendrikus Albertus Lorenz, seorang penjelajah asal Belanda melakukan ekspedisi di pedalaman Papua.

-Rogier Diederik Marius Verbeek, seorang geolog asal Belanda, melakukan ekspedisi di Sulawesi dan menemukan deposit nikel dalam  jumlah besar. Sebuah jajaran pegunungan di Sulawesi dinamakan sesuai dengan namanya, pegunungan Verbeek.

-Reinout Willem van Bemmelen, ahli geologi bangsa Belanda, yang meneliti kondisi geologi di Indonesia. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam dua jilid buku tebal berjudul Geology of Indonesia . Sampai sekarang buku itu tidak tertandingi dan menjadi rujukan utama bagi siapapun yang ingin mencari rejeki di sektor pertambangan di Indonesia. 

Di samping itu ada  peneliti asing di bidang budaya antara lain: 

- Paul Sarasin dan Karl Friederich ( Fritz ) Sarasin, dua saudara sepupu asal Swiss yang melakukan penelitian prehistori di Sulawesi, berhasil mengidentifikasi budaya mesolitik yang disebut budaya Toala. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam bentuk 2 jilid buku berjudul Reisen in Celebes. Ausgefuhrt in den Jahren 1893 - 1896 und 1902 - 1903. 

- J Roder, peneliti asal Jerman, yang banyak orang melakukan penelitian lukisan lukisan di dinding  dinding gua di Maluku dan Papua.

- CJH Fransen, CHM Heeren Palm dan HR van Heekeren, tiga orang arkeolog yang banyak melakukan penelitian di Sulawesi dan di Maros, Sulawesi Selatan, menemukan lukisan dinding gua tertua di dunia berumur 45.000 tahun.

Sementara itu pada masa pasca kemerdekaan, muncul gelombang kehadiran para peneliti asing dari Amerika dan Australia. Beberapa orang yang layak disebutkan antara lain: 

- Clifford Geertz dan kawan kawan, mahasiswa doktoral dari Amerika Serikat melakukan penelitian di Mojokuto ( nama samaran kota kecil Pare, dekat Kediri, Jawa Timur ). Hasil penelitian Clifford Geertz diterbitkan dalam beberapa buku antara lain berjudul Penjaja dan Raja, Agama Jawa, Priyayi, Santri, Abangan Dalam Masyarakat Jawa, Involusi Pertanian.

- Michael R Dove, peneliti dari Amerika Serikat, meneliti relasi manusia dengan hutan di kalangan suku Kantu di Kalimantan Barat. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku berjudul Swidden Agriculture in Indonesia. The Subsistence Strategies of The  Kalimantan Kantu.

- Andrew P Vayda, seorang antropolog asal Amerika Serikat ada awal dekade 80 an, melakukan uji coba penerapan metode penelitian ciptaannya di kawasan hutan hujan tropis di Kalimantan. Metode itu dikenal dengan nama Kontekstual Progresif.

Demikian sekilas riwayat penelitian di Indonesia oleh para peneliti asing selama beberapa abad terakhir. Dari uraian di atas, dapat dihasilkan beberapa ekstraksi, antara lain :

1. Untuk mendapatkan fakta, data dan informasi aktual, akurat, up to date, para peneliti asing harus datang sendiri dengan membawa anggota rombongan ekspedisinya ditambah lagi dengan rekrutmen beberapa asisten peneliti, asisten lapangan dan tenaga lokal lainnya. Mereka datang dengan peralatan dan ditopang oleh logistik yang lebih dari cukup untuk jangka waktu berbulan bulan bahkan tahunan. 

2. Mereka datang dan menetap di lokasi penelitian dalam durasi waktu yang cukup lama dan tidak jarang harus berjibaku dengan beratnya medan lapangan penelitian dan ancaman penyakit malaria. Investasi mereka tidak hanya pada aspek materi, tetapi juga waktu yang sangat berharga. Selama berada di Indonesia, praktis mereka tidak dapat melakukan pekerjaan lain. Dalam situasi demikian, terjadi aliran modal dan informasi pengetahuan dari negara negara maju ke Indonesia. Sebagai pertukaran, mereka mendapatkan informasi keilmuan dari tangan pertama. Sebuah pertukaran yang relatif adil.

