TEKNOTHROP : BERKAH CORONA PADA SISTEM PRODUKSI PANGAN MANUSIA
Seperti sudah dipaparkan di dalam
tulisan tulisan terdahulu bahwa pandemi Covid 19 yang disebabkan oleh virus
corona telah banyak mengubah tatanan hidup manusia. Kali ini akan dipaparkan
aspek lainnya dari kehidupan manusia yang diubah atau bakal diubah oleh corona.
Aspek yang dimaksud adalah berubahnya
relung ekologi ( niche ) sumber pangan manusia. Selama jutaan tahun manusia
hidup sebagai mahluk herbivora, yang sumber bahan pangan utamanya adalah tumbuh
tumbuhan. Baru beberapa ratus ribu tahun lalu manusia memperluas basis sumber
pangannya dengan berperan sebagai mahluk carnivora dan omnivora.
Perluasan basis sumber pangan tersebut
telah ikut berperan penting dalam membentuk wujud peradaban manusia saat ini.
Relung ekologis pertama disebut autothrop.
Mahluk herbivora memanfaatkan sumber pangan di relung ini. Relung
kedua disebut heterothrop. Mahluk
herbivora, carnivora dan omnivora hidup dan memanfaatkan sumber pangan di
relung ini.
Relung ke tiga disebut saptothrop. Mahluk mikro organisme
seperi bakteri hidup dan memanfaatkan pangan di relung ini. Kehadiran virus
corona yang menimbulkan gelombang pandemi Covid 19, telah mengubah
atau segera bakal mengubah relung ekologis produksi pangan manusia. Peternakan
dianggap sebagai pusat utama penyebaran virus corona dan berbagai jenis virus
berbahaya lain seperti SARS, MERS,
Flu burung ( H5 N1, H7 N9 ), Flu babi ( G4 ).
Untuk mengeliminir penyebaran virus
corona dan virus virus lain di masa depan, penutupan sebagian besar peternakan
mamalia besar seperti sapi, domba dan unggas perlu dipertimbangkan. Sebagai
gantinya dikembangkan laboratorium produksi daging dengan teknik kultur
jaringan dengan menggunakan instrumen dan teknik bio reaktor. Daging yang dihasilkan bukan dari peternakan. Fenomena
ini masih tergolong baru dan belum dikembangkan dalam skala luas secara
komersil.
Dari kajian literature, belum ada konsep
relung ekologis ke empat yang dapat menampung fenomena baru ini. Oleh karena
itu penulis menciptakan konsep relung ekologis ke empat yang dapat menjelaskan
fenomena kehadiran teknologi dan produk daging
in vitro, daging berbasis sel, daging tak dipotong, daging hasil laboratorium,
daging bersih. Konsep dimaksud, adalah teknothrop,
yang menjadi relung ekologis ke empat.
Beberapa Postulat
Rumusan postulat yang dirumuskan secara eksplisit sangat diperlukan sebagai landasan berpikir dalam membangun argumentasi yang sistematis logis, koheren dan konsisten. Adapun postulat yang digunakan adalah :
- Setiap perubahan yang terjadi di alam, tidak ada yang berdiri sendiri, terlepas dari hubungan sebab - akibat. Perubahan kecil pada suatu komponen alam, akan memicu perubahan pada komponen lain.
- Ada dua kelompok faktor atau sumber pendorong terjadinya perubahan yaitu yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
- Perubahan efektif baru dapat terjadi kalau ada momentum yang tepat sebagai pemicunya.
Definisi Konseptual
Usia planet bumi diperkirakan sudah 4,5
milyar tahun lalu dan kehidupan mulai muncul sekitar 500 juta tahun lalu. Sejak
itu sudah banyak spesies hadir dan punah secara bergantian. Punahnya satu atau
beberapa spesies, segera digantikan oleh spesies lain. Manusia sebagai spesies,
baru hadir di bumi sekitar 4 juta tahun lalu.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
semua mahluk hidup memanfaatkan energi yang bersumber dari energi matahari.
