Prolog
Dua hari setelah Pemilihan Umum untuk memilih Walikota Medan, dan pasangan Nomor Urut 2 Bobby Nasution dan Aulia Rahman diduga kuat memenangkan kompetisi, penulis diundang sebagai Narasumber dalam sebuah diskusi di kalangan terbatas, dengan jumlah peserta 40 orang dari beragam latar belakang dan profesi. Peserta diskusi adalah orang orang yang punya kepedulian dengan nasib kotanya di masa kini dan masa depan. Mereka hanya punya informasi tentang Medan masa kini dan itupun tidak lengkap. Informasi tentang Medan masa lalu hampir nihil, begitu juga dengan informasi tentang Medan di masa depan. Dengan kondisi pemahaman seperti itu, mereka datang ke arena diskusi, sementara itu mereka tergolong orang berpendidikan tinggi, minimal sarjana bahkan ada yang berderajat Doktor. Penulis tertegun membayangkan bagaimana level pengetahuan mayoritas warga kota Medan. Issue yang mau dibahas adalah soal masa kini dan masa depan kota Medan. Mereka datang dengan itikad baik, ingin berbuat sesuatu yang positif bagi kotanya, tetapi tidak tahu bagaimana caranya dan dari titik mana harus memulai. Dalam konteks demikian, penulis diminta untuk memetakan masalah dan memberikan arah jalan yang harus ditempuh. Tulisan ini dapat dianggap sebagai masukan bagi siapapun yang berminat mengetahui lebih dalam tentang Kota Medan. Sebagai langkah awal pembuka diskusi, penulis ingin mengetahui masalah apa yang dianggap paling urgen untuk segera diatasi. Mayoritas orang menyebut masalah banjir. Mereka dengan yakin memberikan rekomendasi tindakan mitigasi. Banjir sudah jadi masalah laten, muncul tiap tahun dan tidak pernah berhasil di atasi. Cara berpikir linier itu dianut nyaris seluruh warga kota termasuk pejabatnya. Berdasarkan realitas itu, penulis ingin memberikan cara pandang berpikir lateral dalam melihat fenomena yang sama. Hampir seluruh warga kota Medan termasuk pejabat puncak, tidak mengenal jati diri kotanya. Mengenali dan memahami jati diri Kota Medan adalah kunci untuk dapat mengatasi masalah hari ini dan masa depan. Untuk dapat mencapai tujuan itu mau atau tidak mau, pengetahuan tentang Kota Medan di masa lalu mutlak diperlukan. Untuk mengetahui masa lalu kota Medan diperlukan dokumen tertulis dari masa lalu, pengetahuan ilmu ilmu kebumian ( hidro - klimat, geologi / pedalogi, geomorfologi dan geohidrologi, hidrologi, sistem / teknik plambing, ). Sebagian besar dokumen tertulis dari masa lalu ditulis dalam huruf Latin dan bahasa Belanda, sehingga kemampuan berbahasa Belanda menjadi syarat berikutnya. Penulis merasa beruntung pernah belajar semua pengetahuan yang diperlukan itu. Jawaban sebagian besar peserta yang menyebut banjir, sampah, kemacetan lalu lintas sebagai masalah paling mendesak untuk diatasi, menunjukkan bahwa mereka belum mengenali jati diri kota Medan. Nanti akan ditampilkan bahwa dengan berpikir lateral, jawabannya akan lain.
Postulat Yang Digunakan.
Mengenali dan memahami jati diri sendiri adalah pengetahuan tertinggi.
Setelah mengetahui dan memahami diri sendiri, terbuka berbagai peluang untuk mengetahui pengetahuan pengetahuan lain.
Labuhan Deli Sebagai Pendahulu Kota Medan.
Pada pertengahan abad XIX, wilayah Deli merupakan jajahan kerajaan Siak. Pada masa itu timbul ketegangan antara Kerajaan Siak dengan Inggris. Siak meminta perlindungan Belanda untuk menghadapi Inggris. Imbalannya Siak berikut daerah jajahannya termasuk Deli, berada di bawah kendali Belanda. Demikianlah Deli masuk ke dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda, walaupun tidak secara langsung. Belanda mulai berkuasa secara langsung setelah Jacob Nienhuys, dan beberapa pedagang tembakau berhasil menyulap tanah Deli menjadi agro gulden , melalui perusahaan Deli Maatschappij. Pada tahun tahun 1860, Jacob Nienhuys mendapat konsesi tanah seluas 4000 bahu ( 1 bahu = 0,7 Ha ), di Tanjung Spassi, dekat Labuhan Deli, untuk ditanami tembakau. Menurut catatan Volker, pada tahun 1860, sebagian besar wilayah kampung Medan masih berupa hutan rimba. Pada panen perdana, hasilnya dikirim ke Rotterdam, Holland untuk diperiksa mutunya di laboratorium. Hasilnya menunjukkan kalau tembakau dari tanah Deli bermutu kelas premium. Keberhasilan itu mendorong Deli Maatschsppij memperluas areal konsesinya
Gambar 1 : Jacob Nienhuys, perintis perkebunan tembakau di Sumatera Timur Sumber : Google
Keberhasilan itu juga mendorong pengusaha lain membuka kebun tembakau. Tidak hanya bangsa Belanda, pedagang dari berbagai negara mulai mencari peruntungan di Deli. Di berbagai penjuru wilayah Deli segera dipenuhi wilayah konsesi. Kesultanan Deli mengalami booming rezeki dari uang sewa lahan perkebunan. Bangsa Swiss mendapat konsesi di daerah yang kemudian dikenal sebagai Helvetia, berasal dari nama bangsa Helvetti, etnis terbesar dari bangsa Swiss. Bangsa Polandia, mendapat konsesi di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Polonia. Bangsa Amerika mendapat konsesi di daerah yang sekarang dikenal sebagai Marelan, berasal dari kata Maryland, nama salah satu negara bagian di Amerika Serikat. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor Deli Maatschsppij dari Labuhan Deli ke Kampung Medan, di titik lokasi perkampungan yang didirikan oleh Guru Patimpus, yang sekarang dikenal dengan nama jalan Tembakau Deli. Alasan Jacob Nienhuys dan para pengusaha lain memindahkan basis bisnisnya ke Medan, disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Kota Labuhan Deli Sebagai ibu kota Kesultanan Deli dinilai tidak sehat untuk pemukiman, tidak memiliki infrastruktur sanitasi, parit, riol, gorong gorong. Kalau hujan, segera tergenang, becek, berlumpur. Kereta kuda dan gerobak sapi sebagai sarana angkutan tidak dapat melewati jalan. Kota dipenuhi sarang nyamuk.
