MEMORI DI PADEPOKAN KI HAJAR DEWANTARA


 


Gambar 1 : Rumah / Padepokan Ki Hajar Dewantara di jalan Kusumanegara, 
Muja Muju, Yogyakarta 
                      
Sumber : Google

Prolog

Hari Kamis subuh tanggal 4 Februari 2021, penulis  mendapat kiriman video percakapan antara seorang tokoh Taman Siswa yang juga guru dan mentor penulis, Ki Prijo Mustiko, dengan seorang jurnalis. Salah satu segmen itu membahas soal Ordonansi Sekolah Liar yang diundangkan pada tahun 1932. Ki Prijo Mustiko mengungkapkan satu fakta sejarah yang jarang diketahui publik yaitu satu telegram dari Ki Hajar Dewantara kepada Gubernur Jenderal Jonkheer Mr Bonifacius Cornelis de Jonge yang berkuasa pada periode 1931 - 1936. De Jonge adalah Gubernur Jenderal paling reaksioner dari segala jaman, suka menindas, memenjarakan dan membuang para tokoh pergerakan. Dia dikenal kejam, tanpa kompromi. Ucapannya yang melegenda adalah  " Kami sudah memerintah Hindia Belanda dengan cambuk dan tongkat, selama 300 tahun dan kami akan tetap memerintah di sini untuk 300 tahun lagi ke depan ". Telegram dari Ki Hajar kepada de Jonge berisi sikap penolakan terhadap Ordonansi Sekolah Liar. Kemudian de Jonge memanggil Ki Hajar ke istana tetirah ( rumah peristirahatan ) Gubernur Jenderal di Cipanas. Penulis belum menemukan publikasi sumber tertulis tentang pertemuan,  lebih tepatnya negosiasi itu. Yang pasti , tidak lama setelah pertemuan itu, Pemerintah Kolonial mencabut Ordonansi Sekolah Liar. Ada fakta yang menarik dari peristiwa itu yang menimbulkan pertanyaan di benak penulis. Apa gerangan yang disampaikan Ki Hajar kepada de Jonge, sehingga dia mau mencabut Ordonansi itu. Dialog itu pasti sangat menarik untuk dikaji, karena de Jonge bukan tokoh yang mudah untuk diajak berkompromi. Percakapan pagi itu langsung melontarkan penulis ke alam imajiner, ke masa masa penulis sering duduk di teras rumah / padepokan Ki Hajar di Yogyakarta  pada periode tahun 1990 - 1996 . Pengembaraan imajiner itu berusaha menangkap pesan tersembunyi dari dialog antara Ki Hajar dengan De Jonge. Penulis menduga kuat bahwa ke dua tokoh yang berseberangan posisi itu sudah sampai pada level pemahaman yang sama atas sebuah dalil penting di alam semesta yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Dalil apakah itu?, di tulisan ini, penulis akan membuka tirai yang menutupi  dalil itu, sehingga jarang terlihat oleh publik.


Rumah / Padepokan Ki Hajar Dewantara

Periode tahun 1990 - 1996 penulis menetap di kawasan Muja Muju, dengan jalan Kusumanegara sebagai jalan utama. Rumah penulis terletak lebih kurang 300 meter di sebelah timur dari sebuah rumah besar berhalaman luas, bercat kuning gading, yang dikenal sebagai Padepokan Ki Hajar Dewantara. Konon khabarnya rumah itu dibangun dan dipersembahkan oleh para kader dan murid Ki Hajar Dewantara untuk beliau. Di rumah itulah beliau menjalani kehidupan hingga wafat. Sebagai artefak yang sudah tergolong benda cagar budaya, dapat dipastikan rumah itu banyak menyimpan kenangan kisah drama kehidupan, dengan beragam alur cerita menarik. Di waktu luang penulis sering duduk di teras samping rumah Ki Hajar Dewantara dan di bawah pohon besar di halaman depan. Dalam lamunan, penulis membayangkan tidak terhitung tokoh asing dan tokoh nasional termasuk Presiden Sukarno sering bertandang ke rumah ini. Ki Hajar pasti sering berdiskusi dengan para kader, murid dan sahabat sesama aktivis / guru perguruan Taman Siswa di rumah penuh kenangan ini. Seorang teman yang membuka usaha di jalan Kusumanegara sering melihat penulis duduk termenung di halaman, menghampiri dan bertanya kenapa sering duduk di sini. Dengan panjang lebar penulis menceritakan keistimewaan rumah ini berikut arti dan makna pentingnya bagi bangsa dan negara kita.


