MENGGUGAT KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang jasa almarhum Prof Dr Sugeng Martopo dan Prof Dr Salahuddin Djalal Tandjung. Kedua beliau adalah jajaran generasi pertama pakar ilmu lingkungan di Indonesia dan menjadi guru penulis.
Prolog
Sudah 37 tahun konsep pembangunan berkelanjutan mendominasi perbincangan di berbagai kalangan, seperti akademisi, birokrat pemerintah dan perusahaan swasta, pelaku dunia bisnis dan LSM. Semua pejabat mulai dari Sekjen PBB hingga Lurah kalau memberikan pidato, kata sambutan dalam acara resmi yang berhubungan dengan program pembangunan, dirasa kurang lengkap jika tidak menyelipkan kata pembangunan berkelanjutan. Ironisnya, timbul salah kaprah berkepanjangan, dikira sebagian besar orang, konsep pembangunan berkelanjutan adalah senjata ampuh untuk mengatasi berbagai masalah. Akibat pemahaman yang dangkal akan konsep itu, cenderung jadi sekadar jargon kosong tidak bermakna, dan ironisnya kemudian justru disakralkan.
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana sekaligus rumit, sehingga pengertiannya sangat multi dimensi dan multi interpretasi. Sangat sedikit orang yang memahami konsep itu secara utuh. Konsep itu terlalu lama berkutat di level normatif, tidak dapat diopersionalkan. Baru dua dekade terakhir konsep pembangunan berkelanjutan memiliki indikator, parameter dan formula perhitungannya. Baru satu dekade menikmati status kejayaan, konsep ini sempoyongan dihantam oleh oleh konsep Anthropocen. Kritik konsep anthropocen bersifat mendasar, membongkar kepalsuan landasan filosofi, postulat, premis, aksioma konsep pembangunan berkelanjutan, sehingga diperkirakan usianya segera berakhir dan masuk kotak.
Latar Belakang Lahirnya dan Dasar Pemikiran Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan lahir dari kecemasan para pakar akan kelanjutan peradaban di bumi, karena laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali diikuti oleh laju konsumsi akan sumberdaya alam yang juga tidak terkendali, sementara ketersediaanya tidak bertambah, bahkan semakin sedikit. Kondisi tersebut menimbulkan tiga krisis multi dimensional yang akut dan saling mengunci. Krisis yang dimaksud adalah :
1. Krisis kependudukan. Jumlah penduduk makin banyak, laju pertumbuhan rata rata 2% per tahun. Sementara itu kualitasnya makin menurun, karena ketersedian pangan, nutrisi dan gizi yang tidak mampu mengejar laju pertumbuhan penduduk. Kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan dan kebutuhan dasar lain juga makin menurun.
2. Krisis energi. Sebagian besar penduduk bumi memenuhi kebutuhan energinya dari pemanfaatan energi yang diperoeh dari pembakaran bahan bakar fosil ( minyak bumi dan batu bara ). Bahan bakar fosil bersifat non rewable ( tidak dapat diperbaharui ), dan ketersediaanya makin langka. Di samping itu bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas buang yang mencemari lingkungan ambien udara.
3. Krisis lingkungan. Krisis ini lahir sebagai konsekuensi logis dari dua krisis yang mendahuluinya. Akibatnya kualitas lingkungan ambien tanah, air dan udara juga menurun, sementara manusia membutuhkan mutu lingkungan yang baik.
Ketiga krisis ini ini tidak dapat diatasi secara parsial, harus diatasi secara simultan. Pada tahun 1983 Perserikatsn Bangsa Bangsa ( PBB ), melalui organik nya United Nation Environment Program ( UNEP ) membentuk World Commission Environment Development ( WCED ), yang dipimpin oleh Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland. Komisi ini lebih dikenal dengan nama Komisi Brundtland, bertugas mencari terobosan baru yang bersifat komphrehensif dan mendasar guna memecahkan masalah tersebut di atas. Setelah bekerja selama 4 tahun, tahun 1987 Komisi ini menerbitkan laporan tebal berjudul Our Common Future. Salah satu konsep kunci yang dihasilkan adalah Sustainable Development ( Pembangunan Berkelanjutan ) yang menggemparkan dunia. Orang menaruh harapan besar pada konsep ini yang dianggap dapat menyelesaikan berbagai masalah besar dan akut.