2. Sungai Deli semakin dangkal, karena sedimentasi dan dermaga pelabuhan Labuhan Deli tidak dapat dirapati kapal kapal dagang. Belanda melihat bahwa Labuhan Deli tidak dapat dikembangkan menjadi kota yang sehat. Pada awal abad XX, Belanda mulai mengembangkan pelabuhan Belawan untuk menggantikan posisi dan peranan Labuhan Deli.
Alasan ini mendapat dukungan dari uraian pelancong asal Inggris bernama John Anderson yang singgah di Labuhan Deli pada tahun 1823. John Anderson menulis tentang suasana kota Labuhan Deli. Ibu kota Kesultanan Deli, terletak di kawasan rawa rawa, tidak memiliki saluran drainase, kalau hujan, becek, berlumpur, jalan jalannya tidak diperkeras, tidak berpenerangan banyak sarang nyamuk. Rumah sultan tidak ada bedanya dengan rumah penduduk, hanya ukurannya lebih besar. Rumah sultan didirikan di atas tiang kayu, berdinding papan, beratap daun nipah.
Alasan utama Belanda memindahkan pusat bisnisnya dari Labuhan Deli ke Medan adalah karena alasan sanitasi kota. Para pengusaha dan Tuan tuan kebun ingin tempat bermukim yang sehat dan nyaman. Mereka ingin menjadikan Medan sebagai kota peristirahatan, kota taman yang dilengkapi dengan berbagai sarana kota yang modern. Langkah Nienhuys segera diikuti oleh perusahaan perusahaan lain. Langkah perusahaan perusahaan itu menimbulkan efek domino, berturut turut menyusul :
- Kedudukan Asisten Residen Deli pindah dari Labuhan Deli ke Medan tahun 1879.
- Ibukota Keresidenan Sumatera Timur pindah dari Bengkalis ke Medan pada 1 Maret 1887. Gedung kediaman Residen terletak di jalan Sukamulia, sekarang menjadi kantor Standard Chartered Bank.
- Pada 18 Mei 1891, dengan selesainya dibangun istana baru, ibu kota Kesultanan Deli pindah dari Labuhan Deli ke Medan.
- Tahun 1915, status Keresidenan Sumatera Timur ditingkatkan menjadi Gubernemen Sumatera, berkedudukan di Medan.
Tanggal 1 April 1918, Medan resmi memiliki pemerintahan swapraja / otonom, dipimpin oleh seorang Burger Mester ( Walikota ). Walikota Medan pertama dijabat oleh Baron Daniel Mackay, seorang profesional tulen. Sepanjang karirnya dia menjabat walikota di beberapa kota berturut berturut. Di Medan, Daniel Mackay menjabat selama 13 tahun dari tahun 1918 - 1931. Sebelum menjabat Walikota Medan, Daniel Mackay pernah menjabat Walikota Voorburg ( 1912 - 1916 ). Setelah menjabat Walikot Medan, Mackay menjabat Walikota Enkhuizen ( 1931 - 1935 ), kemudian menjabat Walikota Mepple ( 1935 - 1946 ). Pamannya bernama Eneas Mackay pernah menjabat Perdana Menteri Belanda. Warga kota Medan pantas bangga bahwa kotanya pernah dipimpin oleh orang yang sepanjang karirnya menjabat sebagai walikota ( spesialis walikota ).
Gambar 2 : Baron Daniel Mackay, Walikota pertama Kota Medan ( 1918 - 1931 )
Sumber : Google
Geologi, Geomorfologi, Geohidrologi, Pedologi dan Klimatologi / Meteorologi Kota Medan.
Daratan dan kota Medan dibentuk oleh sedimen dari jaman Tersier, dengan formasi Seurela, sebagai lapisan tertua. Formasi ini tersusun dari batu lempung, batu pasir, batu lanau dan konglomerat. Kemudian diikuti oleh formasi Julok Rayeuk. Formasi ini tersusun dari lapisan pasir, batu, selang seling lempung tuf Toba dan tuf Riodasit. Kedua Formasi ini memiliki sifat kelolosan air ( permeabilitas ), sedang dan tinggi. Kemudian dilanjutkan dengan endapan dari jaman kuarter dengan formasi Medan bongkah kuarter, tersusun dari kerikil pasir, lanau dan lempung yang menutupi lapisan tuf Toba. Lapisan paling muda adalah formasi aluvial, tersusun dari kerikil, pasir dan lampung. Endapan dari jaman kuarter ini memiliki koefisien permeabilitas sedang dan tinggi. Dengan jenis endapan dan formasi batuan geologis demikian dapat disimpulkan bahwa secara geologis dataran kota Medan sulit mengalami banjir.
Berdasarkan klasifikasi bentuk lahan menurut ahli geomorfologi terkenal Th. Verstappen dan interpretasi citra satelit Ikonos skala 1 : 10000, dapat diketahui bahwa daratan kota Medan memiliki satuan bentukan lahan fluvial dan vulkanik yang terbentuk oleh endapan yang dibawa oleh air sungai dan lapisan abu vulkanik akibat letusan gunung berapi.
Berdasarkan kajian geohidrologi, daratan kota Medan memiliki tiga jenis lapisan aqifer, yaitu :
1. Endapan aqifer aluvium, terfiri dari pasir, kerikil dengan koefisien permeabilitas sedang dan tinggi. Posisi keletakan lapisan aqifer ini 3 - 4 meter di bawah permukaan tanah dan dengan debit kurang dari 1 liter per detik.
2. Endapan aqifer kuarter, posisi keletakannya di bawah permukaan tanah 5 - 7 meter dengan debit 1 - 2 liter per detik.
3. Endapan aqifer Julok Rayeuk, Seurela, posisi keletakannya di bawah permukaan tanah lebih dari 225 meter dengan debit lebih dari 10 liter per detik.