Figur Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara terlahir sebagai orang bangsawan dari trah Ke Paku Alaman IV, di Yogyakarta dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat tanggal 2 Mei 1889. Tahun 1912 Ki Hajar Dewantara bersama Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Indonesia yang menyatakan tujuannya secara eksplisit, mencapai Indonesia Merdeka, lepas dari penjajahan Belanda. Tahun 1913 Pemerintah Hindia Belanda berniat menyelenggarakan pesta besar memperingati 100 tahun Negara Belanda. Ki Hajar mengkritik kebijakan itu dengan menulis kolom di surat kabar dengan judul Als ik een Nederlander was, yang artinya dalam bahasa Indonesia , Seandainya saya seorang Belanda. Sebenarnya kritik yang dilancarkan oleh Ki Hajar, masih dalam batas wajar, tetapi itupun sudah cukup untuk Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederick Idenburg mengeluarkan jurus pamungkasnya, yaitu  Exorbitante Rechten, hak istimewa yang hanya dimiliki Gubernur Jenderal. Exorbitante adalah hak Gubernur Jenderal menangkap, menahan dan membuang seseorang atau sekelompok orang yang dinilai dapat membahayakan kelangsungan kekuasaan pemerintah kolonial ke wilayah tertentu di dalam wilayah kekuasaan kolonial. Tokoh tokoh utama pergerakan sudah merasakan kekuatan senjata ini.  Ki Hajar bersama Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker dibuang ke Holland, hidup dalam pengasingan. Di sana Kj Hajar bertemu dengan tokoh tokoh tokoh  muda yang sedang menempuh pendidikan seperti Muhammad Hatta. Beberapa tahun kemudian Ki Hajar dan dua sahabatnya dibebaskan dan kembali ke Jawa. 


Dari Tokoh Politik Ke Tokoh Pendidikan

Pengalaman selama hidup dan bergaul di Eropa, memperkuat keyakinan Ki Hajar akan peran strategis pendidikan dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa. Sekolah ini tidak mengadopsi kurikulum yang dibuat Pemerintah Kolonial. Semakin lama perkembangan Taman Siswa makin meluas ke berbagai pelosok Indonesia, dan hal ini sangat mencemaskan para petinggi Algemeene Scretarie ( Sekretariat Negara ), termasuk Gubernur Jenderal. Sebenarnya yang memegang kekuasaan ril di Hindia Belanda, hanya beberapa orang di eselon teratas Algemeene Secretarie.  Gubernur Jenderal sebagai simbol negara, biasanya mengikuti apa yang disarankan oleh pejabat kunci di Sekretariat Negara.

Selain Taman Siswa, juga bermunculan sekolah sekolah partikelir ( swasta ), yang tidak mengikuti kurikulum yang dibuat pemerintah. Tahun 1932 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Wildeschoolen Ordonantie, Staatblaad No 494, 17 September 1932.  Sanksi bagi orang yang melanggar undang undang ini berkisar antara hukuman kurungan badan selama 8 hari dan denda 25 gulden - 32 hari dan denda 100 gulden. Otak di balik lahirnya Ordonansi ini adalah J W F van der Muelen, yang menjabat sebagai Directeur van het Department van Onderwijs en Eredienst. Ki Hajar memprotes keras pemerintah, melalui tulisan yang menyerukan pembangkangan  masal, tidak mematuhi Ordonansi itu. Tulisan itu dimuat di dalam harian Timboel, edisi 6 November 1932. Pada tulisan itu Ki Hajar menyerukan perlawanan / pembangkangan masal ( lijdelijk verzet ). Belum cukup dengan tulisan, Ki Hajar mengirim telegram kepada de Jonge. Selanjutnya seperti sudah disebutkan di bagian prolog, Ki Hajar dipanggil menghadap de Jonge di Cipanas. Tidak lama kemudian Ordonansi Sekolah Liar dicabut. 