Vegetasi memanfaatkan energi matahari melalui mekanisme proses fotosintesis.
Mineral di dalam tanah dan air dengan bantuan energi matahari diubah menjadi
nutrisi bagi tumbuhan. Vegetasi adalah pengguna energi matahari di relung
pertama dan posisinya berada di titik paling dekat dari sumber energi matahari.
Posisi relung ( niche ) demikian disebut sebagai autothrotop. Semua mahluk
pemakan vegetasi, termasuk manusia disebut herbivora. Biomassa yang dihasilkan
oleh tanaman dijadikan sumber pangan oleh mahluk yang tidak mampu menghasilkan
makanan sendiri.
Relung autothrop disebut juga trofik pertama. Ciri mahluk autothrop
adalah, tidak semua biomassa yang dihasilkan, dapat dimanfaatkan sebagai bahan
makanan, karena sebagian besar berupa jaringan keras seperti batang, ranting,
akar. Hanya sebagian daun, terutama yang berada di bagian pucuk, dan buah yang
dimakan oleh herbivora. Ciri lain, biomassa tersebut bersifat stasioner, sehingga
seluruh energinya dikonsentrasikan untuk memperbesar biomassa.
Semua mahluk herbivora, carnivora (
pemakan daging ) dan omnivora ( pemakan segalanya ) memanfaatkan energi matahari
tidak secara langsung, tetapi melalui perantara vegetasi. Oleh karena itu
posisinya yang bukan sebagai tangan pertama, berada lebih jauh dari sumber
energi matahari. Posisi relung ekologis demikian disebut sebagai heterothrop.
Hewan herbivora, carnivora termasuk manusia sebagai omnivora berada di relung
ini. Hewan herbivora ( sapi, kambing ) kemudian dimangsa oleh hewan carnivora (
harimau, singa ). Hewan carnivora kemudian dimangsa oleh hewan lain
termasuk oleh manusia. Hewan herbivora berada di relung ekologis yang
sama dengan hewan carnivora dan omnivora ( manusia ) yaitu heterothrop,
tetapi berbeda tingkat trofiknya. Hewan herbivora berada di level trofik ke
dua, hewan carnivora dan omnivora berada di trofik ke tiga dan trofik ke empat.
Biasanya level trofik mahluk heterothrop
terestrial ( darat ), dapat mencapai 3 sampai 4 trofik di dalam piramida
rantai makanan. Mahluk yang berada di niche heterothrop memanfaatkan makanan
untuk sumber energinya. melalui mekanisme proses metabolisme. Ciri mahluk di
relung heterothrop bersifat mobil, sehingga tidak semua energinya dimanfaatkan
untuk memperbesar biomassa. Sebagian energinya digunakan untuk bergerak. Ciri
lainnya adalah jumlah biomassa yang dapat dimakan oleh pemangsa lebih besar
dari mahluk autothrotop, karena mengandung lebih banyak jaringan lunak.
Jaringan keras yang tidak dapat dimakan seperti tulang, gigi, rambut, kuku.
Pada mahluk heterothrop aquatik, seperti
ikan, cumi cumi, udang, memiliki tingkat trofik yang lebih banyak, dapat
mencapai 5 sampai 7 trofik. Makin tinggi posisi trofiknya, jumlah populasinya
makin sedikit, karena keterbatasan sumber makanan di trofik tersebut. Makin
tinggi posisi trofik suatu mahluk, rasa dagingnya makin lezat, karena
makanannya adalah hasil ekstraksi dari trofik di bawahnya.