Berdasarkan penelitian dan kajian pedologi ( ilmu tanah ) yang dilakukan oleh van Hissink dan J G C Vriens pada tahun 1910, ada beberapa jenis tanah di daratan kota Medan, yaitu tanah pasir, lampung, tanah hitam, tanah coklat, tanah merah. Khusus di daerah Denai, Medan Tenggara terdapat satu jenis tanah lempung kualitas istimewa yang dijadikan bahan baku pembuatan batu bata dan genteng berkualitas premium. Perusahan yang mengelola pabrik pembuatannya dikenal dengan nama Deli Klei.
Iklim di kota Medan tergolong tipe A, menurut klasifikasi yang dibuat oleh Schmidt - Ferguson. Berdasarkan data curah hujan yang berasal dari pos pengamatan meteorologi stasiun Polonia sepanjang tahun 2019, curah hujan di Medan tergolong tinggi ( 2200 mm per tahun ), dengan intensitas hujan rata rata 4, mm / jam, dengan bulan bulan basah Oktober- Desember dan bulan Februari sebagai bulan terkering. Di Medan tidak ada pembagian tegas antara musim hujan dengan musim kemarau. Temperatur udara rata rata 27° C, dengan kelembaban udara rata rrata 80 - 93%. Berdasarkan data data di atas dapat disimpulkan bahwa daratan kota Medan merupakan daerah ideal untuk dijadikan kawasan pemukiman.
Kota Medan Didirikan Dengan Akte Notaris
Medan adalah satu di antara sedikit kota di dunia yang didirikan dengan Akta Notaris. Berdasarkan Acte van Schenking No. 97 ( akte hibah ), yang diterbitkan oleh notaris J M de Hondt Jr, tanggal 30 November 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah Kota Medan seluas 4000 Ha kepada Gemeente Medan ( Pemerintahan Swapraja Kota Medan ), untuk lahan pembangunan kota Medan. Kenyataan ini membanggakan, karena dari aspek hukum dan peraturan perundang undangan, kota Medan sejak awal pendiriannya sudah didesain sebagai kota berperadaban tinggi. Sebelum dan sesudah berstatus sebagai daerah Swapraja, bangunan bangunan monumental berdiri susul menyusul :
- Tahun 1909, mesjid raya Al Nashun, selesai dibangun.
- Tahun 1911 berdiri gedung kantor pos besar.
- Tahun 1915 Esplanade ( Lapangan Merdeka ) selesai dikerjakan dan resmi menjadi alun alun kota Medan.
- Tahun 1918 kantor Walikota selesai dibangun.
- Gedung AVROS ( Algemeene Vereeninging Rubber Oost Sumatera ), di jalan Palang Merah dan gedung AVROS di jalan Brigjend Katamso berdiri tahun 1918 dan 1919.
- Rel kereta api yang menghubungkan Medan- Pangkalan Berandan – Besitang berikut stasiun besar di Medan selesai dibangun.
- Gedung Konsulat Amerika adalah perwakilan diplomatik negara asing pertama di luar Jawa dibangun di Medan tahun 1919. Sampai sekarang gedungnya masih berdiri di jalan Imam Bonjol. Kemudian menyusul dibangun gedung Konsul Inggris di jalan Zainul Arifin. Gedung ini sudah dirobohkan dan di tapak lokasi itu sekarang berdiri gedung Kantor Pusat Bank Sumut.
- Tahun 1923, berdiri gedung sekolah guru di jalan M Yamin sekarang.
- Tahun 1924 berturut turut dibangun rumah sakit Santa Elizabeth, klinik mata, zweembath ( kolam renang ), pusat pasar dan bandara Polonia.
Air Sebagai Sumber Kehidupan Dan Sumber Penyakit
Air adalah kebutuhan pokok bagi semua mahluk hidup. Pengelola kota Medan diingatkan oleh para Tuan Kebun, agar tidak mengulang kesalahan Batavia dan Labuhan Deli. Batavia selama 300 tahun belum berhasil mengatasi banjir dan menghasilkan air minum yang berkualitas. Begitu juga dengan Labuhan Deli yang kondisinya lebih parah dari Batavia. Masalah yang dihadapi oleh Medan juga sama, yaitu mendapatkan air bersih berkualitas tinggi untuk kebutuhan domestik dan sekaligus membuang air bekas pakai, tetapi kondisi permukaan tanah harus tetap kering. Hal ini harus dipahami benar, Medan dibangun bukan sekadar mengatasi banjir, karena itu hanya target kota yang tidak berkualitas tinggi. Medan punya target lebih tinggi, yaitu membangun kota yang sehat. Banjir adalah meluapnya air dari badan air, sehingga menggenangi daerah yang dalam keadaan normal tidak tergenang. Selama air tidak meluap dari badan air ( parit, sungai ), tidak dapat disebut banjir. Jadi persoalan banjir adalah mengatur lalu lintas air dalam hal volume dan debit agar tetap berada pada badan air. Teknik rekayasa keairan yang dibutuhkan adalah mendesain sistem drainase yang baik.
