TURBULENCE DI KOTA MEDAN : INDIKASI DAN PENYEBABNYA


Prolog

Tulisan ini dibuka dengan menampilkan Dalil Wirtjes, yang mengatakan bahwa : Di negara non rejim kutipan, semua dibolehkan, kecuali yang dilarang. Di negara negara rejim kutipan, semua dilarang, kecuali yang dijinkan ( ada surat ijin nya ).  Dalil Wirtjes meramalkan bahwa pada suatu waktu ( Tn ), semua yang dilarang, pada waktu lain kemudian ( Tx ), dapat diubah menjadi dibolehkan dengan berbekal surat ijin. Surat ijin / kuota menjadi komoditi yang dapat diperjual belikan. Surat ijin dijadikan sarana untuk mengumpulkan kapital dan aset. Bagi yang menerbitkan,  surat ijin menjadi sumber pemasukan. Pada suatu waktu berikutnya ( Ty ), surat ijin itu berpeluang atau berpotensi menimbulkan turbulence. Kota Medan adalah kota terbesar di pulau Sumatera dan jadi kota ke tiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya.

Berdasarkan pengamatan penulis, beberapa bulan terakhir  banyak terjadi anomali ( penyimpangan ) di Medan. Anomali itu bahkan sudah menimbulkan fenomena turbulence. Tulisan ini mencoba menunjukkan indikasi bahwa telah terjadi turbulence dan mencari faktor penyebabnya.

Definisi Konseptual Turbulence

Konsep turbulence pertama kali dikembangkan di dalam bidang aerodinamika dan mekanika fluida,  cabang dari ilmu fisika. Turbulence adalah perubahan bentuk dan pola aliran udara menjadi tidak beraturan dan berputar putar tidak teratur, yang disebabkan karena perubahan secara drastis temperatur dan tekanan udara serta kecepatan aliran udara

Manajemen Kelistrikan dan Keairan Yang Amburadul

Turbulence menimbulkan kekacauan pada sistem, entitas,  menurunkan kuantitas dan kualitas produk. Kekacauan itu disebabkan karena tidak adanya sinkronisasi dan koordinasi di antara berbagai komponen di dalam suatu sistem. Indikasi yang mudah dilihat dari fenomena turbulence adalah menurunnya jumlah dan mutu pasokan, produk.

Sebagai ilustrasi, tidak adanya koordinasi dan sinkronisasi program kerja antara BAPPEDA ( Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ), dengan Dinas PUPR ( Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat ), PLN (Perusahaan Listrik Negara ), PDAM ( Perusahaan Daerah Air Minum ) , dalam membuat perencanaan pembangunan rumah.

Dua instansi pertama tidak tahu pasti jumlah dan volume ketersediaan pasokan listrik dan air minum.  Akibatnya tenaga listrik di kota Medan defisit, sehingga dilakukan pemadaman listrik secara bergiliran. Dalam durasi waktu sehari ada wilayah yang mengalami beberapa kali pemadaman, sehingga dapat merusakkan berbagai peralatan listrik rumah tangga. Mutu pelayanan jatuh merosot, karena permintaan jauh melebihi kapasitas ketersediaan.
Begitu juga dengan  pasokan air minum. Untuk memenuhi kekurangan  pasokan, PDAM Tirta Nadi  di banyak kompleks perumahan membangun sumur booster, dan airnya  dioplos di saluran  pipa sekunder, yang menuju ke rumah pelanggan ( Pernah terjadi di kompleks perumahan Waikiki, jalan Flamboyan Raya. Sejak 7 tahun terakhir sudah tidak dioplos lagi ) Tindakan PDAM  Tirta Nadi jelas menurunkan kualitas air, karena air dari sumur booster yang hanya mendapat  treatment pengolahan air minimal, ( tanpa disaring ) dicampur dengan air dari Instalasi Pengolahan Air Minum di Sunggal yang kualitasnya lebih baik.