Selain itu ada dua perbedaan mendasar
antara mahluk heterothrop terestrial dengan mahluk heterothrop aquatik. Pada
mahluk aquatik lebih banyak biomassa yang dapat dimakan , karena jaringan
lunaknya lebih banyak. Bahkan ubur ubur dapat dimakan seluruh bio massanya
tanpa bersisa. Mahluk aquatik mengalokasikan energinya lebih banyak untuk
membesarkan biomassa tubuh, hanya sedikit yang digunakan untuk bergerak. Pada
mahluk darat, ketika bergerak membutuhkan energi besar, karena harus
melawan tarikan gaya gravitasi. Pada mahluk aquatik, ketika bergerak
dapat menetralisir gaya gravitasi berkat adanya gaya hidrostatis di dalam air.
Setiap benda yang mengapung di air mendapat gaya angkat akibat bekerjanya hukum
hidrostatis. Kemudian mahluk aquatik memanfaatkan kekuatan arus dan gelombang
untuk bergerak, sehingga nyaris tidak mengeluarkan energi ketika
bergerak. Seluruh energinya dapat dialokasikan untuk memperbesar massa
tubuh. Tingkat trofik yang tinggi, jaringan lunak yang banyak, energi
yang tidak banyak terbuang, telah membuat mahluk aquatik memiliki tekstur daging
yang halus dan rasanya lebih lezat dari mahluk terestrial. Khusus hewan
hewan aquatik yang berada di puncak trofik, memiliki kualitas daging terbaik
dan paling lezat.
Oleh karena posisinya di puncak trofik,
sumber makanannya tidak banyak, akibatnya jumlah populasinya tidak banyak. Oleh
karena langka, rasanya lezat, maka harganya jadi mahal, misalnya ikan kakap, bawal.
Semua mahluk heterothrop pada akhirnya akan mati karena dimangsa oleh mahluk
lain atau oleh sebab alamiah ( sakit atau usia tua ). Setelah mati jasadnya
akan dirombak oleh mikro organisme ( bakteri ) melalui mekanisme proses
dekomposisi. Semua unsur organik dari jasad itu akan diserap oleh tanah dan
dijadikan mineral yang berguna bagi mahluk hidup berikutnya. Bakteri yang
merombak jasad tubuh berada pada relung ekologis yang disebut saptothrop. Semua
mahluk hidup di alam menempati satu relung ekologis, apakah autothrop,
heterothrop atau saptothrop. Seluruh textbook saat ini hanya mengenal 3 relung
ekologis. Tiga relung itu dianggap sudah dapat melingkupi seluruh mahluk hidup,
mulai dari yang berukuran makro sampai ukuran mikro. Kenyataannya tidak
demikian, seperti yang akan dipaparkan di bawah.
Manusia Sebagai Mahluk Herbivora
Alam mendesain tubuh manusia untuk berperan sebagai mahluk herbivora. Ada beberapa indikator fisik manusia yang mendukung pernyataan ini, antara lain :
1. Bentuk gigi taring manusia lebih
pendek dan lebih tumpul dari mahluk carnivora, dengan sudut lancipan yang lebih
besar. Manusia memiliki jenis gigi polident,
banyak bentuk dan fungsi. Jenis gigi manusia terdiri dari 12 buah geraham, 4
buah taring, 4 buah gigi seri, 12 buah molar. Ketika masih menjadi mahluk
herbivora, sumber makanan manusia adalah buah buahan, umbi umbian.
2. Manusia memiliki tiga jenis usus ( usus duabelas jari, usus halus dan usus besar ), yang jika digabung mencapai panjang 8 meter. Bentuk dan ukuran usus demikian dibutuhkan untuk mencerna makanan yang memiliki dinding sel tebal seperti vegetasi. Sebagai perbandingan, panjang usus sapi 40 meter dan usus ayam mencapai 3 meter.
Selama jutaan tahun tahun manusia hidup
sebagai herbivora. Beberapa ratus ribu tahun yang lalu, mungkin manusia melihat
perilaku hominoid dan mamalia lain yang memiliki kebiasan memakan daging,
lalu mulai mencontoh perilaku kebiasaan makan daging. Asalnya mungkin manusia
berperan sebagai pengutil bangkai, kemudian mengubah perannya sebagai pemburu
atau predator.