Konsep pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai :
1. Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan dan kesempatan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan standard mutu minimal sama dengan generasi sekarang.
2. Upaya meningkatkan mutu kehidupan manusia, namun dengan cara dan gaya hidup yang tidak sampai melampaui daya dukung ekosistem.
3. Pola transformasi sosial dan struktur ekonomi ( pembangunan ) yang mengoptimalkan keuntungan keuntungan ekonomi dan sosial lainnya yang tersedia pada saat ini tanpa mengurangi potensi keuntungan serupa di masa depan.
Komisi Brundtland tidak mengungkapkan secara tertulis, aksioma, postulat dan asumsi yang menjadi landasan konsep pembangunan berkelanjutan, akibatnya pembaca harus bekerja dan berpikir keras untuk mengungkapkannya. Setelah konsep itu dirilis untuk pertama kali, timbul optimisme berlebihan, terjadi euforia bahwa dunia akan memasuki babak baru. Ribuan forum seminar, konferensi , kongres, workshop digelar untuk membahas konsep itu, tetapi tidak ada kemajuan berarti pada implementasi, karena konsep itu belum siap operasional, masih bersifat normatif. Mulai dekade 90 an mulai ada beberapa pakar yang berupaya membumikan konsep pembangunan berkelanjutan.
Upaya pertama mengoperasionalkan konsep pembangunan berkelanjutan dilakukan oleh Dally (1990 ), diikuti oleh Perman et.al ( 1996 ). Pakar berikutnya yang memberikan yang memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan konsep tersebut adalah Norton dan Toman, Howarth, ( 1997 ), Jha dan Murphy serta Harris ( 2000 ). Berikutnya Pearce dan Berbier ( 2000 ), Faucheux dan O' Connor ( 2001 ), turut memperkaya dan memperluas cakupan operasional konsep pembangunan berkelanjutan.
Di samping operasionalisasi konsep, beberapa pakar lain juga fokus mengembangkan aspek metode pengukuran, model matematis, formula formula rumus / persamaan matematis untuk menghitung nilai variabel variabel secara kuantitatif. Para pakar yang dimaksud dan formula yang diciptakannya antara lain formula Pearce - Atkinson ( 1993 ), formula Hartwick ( 1997 ).
Postulat Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Walaupun pencetus konsep pembangunan berkelanjutan tidak merumuskan secara tertulis, tetapi berdasarkan telaah mendalam, dapat ditelusuri postulat postulat yang digunakannya, yaitu :
1. Ketersediaan sumberdaya terbatas, dapat diketahui, dapat dihitung dan dapat diakses oleh manusia secara langsung atau tidak langsung.
2. Pemanfaatan sumberdaya dapat diatur, dikontrol sepenuhnya.
3. Manusia dapat menjaga sumberdaya secara terus menerus.
4. Titik keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dengan pemanfaatan dapat diketahui dengan akurat.
Belum sempat diimplementasikan secara meluas, konsep pembangunan berkelanjutan diterjang angin badai yang menggoyahkan eksistensinya sebagai primadona. Konsep anthropocen datang melabrak dan menggugat kemapanan konsep pembangunan berkelanjutan. Ktitik yang diajukan cukup telak dan mendasar, menyerang aksioma dan postulat konsep pembangunan berkelanjutan.
Kemunculan Konsep Anthropocene
Konsep Anthropocen diresmikan pada tahun 2000 oleh ilmuwan asal Belanda bernama Paul Josef Crutzen, pemenang hadiah Nobel bidang ilmu kimia. Konsep anthropocene didefinisikan sebagai berikut : jaman pada level kala / epoch yang ditandai oleh pengaruh / dampak secara global aktivitas manusia terhadap sistem bumi yang dapat diamati jejaknya pada lapisan / stratigrafi formasi batuan geologis.
