TRAGEDI HOMO SAPIEN
Jauh sebelum kehadirannya di alam, 450 juta tahun lalu, sudah ada kehidupan di bumi. Sudah ada ribuan spesies muncul, berkembang, lalu punah, dan digantikan spesies lain, begitu silih berganti. Spesies Homo Sapien akan bernasib sama dengan spesies lain, posisinya akan digantikan oleh spesies lain.
Sepanjang sejarah kehidupan di bumi selama 500 juta tahun sudah terjadi 5 kali peristiwa kepunahan massal ( extinction ), yang ditandai dengan punahnya sebagian besar spesies tumbuhan dan hewan di bumi. Kepunahan pertama terjadi pada akhir zaman Ordovisium, 450 juta tahun lalu. Kepunahan masal terbesar terjadi pada akhir zaman Perm, 250 juta tahun lalu. Kepunahan masal terakhir terjadi pada akhir zaman Kapur, 65 juta tahun lalu, yang memusnahkan berbagai jenis dinosaurus.
Tidak ada spesies lain kecuali homo
sapien yang telah mengubah bentang alam secara masiv, sistematis, terstruktur.
Dia telah berkontribusi nyata dalam "memahat,
mengukir", bentang alam mulai dari atmosfir bumi melalui semburan liar
gas gas rumah kaca, menggelontorkan berbagai jenis logam berat berbahaya dan
beracun ke dalam lapisan aquifer air tanah dalam, air tanah dangkal, air
permukaan, ke dalam lapisan lapisan tanah. Hasil karyanya, dapat dilihat pada
konsentrasi bahan polutan di udara, air dan terekam di lapisan stratigrafi
tanah / batuan. Berbagai jenis bentang alam diubah, diacak acak. Padang pasir
dengan kerapatan mahluk hidup jarang, seketika diubah menjadi kota metropolis
dengan kerapatan super tinggi. Daratan diubah jadi perairan dan perairan
disulap jadi daratan. Hutan tropis basah dengan keanekaragaman tinggi
diubah jadi ekosistem binaan tanaman monokultur yang berproduktivitas tinggi
tetapi sangat rentan terhadap guncangan ekologis.
Kepunahan berbagai spesies akibat ulah homo sapien digantikan dengan beragam varietas, spesies dan sub spesies baru hasil rekayasa genetik. Semua itu dilakukan atas nama dan demi peradaban homo sapien. Homo sapien juga mengubah hakekat dan jati dirinya dari mahluk herbivora, menjadi mahluk omnivora, tetapi tidak atau belum mengubah sistem pencernaannya. Sistem pencernaannya masih seperti mamalia herbivora besar, berusus besar berukuran panjang ( 8 - 10 m ). Akibatnya, homo sapien modern sering menderita gangguan pencernaan. Homo sapien jelas mahluk pintar sekaligus bodoh. Sistem kekebalan tubuhnya dihancurkan sendiri dengan memasukkan bahan bahan beracun ke dalam tubuhnya. Berbagai senyawa kimia berbahaya dalam wujud bahan pewarna, pengawet, perisa makanan yang dikonsumsinya telah merontokkan daya anti bodynya. Ketika bakteri, virus menerjang masuk, yang tersisa hanya kepanikan. Puncak tragedi kekonyolan spesies ini adalah ketika dia dengan angkuh mengklaim diri sebagai mahluk paling mulia di muka bumi, tetapi catatan / rekaman sejarah menunjukkan sebaliknya, dia adalah mahluk paling kejam, bengis di alam. Tidak ada spesies selain homo sapien yang sanggup membantai sesamanya dalam skala jutaan. Perang Dunia I menimbulkan korban jiwa lebih 10 juta , dan Perang Dunia II menewaskan lebih 20 juta orang.
Dengan segala tingkah polahnya, homo sapien telah menimbulkan kepunahan banyak spesies. Tidak salah jika para pakar melakukan kajian tentang kepunahan berbagai spesies. Penelitian itu menghasilkan temuan yang mencemaskan. Homo sapien sedang membangun fondasi jalan aspal mulus menuju kepunahan masal ke 6.
Lima kepunahan masal yang telah terjadi, murni mekanisme alam, tetapi kepunahan ke enam, didesain, dirintis, dipicu, diinisiasi oleh homo sapien, dan ironisnya bakal dilewatinya. Sebelum semua itu terjadi, hari hari terakhir ini penulis menikmati tontonan mengasyikan, melihat gerombolan homo sapien dilanda kepanikan, kocar kacir menyelamatkan diri dan komunitasnya dari serbuan pandemi Covid 19. Banyak tatanan hidup spesies ini yang diporak porandakan oleh mahluk super mikro. Terjadi saling kecam, saling hujat, saling lempar kesalahan, tanggung jawab atas serangan pandemi / wabah.
Homo sapien tidak perlu mencari kambing
hitam atas semua kekacauan yang dialaminya. Tanpa Tiongkok, tanpa Wuhan, tanpa
Covid 19, Sars, Flu babi , Flu burung, tanpa konspirasi Yahudi, konspirasi
Illuminati / Free Mason dan sebagainya, satu hal yang sudah pasti, homo
sapien sendiri yang membangun jalan menuju kepunahan masal ke enam. Homo
sapien sudah menggoreskan sendiri guratan telapak tangannya. Mau kembali ?,
putar arah?.....Sudah terlambat. Tidak ada jalan kembali. Seperti memasuki
lorong interlocking , satu tahap dilewati, langsung terkunci. Pilihannya, maju
terus sampai alam menjatuhkan vonis akhir untuk homo sapien dan memberi jalan
kepada spesies baru sebagai pengganti untuk muncul di panggung sejarah alam.
Redefinisi Realitas
Realitas situasi satu tahun terakhir ini harus didefinisi ulang. Selama ini realitas didefinisikan sebagai berikut : Ada sejenis wabah, pandemi Covid 19, yang menyerang kehidupan manusia, sudah menimbulkan banyak korban. Covid 19 adalah musuh bersama seluruh komunitas manusia. Manusia adalah korban, pihak tersakiti, terzalimi.
Tulisan di atas memberi cara pandang berbeda, yaitu : Homo sapien adalah hama / wabah / pandemi yang sesungguhnya. Kehadirannya di berbagai pelosok bumi, pasti diikuti dengan kepunahan berbagai spesies lain. Jalan yang dipilih dan ditempuhnya, tanpa sengaja atau sengaja, sadar atau tidak sadar telah mempengaruhi langsung atau tidak langsung nasibnya sendiri dan nasib sebagian besar spesies lain.
Sebagai penutup, di sini dikutip
pernyataan ahli paleoantropologi terkemuka Richard Leakey, Homo sapien bukan hanya penyebab kepunahan ke enam, tetapi juga salah
satu korbannya. Ahli ekologi Stanford
Paul Ehrlich, berkata Ketika
mendesak spesies lain ke kepunahan, umat manusia sibuk menggergaji cabang pohon
yang didudukinya.
Comments
Post a Comment