MENGENANG FIGUR Dr. WILLEM FREDERICK STUTTERHEIM
Sumber : Google
Prolog
Harian Kompas edisi tanggal 5 Februari 2021 menerbitkan artikel berjudul Tentang Profil Pelajar Pancasila, karya F X Adji Samekto, Deputi Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Negara. Tulisan itu menimbulkan banyak pertanyaan menarik tetapi sulit menemukan jawabannya. Tidak diragukan lagi bahwa konsep pelajar pancasila sangat ideal dalam imajinasi tetapi sulit sekali menemukannya di alam realita. Dengan kata lain konsep itu indah dan ideal di atas kertas, tetapi luar biasa sulit menerapkannya sehingga tampak dalam realita. Pertanyaannya mengapa sulit sekali mengimplementasikan konsep itu dalam tindakan praktis, atau mengapa sulit sekali membumikan nilai nilai pancasila ke dalam perilaku para anak didik?.
Pertanyaan ini mendorong berbagai jawaban yang sifatnya masih spekulatif, artinya bukan berbasis hasil riset yang handal. Salah satu jawaban yang dapat dihadirkan adalah dunia pendidikan Indonesia krisis contoh teladan atau role model sosok pendidik yang sesuai dengan gambaran ideal. Jawaban ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, mengapa demikian sulit mencari role model itu?. Jawabannya lagi lagi bersifat spekulatif, yaitu para pendidik atau para pejabat / tokoh / pemuka masyaraka tidak mampu bersikap konsisten. Artinya apa yang dipikirkan dan diucapkan berbeda dengan apa yang dilakukan. Sepertinya nilai yang diusung terlalu berat bagi siapapun untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari hari. Situasi dan kondisi kehidupan di Republik, tidak kondusif untuk para pelaku yang ingin mengamalkan nilai nilai tersebut. Sebagai contoh sederhana, orang yang ingin berjalan di track lurus dalam hidupnya, sering mendapat hambatan / ganjalan dalam karir dan pergaulan.
Kesulitan lain yang dihadapi adalah belum ditemukan atau belum mau dilaksanakan cara mentransformasikan nilai nilai abstrak ke dalam bentuk tindakan konkrit. Ada gap yang lebar antara keduanya yang belum berhasil dijembatani. Kesulitan ini terutama bersumber pada kelemahan pada berfikir sistematis logis. Hal ini terlihat dari banyaknya pakar / profesor yang kesulitan merumuskan deduksi deduksi dari suatu teori ke dalam bentuk hipotesis dan membuat deduksi deduksi dari hipotesis ke dalam bentuk pernyataan / ramalan / prediksi ( bridging argument ) yang dapat diuji / dikonfirmasi pada data / fakta. Sebenarnya kelemahan di sisi ini dapat ditutupi dengan mudah, melalui latihan latihan berpikir deduktif dengan sarana matematika.
Dalam situasi seperti itu, penulis terkenang pada sosok Dr. WF Stutterheim, seorang pendidik, ilmuwan dan birokrat. Penulis selalu menyediakan waktu untuk berziarah ke makamnya yang terletak di kompleks pekuburan warga elit Batavia, Taman Prasasti di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Selain makam Stutterheim, penulis juga mengunjungi makam beberapa tokoh terkenal seperti Dr. Johannes Laurent Andreas Brandes, ahli filologi dan arkeologi, Dr. Karel Frederick Hole, ahli bahasa, Penasehat Pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Bumi Putera dan Timur Asing, dan pemilik perkebunan teh, Dr. H F Roll, Pendiri dan Direktur STOVIA ( School Tot Opleding Van Inlandsche Artsen ), sekolah kedokteran untuk orang pribumi, Soe Hok Gie, pemikir muda, tokoh mahasiswa / demonstran terkenal yang idealis, di era 60 an.
Profil dan Karir Dr. WF Stutterheim
WF Stutterheim lahir pada tanggal 27 September 1892, menempuh pendidikan di Universitas Utrecht. Tahun 1924 menempuh ujian promosi doktor dengan judul disertasi Rama - Legenden und Rama - Relief in Indonesian dan lulus dengan predikat Cum laude. Tahun itu juga Stutterheim bertolak ke Hindia Belanda dan memilih karir sebagai guru di sekolah Prins Hendrik, di Batavia. Dia juga bekerja paruh waktu di Oudheidkundige Dienst, disingkat OD ( Dinas Purbakala ), yang waktu itu dipimpin oleh arkeolog terkenal Dr. Frederick David Kan Bosch.