Kata anthropocene berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri dari dua kata anthropos yang artinya manusia dan cene ( kainos ) yang artinya baru. Konsep dan pengertian anthropocene mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sepanjang riwayat bumi yang sudah berusia 4,5 milyar tahun, perubahan bentuk permukaan bumi semata mata disebabkan karena kekuatan / gaya dari dalam bumi ( endogen ) dan dari luar bumi ( eksogen ). Kekuatan itu berupa gaya gerak lempeng tektonik, aktivitas vulkanik, tektovulkanik, badai meteor, komet, longsoran gletser, patahan / sesar / fault / graben, letusan gunung api, perubahan iklim global, turun - naik permukaan laut yang disebabkan oleh fluktuasi suhu bumi. Semua perubahan itu terjadi tanpa campur tangan mahluk hidup termasuk manusia yang kehadirannya di bumi masih relatif baru ( 4 juta tahun lalu ). Sejak beberapa abad terakhir, keadaannya sudah berbeda jauh. Banyak aktivitas manusia yang sudah memberikan perubahan secara signifikan terhadap sistem bumi. Beberapa di antara tindakan manusia yang dimaksud adalah penggunaan bahan bakar fosil, telah mengubah komposisi kimiawi udara di atmosfer bumi, pembangunan bendungan raksasa di sungai sungai besar telah mengubah pola sebaran sedimen ( endapan ) di dasar laut, berkurangnya jumlah keanekaragaman jenis ikan dan populasi ikan di sungai, muara dan lepas pantai. Manusia sudah berada di jaman yang menempatkan manusia sebagai sebagai seniman pahat yang turut memberikan kontribusi karya nya dalam proses pembentukan relief permukaan bumi. Inilah esensi pemahaman terhadap konsep anthropocene.
Sebenarnya sejak abad XIX, sudah ada kesadaran akan kontribusi manusia terhadap perubahan sistem bumi. Tahun 1873, Antonio Stoppani, seorang pendeta bangsa Itali yang memiliki minat pada bidang geologi, menerbitkan tulisan yang berjudul Corso di Geologia, terdiri dari 3 jilid ( 1871 - 1873 ). Dalam tulisan itu Antonio Stoppani menyebutkan jaman berciri anthropocene sebagai jaman anthropozoikum. Stoppani mendapat inspirasi dari buku karya George Perkins Marsh yang berjudul Man and Nature the Earth as Modified by Human Action. Pada dekade 1930 an, seorang biarawan Katolik yang juga seorang paleontolog terkenal asal Perancis bernama Teilhard de Chardin memperkenalkan konsep evolusi perkembangan bumi dalam tiga tahap yaitu geosfeer, biosfeer dan neosfeer. Konsep neosfeer dapat disejajarkan dengan konsep anthropozoikum dari Antonio Stoppani. Tahun 1938 seorang ilmuwan bidang geo kimia, mineralogi dan petrologi asal Rusia bernama Vladimir Ivanovich Verdnasky menerbitkan tulisan berjudul La biosfera e la noosfera. Di dalam tulisan itu, Verdnasky mengumumkan konsep noosfeer, yang sejajar dengan konsep biosfeer, konsep anthropozoikum, konsep neosfeer dan konsep anthropocene.
Selama hampir 50 tahun konsep itu terlupakan di antara timbunan publikasi ilmiah lainnya. Sampai pada suatu hari di dekade 80 an, seorang ahli ekologi air tawar bernama Eugene F Stoermer mengangkat kembali konsep itu dan memberinya label nama anthropocene, tetapi tidak meresmikannya. Sampai dua dekade kemudian Paul Josef Crutzen mengumumkannya secara resmi. Sejak itu berbagai upaya dilakukan oleh para pakar khususnya bidang geologi untuk mengesahkan konsep anthropocene dalam menyusun periodesasi umur bumi dalam skala waktu geologi. Konsep anthropocene tidak sama dengan konsep konsep lain yang memerikan hubungan, pengaruh, dampak aktivitas manusia dengan alam. Konsep anthropocene lebih dari itu, konsep ini menjelaskan perubahan fundamental / mendasar yang terjadi pada bumi akibat aktivitas manusia. Bumi sekarang sudah tidak sama lagi dengan bumi di kala holocene.
