SENSASI DI KERATON RATU BOKO


Dua view keraton Ratu Boko di waktu fajar dan senja
Sumber:Google
 

Keraton Ratu Boko terletak di puncak perbukitan kapur dengan ketinggian hampir 200 meter, 3 Km di selatan candi Prambanan. Ratu Boko adalah suatu kompleks luas, terdiri dari gapura induk, pendopo, beberapa kolam, pagar keliling , bangunan yang diidentifikasi sebagai tempat pembakaran jenazah. Kolam kolam ditafsirkan fungsinya sebagai taman sari dan tandon air. Pagar keliling ditafsirkan sebagai garis pertahanan ( benteng ) terhadap serangan musuh. Berdasarkan denah kompleks, letak di ketinggian, bentuk dan struktur bangunan, kompleks Ratu Boko ditafsirkan sebagai benteng pertahanan sekaligus keraton tempat bermukim raja dan keluarganya.  Adalah suatu kewajaran bahwa benteng juga berfungsi sebagai istana, seperti halnya dengan Keraton Surakarta dan Yogyakarta pada masa kemudian. Begitu juga dengan kastil kastil di Eropa pada abad pertengahan. Kompleks Ratu Boko berada di dalam klaster bangunan cagar budaya yang super padat. Tidak jauh dari kompleks Ratu Boko, terdapat kompleks candi candi  Prambanan, Sewu, Plaosan Lor dan Kidul, Bubrah, Lumbung, Asu, Sajiwan, Sambisari, Ijo, Banyunibo, Kalasan.

Melihat kepadatan cagar budaya tersebut, patut diduga kuat bahwa kawasan Prambanan dan sekitarnya menjadi pusat kerajaan.

 

Kompleks keraton Ratu Boko memiliki keunikan dan sensasi yang memukau. Keunikan yang membuatnya sensasional antara lain bentuk dan fungsinya sebagai bangunan profan. Sangat langka, jika bukan satu satunya bangunan profan dari jaman Klassik yang tersisa hingga sekarang. Keunikan berikutnya adalah letaknya di ketinggian, memberikan view yang indah dan menakjubkan. Keindahan itu membuat orang betah berlama lama di sana dan enggan untuk segera meninggalkannya.

 

Dua momen yang selalu ditunggu orang ketika berada di sana adalah saat fajar dan senja. Keunikan yang paling sensasional adalah suguhan dua dimensi waktu berbeda di dalam ruang ( space ) yang sama. Jika seseorang berdiri di gapura pintu masuk utama atau di bibir tebing bukit menghadapkan pandangan ke arah utara, timur dan barat serasa berada di jaman modern. Pemandangan ke arah tersebut menghadirkan berbagai fenomena dan benda benda yang merupakan representasi jaman now, berupa menara menara telekomunikasi,   rumah dan bangunan modern, jaringan jalan raya dan jembatan dengan kendaraan lalu lalang , rel kereta api rute Yogyakarta - Surakarta yang dalam sela waktu tertentu dilewati lokomotif yang menarik rangkaian gerbong yang disertai bunyi klaksonnya. Jika kita alihkan pandangan ke arah selatan, tampak pemandangan dari dunia kuno, lebih dari seribu tahun lalu.

 

Posisi tempat kita berdiri benar benar merupakan garis batas dari dua dimensi waktu yang terpaut ribuan tahun. Di tempat kekunoan lain kita seperti berada di dalam mesin waktu yang melontarkan jasad kita ke masa silam. Sementara di keraton Ratu Boko, kita sekalugus berada di dua dimensi waktu berbeda. Tidak banyak lokasi yang seperti itu di dunia ini. Dari kompleks ini juga kita dapat menyaksikan bekas / jejak upaya manusia dalam mengubah bentuk bentang alam. Jejak itu hanya dapat dilihat oleh mata yang terlatih di dalam penafsiran citra foto udara dan citra satelit serta  bekal pengetahuan geomorfologi yang cukup. Aliran kali Opak pada awal abad IX Masehi melewati kompleks candi Prambanan. Sebelum candi Prambanan dibangun, aliran sungai Opak dibelokkan dan dialihkan ke sisi barat di luar pagar kompleks candi. Kejadian itu diabadikan dalam bentuk dokumen tertulis yang otentik, prasasti Ciwa Graha, berangka tahun 856 Masehi.

 

Bagi sebagian besar orang, keberadaan bangunan monumental dari masa lampau, menimbulkan rasa takjub, dan heran. Teknologi dan proses pembangunannya terasa muskil, sehingga menimbulkan berbagai tafsiran yang sifatnya spekulasi, seperti campur tangan mahluk super cerdas dari planet atau galaksi lain. Sebenarnya jika kita melakukan observasi sistematis dan cermat terhadap suatu monumen kuno, lingkungan alam sekitar, membaca berbagai buku, melihat film film dokumenter dari berbagai belahan dunia, serta mampu mengembangkan dialog / wawancara imajiner dengan berbagai objek itu, maka semuanya jadi terang benderang. Uraian tentang hal itu tidak mungkin dihadirkan dalam bentuk tulisan singkat ini. Walaupun masih terdapat beberapa celah kekosongan yang harus diisi dengan berbagai hasil riset riset survei, ekskavasi dan eksperimental, secara umum, proses pembangunan monumen itu tidak lagi menjadi cerita misteri yang masih gelap. 

 

Perjalanan napak tilas ke tiga monumen penting, candi Borobudur, candi Prambanan dan keraton Ratu Boko rasanya sudah cukup untuk mulai menjawab pertanyaan penting tentang relasi keberadaan monumen monumen besar itu dengan manusia dan lingkungan. Jawaban itu akan ditulis dalam waktu dekat. Menjelang meninggalkan kompleks ini, di keremangan senja di depan gapura keraton Ratu Boko, penulis membuka lembaran catatan dan membacanya. Ini nukilan tulisan di catatan itu.

 

             CANDI

 

Engkau menahan empasan kala

Tinggal berdiri indah permai

Tidak mengabaikan serangan segala

Megah kuat tidak terperai 

 

Engkau berita waktu yang lalu 

Masa Hindia mashur maju

Dilayani putera bangsawan kalbu

Dijunjung tinggi penaka ratu

 

Aku memandang suka dan duka

Berganti ganti di dalam hati

Terkenang dulu dan waktu nanti

 

Apa gerangan masa di muka

Jadi bangsa yang kucintai ini?

Adakah tanda megah kembali?

 

 

                    Sanusi Pane

 

 

Tepat ketika matahari terbenam, penulis beranjak meninggalkan kompleks keraton Ratu Boko yang luar biasa dan penuh sensasional.

 

 

Catatan Penulis : 

 

Puisi dalam bentuk soneta yang ditampilkan adalah karya Sanusi Pane, seorang Pujangga besar, dari jajaran / eksponen Pujangga Baru. Sanusi Pane adalah saudara kandung dari Armen Pane juga seorang tokoh utama kelompok Pujangga Baru. Seorang saudaranya yang lain Lafran Pane adalah pendiri dan dedengkot HMI (Himpunan Mahasiswa Islam ), organisasi yang banyak mencetak kader terbaik bangsa.

 

Comments

Popular Posts