Beberapa sumur booster memiliki kandungan pasir dan besi ( Fe ) di atas ambang batas Baku Mutu Air Minum, menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.492 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Selain itu, tindakan mengoplos dua jenis air minum yang kualitasnya berbeda,   melanggar Peraturan  Pemerintah No. 122 Tahun 2015 Tentang Sistem Penyediaan Air Minum ( SPAM ).

Manajemen Persampahan : Menunggu Ledakan Bom Waktu

Tidak banyak warga kota Medan yang menyadari betapa masalah persampahan sudah mendekati detik detik akhir menjelang meledak. Situasinya menegangkan seperti orang pasrah menunggu ledakan bom waktu. Pemerintah Kota  ( Pemko ) Medan  bersikap seolah olah tidak ada masalah. Tanpa terasa sudah 7 tahun Pemko Medan melanggar Undang Undang Republik Indonesia ( UU RI ), No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Undang undang tersebut melarang siapapun, perorangan, korporasi, pemerintah mengoperasionalkan Tempat Pembuangan Akhir ( TPA ) sampah terbuka, terhitung bulan Mei tahun 2013. Sejak tahun 2013, Pemko Medan sudah dilarang membuang sampah di TPA terbuka. Selama ini Pemko Medan membuang sampah di TPA Terjun dan TPA Namo Gajah, yang sekarang sudah ditutup  karena sudah penuh. Sekarang Pemko Medan praktis hanya mengandalkan TPA Marelan, yang juga menggunakan sistem terbuka.
Sampai sekarang Pemko belum merencanakan, konon pula melakukan studi kelayakan, membangun serta mengoperasionalkan TPA sampah tertutup. Agar efisien,  pengelolaan TPA harus dikaitkan dengan pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sampah sebagai input. Beberapa tahun ke depan, ketika TPA Marelan penuh, kemana lagi Pemko membuang sampah?. Kota Medan akan dipenuhi gunungan sampah. Akibat selanjutnya  wabah penyakit akan melanda warga kota. Di bidang keairan dan persampahan, ternyata pemerintah melanggar regulasi yang dibuatnya sendiri. Di tiga bidang tersebut sudah ada indikasi terjadinya turbulence di kota Medan.

Walaupun tiga bidang tersebut sudah menimbulkan turbulence,  tetapi bobotnya masih di bawah  bidang lalu lintas, yang fenomenanya sangat "telanjang", dan vulgar. Begitu lugasnya turbulence di bidang lalu lintas, sehingga tidak salah kalau Medan disebut sebagai Kota Biadab atau Kota Barbar.

Golongan Patricia Versus Golongan Plebeier

Golongan patricia adalah bangsawan kota Roma di jaman Romawi Kuno,  yang memiliki hak hak istimewa. Golongan plebeier, adalah orang biasa, tanpa hak-hak eksklusif. Selain dua golongan itu, terdapat golongan budak, yang hanya punya kewajiban tanpa hak  sebagai warga negara. Dalam tulisan ini istilah golongan patricia digunakan untuk menunjukkan kelas menengah atas  dan golongan plebeier digunakan untuk menunjukkan kelas bawah.

Di dalam membuat kebijakan lalu lintas, Pemko Medan jelas menganakemaskan golongan patricia. Jalan jalan arteri sekunder ( disebut juga jalan protokol ), diilarang dilewati oleh angkutan umum, kecuali beberapa puluh meter di dekat persimpangan jalan kolektor. Di kota Medan  jalan jalan yang termasuk kategori jalan protokol adalah jalan Jenderal Sudirman, Jalan Imam Bonjol, Jalan Diponegoro. Di jalan yang hanya diperuntukkan bagi kendaraan pribadi, kendaraan dapat melaju kencang rata rata 60 Km per jam,  ukuran jalan lebar,  aspalnya mulus, di sisi  kiri dan kanan jalan ditumbuhi pohon rindang, jarang terjadi kemacetan. Jalan arteri primer (  disebut juga jalan ring road ), di Medan, salah satu ruas jalan itu dinamakan jalan Gagak Hitam dan angkutan umum di larang melewatinya, kecuali Bus Antar Kota atau Angkutan Moda Terpadu yang menuju Bandara. Golongan patricia masih berkesempatan menikmati jalan mulus, lebar, tidak macet di dalam kendaraan mewah dan sejuk. Hak seperti itu tidak dapat dinikmati golongan plebeier yang duduk berdesakan di dalam  angkutan umum yang panas, melewati jalan berlubang dan macet.