Ketika manusia mengubah diet atau menu
makanannya dari herbivora atau vegetarian menjadi carnivora dan akhirnya
menjadi omnivora, pada dasarnya manusia telah melakukan pembangkangan pertama terhadap desain alam. Tindakan itu adalah
proses transformasi atau migrasi antar trofik dari trofik level 2 ke trofik
level 3 dan 4. Migrasi antar trofik itu masih berada di dalam satu relung yang
sama yaitu heterothrop. Ketika manusia mendiami ekosistem perairan ( sungai,
danau atau pantai ), manusia mulai memasukkan hewan aquatik ke dalam menu
makanannya. Walaupun manusia dari aspek makanannya sudah menjadi mahluk
carnivora dan omnivora, tetapi dari bentuk,
dan ukuran gigi serta ususnya, tidak dapat menutupi jati diriya sebagai mahluk
herbivora.
Manusia Sebagai Produsen Makanan
Selama jutaan tahun manusia memperoleh
makanannya secara taken for granted,
menerima dan mengambil apa adanya, tanpa sentuhan artifisial. Baru 13.000 tahun
lalu manusia mulai mengembangkan cara memroduksi makanan melalui upaya domestifikasi tanaman dan hewan.
Tanaman yang pertama didomestifikasi oleh manusia adalah sejenis rumput liar
yang buahnya berbentuk biji bijian, tumbuh di kaki pegunungan Zagros, di Asia
Kecil. Tanaman liar itu, sekarang dikenal sebagai gandum. Biji gandum kemudian
digiling halus menjadi tepung, yang kemudian menjadi bahan baku pembuat roti.
Sekarang gandum menjadi makanan pokok
berbasis tepung yang dikonsumsi oleh mayoritas manusia. Di kawasan Asia
Tenggara, tanaman dibudidayakan juga sejenis rumput liar yang sekarang dikenal
sebagai oryza sativa ( padi ).
Walaupun padi juga ada yang dijadikan makanan berbasis tepung, tetapi sebagian
besar dikonsumsi dalam bentuk biji ( beras ). Selain gandum dan padi, manusia
juga membudidayakan tanaman lain berbasis biji seperti jagung dan sorgum.
Selain tanaman berbiji, manusia juga
membudidayakan tanaman berbasis umbi umbian ( ubi, kentang, talas ). Selain
tanaman berbasis biji, manusia juga mengembangkan
tanaman berbasis tepung, seperti sagu. Semua bahan makanan itu menjadi sumber
karbohidrat bagi manusia. Selain membudidayakan tanaman, manusia juga
membudidayakan hewan.
Hewan pertama yang dibudidayakan adalah
anjing, kemudian menyusul domba dan sapi serta berbagai jenis unggas ( ayam,
itik, burung ). Dari usaha domestifikasi hewan, manusia memperoleh bahan
makanan protein hewani berupa daging, lemak yang diolah menjadi susu, mentega
dan keju. Setelah kegiatan domestifikasi berjalan mantap dan dapat menopang
kehidupan untuk jangka waktu yang lama, manusia kemudian mulai
mengembangkan pola hidup menetap. Muncul desa desa pertama di kawasan bulan sabit subur, di Timur Tengah.
Desa desa itu kemudian berkembang menjadi kota kota yang dikelilingi tembok,
seperti Jerico, Ur, Nippur, Khorsabat, Niniveh.
