SENSASI DI KERATON RATU BOKO
Keraton Ratu Boko terletak di puncak perbukitan kapur dengan ketinggian hampir 200 meter, 3 Km di selatan candi Prambanan. Ratu Boko adalah suatu kompleks luas, terdiri dari gapura induk, pendopo, beberapa kolam, pagar keliling , bangunan yang diidentifikasi sebagai tempat pembakaran jenazah. Kolam kolam ditafsirkan fungsinya sebagai taman sari dan tandon air. Pagar keliling ditafsirkan sebagai garis pertahanan ( benteng ) terhadap serangan musuh. Berdasarkan denah kompleks, letak di ketinggian, bentuk dan struktur bangunan, kompleks Ratu Boko ditafsirkan sebagai benteng pertahanan sekaligus keraton tempat bermukim raja dan keluarganya. Adalah suatu kewajaran bahwa benteng juga berfungsi sebagai istana, seperti halnya dengan Keraton Surakarta dan Yogyakarta pada masa kemudian. Begitu juga dengan kastil kastil di Eropa pada abad pertengahan. Kompleks Ratu Boko berada di dalam klaster bangunan cagar budaya yang super padat. Tidak jauh dari kompleks Ratu Boko, terdapat kompleks candi candi Prambanan, Sewu, Plaosan Lor dan Kidul, Bubrah, Lumbung, Asu, Sajiwan, Sambisari, Ijo, Banyunibo, Kalasan.
Melihat kepadatan cagar budaya tersebut,
patut diduga kuat bahwa kawasan Prambanan dan sekitarnya menjadi pusat
kerajaan.
Kompleks keraton Ratu Boko memiliki
keunikan dan sensasi yang memukau. Keunikan yang membuatnya sensasional antara
lain bentuk dan fungsinya sebagai bangunan profan. Sangat langka, jika bukan
satu satunya bangunan profan dari jaman Klassik yang tersisa hingga sekarang.
Keunikan berikutnya adalah letaknya di ketinggian, memberikan view yang indah
dan menakjubkan. Keindahan itu membuat orang betah berlama lama di sana dan
enggan untuk segera meninggalkannya.
Dua momen yang selalu ditunggu orang
ketika berada di sana adalah saat fajar dan senja. Keunikan yang paling
sensasional adalah suguhan dua dimensi waktu berbeda di dalam ruang ( space )
yang sama. Jika seseorang berdiri di gapura pintu masuk utama atau di bibir
tebing bukit menghadapkan pandangan ke arah utara, timur dan barat serasa berada
di jaman modern. Pemandangan ke arah tersebut menghadirkan berbagai fenomena
dan benda benda yang merupakan representasi jaman now, berupa menara menara
telekomunikasi, rumah dan bangunan modern, jaringan jalan raya dan
jembatan dengan kendaraan lalu lalang , rel kereta api rute Yogyakarta -
Surakarta yang dalam sela waktu tertentu dilewati lokomotif yang menarik
rangkaian gerbong yang disertai bunyi klaksonnya. Jika kita alihkan pandangan
ke arah selatan, tampak pemandangan dari dunia kuno, lebih dari seribu tahun
lalu.
Posisi tempat kita berdiri benar benar
merupakan garis batas dari dua dimensi waktu yang terpaut ribuan tahun. Di
tempat kekunoan lain kita seperti berada di dalam mesin waktu yang melontarkan
jasad kita ke masa silam. Sementara di keraton Ratu Boko, kita sekalugus berada
di dua dimensi waktu berbeda. Tidak banyak lokasi yang seperti itu di dunia
ini. Dari kompleks ini juga kita dapat menyaksikan bekas / jejak upaya manusia
dalam mengubah bentuk bentang alam. Jejak itu hanya dapat dilihat oleh mata
yang terlatih di dalam penafsiran citra foto udara dan citra satelit
serta bekal pengetahuan geomorfologi yang cukup. Aliran kali Opak pada
awal abad IX Masehi melewati kompleks candi Prambanan. Sebelum candi Prambanan
dibangun, aliran sungai Opak dibelokkan dan dialihkan ke sisi barat di luar
pagar kompleks candi. Kejadian itu diabadikan dalam bentuk dokumen tertulis
yang otentik, prasasti Ciwa Graha, berangka tahun 856 Masehi.
Bagi sebagian besar orang, keberadaan
bangunan monumental dari masa lampau, menimbulkan rasa takjub, dan heran.
Teknologi dan proses pembangunannya terasa muskil, sehingga menimbulkan
berbagai tafsiran yang sifatnya spekulasi, seperti campur tangan mahluk super
cerdas dari planet atau galaksi lain. Sebenarnya jika kita melakukan observasi
sistematis dan cermat terhadap suatu monumen kuno, lingkungan alam sekitar,
membaca berbagai buku, melihat film film dokumenter dari berbagai belahan
dunia, serta mampu mengembangkan dialog / wawancara imajiner dengan berbagai
objek itu, maka semuanya jadi terang benderang. Uraian tentang hal itu tidak
mungkin dihadirkan dalam bentuk tulisan singkat ini. Walaupun masih terdapat
beberapa celah kekosongan yang harus diisi dengan berbagai hasil riset riset
survei, ekskavasi dan eksperimental, secara umum, proses pembangunan monumen
itu tidak lagi menjadi cerita misteri yang masih gelap.
Perjalanan napak tilas ke tiga monumen
penting, candi Borobudur, candi Prambanan dan keraton Ratu Boko rasanya sudah
cukup untuk mulai menjawab pertanyaan penting tentang relasi keberadaan monumen
monumen besar itu dengan manusia dan lingkungan. Jawaban itu akan ditulis dalam
waktu dekat. Menjelang meninggalkan kompleks ini, di keremangan senja di depan
gapura keraton Ratu Boko, penulis membuka lembaran catatan dan membacanya. Ini
nukilan tulisan di catatan itu.
CANDI
Engkau menahan empasan kala
Tinggal berdiri indah permai
Tidak mengabaikan serangan segala
Megah kuat tidak terperai
Engkau berita waktu yang lalu
Masa Hindia mashur maju
Dilayani putera bangsawan kalbu
Dijunjung tinggi penaka ratu
Aku memandang suka dan duka
Berganti ganti di dalam hati
Terkenang dulu dan waktu nanti
Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucintai ini?
Adakah tanda megah kembali?
Sanusi Pane
Tepat ketika matahari terbenam, penulis
beranjak meninggalkan kompleks keraton Ratu Boko yang luar biasa dan penuh
sensasional.
Catatan Penulis :
Puisi dalam bentuk soneta yang
ditampilkan adalah karya Sanusi Pane, seorang Pujangga besar, dari jajaran /
eksponen Pujangga Baru. Sanusi Pane adalah saudara kandung dari Armen Pane juga
seorang tokoh utama kelompok Pujangga Baru. Seorang saudaranya yang lain Lafran
Pane adalah pendiri dan dedengkot HMI (Himpunan Mahasiswa Islam ), organisasi
yang banyak mencetak kader terbaik bangsa.
Comments
Post a Comment