Masalah Lalu Lintas

Masalah lalu lintas yang sering muncul antara lain : 

1. Kemacetan lalu lintas ( kongetion ), umumnya disebabkan karena : 
  • Daya tampung badan jalan tidak sesuai dengan jumlah  kendaraan yang melintas di jalan tersebut. Kapasitas ideal jalan sudah terlampaui. 
  • Pengguna jalan tidak  berdisiplin dalam mematuhi regulasi.
  • Manajemen lalu lintas tidak berfungsi optimal.
2. Kecelakaan  ( accident ), disebabkan oleh : 
  • Perancangan geometrik jalan kurang baik. 
  • Kondisi kendaraan tidak laik jalan. 
  • Kondisi jalan rusak.
  • Pemakai jalan tidak berdisiplin. 
  • Rekayasa lalu lintas tidak tepat. 

3. Tundaan ( delay ), disebabkan karena pemborosan waktu, akibat rendahnya kecepatan 
    rata rata kendaraan.

4. Pemborosan penggunaan bahan bakar, karena kendaraan berjalan dengan gear rendah.

5. Meningkatnya polusi udara  mengakibatkan turunnya kualitas udara. 

6. Lemahnya upaya penegakkan hukum. 

7. Pemakaian badan jalan untuk area parkir kendaraan.

Pemerintah sering mengupayakan solusi yang tidak tepat untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.  Misalnya, untuk mengatasi kemacetan, pemerintah membangun ruas jalan baru atau memperlebar jalan yang sudah ada. Cara ini melawan paradoks - paradoks Downs - Thomson atau Pigou - Knight. Paradoks itu mengatakan bahwa membangun jalan baru atau memperlebar jalan lama pada awalnya memang dapat mengurangi kemacetan  tetapi hanya sesaat, kemudian malah akan menimbulkan kemacetan yang lebih parah.

Penjelasannya sebagai berikut. Ketika sebuah ruas jalan baru dibuka, awalnya hanya sedikit kendaraan yang melintas. Setelah banyak pengendara tahu dan merasakan perjalanan yang lancar, lalu berbondong bondong pengendara melalui jalan tersebut yang kemudian menimbulkan kemacetan. Sebuah ruas jalan lama yang selalu mengalami kemacetan, kemudian diperlebar. Ketika masih sering mengalami kemacetan, banyak pengendara kendaraan pribadi memutuskan menggunakan kendaraan umum. Fasilitas kendaraan umum ditingkatkan untuk melayani permintaan. Kemudian jalan dilebarkan dan pengendara kemudian memutuskan kembali menggunakan  kendaraan pribadi. Jumlah pengguna kendaran umum menurun tajam, mengakibatkan pengelola tidak dapat menutupi biaya operasional. Selanjutnya kendaraan umum terlantar dan kendaraan pribadi kembali membuat macet lalu lintas,  bahkan lebih parah dari sebelum jalan dilebarkan karena sekarang tidak ada kendaraan umum untuk mengurangi beban jalan.