Untuk mendapatkan air yang berkualitas baik, pada tahun 1889, sebuah perusahaan yang berbasis di kota Binjai bernama G D Langereis & Co, mengajukan permohonan konsesi untuk menyaring air sungai Deli guna keperluan domestik. Rencana itu tidak berjalan karena kesulitan likuiditas perusahaan itu. Pada tahun 1903 Deli Maatschappij, mendatangkan ahli hidrologi terkenal dari Rotterdam bernama J Schotel. Oleh karena kesibukannya yang padat, Schotel mengutus asisten kepercayaannya bernama F Boshuyer melaksanakan tugas mencari sumber air yang akan dijadikan air baku untuk diolah menjadi air minum. Boshuyer menemukan sumber air potensial di kawasan Sibolangit, Bandar Baru, antara sungai Petani dan sungai Betimus, yang dikenal sebagai mata air Lau Bateruden dengan debit 120 liter per detik. Mutu air tersrbut secara kimiawi diteliti oleh ahli bakteri Dr. J G C Vriens, Dr W A Kuenen dan Dr. H Durk. Air dari mata air itu dihimpun di dalam Bron ( bangunan penangkap / penampung air ), di Bandar Baru. Kemudian di alirkan melalui pipa ke Medan dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Produksi air mencapai 3000 M3 per hari dengan tekanan air di dalam pipa 2 atmosfer ( 2 kg / Cm2 ). Pada tahun 1904 Boshuyer menyelesaikan laporannya kepada Deli Maatschappij. Pada tahun 1905 Deli Maatschappij pembentuk anak perusahaan dengan modal awal disetor sebesar 5000 Gulden yang dinamakan Waterleiding Maatschappij. Perusahaan ini dipimpin oleh tiga orang, masing masing mewakili perusahaan yang ikut menanamkan modalnya. Ketiga orang tersebut adalah Cornelis van Honert dari Deli Maatschappij, Pieter Kolft dari Steenkolen Maatschappij ( perusahaan tambang batubara ), Charles Marie Herckenrath dari Deli Spoorweg Maatschappij ( perusahaan Kereta Api ). Investasi yang ditanamkan di perusahaan air bersih mencapai 500.000 Gulden. Kualitas air bersih produksi perusahaan ini sangat tinggi. Waterleiding Maatschappij membangun sistem perpipaan untuk mendistribusikannya ke rumah rumah penduduk. Alokasi pembagian air dilakukan berdasarkan strata penggolongan masyarskat oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Golongan Eropa mendapat porsi terbesar 150 liter per orang per hari. Golongan Timur Asing Tionghoa mendapat 90 liter per orang per hari, Golongan Timur Asing non Tionghoa mendapat 70 liter per orang per hari dan penduduk Bumi Putera 50 liter per orang per hari. Selain itu Waterleiding Maatschappij memberikan air gratis kepada penduduk Medan sebesar 130 M3 per hari yang disalurkan melalui 10 unit hydrant dan Kamar Mandi Umum. Tarif yang dikenakan oleh Waterleiding Maatschappij tergolong murah, rata rata hanya 0,04 - 0,05 Gulden per M3. Seluruh sistem keairan Medan mulai dari Bandar Baru sampai ke mulut keran di rumah penduduk terawat baik, jauh lebih baik dari Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Nadi milik Pemerintah Kota Medan masa kini.
Setelah kebutuhan air terpenuhi, kemudian dipikirkan cara mengalirkan air bekas pakai ke badan air agar permukaan tanah tetap kering. Lingkungan yang lembab dan basah dapat memicu laju pertumbuhan bakteri.
Pada tahun 1921, Gemeente Medan mendatangkan tiga orang desainer kota terkenal dari Holland untuk merancang sistem drainase kota. Ketiga orang tersebut adalah Ir. D Roosenburg dari Den Haag, Jhr A H Op Ten Noort dari Utrecht, Ir. L S P Scheffer dari Utrecht. Sistem drainase Medan ketika itu hanya terdiri dua saluran drainase sepanjang beberapa ratus meter, dengan kapasitas 75 mm / per jam, sangat tidak memadai. Melalui kajian pustaka, penulis dibuat terkagum kagum, karena mereka bekerja sangat luar biasa canggih, bahkan untuk ukuran masa kini. Tahap pertama mereka mengumpulkan data curah hujan sepuluh tahun terakhir yang dikumpulkan dari catatan yang dibuat oleh Deli Proefstation diterbitkan dalam Bijlage No 21 Tahun 1919. Dari terbitan itu tersebut diperoleh data curah hujan tertinggi yang jatuh pada tanggal 23 Desember 1915 sebesar 157 mm / jam. Selain itu mereka mengumpulkan data luas atap rumah tiap rumah, kemiringan atap, ketebalan permukaan atap, tekstur jalan raya, trotoar, kemiringan topografi lahan, jalan, luas ruang terbuka hijau, jenis tanaman penutup lahan, koefisien penguapan, laju kecepatan angin. Semua data dari berbagai variabel itu dianalisis dengan teknik statistik analisis multi variat, dan anacova, multiple regresi. Kemudian dilakukan analisis simulasi modeling dengan model model matematis. Hebatnya, semua itu dikerjakan secara manual, karena pada masa itu belum ada komputer. Yang lebih mengagumkan lagi mereka sudah memasukkan faktor / variabel perilaku manusia , dengan menggunakan indikator tingkat kedisiplinan warga kota. Indikator itu dikuantifikasi dalam nilai konstanta ( bilangan tetap ) dan dimasukkan dalam model matematis. Akhirnya mereka menemukan angka dimensi ukuran yang handal untuk sistem drainase kota Medan yaitu 180 mm / jam. Semua perhitungan itu bermakna dalam kondisi hujan selebat apapun, asalkan warga kotanya disiplin tidak membuang sampah ke parit / saluran drainase dan petugas Gemeente disiplin memelihara sistem drainase, dapat dipastikan kota Medan tidak akan mengalami banjir. Upaya pemeliharaan yang direkomendasikan adalah setiap hari petugas opziter melakukan patroli keliling kota mengontrol kondisi saluran drainase dan sekali setiap bulan lubang kontrol saluran ditembak dengan water canon dari mobil brainware ( pemadam kebakaran ).
Pekerjaan pembangunan saluran drainase selesai dalam beberapa tahun dan Medan memiliki sistem drainase kota tercanggih di Asia setara dengan kota kota terbaik di Eropa. Beban sungai sebagai penerima air limbah dikurangi dengan adanya saluran / kanal buatan dan dibagi merata antara sungai Deli dan sungai Babura. Penulis tertegun membayangkan kehebatan maha karya dari ketiga desainer sistem drainase Medan. Sistem itu ditelantarkan oleh semua Rejim kota Medan sejak Republik terbentuk. Walaupun ditelantarkan 30 tahun, penulis sempat merasakan kehandalan sistem itu ketika pernah menjadi warga di kawasan Gemeente, tidak pernah merasakan banjir. Mulai dekade 80 an sistem yang tidak pernah dirawat, akhirnya jebol juga. Sejak itu kawasan paling elit kota Medan hingga hari ini tidak steril dari banjir. Sejak 75 tahun merdeka, jangankan dirawat dengan tembakan water canon, dibuka tutup lubang kontrol pun tidak pernah. Pelajaran penting dari kondisi itu adalah, bangsa Indonesia sangat lemah dalam maintenance di segala bidang.