Tahun 1926 Pemerintah mendirikan sekolah Algemene Middelbare School bagian A ( setingkat SMA ), di kota Surakarta, yang membuka jurusan Sastra Timur. Substansi yang diajarkan adalah pengetahuan dari dunia Timur, tetapi metode pendekatannya adalah sains modern ( Barat ). Stutterheim ditunjuk menjadi Direktur merangkap guru di sekolah tersebut. Ketika itu, berkat aktivitasnya di OD, membuat nama dan reputasinya melambung hingga ke mancanegara. Ketika mendengar rencana pemerintah membuka sekolah itu dengan Stutterheim sebagai direktur, banyak siswa lulusan MULO ( Meer Uitgebreit Large Onderwijs ), setingkat SMP tahun 1925, menunda masuk ke sekolah lain, karena pengaruh nama besar Stutterheim. Mereka ingin dididik langsung oleh ahli arkeologi beken itu. Para lulusan sekolah itu banyak yang menjadi tokoh pergerakan berkaliber besar, seperti Armijn Pane, Achdiat Kartamihardja, Sutan Takdir Alisjahbana, Prijono, Tengku Amir Hamzah, Amin Soedoro, R L Soekardi, Tjan Tjoe Siem, Kusumadi, Ali Afandi. Semua alumni sekolah itu mengakui bahwa Stutterheim berperan besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian mereka. Stutterheim berhasil menanamkan nilai nilai humanisme, kebebasan, kesetaraan, multikultural, nasionalisme yang berpijak pada nilai nilai kearifan lokal. Beliau juga mendidik para muridnya dengan ilmu ilmu pengetahuan modern, metode ilmiah, teknik berdebat, keberanian mempertahankan prinsip moralitas. Di luar sekolah, para murid murid terpandainya terjun ke dalam organisasi pergerakan, terlibat pada politik praktis, menjadi pelopor Kongres Pemuda ke II, tahun 1928 di Batavia. Dalam pergaulan dan kehidupan sehari hari Stutterheim banyak bergaul dengan tokoh tokoh pergerakan, bangsawan dan bersimpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda berulangkali menegur Stutterheim atas segala sepak terjang para muridnya yang dinilai membahayakan eksistensi Pemerintah, dan dia disesalkan tidak mengambil tindakan terhadap para muridnya yang terlibat gerakan politik. Politieke Inlichtingen Dienst disingkat PID ( Dinas Intelijen Politik ), setara BIN ( Badan Intelijen Negara ) di masa kini berulang kali memperingatkan Stutterheim, tetapi dia menunjukkan keteguhan pendirian seperti yang diajarkannya di dalam kelas. Stutterheim memberikan jawabannya yang kalau di masa kini pasti menjadi viral. Jawaban itu terus bergema setelah berlalu hampir satu abad, " Saya bukan babu. Di luar halaman sekolah, murid murid saya serahkan kepada kebijaksanaan dan tanggung jawab mereka sendiri. Mereka sudah cukup dewasa, tak usah lagi dimata matai oleh seorang babu ". Jawaban tegas itu mengandung arti bahwa Stutterheim bukan tipe orang penakut yang dapat diintimidasi, dapat diatur seperti bidak catur, percaya kepada para muridnya bahwa mereka berjuang dengan senjata yang diberikannya di sekolah, yaitu pemikiran logis dan argumentasi yang diucapkan, serta sekaligus menyindir petugas PID tidak beda dengan babu. Pemerintah kehabisan cara untuk menghentikannya, karena tidak menemukan cacat / kelemahan kinerjanya. Mencopot kedudukannya tanpa alasan kuat, Direktur Pengajaran, bahkan Gubernur Jenderal tidak punya keberanian, mengingat reputasi Stutterheim yang sudah mendunia dan menjadi Anggota yang terhormat Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda, yang sangat bergengsi. Karya ilmiahnya bertaburan di berbagai publikasi nasional dan internasional. Pemerintah merasa kecolongan menempatkan Stutterheim sebagai direktur AMS di Solo. Gubernur Jenderal Jonkheer Mr Bonifacius Cornelis de Jonge ( berkuasa tahun 1931 - 1936 ) yang terkenal paling reaksioner dan tak kenal ampun, juga tidak berdaya menghadapi kharisma dan reputasi Stutterheim. Sudah ribuan pejuang kemerdekaan yang di bui atau dibuang ke neraka dunia Boven Digul, karena goresan pena B C de Jonge di atas lembaran kertas Besluit Gubernur Jenderal. Terhadap Stutterheim, de Jonge terpaksa menahan diri. Memutasikannya ke jabatan lebih tinggi juga bukan perkara mudah. Stutterheim bukan orang yang kemaruk jabatan. Pemerintah tahu bahwa satu satunya jabatan lain disukainya adalah direktur OD. Akhirnya, kesempatan pemerintah menyingkirkan Stutterheim dari AMS di Surakarta datang juga pada tahun 1936. Satu satunya cara itu adalah mempromosikannya menjadi Direktur OD, yang lowong karena ditinggalkan oleh Dr. FDK Bosch, yang pulang ke Holland dan tidak kembali lagi. Semua orang tahu tidak ada orang lain yang lebih pantas untuk menduduki jabatan itu selain Stutterheim. Walaupun dimutasi, selama 10 tahun menjadi pendidik di AMS, Stutterheim sudah sempat menyebarkan benih benih unggul di seluruh pelosok Indonesia.