Desinkronisasi dan Dekoordinasi

Di atas sudah diuraikan tentang pentingnya sinkronisasi dan koordinasi dalam mengelola kota. Medan adalah contoh kota yang  sama sekali tidak memiliki sinkronisasi dan koordinasi. Sebagai contoh yang kasat mata adalah adalah proyek perbaikan jalan Setia Budi. Dinas PUPR, adalah instansi yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan itu. Pelaksananya adalah kontraktor swasta nasional. Pekerjaan fisik meliputi perbaikan lapisan aspal jalan, perbaikan trotoar, perbaikan saluran drainase. Setelah pekerjaan fisik konstruksi,  tanggung jawab beralih kepada Dinas Perhubungan yang mengawasi pembuatan rambu rambu dan marka jalan. Di bagian tepi kiri jalan dibuat marka jalur pengendara sepeda, lengkap dengan garis pembatas dan gambar sepeda. Lebar jalur pengendara sepeda lebih kurang 1 meter. Di trotoar, selebar 1,5 meter diperuntukan  bagi pejalan kaki. Di jalur pejalan kaki dibuat jalur yang khusus diperuntukkan bagi penyandang disabilitas ( orang berkebutuhan khusus ), tepatnya tuna netra. Kemudian tanpa sinkronisasi dan koordinasi, Dinas Pendapatan Daerah secara sepihak dan semena mena merampas kapling area yang diperuntukkan bagi pengendara sepeda dan menyerahkannya kepada pemilik mobil untuk dijadikan area parkir. Lalu bagaimana dengan  hak dan kepentingan para pengendara sepeda?. Dalam hal ini Pemko Medan sudah membenturkan kepentingan dua pihak yang tidak setara. Kemudian Pemko secara terang terangan menunjukkan keberpihakan kepada pihak yang relatif lebih kuat ( mobil dan pengendaranya ) dengan menempatkan petugas parkir resmi berseragam rompi berwarna orange, lengkap dengan pluit dan karcis retribusi  parkir ( lihat foto ).







Sumber: Dokumentasi Pribadi


Motif keberpihakan itu dapat dijelaskan dengan  mudah. Motif Pemko Medan hanya satu  yaitu ingin memungut kutipan retribusi parkir dari pengendara mobil, yang sudah pasti tidak mungkin didapatnya dari pengendara sepeda. Nasib pejalan kaki sama  buruknya. Hak pejalan kaki, termasuk penyandang disabilitas,  dirampas oleh pedagang kaki lima, dan pengendara sepeda motor yang tidak sabar menunggu giliran untuk  keluar dari jebakan kemacetan lalu lintas. Bahkan untuk penyandang disabilitas terdapat potensi bahaya besar yang dapat merenggut nyawanya. Pedagang makanan di kaki lima meletakkan wajan wadah penggorengan berisi minyak panas mendidih dapat saja ditabrak oleh penyandang disabilitas ( lihat foto ),








                                                      

  Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pemko Medan tidak mengambil tindakan apapun terhadap , situasi tersebut. Tindakan Pemko Medan dan warga masyarakatnya sudah dapat digolongkan kedalam tindakan biadab dan barbar.

Asal Usul Akumulasi Kuasa dan Kewenangan

Di atas telah diuraikan bagaimana hubungan antara kekuasaan / kewenangan dengan perijinan yang berujung pada timbulnya turbulence. Dari mana asal usul kewenangan dan mengapa dapat menumpuk di tangan satu atau segelintir orang. Ilmu arkeologi, antropologi dan sejarah memberikan sumbangan berharga untuk menjawab pertanyaan itu. Pada tahap peradaban berburu dan  meramu, masyarakat masih bersifat egaliter, belum terdapat spesialisasi pekerjaan. Pemimpin dari suatu kelompok dipilih berdasarkan skil berburu, keberanian, kepemimpinan dalam menghadapi situasi sulit. Jabatan dan status ketua kelompok bersifat achieved status, diperoleh karena upaya dan kharisma pribadi, tidak dapat diwariskan. Pada tahap peradaban pertanian, manusia mulai hidup dalam kelompok lebih besar, dan mengembangkan pola hidup menetap di suatu tempat. Terbentuk desa desa dan kemudian berkembang menjadi kota.