3. Mereka datang ke Indonesia disebabkan karena rasa ingin tahu yang begitu besar, tetapi ada sebab lain yang tidak pernah mereka ungkapkan secara eksplisit. Mereka merasa di Indonesia tidak punya agen atau comprador yang dianggapnya dapat dipercaya level kemampuannya melakukan riset serius dan berdurasi lama. Selama berada di Indonesia mereka juga mendidik kader muda dan setelah selesai kegiatan riset, diberi kemudahan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan sudi di luar negeri hingga level doktor. Setelah berhasil meraih gelar doktor, para kader itu didorong melakukan riset terus menerus di Indonesia dan bersedia menjalankan peran sebagai comprador. Para mentor tidak perlu lagi berinvestasi materi, energi dan waktu untuk mendapatkan data dan informasi keilmuan. Mereka bisa lebih fokus melakukan berbagai agenda  kegiatan lain. 

Sumber :  Google


Algoritma Scopus dan Elsevier Sebagai Penggerak Tegen Stroom Effect

Scopus adalah suatu sistem data base centre atau sistem database sitasi dan literasi bersifat ilmiah. Scopus menjadi tampilan database jurnal internasional sebagai mesin informasi dan tampilan dalam menjaga up date kualitas suatu jurnal berstandar internasional. Scopus dilahirkan oleh Elsevier dan menjadi bagian dari Elsevier, suatu perusahaan penerbitan terkenal berbasis di kota Amsterdam yang sudah berusia ratusan tahun. Elsevier berdiri tahun 1620, didirikan oleh Isaac Elsevier sebagai perusahaan penerbitan yang menerbitkan buku buku literatur / jurnal keilmuan, yang kemudian menyebar luaskan pengetahuan itu ke berbagai penjuru. Logo perusahaan bergambar pohon pengetahuan yang dijaga oleh seorang  dewa  dalam mitologi Yunani Klasik. Pada logo terpampang tulisan Latin berbahasa Latin, merupakan bagian dari frasa yang diciptakan oleh Cicero, politikus dan negarawan Republik Roma. Kata yang dimaksud adalah Non Solus, yang artinya tidak sendiri. Scopus masa kini sudah menjadi penerbitan berskala giga, dengan kapasitas produksi 500.000 terbitan per tahun, menaungi 2000 jurnal dari berbagai disiplin ilmu, 19.000 buku,  memiliki 7000 orang editor jurnal, 17.000 orang anggota redaksi dan 200.000 orang reviewer dari seluruh dunia. 

Dengan sumberdaya yang dimilikinya, Elsevier menjadi sangat berkuasa di bidang penerbitan dan penyebaran infofmasi keilmuan. Sementara itu situasi dan kondisi di universitas universitas di seluruh penjuru dunia, lembaga lembaga riset, jajaran birokrasi pemerintahan, telah dipenuhi oleh para bekas anak didik para mahaguru dari berbagai universitas top dunia, dianggap telah matang, siap menjalankan tatanan baru yang didesain oleh algoritma canggih dari Elsevier. Para peneliti muda yang pada 4 atau 5 dekade lalu datang ke Indonesia dan negara negara terbelakang, dan telah berhasil mendidik kader mudanya, sekarang sudah bertahta di singgasana profesor atau profesor emeritus di berbagai universitas bergengsi. Para murid mereka di berbagai penjuru dunia sudah berada di puncak karir, sebagai ilmuwan dan guru besar di universitas di negara masing masing, sebagai pejabat pembuat kebijakan di jajaran pemerintahan, sudah siap menjalankan titah para gurunya. Elsevier dengan scopusnya mulai merancang algoritma tentang standard publikasi informasi keilmuan, tata cara penulisan publikasi, aturan main tentang penerbitan dan sebagainya. Publikasi melalui jurnal yang berafiliasi dalam jaringan Scopus dijadikan syarat mutlak untuk kenaikan jenjang karir dosen dan peneliti. Algoritma baru itu benar benar telah mengubah tatanan lama dalam pola aliran materi, energi dan informasi. Terjadilah wabah demam Scopus di seluruh dunia terutama negara negara berkembang. Para pakar, dosen dan profesor berupaya dengan segala cara mematuhi seluruh algoritma baru tanpa reserve, demi mendapat ruang publikasi di jurnal jurnal kategori scopus. Publikasi itu diharapkannya dapat mengatrol karirnya setapak atau beberapa langkah ke jenjang lebih tinggi. Daya kritis dan akal sehat dinafikan.  Algoritma scopus itu begitu konyol, menghina akal sehat. Kejanggalan begitu mencolok tertutupi oleh kepiawaian Elsevier mengkonstruksikan realitas baru, yang melawan akal sehat, dan diterima sebagai sesuatu yang wajar. 