Teknologi bercocok tanam kemudian
dikembangkan terus menerus, dikombinasi dengan teknologi irigasi, pembibitan,
pemupukan, pemanenan, pengolahan pasca panen. Selain tanaman yang menjadi
makanan pokok, manusia juga mengembangkan tanaman buah buahan, sayur sayuran,
obat obatan, dan tanaman yang menghasilkan barang barang penikmat, seperti teh,
kopi, tebu, vanili, rempah rempah ( cengkeh, pala, lada ). Sekarang ini hampir
40 % dari luas permukaan bumi dijadikan kawasan budidaya berbagai jenis tanaman
dan hewan baik hewan terestrial maupun hewan aquatik. Semua hasil peradaban
manusia di bidang pangan, masih berada di relung ekologis yang sama yaitu
heterothrop. Artinya semua produk budaya itu belum mengalami perubahan secara
struktural. Perubahan yang terjadi baru menyentuh aspek kuantitas, bukan
kualitas. Walaupun dengan teknik domestifikasi, manusia hanya naik tingkat
trofik, tetapi tindakan sekelompok kecil pemburu dan peramu di kaki pegunungan
Zagros pada 13.000 tahun lalu sudah membuka
sebagian penutup kotak pandora. Itulah pertama kali manusia mengutak
atik alam yang kemudian membawanya menyingkap rahasia kehidupan.
Kegiatan produksi pangan yang berbasis
di relung heterothrop, baru lima dekade terakhir dirasakan berbagai dampaknya
bagi lingkungan. Kegiatan itu ternyata memberikan tekanan berat pada aspek
lingkungan. Budidaya pertanian, perkebunan, dan peternakan ternyata boros dalam
penggunaan sumberdaya alam dan dapat memicu perubahan iklim global.
Kondisi tersebut mengarah pada terjadinya kerusakan lingkungan, menyusutnya
keanekaragaman hayati, varietas, genetis, dan memicu terjadinya
bencana ekologis seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, badai / topan,
wabah penyakit. Kondisi tersebut telah menimbulkan gelombang kepanikan /
ketakutan akan masa depan planet bumi yang suram. Lahirlah berbagai gerakan
yang pro konservasi alam, back to
nature, sustainable development, organic food, dan sebagainya.
Sejak 2 dekade terakhir, para ilmuwan telah mengembangkan berbagai metode, teknik, formula perhitungan berikut peralatan instrumentasi untuk menghitung neraca sumberdaya alam. Kemampuan telusur penggunaan sumberdaya alam dan metode pembangunan ramah lingkungan telah meningkat pesat. Beberapa instrumen yang menonjol adalah Life Cycle Assessment, Carbon Foot Print Analysis, Ecological Foot Print Analysis, Virtual Water Analysis, Carbon Trade, Clean Development Mechanisme. Sebagai contoh beberapa hasil studi neraca sumberdaya alam ditampilkan di sini. Untuk menghasilkan 1 kg daging sapi segar dibutuhkan 16 meter kubik air dan 4,1 meter kubik air untuk menghasilkan 1 kg daging unggas. Untuk menghasilkan 1 kg beras dibutuhkan air 3,5 meter kubik, dan 2,75 meter kubik untuk 1 kg kedelai, 1,2 meter kubik untuk jagung dan 514 liter air untuk 1 kg ubi. Untuk menghemat sumberdaya air, kebutuhan akan karbohidrat sebaiknya dipasok oleh ubi, dan kebutuhan akan protein hewani didapatkan dari daging ayam. Untuk menghasilkan 1 lembar t-shirt dari bahan katun di butuhkan 700 meter kubik air. Untuk menghasilkan 1 kg kopi, dibutuhkan air sebanyak 22 meter kubik. Artinya di dalam satu cangkir kopi dengan volume 150 cc, sebenarnya terkandung air virtual sebesar 140 liter. Kenyataan ini memberi petunjuk agar daerah daerah yang langka sumberdaya air, seperti Flores, tidak menanam kopi. Ada baiknya sekali waktu, ketika anda duduk menikmati secangkir kopi di cafe, membayangkan bahwa untuk kenikmatan itu, dibutuhkan sekian banyak air.