Tahun 2008 International Commission on Stratigraphy ( I C S ), organ di bawah International Union of Geological Sciences ( I U G S ), yang bertugas untuk meratifikasi stratigrafi dan geo kronologi, menerima sebuah proposal yang bagus tentang usulan memasukkan konsep epoch anthropocene ke dalam skala waktu geologi setelah epoch holocene. Tahun 2011 Geological Society of America ( G S A ), menyelenggarakan rapat tahunan yang bertema Archean to Anthropocene : The past is the key to the future. Tahun 2015 - 2016 Anthropocene Working Group ( A W G ), mengumpulkan bukti bukti empirik yang dapat dijadikan penanda bahwa ada perbedaan signifikan antara epoch holocene dengan epoch anthropocene. Tahun 2017, I C S meratifikasi seri terbaru dari epoch holocene yaitu Greenlandian ( 11.700 - 8326 tahun lalu ), Northgrippian ( 8326 - 4200 tahun lalu ), Meghalayan, suatu formasi batuan di India Timur Laut ( 4200 tahun lalu ). Jaman maghalayan ditandai dengan kekeringan yang meluas dan berkepanjangan, yang telah menghancurkan banyak peradaban tinggi, seperti Harappa, Mohenjodaro, Babilonia, Mesir. Tahun 2019, 29 orang anggota A W G mengusulkan pertengahan abad XX sebagai awal dari epoch anthropocene. Argumentasinya, pada masa itu terjadi ledakan jumlah populasi manusia diikuti dengan peningkatan emisi gas - gas rumah kaca di atmosfir, seperti CO2, CO, CH4, SOX, NOX. Pada periode yang sama banyak berlangsung percobaan ledakan bom nuklir, yang meninggalkan sisa - sisa radioaktif yang tertanam di dalam sedimen dan es, glasial dan meninggalkan jejak / catatan geologis. Pada bulan Oktober 2020, dilakukan penelitian oleh Universitas Colorado di Boulder yang membuktikan bahwa :
1. Sejak tahun 1950, terjadi akselerasi peningkatan kuantitas gas - gas rumah kaca.
2. Penggunaan ribuan jenis bahan sintetik secara meluas, terutama plastik, mikroplastik di mana mana sehingga dapat dijadikan penanda anthropocene di mana mana.
3. Akibat pembangunan bendungan , waduk terjadi perubahan pola aliran sungai, sebaran sedimen, pola arus laut.
Hasil studi itu membuktikan telah terbentuknya penanda sebagai indikasi kuat bahwa sistem bumi telah menyimpang dari kondisi di masa holocene. Penyimpangan itu makin lebar dari kondisi holocene, yang dapat digunakan untuk pembenaran proposal penamaan jaman baru , yaitu anthropocene. Tahun 2021 diharapkan I S C, dapat meratifikasi epoch Anthropocene. Yang terpenting, bukti bukti itu terekam di dalam formasi stratigrafi dan batuan geologis.
Postulat Konsep Anthropocene
1. Alam adalah penyimpan jejak yang terbaik. Setiap aktivitas dari berbagai komponen sistem alam semesta termasuk manusia meniggalkan jejak yang dapat dilacak pada formasi batuan /stratigrafi geologis.
2. Laju akselerasi perubahan di dalam sistem alam semesta tidak berjalan konstan, linier, melainkan berfluktuasi baik dalam hal kecepatan maupun amplitudo dan derajat / bobot / efek serta dampak yang ditimbulkannya.
3. Semua perubahan di alam semesta, tidak dapat diprediksi dengan tingkat akurasi tinggi, karena bersifat acak, deterministik, gabungan ke duanya dan tidak memberi ruang sedikitpun pada yang namanya kehendak bebas ( manusia ), dan unsur teleologis.
4. Titik keseimbangan ideal alam semesta tidak pernah dapat diketahui dan diidentifikasi serta tidak pernah dapat dicapai. Segala upaya rekayasa mitigasi dampak dari suatu upaya / aktivitas alam dan manusia menjadi tidak bermakna.
Kritik / Gugatan Anthropocene Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
Pada tataran postulat, konsep pembangunan berkelanjutan berdiri di atas illusi, yaitu adanya titik keseimbangan harmoni. Titik keseimbangan harmoni tidak pernah ada. Bayangkan sebuah jam yang memiliki bandulan yang bergerak konstan ke arah kiri dan kanan. Dari titik ekstrim kiri, bandul bergerak menuju ke titik ekstrim kanan dan melewati titik tengah selama se per sekian detik tanpa berhenti. Setelah mencapai titik maksimum, bandul kembali ke arah titik ekstrim kiri tanpa berhenti di titik tengah. Jika titik tengah dianggap titik keseimbangan, maka keseimbangan harmoni yang dimaksud, tidak pernah dicapai. Dalam realita alam semesta letak titik keseimbangan harmoni bahkan tidak dapat sama sekali diidentifikasi.