Jika dicermati perkembangan mutakhir ini dapat diekstraksikan beberapa point, antara lain : 

1. Atas nama kemanusiaan, pendidikan, kemajuan peradaban, Elsevier dan jaringan jurnal terindeks scopus, dan dukungan para dewa ilmu pengetahuan di universitas serta lembaga riset, mendapat data, materi, energi dan informasi yang valid dari berbagai penjuru dunia. Semua didapat tanpa biaya investasi, materi, energi, informasi dan yang paling penting, menghemat waktu yang sangat berharga. Lebih konyol lagi, setelah mendapat semua itu, mereka justru mendapat aliran uang dari setiap publikasi. Para peneliti di negara berkembang sudah mengeluarkan biaya riset yang besar, memeras energi, lelah berfikir, mengalokasikan banyak waktu untuk menganalisis dan menuliskan laporan penelitiannya, menulis makalah. Ketika akan diterbitkan, masih harus membayar sejumlah uang kepada pengelola jurnal.

2. Algoritma itu telah mengubah tatanan pola aliran materi, energi dan informasi menjadi sangat timpang, jauh dari seimbang dan adil. Negara negara maju justru disubsidi oleh negara negara berkembang, akibatnya kesenjangan makin lebar. Kenyataan ini dinafikan oleh para comprador metropolis. Beragam kekayaan intelektual tersedot ke metropolis, sementara para comprador itu hanya mendapat kebanggaan semu dan limpahan. materi yang ironisnya bukan dari negara maju yang sudah sangat diuntungkan, tetapi dari universitas dan lembaga di negara masing masing.  Lengkaplah kekonyolan logika yang dipertontonkan oleh algoritma scopus.

3. Memang terjadi tegen stroom effect di dunia keilmuan, tetapi dalam bentuk yang paling buruk berdasarkan norma akal sehat. Berdasarkan fakta tersebut, universitas dan lembaga riset di negara berkembang menjelma menjadi institusi yang dekaden, stagnan, konservatif, patuh mutlak pada Elsevier. Dibandingkan dengan lembaga bisnis dan korporasi, universitas sudah jauh tertinggal, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini. Lembaga terhormat itu tidak mampu menempatkan posisinya sebagai pemancar sinar kebijaksanaan.


Situasi yang mirip juga pernah terjadi di dunia perdagangan komoditi kelapa sawit. Negara negara maju berupaya menerapkan algoritma secara paksa, untuk dipatuhi oleh negara negara pengekspor minyak sawit ( Crude Palm Oil, CPO ). Negara negara maju memaksakan penerapan algoritma yang mereka rancang, yang disebut RSPO ( Roundtable Sustainable Palm Oil ). Indonesia sebagai negara eksportir CPO terbesar melawan algoritma RSPO. Sebagai langkah tandingan yang elegan, Indonesia meluncurkan algoritmanya sendiri yang dikenal dengan nama ISPO ( Indonesia Sustainable Palm Oil  ). Dunia korporasi telah menampar wajah para intelektual, dengan mengajari para profesor, doktor, bagaimana cara melawan dominasi negara negara maju secara elegan dan bermartabat.


Epilog 

Untuk kesekian kali ilmu arkeologi dan sejarah  dengan kajian di masa lalu telah berhasil membongkar sebuah realitas, membuka kesadaran baru dalam menyikapi sebuah realitas yang dikonstruksikan. Para leluhur bangsa Indonesia telah menunjukkan kejeniusannya dalam melakukan olah akal budi, sehingga tercipta tegen stroom effect yang menguntungkan. Sementara para pewaris leluhur di masa kini telah memilih peran sebagai comprador dari negara metropolis, yang jelas jelas semakin mempertebal perasaan inferior ketika berhadapan dengan bangsa bangsa lain. Dunia korporasi ternyata jauh lebih progresif, lebih lincah dalam merespon setiap ada perubahan konstelasi tatanan dunia. Para CEO korporasi dengan  gamblang telah mengajari para profesor doktor di universitas bagaimana cara melawan dominasi negara maju secara terhormat, berkelas dan bermartabat.




 




.



Comments

Popular Posts