Selama masa kepemimpinan Stutterheim di OD, seluruh dunia dilanda resesi ekonomi dan akibatnya anggaran untuk OD dikurangi. Sebagai kompensasi berkurangnya kegiatan operasional penelitian dan pemugaran, Stutterheim mencurahkan energi dan pikirannya dalam kegiatan riset kepustakaan dan menulis artikel. Tulisannya tentang dunia kepurbakalaan Indonesia terus mengalir tanpa henti. Di bawah kepemimpinannya reputasi OD sebagai lembaga ilmiah meningkat pesat. Stutterheim tetap memimpin OD sampai detik terakhir kekuasaan Hindia Belanda sebelum digantikan oleh Jepang.
Pada tahun 1940, Pemerintah bermaksud mendirikan Fakultas Sastra di bawah Universiteit van Indonesia. Ketika rencana itu semakin mendekati kenyataan, muncul nama nama kandidat profesor untuk bidang Arkeologi Indonesia. Semua orang setuju, bahwa Stutterheim adalah orang pertama yang harus mendapat prioritas kesempatan pertama. Kompetensi keilmuannya tidak ada tandingannya di seluruh Hindia Belanda, bahkan tidak kalah dari para Profesor di Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Stutterheim menolak tawaran itu dan memilih untuk tetap memimpin OD. Akhirnya, untuk jabatan profesor, pilihan dijatuhkan kepada August Johan Bernet Kempers, seorang ahli arkeologi lulusan Universitas Leiden. Tidak sampai dua tahun beroperasi, Fakultas Sastra harus ditutup, karena masuknya Tentara Jepang dan bubarnya Hindia Belanda. Stutterheim ditawan oleh Jepang di kamp interniran tawanan Jepang. Baru berjalan beberapa saat, Pemerintah Pendudukan Jepang, menyadari kekeliruannya menempatkan orang seperti Stutterheim di kamp tawanan. Jepang membutuhkan jasa keahlian Stutterheim untuk mengelola semua situs, artefak dan monumen. Stutterheim dijadikan tahanan rumah, untuk memberikan nasehat kepada Pemerintah Pendudukan Jepang dalam mengelola kepurbakalaan Indonesia. Setelah bertugas selama 5 bulan, Stutterheim wafat pada tanggal 12 September 1942, karena menderita penyakit tumor otak dan dimakamkan di kompleks Makam Taman Prasasti.
Epilog
Suatu hari di tahun 2018, penulis mengunjungi kompleks makam Taman Prasasti. Ketika sedang berdiri di depan makam Stutterheim, seorang petugas makam mendatangi mengajak penulis berdialog. Menurut pengakuannya, dia sudah beberapa kali melihat penulis mengunjungi makam makam di situ. Dia bertanya tentang orang yang dimakamkan itu dan mengapa penulis sering mengunjunginya. Kemudian penulis bercerita tentang Stutterheim dan peranannya dalam pendidikan kader kader muda yang berkarakter. Tanpa didikan Stutterheim, apakah kita bakal mengenal figur figur terkenal yang berjasa besar dalam memerdekakan bangsa. Kita mungkin tidak pernah mendengar nama nama tenar eksponen Pujangga Baru, Armijn Pane, Achdiat Kartamihardja, Sutan Takdir Alisjahbana, Tengku Amir Hamzah, tokoh ilmuwan Prof Prijono ( Menteri Pendidikan di era Sukarno ), Prof Tjan Tjoe Siem , Prof Kusumadi, Prof Ali Afandi, Amin Soedoro, R L Soekardi dan banyak nama nama lain. Republik berhutang budi kepada Dr. WF Stutterheim, orang Belanda berperasaan halus, bersimpati kepada nasib bangsa Indonesia, mendidik kader kader muda dengan nilai nilai universal, menumbuhkan rasa cinta kepada bangsa dan budaya Indonesia, mengangkat harkat, martabat dan harga diri sebagai bangsa. Seandainya saja sebagian besar guru / dosen di Republik berkarakter seperti Stutterheim, potret buram wajah dunia pendidikan kita, mungkin tidak akan terjadi. Dunia pendidikan dan para anak didik di masa kini sangat membutuhkan contoh teladan dari seorang pendidik. Doktrin ideologi sebagus apapun tidak bermanfaat jika tidak dapat melahirkan pribadi pribadi berkarakter dan konsisten antara pikiran, ucapan dan tindakan. Selain ideologi formal, dan nilai nilai abstrak, Republik sangat membutuhkan contoh keteladanan seperti Dr. W F Stutterheim.
Comments
Post a Comment