Profil Kawasan Gemeente
Pada awal tahun 1920 Gemeente Medan membangun kawasan pemukiman elit yang dihuni hanya oleh golongan Eropa. Kawasan itu berupa kota taman dengan ukuran tiap kapling tanah minimal 2000 meter persegi. Rata rata rumah berukuran besar halaman luas, dengan ciri arsitektur beragam, mulai dari gaya Indies, Art Deco, dan Modern. Beberapa jalan memiliki boulevard, di beberapa tempat terdapat jalur hijau, taman kecil. Di kawasan ini terdapat beberapa ruang terbuka hijau dan taman dengan beragam ukuran. Sekarang satu tanah lapang berukuran besar sudah berubah menjadi kompleks perumahan elit. Kawasan elit Medan terletak di daerah berbentuk segi tiga diapit oleh sungai Deli dan sungai Babura. Seluruh tepi jalan jalan ditumbuhi pohon pohon rindang, asri, jalan jalan lebar dan mulus dengan trotoar tertata rapi. Seluruh rumah dilengkapi dengan fasilitas sambungan listrik berkapasitas besar, jaringan pipa air ledeng, pipa gas, saluran telephone. Seluruh sistem drainase tertata rapi, air di parit parit mengalir lancar. Kawasan Gemeente ini memang benar benar nyaman sebagai hunian seperti berada di oase di tengah padang pasir. Keluar dari kawasan ini suasana sangat berbeda segera dirasakan. Di sepanjang bantaran dan teras sungai yang melalui kawasan ini tidak terdapat satupun pemukiman gubuk liar. Di tepi kawasan ini mulai dari sisi selatan dibatasi oleh jalan Letjen Jamin Ginting, disambung dengan jalan Kapten Patimura, disambung dengan jalan Walter Robert Monginsidi dan diakhiri dengan ruas jalan Ir H Juanda. Sisi barat dibatasi oleh jalan Letjen S Parman, disambung dengan jalan Kapten Maulana Lubis, dilanjutkan dengan jalan Raden Saleh. Sisi timur dibatasi dengan jalan Multatuli, dilanjutkan dengan jalan Adinda, kemudian dilanjutkan dengan jalan Imam Bonjol dan diakhiri dengan jalan Raden Saleh. Dari Esplanade ( lapangan Merdeka ), batas kawasan Gemeente dilanjutkan ke arah utara, menyusuri jalan Puteri Hijau, dilanjutkan dengan ruas jalan Komodor Laut Yos Sudarso dan berakhir di kompleks PT Socfindo. Sebenarnya mulai dari kompleks kantor Pertamina di jalan Puteri Hijau hingga kawasan Pulo Brayan adalah rawa rawa yang kemudian direklamasi. Kontur tanah di kompleks Pertamina menunjukkan bentuk lahan itu di masa lalu. Ketika Deli Spoorweg Maatschappij ( DSM ), Imembangun bengkel kereta api di Pulo Brayan, kawasan itu direklamasi besar besaran. Jalan jalan raya di bagian inti kawasan Gemeente antara lain jalan Jend. Sudirman, jalan Diponegoro, jalan Masdulhak, jalan Walikota, jalan A Rivai. Kawasan Gemeente juga meliputi sebagian daerah di luar segi tiga, seperti kawasan Pecinan Kanton, Kampung Madras, Kesawan, Lapangan Merdeka, jalan Thamrin, jalan M Yamin, sebagian jalan Sisingamangaraja, dan sebagian jalan Brigjend Katamso. Kawasan inti Gemeente Medan sebagai kota taman sulit dicari tandingannya. Satu satunya kawasan yang dapat mengimbanginya hanya kawasan Menteng Buurt, di Batavia yang sampai hari ini tidak tertandingi oleh kawasan manapun yang dibangun pada masa post kemerdekaan. Keindahan Gemeente Medan tidak kalah dari kota kota di Eropa , sehingga dijuluki Parijs van Sumatera.
Gambar 3 : Peta seluruh kawasan Gemeente Medan.
Sumber : Google
Gambar 4 : Peta kawasan inti kota khusus hunian Orang Eropa, terletak di daerah segi tiga , diapit oleh dua sungai.
Sumber : Google
Dualisme Bentuk Pemerintahan
Sebagaimana kota kota di Nusantara yang kekuasaan kerajaan tradisional masih eksis, terdapat dualisme sistem pemerintahan. Di satu pihak, kerajaan tradisional masih berkuasa menjalankan pemerintahan di wilayah tertentu dan di lain pihak, pemerintah kolonial Belanda berkuasa di wilayah lain. Untuk kasus kota Medan, pemerintah Gemeente Medan menjalankan pemerintahan di wilayah seluas 4000 Ha. Kesultanan memerintah di wilayah Kota Matsum I, II dan III. Kawasan itu sekarang meliputi jalan Halat, jalan Utama, jalan Laksana, jalan Amaliun, jalan Rahmadsyah, kawasan Mesjid Raya dan Istana Maimoon. Di wilayah Gemeente, berlaku hukum Barat dan di wilayah Kesultanan berlaku hukum Kesultanan dan Hukum Barat. Pelaku kriminal yang tertangkap di wilayah Kesultanan boleh memilih apakah akan memilih hukum Barat atau hukum Kesultanan. Kondisi infrastruktur di wilayah Gemeente jauh lebih baik dari wilayah Kesultanan. Tiap petak halaman kecil, ukuran dan bentuk rumah jauh lebih kecil dan sederhana. Jalan sempit dan tidak memiliki sistem drainase yang baik. Tiap keluarga memiliki jumlah anak banyak. Kondisi ini semua bertolak belakang dengan kondisi di kawasan Gemeente.