Dapat dibayangkan berapa kebutuhan air
untuk menghasilkan produk pangan dan barang penikmat. Mesir telah menghemat
penggunaan air sebesar 5,8 milyar meter kubik air, karena lebih memilih impor
kedelai sebanyak 5,2 juta ton, dari pada memproduksi sendiri. Kegiatan produksi
pertanian, perkebunan dan peternakan merupakan penyumbang terbesar gas metan,
salah satu gas rumah kaca yang merusak lapisan ozon di angkasa. Sebagai respon
dari berbagai gerakan konservasi alam, beberapa negara membuat terobosan
mendasar dalam kegiatan produksi pangan.
Hasilnya pada tahun 2013 sudah berhasil
dikembangkan produk di daging yang dihasilkan tanpa adanya peternakan. Hasil
spektakuler ini tidak mendapat respon positif dari warga masyarakat. Akhirnya
daging itu belum diproduksi secara komersil. Manusia dengan berbagai alasan
masih sulit menerima penemuan penting itu.
Corona dan Migrasi Relung Ekologis
Kisah ini dimulai pada tahun 2005 dengan
terbitnya makalah berjudul "Commentary
: In Vitro - Culture Meat Production System", di dalam jurnal Tissue Engeneering yang ditulis oleh Jason Matheny, yang melontarkan konsep
daging budidaya atau daging in vitro.
Pada tahun 2013, Prof. Mark Post, dari Maastricht University Holland, berhasil memproduksi daging yang dibiakkan dari inti sel daging konvensional.
Daging itu disajikan dalam hamburger. Daging budidaya tersebut belum diproduksi
massal. Rencananya perusahaan Mosa Meat,
yang didirikan oleh Mark post, akan memproduksi daging budidaya secara
komersial pada tahun 2021. Sejak munculnya badai corona yang memporak
porandakan tatanan yang sudah mapan, membuat orang mulai meninjau ulang
berbagai tatanan banyak aspek kehidupan. Salah satunya adalah sistem
produksi pangan di sektor peternakan.
Sudah lama diduga bahwa kawasan /
area peternakan mamalia besar dan unggas adalah salah satu titik utama penyebaran
berbagai jenis virus berbahaya. Untuk menghentikan kegiatan usaha peternakan
tidak mungkin dilakukan, karena manusia sudah terlanjur dimanjakan dengan aneka
jenis daging. Produksi daging hasil rekayasa bio reaktor, belum mendapat
sambutan dari konsumen. Dengan adanya pandemi Covid 19, upaya memassalkan
konsumsi daging in vitro, seperti mendapatkan momentum untuk diproduksi secara
massal. Untuk mencegah penyebaran virus corona, mungkin banyak peternakan
konvensional bakal ditutup.
Dapat dikatakan bahwa corona sudah
berperan sebagai momentum bagi perluasan basis pemasaran daging in - vitro,
menggantikan daging konvensional. Daging in - vitro dihasilkan dengan
mengekstrak inti sel daging biasa, kemudian dikembangkan biakkan di luar tubuh
hewan dengan teknologi bio reaktor dengan mekanisme proses duplikasi. Daging dari laboratorium lebih bersih, lebih
steril dan lebih higienis dari daging biasa. Tekstur daging in - vitro, tidak
berbeda dengan daging biasa. Mungkin ada perbedaan pada aspek aroma dan rasa di
antara ke dua jenis daging tersebut, karena daging in - vitro tidak memiliki
tulang rawan dan memiliki pembuluh darah lebih sedikit. Mungkin kondisi ini
akan membuat masyarakat menolak mengkonsumsi daging dari laboratorium.
Keadaan ini mirip dengan ketika ayam ras
pertama kali diperkenalkan. Banyak konsumen menolak ayam ras dan tetap bertahan
dengan pilihan pada ayam buras ( bukan ras = ayam kampung ). Mereka beralasan
bahwa rasa ayam kampung lebih enak. Dengan berjalannya waktu, jumlah
populasi ayam ras sudah jauh melampaui jumlah populasi ayam kampung. Akhirnya
populasi ayam kampung benar benar langka dan harganya melonjak jauh lebih mahal
dari ayam ras. Masyarakat tidak punya pilihan lain, terpaksa mengkonsumsi ayam
ras dan sekarang sudah terbiasa makan ayam ras. Hal yang sama akan terjadi juga
pada daging dari laboratorium.