Konsep pembangunan berkelanjutan menganggap ada kondisi alam yang baik, seimbang yang harus dipertahankan terus menerus. Kondisi bumi yang relatif tenang di kala holocene, sudah berubah di kala anthropocene yang penuh dengan situasi anomali bahkan cathàstropis.
Dalam kala holocene, manusia dianggap tokoh sentral, menata alam yang harmonis, tidak bergejolak, bersifat linier, dapat mengendalikan seluruh alam menurut kaidah hukum mekanistik. Itu norma di kala holocene, sekarang kita berada di kala Anthropocene yang kondisinya jauh berbeda, tidak mengenal kondisi keseimbangan harmonis. Di kala anthropocene, jangan berharap dapat membayangkan kondisi alam statis, kita mengira dengan menjaga alam, menetapkan batasan batasan, maka alam akan terus ada untuk dieksploitasi. Konsep pembangunan berkelanjutan mengandung kontradiksi penalaran yang sangat serius. Di satu sisi mengakui bahwa sumberdaya sifatnya terbatas, di lain sisi, menginginkan pertumbuhan terus menerus sambil terus dapat mempertahankan keseimbangan harmoni yang sebenarnya juga tidak ada. Jika titik keseimbangan tidak pernah dapat dipetakan, demikian juga dengan titik yang dijadikan base line sebagai titik tolak untuk menghitung ketersediaan sumberdaya dan titik batas keberlanjutan, lalu bagaimana dapat diketahui bahwa yang kita lakukan adalah sesuatu yang berkelanjutan?. Hal itu adalah jelas sesuatu yang absurd. Postulat yang mengatakan bahwa kita dapat mengetahui, menghitung dan menjaga sumberdaya sudah tidak relevan lagi. Anthropocene adalah kondisi baru sama sekali, harus dihadapi dengan narasi baru, dan yang pasti bukan narasi berkelanjutan. Dengan hadirnya epoch athropocene, konsep pembangunan berkelanjutan sudah harus masuk kotak, bersamaan dengan berlalunya epoch holocene.
Epilog
Konsep pembangunan berkelanjutan sudah berusia 34 tahun, dan itu sama dengan durasi satu generasi manusia. Sekarang dapat dikatakan konsep pembangunan berkelanjutan sudah menjadi semacam dogma yang diyakini kebenarnannya oleh milyaran manusia mulai dari Sekjen PBB hingga pejabat di level terbawah. Di kalangan terdidik pengikutnya mulai dari Rektor Universitas ternama hingga mahasiswa tahun pertama. Kampanye secara besar besaran dan masiv selama puluhan tahun menghasilkan segerombolan besar manusia yang fanatik terhadap kehandalan konsep yang dibangun di atas fondasi penuh khayalan dan illusi.
Sekonyong konyong muncul konsep anthroposen yang memporak porandakan dan menghancurkan fondasi dogma konsep pembangunan berkelanjutan. Kenyataan pahit ini tentu sulit diterima oleh sebagian besar kalangan yang telah ikut berkontribusi mengembangkan dan menyebarluaskan konsep tersebut. Apapun kritik yang ditujukan terhadap konsep pembangunan berkelanjutan, sulit menggusur konsep ini dari khasanah perbendaharaan ilmu. Keadaannya mirip dengan konsep pemanasan global, yang juga sudah menjadi mitos, sulit digusur oleh puluhan hasil riset empirik berkualitas tinggi dari berbagai penjuru dunia. Pemanasan global yang sudah terbukti hanya pepesan kosong, tetapi tetap diyakini kebenarannya oleh nyaris semua manusia melek huruf. Yang benar adalah naiknya temperatur di beberapa tempat di permukaan bumi, karena adanya perubahan penggunaan lahan, bukan pemanasan global.
Kenyataan ini menyadarkan kita bahwa mitos tidak hanya ada di ranah ideologi, juga bercokol dan dipelihara di dunia keilmuan. Peringatan hari lingkungan hidup sedunia setiap tanggal 5 Juni, dapat dijadikan momentum untuk melakukan retrospeksi dan introspeksi diri agar selalu bersikap terbuka terhadap semua gagasan / pikiran baru.
Comments
Post a Comment