Segregasi Kawasan Berdasarkan Etnis
Kota Medan sejak awal pertumbuhannya sudah menunjukkan sifat multi etnik. Medan berkembang pesat karena adanya perkebunan perkebunan besar di sekitarnya. Para buruh perkebunan berasal dari berbagai suku bangsa. Adapun suku suku bangsa yang mendiami kota Medan antara lain Eropa, Tionghoa, Tamil, Arab, India Sikh. Adapun dari golongan bumi putera, antara lain suku suku bangsa Minang, Jawa, Mandailing, Batak Toba, Sunda, dan Melayu sebagai tuan rumah. Pemerintah Gemeente menerapkan model pemukiman tipe segregasi berdasarkan etnik. Orang Eropa sudah tentu berdiam di kawasan paling elit, kota taman di inti kota, Bangsa Tionghoa umumnya tinggal di kawasan Pecinan. Beberapa orang yang super kaya ada yang menetap di inti kota. Bangsa Tamil dan Sikh umumnya tinggal di Kampung Aur dan Kampung Madras. Suku Minang umumnya menetap di Kota Matsum I, II dan III. Suku Mandailing umumnya menetap di kawasan Sungai Mati, Kampung Baru, dan kawasan Gelugur. Suku bangsa Batak Toba ketika itu jumlahnya masih relatif sedikit. Suku bangsa Jawa umumnya menetap di kawasan pinggiran dekat areal perkebunan, seperti Tembung, Sampali, Tanjung Morawa, Tanjung Mulia.
Jatidiri Kota Medan
Dari semua uraian di atas, dapat dirumuskan jatidiri kota Medan. Medan dibangun dan berkembang karena adanya usaha perkebunan berskala besar. Medan memiliki kondisi yang lebih sehat untuk dikembangkan sebagai kota bisnis dan kota peristirahatan bagi para Tuan Kebun. Inti kota Medan sebagai kawasan Gemeente didesain menurut ilmu pengetahuan termaju pada saat itu. Desain itu diaplikasikan dengan sungguh sungguh, sehingga tercipta kota yang indah, asri, nyaman dan tertata rapi. Penduduk kota Medan menikmati pasokan air berkualitas tinggi, aliran listrik dan gas non stop, udara bersih, sanitasi kota kelas wahid, jalan aspal lebar dan mulus dengan berpenerangan di waktu malam. Pada dasarnya secara geologi dan geomorfologi serta geohidrologi, kota Medan tidak memiliki gen banjir. Ditambah dengan rekayasa teknik yang canggih dalam manajemen keairan, sebenarnya tidak ada alasan bagi Medan untuk mengalami banjir. Kalau terjadi banjir di Medan, maka yang patut disalahkan dan satu satunya yang dapat disalahkan adalah warga kotanya sendiri. Medan adalah kota multi etnik yang bersifat kosmopolitan. Dengan ciri sifat itu seharusnya warga kota memiliki sifat terbuka. Sesuai dengan semangat jaman itu dan ideologi yang berlaku yaitu kolonialisme dan imperialisme, penguasa Gemeente menerapkan politik rasialisme dengan membagi masyarakat menurut golongan ras dan hal itu terlihat nyata dalam urusan pelayanan publik. Kenyamanan hidup di kawassn inti kota, menuntut adanya manajemen maintenance berbagai unit utilitas kota. Upaya itu hanya dapat berhasil jika dilandasi oleh sikap profesional dan tingkat kedisiplinan dari pengelola kota dan warga kota. Dapat dikatakan bahwa penguasa kota dan seluruh warga kota Medan pada masa lalu memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi.
Kondisi Kota Medan Masa Kini
Sekarang waktunya melihat kondisi kota Medan secara objektif. Medan tidak lagi menjadi kota idaman untuk didiami. Keasrian, keindahan , kenyamanan, keamanan sudah lenyap dari kota Medan. Kalau turun hujan lebat selama 30 menit, air sudah meluap dari riol, parit, melimpah dan menggenangi jalan. Hujan lebih lama lagi, air akan menggenangi halaman rumah, gedung dan masuk ke rumah. Jalan jalan beraspal penuh lubang dan tidak rata, trotoar berkontur naik turun dan di beberapa bagian terbuka menganga, siap menampung orang yang jatuh jika tidak hati hati. Pasar tradisional terlihat kumuh, becek dan penuh sampah berserakan. Lampu penerangan jalan banyak yang rusak. Pejalan kaki tidak aman berjalan di pinggir jalan, rawan terserempet kendaraan yang menyerobot haknya di trotoar. Para pedagang kaki lima ikut merampas hak pejalan kaki di trotoar. Hak para penyandang tuna netra di trotoar juga dirampas bahkan pedagang kuliner dengan wajan berisi minyak panas siap mencelakainya jika tidak hati hati melintas di trotoar. Pemerintah kota Medan membenturkan pengendara sepeda dengan mobil yang parkir di area yang disediakan oleh pemerintah Kota Medan untuk pengendara sepeda. Sementara Petugas parkir berseragam rompi orange menarik uang retribusi parkir di jalur pengendara sepeda. Ini adalah tindakan paling sadis dari Pemerintah kepada warganya yang sudah membayar pajak kepada Negara, tetapi negara bukannya melindungi, malah mencelakai warganya. Hak warga kota menikmati ruang publik dirampas semena mena oleh Pemerintah dengan menyerahkan konsesi kepada pengusaha untuk mengkapling ruang publik ( Lapangan Merdeka ) sebagai lahan usaha. Ruang terbuka hijau warisan Gemeente Medan di jalan Ir. H Juanda ( Lapangan Garuda ), dijual kepada swasta untuk dibangun perumahan elit. Bangunan Cagar Budaya berupa villa para Tuan Kebun di masa lalu di jalan Diponegoro dirubuhkan untuk didirikan hotel berbintang. Kawasan Gemeente yang didesain sebagai area pemukiman / peristirahatan diperkosa habis habisan, disulap jadi kawasan bisnis. Jalan H Juanda, Jalan R W Monginsidi , jalan Diponegoro, jalan Imam Bonjol dijadikan area bisnis, berdiri hotel, restoran, kantor kantor Bank, Asuransi, Rumah Sakit. Areal tapak rumah seluas 2000-2500 meter persegi yang semula berwujud rumah tinggal dengan penghuni 5 -7 orang, disulap jadi bangunan bertingkat tinggi dengan orang yang bekerja dan para tamu hilir mudik