Pola hidup menetap menimbulkan efek kompleksitas dalam kehidupan. Pada tahap ini mulai terbentuk spesialisasi pekerjaan dan lahir beberapa profesi. Untuk meningkatkan skill hingga ke level profesional, beberapa kelompok  orang mulai mengkhususkan diri dalam bidang bidang tertentu seperti perdagangan, pertukangan, pengobatan, penyelenggara upacara ritual / religi dan adat, tentara, administrasi birokrasi pemerintahan. Orang orang yang memilih profesi non pertanian, dibebaskan dari kewajiban urusan memproduksi makanan. Makanan untuknya dan sekeluarga ditanggung oleh petani. Sebagai kompensasinya, petani mendapatkan jasa pelayanan dari kelompok profesi lain.  Untuk menyelenggarakan semua urusan pelayanan umum dibentuk struktur birokrasi pemerintahan. Kelompok ini kemudian mengembangkan instrumen peradaban terpenting yaitu sistem tulisan dan angka.

Dengan algoritma canggih menurut ukuran masa itu sekelompok kecil orang yang menguasai sistem tulisan dapat mengatur dan memimpin sebagian besar orang. Orang yang dipilih menjadi pemimpin tertinggi adalah orang yang mempunyai kekuasaan  rill untuk menghimpun  menggerakkan kekuatan dalam bidang kemiliteran. Sebagian  besar orang rela diperintah dengan kompensasi mendapatkan jaminan keamanan.  Sebagian besar orang secara sukarela  menyerahkan sebagian penghasilannya kepada sekelompok kecil orang penyelenggara birokrasi, sebagai imbalan untuk mendapatkan kehidupan yang tenang dan teratur. Akhirnya terbentuk masyarakat beradab  terbentuk negara negara kota seperti Jerico, Catal Huyuk,  Babilonia, Ur, Nippur  Khorsabat, Mohenjo Daro, Harappa,  Memphis, Thebe, Athena dan lain sebagainya.

Para penguasa tertinggi kemudian  bersekutu dengan komandan militer, pemimpin spiritual menciptakan sistem kekuasaan yang dapat diwariskan kepada anak dan kerabat. Berbagai mitos diciptakan untuk melegitimasi sistem kekuasaan yang baru.  Sistem status berubah dari achieved status ke ascribed status, dan terbentuklah dua jenis kasta yaitu kelas penguasa yang punya otoritas memerintah secara absolut  dan kelas yang diperintah.  Terjadi pergeseran bentuk kekuasaan yang pada awalnya berupa mandat mengelola kehidupan bermasyarakat  dari sebagian besar warga kepada segelintir orang yang pindah profesi dari petani. Kemudian  melalui algoritma baru dan konspirasi di antara pemegang mandat, diubah menjadi mandat yang diterima dari langit ( Tuhan ) dan bertindak atas nama Tuhan untuk menyelengarakan titah Tuhan. 

Hal inilah yang mendasari lahirnya konsep Dewa Raja Sebagian besar masyarakat harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani kelas penguasa. Jika penguasa berbuat sesuatu kepada dan untuk rakyatnya dalam bentuk proyek pembangunan, hal itu bukan kewajibannya kepada rakyat, tetapi semata mata karena kebaikan dan kemurahan hati  penguasa kepada rakyat. Adalah tugas pemuka agama dan pujangga untuk memelihara kelangsungan sistem yang sekarang dikenal sebagai negara kerajaan. Sebagian besar kerajaan hidup dari upeti,  pajak,  retribusi dan berbagai kutipan dari rakyat. Mereka tidak punya struktur keungan yang kuat.

Setelah  berlangsung  selama lebih kurang 7.000 tahun, muncul gagasan untuk kembali ke bentuk pemerintahan sebelum terbentuk kerajaan, yang dipercanggih  yang dikenal dengan nama Republik. Melalui beragam mekanisme,  akhirnya banyak bangsa beralih dari bentuk negara kerajaan ke bentuk negara republik. Penggunaan nama republik, menegaskan bahwa rakyat menuntut dikembalikannya kekuasaan dan kewenangan ke tangan publik ( Republik). Penyelenggara negara hanya menjalankan mandat dan amanat dari rakyat, yang mandat itu sewaktu waktu kapan saja diambil kembali oleh pemberi mandat. Secara teori, bentuk negara republik harusnya lebih maju dibandingkan negara kerajaan.  Hal ini dapat dibuktikan dengan model matematis dan  simulasi komputer. Hal itu disebabkan karena kewenangan dan kekuasan tidak terkonsentrasi pada beberapa orang saja  tetapi menyebar di tangan publik.