Gambar 2 : Gubernur Jenderal Jonkheer Mr Bonifacius Cornelis de Jonge
 
Sumber : Google

Gambar 3 :  Ki Hajar Dewantara 

Sumber : Google

Ki Hajar Dewantara Vs. B C de Jonge

Gubernur Jenderal B C de Jonge tahu benar siapa orang yang akan dihadapinya, seorang bangsawan Jawa, berpendidikan Eropa dan pernah menetap di Eropa selama beberapa tahun. Orang dengan kualifikasi tersebut pasti datang ke meja perundingan dengan bekal yang sama dengan dirinya yaitu ilmu pengetahuan modern, pikiran sistematis logis, kemampuan berargumentasi, bernegosiasi dan berbekal fakta, data dan angka angka. Ki Hajar langsung menyerang dengan berbagai dalil yang juga dipahami oleh de Jonge. Semua manusia normal memiliki lima perangkat sebagai bekal hidupnya yang membedakan dirinya dari spesies lain, yaitu tangan / kaki, peralatan, otak, kemampuan berbicara dan kemampuan  menulis. Dalam situasi salah satu individu / kelompok mendominasi individu / kelompok lain, maka pihak yang dominan TIDAK BOLEH menguasai seluruh perangkat itu. Jika ada yang ingin menguasai seluruh komponen dasar kemanusiaan seseorang, maka SELURUH DUNIA BERADAB AKAN MENJADI LAWANNYA. Pemerintah Kolonial sudah menumpas perlawanan bersenjata  ( peralatan ), memberangus tangan, kaki ( kebebasan ) para tokoh pergerakan / pejuang kemerdekaan ( penjara  dan Boven Digul ) melakukan sensor ketat atas media cetak. Sudah tiga komponen anda ambil, lantas anda mau ambil lagi otak / pikiran kami dan kebebasan berbicara?. Berbicara dianggap komponen terlemah tetapi sekaligus juga terkuat. Setiap manusia normal ketika dilahirkan, hanya mampu mengaktifkan mulutnya untuk mengeluarkan suara. Mulut adalah satu satunya senjata yang dapat digunakan oleh orang terlemah sekalipun. Dengan latihan teratur dan tekun, mulut dapat digunakan untuk  mempengaruhi dan menggerakkan orang lain, tanpa menggunakan kekuatan fisik sebagai alat pemaksa. Itulah ajaran dasar dari filsafat mazhab eksistensialisme yang anda pelajari di Universitas Leiden, ketika belajar ilmu hukum. Sekarang yang tersisa pada kami hanya otak untuk berpikir dan mulut untuk bicara.  Kalau anda mau ambil juga, maka seluruh dunia akan menjadi lawan anda. Hari ini satu Ki Hajar dapat anda tangkap, besok, lusa, tahun depan akan datang ribuan Ki Hajar yang lain. Apakah anda mau dan sanggup menangkap semuanya?. Tahun 1922, saya membangun perguruan Taman Siswa tanpa meminta subsidi / bantuan pada Pemerintah. Hari ini tahun 1932, tepat sepuluh tahun berkiprah, kami sudah memiliki 166 sekolah dengan 11.000 siswa. Kalau anda menutup sekolah kami apakah anda dapat memberikan gantinya di saat resesi ekonomi sekarang sedang melanda dunia, termasuk Hindia Belanda ikut terkena imbasnya. Pemerintah anda sudah sejak beberapa tahun terakhir memotong anggaran belanja dan pembangunan. Apakah pemerintah anda sanggup memberikan fasilitas sekolah pengganti bagi murid murid kami?. Berbicara soal anggaran, dalam pidato pembelaannya di sidang pengadilan Landraad, di Bandung , saudara kami Soekarno sudah memaparkan data dan angka bahwa pemerintah anda sudah mengeruk kekayaan kami bermilyar gulden dalam setahun dan mengembalikannya kepada kami dalam bentuk pembangunan infrastruktur, pendidikan dan layanan kesehatan tidak sampai 10% dari jumlah yang diambil dari kami. Anda tahu apa artinya itu?, tidak lain penghisapan secara terang benderang. Praktek kolonislisme itu di kalangan terdidik bangsa tuan juga sudah ditentang. Oleh karena itu saya datang ke hadapan anda untuk menuntut agar Wildeschoolen Ordonantie segera dicabut, karena tidak memiliki landasan moral dan melawan azas kemanusiaan. Jika anda tetap memberlakukannya maka kami akan melakukan pembangkangan masal. 

B C de Jonge mendengar dengan saksama setiap kata yang meluncur dari mulut Ki Hajar dan kehabisan dalil, kata kata untuk membantahnya. Serangan itu begitu telak menghujam jantung kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya de Jonge tidak punya pilihan lain kecuali mencabut undang undang yang sudah mempermalukan rejim pemerintahannya sendiri. Ki Hajar meninggalkan istana Cipanas dengan kepala tegak, sementara de Jonge hanya dapat duduk termangu di pendopo istana. Sebelum pertemuan dia membayangkan bakal terjadi debat seru dengan Ki Hajar. De Jonge sama sekali tidak menduga bakal dikalahkan secara telak dengan mudahnya oleh Ki Hajar. Penulis menduga penguasaan pengetahuan fundamental peradaban Barat menjadi kunci kemenangan Ki Hajar di arena debat itu. Sejak itu timbul rasa respeknya terhadap Ki Hajar.


Epilog

Setelah berkelana di alam pemikiran, penulis kembali teringat masa masa sering bertandang ke rumah / padepokan tempat Ki Hajar menjalani kehidupan di hari tuanya . Rumah itu telah memberikan inspirasi kepada penulis. Ki Hajar sangat benar ketika memaparkan angka prestasi Taman Siswa di hadapan de Jonge. Tahun 1936 , akhir pemerintahan de Jonge, jumlah sekolah Taman Siswa sudah mencapai angka 1663, dengan jumlah siswa mencapai 114.000. Pada tahun 1941 jumlah murid Taman Siswa mencapai 230.000. Berapa sekolah dan siswa Taman Siswa sekarang?. Penulis menduga angkanya sudah melonjak beberapa kali lipat. Akhirnya, ucapkan  terima kasih disampaikan kepada Ki Prijo Mustiko yang telah memantik ingatan penulis akan kenangan indah di rumah bersejarah itu.


Comments

Popular Posts