sejumlah ratusan orang per hari. Kapasitas bawa areal tersebut tiba tiba ditingkatkan berpuluh kali lipat. Walaupun sistem plambing di gedung tersebut sudah ditingkatkan kapasitasnya, tetapi kapasitas riol dan sistem drainase tidak diubah. Akibatnya ketika turun hujan, air langsung meluap. Perubahan fungsi kawasan adalah tindakan yang menghancurkan sistem sanitasi kawasan Gemeente. Para pengemudi kendaraan dan pemakai jalan sudah lazim bertindak barbar, melanggar peraturan lalulintas, menabrak rambu dan marka jalan serta lampu pengatur lalu lintas. Para pengemudi angkutan umum bertindak ugal ugalan membahayakan nyawa penumpang. Penyelenggara sistem kelistrikan ( PLN ), sudah terlalu sering memutuskan aliran listrik tanpa pemberitahuan dan tanpa ada rasa bersalah dan penyesalan karena sudah bertindak semena mena kepada pelanggannya. Masih banyak lagi fenomena entropi ( kekacauan / khaos ) yang terjadi di Medan, tetapi tidak dapat disebut semua satu persatu. Hanya ada satu fenomena lagi yang memberikan pukulan mematikan untuk penguasa kota yang abai terhadap tanggung jawabnya. Fenomena Gang Motor dengan tindakan begal nya tidak dapat diterima masyarakat beradab di manapun. Yang lebih menggiriskan, Negara absen ketika momen itu terjadi. Sudah terlalu banyak korban mati sia sia akibat Aparat Pemerintah tidak kompeten mengelola kota. Dengan semua uraian di atas, penulis berani berkata lantang bahwa Kota Medan sudah mengalami degradasi ke tingkat terendah. Kota Medan sudah berubah dari kota berperadaban tinggi menjadi kota biadab.
Kota Medan Di Masa Depan
Dengan kondisi kota Medan saat ini yang sudah compang camping, tidak ada lagi yang dapat diharapkan untuk dapat menyambut era Smart City di masa depan. Smart City tidak mungkin dapat mentoleransi sifat, karakter dan perilaku warga seperti penduduk Medan saat ini. Smart City tidak care dengan warga Medan dan Warga Medan tidak familiar dengan Smart City. Jadi lupakan saja mimpi ingin menjadi warga kota berpredikat Smart City, sampai warga Medan mau dan mampu mengubah dirinya.
Gambar 5 : Zona Neraka di Jalan Setiabudi Medan
Sumber : Dokumentasi pribadi
Gambar 6 : Zona Jebakan bagi penyandang disabilitas ( tuna netra )
Sumber : Dokumentasi pribadi
Analisis
Setelah menyimak semua uraian di atas, maka perlu introspeksi untuk tahu di mana posisi dan apa yang harus dilakukan. Dengan mempelajari fisik kota di masa lalu dan di masa kini, dapat diketahui sifat dan karakter serta jatidiri suatu kota. Dari kajian yang sudah dibuat, dapat diidentifikasi beberapa sifat dan karakter penghuni kota di masa lalu ( bangsa Belanda ) dan penghuni kota di masa kini ( bangsa Indonesia ). Sifat sifat yang dapat diungkapkan cukup banyak, tetapi di sini diungkapkan hanya tiga sifat. Sifat sifat yang dimaksud adalah :
1. Bangsa Belanda memiliki karakter buruk, memperlakukan orang atas dasar perbedaan ras yang memiliki banyak bias dan prasangka prasangka yang tidak dapat dipertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral. Apapun alasan yang diajukan, hal itu tetap tidak dapat diterima oleh masyarakat beradab. Jangan pula dikira hanya bangsa Belanda yang melakukan diskriminasi terhadap manusia. Bangsa Indonesia juga melakukan hal yang sama kepada bangsa sendiri dan ironisnya dilakukan di space yang sama pula yaitu di kawasan Gemeente. Penduduk yang tinggal di kawasan itu dianak emaskan oleh Pemerintah Republik. Ketika sebagian besar warga kota Medan menderita akibat aliran listrik PLN sering terputus, jalan berlubang, warga yang bermukim di kawasan Gemeente menikmati aliran listrik non stop dan jalan lebar beraspal mulus. Pemerintah melakukan hal itu karena di wilayah itu bermukim para pejabat Republik. Dalam hal ini ke dua bangsa sama sama mendapat nilai - 1, alias
draw.
2. Dari uraian di atas harus diakui bahwa bangsa Belanda memiliki tingkat kedisiplinan lebih tinggi dalam segala hal, terutama dalam hal waktu dan dalam melaksanakan tugas / pekerjaan. Sistem utilitas Gemeente menuntut kedisiplinan tingkat tinggi. Ketika Belanda harus pergi meninggalkan Indonesia, tugas melakukan maintenance sistem sanitasi kawasan Gemeente praktis beralih ke pada bangsa Indonesia. Sejak tahun 1950 praktis tidak ada perawatan berarti yang dilakukan. Sedikit demi sedikit kemampuan sistem dalam melayani warga kota mulai menurun. Walaupun begitu, sistem itu masih bekerja dengan kondisi pincang melayani warga kota selama lebih kurang 30 tahun. Selama waktu itu tanpa perawatan berarti ditambah dengan perbuatan semena mena dari pihak ototitas dan warga kota, sistem utilitas Gemeente masih menunjukkan kehandalannya. Selama 75 tahun Pemerintahan Republik, belum ada pembangunan kawasan kota yang dapat menandingi kawasan ini, termasuk kompleks Taman Setiabudi Indah, Kompleks Cemara Asri, Kompleks Graha Helvetia. Prestise dan gengsi kawasan Gemeente masih belum tergusur, walaupun sekarang banjir sudah mulai menyerang kawasan itu. Khusus soal kedisiplinan ini harus segera menjadi fokus perhatian yang harus segera dibenahi jika tidak ingin terus menjadi bangsa yang inferior di hadapan bangsa bangsa lain. Tanpa kedisiplinan bangsa ini tidak akan pernah mencapai level kompetensi yang dibutuhkan untuk memenangkan kompetisi di era global dan era digital. Dalam soal kedisiplinan ini mau tidak mau harus diterima bahwa bangsa Belanda mendapat nilai +1 ,dan bangsa Indonesia mendapat nilai -1 . Untuk sementara posisi ke duanya adalah +1 lawan - 2.