Tidak lama setelah muncul di pasar, sedikit demi sedikit kedudukan daging biasa akan tergusur oleh daging laboratorium. Dengan penyempurnaan terus menerus, kualitas, aroma dan cita rasa daging in- vitro akan sama dengan daging konvensional. Kehadiran pandemi Covid 19, benar benar telah mengubah struktur produksi pangan, memindahkan relung ekologis produksi pangan. Corona tidak hanya sekadar memindahkan level trofik, tetapi memindahkan relung dari heterothrop ke relung teknothrop. Konsep ini diciptakan untuk menggambarkan fenomena pergeseran relung ekologis produk pangan pada pasca pandemi Covid 19, dari lahan pertanian / perkebunan dan peternakan ke laboratorium. Dengan demikian relung ekologis sudah bertambah menjadi empat yaitu autothrop, heterothrop, saptothrop dan teknothrop. Berdasarkan uraian di atas, relung ekologis teknothrop dapat didefinisikan sebagai proses penciptaan biomassa melalui teknik kultur jaringan, dengan menggunakan instrumen bio reaktor melalui mekanisme proses duplikasi jaringan sel hewan dan tumbuhan serta mikro organisme di laboratorium.
Efek Domino
Keberhasilan produksi daging in - vitro
akan menimbulkan efek domino pada jenis jenis pangan yang lain. Kalau daging
sudah berhasil diciptakan secara artificial, tidak tertutup kemungkinan
memproduksi susu, mentega, keju dan kulit dengan cara yang sama. Demikian juga
dengan pangan berbasis tumbuhan seperti gandum, padi, jagung, kentang, kacang
kacangan, buah buahan , sayur mayur, minyak nabati. Sebagian besar produksi
pangan akan bergeser dari out door ke in
door. Berikutnya menyusul produk produk penikmat, seperti kopi, teh, tebu,
rempah rempah, coklat bahkan berbagai jenis bunga. Pada tahap berikutnya
produksi energi bio fuel juga akan bergeser ke in door. Perubahan tersebut akan
menimbulkan banyak sekali implikasi dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa
implikasi akan dipaparkan di bawah ini.
Beberapa Implikasi
Penciptaan relung ekologis yang baru, yaitu teknothrop akan menimbulkan berbagai implikasi yang akan mengubah tampilan wajah peradaban manusia di masa depan. Beberapa implikasi tersebut antara lain :
1. Perubahan penggunaan lahan. Dengan
berkurangnya aktivitas pertanian, perkebunan peternakan dan perikanan
akan menimbulkan perubahan penggunaan lahan. Kegiatan pertanian, perkebunan dan
peternakan serta perikanan tidak hilang seluruhnya, tetapi skalanya jauh
berkurang. Kegiatan tersebut terbatas dalam skala kecil sebagai pemasok inti
sel yang akan dikembang biakkan di laboratorium. Kelebihan areal yang sangat
luas, membuka banyak pilihan untuk digunakan untuk bermacam macam keperluan.
Misalnya untuk pembangunan fasilitas infrastruktur, perumahan / kota, area
rekreasi, reboisasi, dan sebagainya. Sebagian lahan bekas pertanian, perkebunan
dan peternakan akan digunakan untuk pembangunan banyak laboratorium
penghasil pangan untuk mendekatkan produsen dengan konsumen, sehingga dapat
menghemat biaya transportasi.
2. Konservasi lingkungan dan sumberdaya
alam. Banyak sekali sumberdaya alam yang dapat dihemat, seperti penggunaan air.