Kenyataannya banyak negara republik terpuruk dan tertinggal dibandingkan negara kerajaan. Misalnya negara negara kerajaan Holland   Inggris  Belgia, Norwegia dan Swedia jauh lebih makmur dan sejahtera dibandingkan negara negara republik seperti Indonesia, Suriah, dan Mesir. 

Republik Beraroma Kerajaan dan Kerajaan Beraroma Republik

Pernyataan di atas adalah jawaban atas pertanyaan tentang fenomena anomali teori kekuasaan. Indonesia adalah negara modern berbentuk republik tetapi filosofi dan nafasnya adalah negara kerajaan. Indikasi yang menunjukkan kebenaran sinyalemen itu tersedia dalam jumlah melimpah, di antaranya: 

  1. Presiden Sukarno pernah diangkat menjadi presiden seumur hidup.
  2. Banyak pejabat publik ingin mempertahankan jabatannya selama mungkin, kalau dapat seumur hidup. Bahkan di dunia akademik, para pejabat struktural yang biasanya dijabat oleh orang bergelar profesor berusaha tetap menduduki jabatan di sepanjang karir akademisnya. Bagi mereka adalah bencana dan aib jika dalam satu tahun sekalipun tidak menduduki jabatan apapun. Sementara jabatan itu hanya sekadar tugas tambahan. Tugas utamanya di kelas, laboratorium, perpustakaan, dan di lapangan.
  3. Semakin ke masa kini ruang untuk mobilitas vertikal bagi rakyat biasa makin sempit. Akademi Militer dan Akademi Kepolisian dipenuhi oleh anak petinggi militer dan polisi. Pejabat pemerintahan, BUMN  sebelum pensiun juga sudah mempersiapkan anak atau kerabatnya untuk masuk ke lingkungan tempatnya berdinas.
  4. Mensakralkan jabatan struktural dengan memberikan fasilitas gaji, tunjangan jabatan, rumah dan kendaraan dinas dan berbagai atribut yang menggoda orang untuk meraihnya dengan segala cara.
  5. Sikap dan perilaku pejabat yang ingin diperlakukan sebagai VVIP , aturan protokoler yang membuat jarak antara dirinya dengan rakyat, dan masih banyak fenomena lain yang tidak dapat ditampilkan di sini, karena keterbatasan ruang. 

Sementara itu Ratu Beatrix dan sekarang Raja Willem Alexander dari Kerajaan Belanda bersikap kerakyatan. Setiap hari Rabu sore, raja mengikuti sidang dengar pendapat di gedung parlemen dengan anggota parlemen. Setelah selesai sidang, raja dengan didampingi sekretaris dan dua orang pengawal berjalan kaki melintasi lapangan di pusat kota menuju mobil yang menunggunya di seberang lapangan. Momen itu dimanfaatkan raja untuk berdialog dengan rakyat dan rakyat boleh menyampaikan keluh kesah dan unek uneknya kepada raja. Semua dialog dicatat oleh sekretaris dan dijamin segera ditindak lanjuti. Momen itu selalu dinanti-nantikan oleh masyarakat dan raja. Begitulah cara Raja Willem  bersikap dan berperilaku dengan rakyatnya, jauh dari peraturan protokoler yang kaku dan menunjukkan karakter seorang Republiken sejati, walaupun dia seorang raja.   Sungguh suatu tamparan keras untuk pejabat Republik yang bermental Kerajaan  Begitu juga dengan raja Juan Carlos dari Spanyol, Raja Carl Gustaav dari Swedia yang hidup dengan sangat sederhana untuk ukuran seorang raja. Penjelasan itu sudah menjawab pertanyaan di atas.