3. Dari seluruh karya bangsa Belanda yang masih dapat disaksikan hingga sekarang, ada pelajaran berharga yang dapat diambil. Dalam mengerjakan apapun juga, tidak memandang skala ukuran, bangsa Belanda mengerjakannya dengan sungguh sungguh, jauh dari kesan asal asalan. Semua detail diperhitungkan dengan cermat dan penyelesaian akhir tetap dituntaskan sesuai rencana. Kelihatan sekali mereka sangat berkompeten dalam bekerja di bidang apa pun. Level kompetensi yang dicapai merupakan buah dari kedisiplinan tingkat tinggi. Bangsa Indonesia dapat belajar dari apa yang diwariskan bangsa Belanda. Dalam soal kompetensi pun Bangsa kita harus mengakui bahwa level bangsa Belanda masih berada di atas kita. Dengan demikian bangsa Belanda layak mendapat nilai +1 dan bangsa Indonesia layak mendapat nilai - 1 , sehingga posisi akhir adalah + 2 lawan - 3.
Uraian pada bagian ini dibuat berdasarkan fakta empirik yang dapat dilakukan siapa saja. Dengan mempelajari peninggalan fisik kota Medan dalam rangka menelusuri apa dan siapa jatidiri kota Medan, lewat kajian lintas disiplin keilmuan, sekarang mulai terkuak apa sebenarnya masalah mendasar Kota Medan yang harus segera dibenahi. Masalah utama kota Medan bukan banjir, sampah, kemacetan lalu lintas, keamanan, premanisme, ataupun korupsi, melainkan RENDAHNYA TINGKAT KEDISIPLINAN PEJABAT OTORITAS KOTA DAN WARGA KOTA. Setelah mengetahui hal ini, diharapkan dapat dicari solusi untuk meningkatkan kedisiplinan. Siapapun yang menjadi Walikota Medan, walaupun memiliki tingkat kemampuan setara para dewa sekalipun, tidak mungkin dapat sukses menjalankan tugasnya. Tidak ada polisi yang dapat menjaga dan mengawasi kelakuaan dua juta penduduk kota Medan. Tiap orang harus berdisiplin menjaga dirinya dan kelakuannya serta bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan masyarakat. Tidak ada pendekatan pressure dari otoritas manapun yang dapat menekan dan mengintimidasi jutaan orang. Agaknya penulis harus membukakan rahasia sebuah dalil penting di alam semesta. Dalil ini hanya diketahui dan dipahami oleh segelintir orang. Dalil itu mengatakan : Siapapun di dunia ini , diktator paling kejam sekalipun tidak pernah dapat membunuh semua orang di suatu kelompok, komunitas, bangsa. Para pelaku tindak kriminal tidak mungkin dibasmi dengan tindakan represif. Tindakan represif sekeras apapun dari pihak manapun untuk memaksa orang untuk berubah tidak akan berhasil jika orang yang bersangkutan tidak mau berubah. Kunci dan remote control ada pada tiap orang. Setiap orang harus menjadi polisi bagi dirinya sendiri, menjadi dokter bagi dirinya sendiri.
Pertanyaan berikutnya, dari titik mana semua itu harus dimulai?. Ada banyak cara, salah satunya adalah lewat pendidikan, kursus, pelatihan. Hal itu semua jelas membutuhkan investasi besar dan waktu yang lama. Seorang pakar matematika pernah memberikan jalan yang murah , mudah, tidak membutuhkan investasi besar, atau peralatan canggih, tetapi tetap membutuhkan waktu lama. Sang pakar matematika berkata " Saya dapat membuat orang yang buta matematika jadi mengerti dan paham matematika dalam waktu 3 bulan, tetapi saya membutuhkan waktu 12 tahun untuk membiasakan orang mau dan dapat terlatih untuk mengantre ". Ya budaya mengantre akan otomatis menumbuhkan kedisiplinan. Itu sebuah cara yang tidak butuh investasi, peralatan canggih, dan dapat dilakukan semua orang, termasuk anak anak usia SD. Satu pelajaran penting lagi didapat, ternyata masalah kota Medan bukan bersumber pada persoalan ekonomi, politik ataupun teknik, tetapi budaya. Sudah seharusnya pihak otoritas Kota Medan tidak lagi menganggap masalah budaya dan pakar budaya, budayawan sebagai urusan minor dan tidak penting. Sebaliknya pakar budaya jangan terus menerus dihinggapi rasa inferior berhadapan dengan pakar bidang lain. Untuk dapat mengikis rasa inferior dan meningkatkan rasa percaya diri, para pakar budaya dan budayawan wajib terus meningkatkan kompetensinya.
Epilog
Warga kota Medan baru saja menentukan pilihan siapa yang akan dipercaya memimpin kota Medan untuk lima tahun ke depan. Terpilihnya seorang anak muda minim pengalaman dan dianggap kurang mengakar di kota ini, tidak perlu disambut dengan rasa pesimis. Mungkin Bobby kurang memiliki pengetahuan tentang Kota Medan ataupun kurang pengalaman dalam birokrasi pemerintahan, tetapi dia punya sesuatu keunggulan yang tidak dimiliki kandidat lain. Keunggulan itu adalah kemudaannya, yang tidak dapat dibeli atau ditukar dengan apapun. Biasanya orang muda lebih progresif, lebih energik, dan cepat belajar sesuatu yang baru. Itulah modal awal terbesar Bobby Nasution. Untuk menutup kekurangan pengetahuan dan pengalaman, Walikota baru dapat merekrut orang orang terbaik di bidangnya untuk membantunya dalam memimpin kota Medan. Kepada seluruh warga kota Medan diharapkan dapat meningkatkan level kedisiplinannya, agar dapat mengembalikan kejayaan dan kehormatan kota Medan sebagai kota berperadaban tinggi.
Comments
Post a Comment