Dengan hilangnya peternakan ikan air tawar, akan memperbaiki kualitas air
danau, telaga dan waduk. Emisi gas khususnya gas gas rumah kaca seperti carbon,
metana ( CH4 ), SOX, NOX, CO, CO2 dan lain lain akan banyak
berkurang. Produksi mobil hibrid yang semakin massal, ikut memberi kontribusi
pengurangan emisi karbon ke angkasa. Atmosfir bumi jadi lebih
bersih.
3. Religi. Bentuk ritual dan prosesi
keagamaan akan mengalami perubahan. Aktivitas pemotongan hewan kurban pada hari
raya Idul Adha, mungkin akan berganti dengan penyerahan paket paket daging
bersih, tanpa tulang, jeroan. Tidak dibutuhkan lagi tukang jagal, area publik
yang dijadikan tempat pemotongan hewan, pembagian daging kurban.
4. Kuliner. Beberapa organ tubuh
hewan bagian dalam ( usus, babat limpa, ati, otak ), tulang / sumsum, dan ekor
bakal lenyap dari hidangan. Orang mulai dibiasakan mengkonsumsi daging murni
dan melupakan jeroan.
5. Gedung rumah potong hewan berikut
segala fasilitasnya akan berubah jadi museum rumah potong hewan.
6. Perusahan peternakan dan
industri pakan ternak akan terpukul dan terpaksa harus mengalihkan bisnisnya ke
sektor lain. Berikutnya perusahaan pertanian dan perkebunan harus mencari
terobosan baru agar tidak bangkrut. Para pembaca dapat saja menambah panjang
daftar implikasi yang ditimbulkan oleh perubahan relung ekologis produksi
pangan.
Epilog
Kelompok kecil para pemburu dan peramu
di kaki pegunungan Zagros adalah pembuka pertama penutup kotak pandora.
Hasilnya adalah sistem produksi pangan dunia yang berlangsung selama 13.000
tahun. Jason Matheny adalah orang yang membuka penutup kotak pandora lebih
besar dan hanya butuh waktu 8 tahun, Mark Post membuka lebih lebar lagi. Apa
yang dilakukan ke dua orang itu segera akan mengubah sistem produksi pangan
secara struktural dan mendasar. Perubahan yang akan terjadi mungkin akan lebih
lama lagi terwujud.
Kehadiran virus corona akan memicu laju
percepatan perubahan itu. Perubahan itu akan mengubah secara mendasar bentuk
peradaban manusia. Sistem produksi pangan yang baru menuntut hadirnya algoritma
baru yang dapat memangkas tata cara / prosedur produksi, mempersingkat
waktu dan mengubah struktur ruang di muka bumi. Tidak terbayangkan di
benak kita bahwa perubahan besar itu dipicu oleh sosok super mikro yang selama
ini dianggap sebagai pembawa malapetaka bagi manusia. Selama berbulan bulan
sosok corona dihadirkan oleh pemikiran mainstream yang serba negatif,
menakutkan.
Beberapa tulisan bertopik corona dari
penulis, sudah memperlihatkan manfaat jika sesekali mau dan berani berpikir
serta bertindak out the box. Di
balik yang tampak mata, terbuka aneka ragam kemungkinan, potensi, peluang yang
dapat dieksplorasi. Oleh karena itu jangan biarkan diri kita hanyut di
dalam pusaran cara berpikir mainstream. Sosok corona yang digambarkan sebagai
monster, jika dipandang dari perspektif yang tidak biasa, dapat menghasilkan
sesuatu yang tidak terduga sebelumnya dan memberi manfaat bagi manusia.
Biasakanlah melihat suatu fenomena dari berbagai perspektif, agar dapat
bersikap dan bertindak lebih bijaksana. Sebagai penutup disampaikan sebuah
pesan dari para bijak bestari yang mengatakan :
- Orang bodoh hanya dapat menghadirkan
masalah
- Orang pintar hanya dapat menghadirkan solusi
- Orang arief dan bijaksana dapat mencegah masalah dan menghadirkan banyak
pilihan.
Comments
Post a Comment