Akar Masalah Turbulence :
Pemerintah, Penguasa Versus Pengelola, ( Goverment ).

Akhirnya kita sampai juga di etape terakhir dari perjalanan panjang menelusuri jalan setapak mencari jawaban mendasar tentang fenomena kekacauan dalam penyelenggaran negara. Uraian panjang lebar di atas telah menuntun kita pada akar masalah turbulence. Masalah itu ada pada rumusan Konstitusi Negara yaitu Undang Undang Dasar 1945 ( UUD 1945 ). Masalah nya bukan sekadar bunyi teks tertulis, tetapi juga pada pandangan filosofinya atau ruhnya. Di dalam teks UUD 1945, terdapat puluhan kali sebutan kata PEMERINTAH. Kata ini secara implisit memiliki implikasi ada pihak yang Memerintah dan ada pihak yang Diperintah . Dua kubu yang secara karakter tidak berbeda dengan suasana jaman kerajaan. Pemerintah adalah penafsir,  pemberi artikulasi dan pemberi makna tunggal, memonopoli klaim kebenaran, pihak yang tidak pernah berbuat salah, pemilik tunggal otoritas kewenangan dan sebagainya. Indikasi pernyataan itu cukup banyak antara lain: 

  1. Orang ditangkap, tetapi dikatakan diamankan.
  2. Orang ditahan, tetapi dikatakan dimintai keterangan.
  3. Harga dinaikkan, tetapi dikatakan disesuaikan.
  4. Semua peraturan disebut kebijaksanaan . Akibatnya rakyat ikut ikutan latah meniru cara pemerintah ketika menuntut agar pemerintah mencabut suatu peraturan, tetapi mereka   para pendemo menuntut agar peraturan tersebut, ditinjau kembali.
  5. Hal yang terlarang dan tabu sekalipun dapat dibuat jadi legal dengan dasar sebuah surat ijin, seperti mendirikan bangunan permanen di tepi alun alun kota , bahkan di tengah alun alun sekalipun  dengan contoh kasus Lapangan Merdeka di kota Medan. Pada bulan Mei tahun 2020 Pemko Medan berencana membangun pendopo baru yang terdiri dari 3 lantai untuk menggantikan pendopo yang sekarang masih berdiri di tengah lapangan. Tidak terbayangkan bagaimana hebatnya hujan protes dan demonstrasi dari warga kota terhadap rencana itu.
Kata Pemerintah di dalam UUD 1945, maknanya adalah  Penguasa dengan segudang kewenangan. Hal ini berbeda dengan makna kata Goverment atau Pengelola di dalam konsep negara modern  negara Republik, negara Demokrasi. Pemerintah menerima mandat dari rakyat untuk mengelola pemerintahan  dan sewaktu waktu Parlemen sebagai representasi rakyat dapat menjatuhkan Pemerintah melalui mekanisme Mosi Tidak Percaya  jika Pemerintah dinilai telah melampaui batas kewenangannya atau buruk kinerjanya. Proses pengelolaan  negara berjalan dengan mekanisme check dan recheck. Proses dialektika Hegelian berjalan normal dalam koridor keseimbangan dinamis antara Pemerintah dan Parlemen, tanpa ada dominasi mutlak di antara keduanya. Dengan demikian tidak ada peluang sekecil apapun bagi Pemerintah untuk melanggar regulasi yang dibuatnya sendiri. 

Epilog

Fenomena turbulence di kota Medan dan masalah yang ditimbulkannya, yang dilihat sepintas dari luar tampaknya sederhana ternyata berhulu di konsitusi negara. Di alam tidak ada yang sakral  semuanya boleh dikaji, untuk tujuan perbaikan. Semua fakta diekstraksi menjadi data. Data di  diekstraksi  menjadi informasi. Informasi diekstraksi menjadi pengetahuan. Pengetahuan diekstraksi menjadi kebijaksanaan. Kebijaksanaan menuntun kita dalam menjalani hidup dengan terhormat dan bermartabat







Comments

Popular Posts