PEMERINTAH KOTA MEDAN SUDAH TERJANGKITI " VIRUS " HORROR VACUUM ???
Pengantar
Empat bulan terakhir Pemerintah Kota
Medan gencar melaksanakan revitalisasi atau rehabilitasi trotoar di jalan jalan
utama, yang sebenarnya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Pekerjaan tersebut
mencakup perbaikan saluran drainase. Pekerjaan tersebut semakin dikebut
menjelang akhir tahun lalu ( 2019 ), dan ternyata tetap tidak selesai, sehingga
dilanjutkan pada awal tahun ini ( 2020 ). Di tahap akhir pekerjaan tersebut
muncul fenomena ganjil, yaitu permukaan
trotoar yang terbuat dari semen, dicat dengan warna hijau. Hal ini terlihat
ganjil, sehingga membuat kening berkerut, berpikir tentang apa yang ada di
benak para pejabat Pemerintah Kota Medan. Penulis pernah bertanya tentang hal
itu kepada beberapa teman yang bekerja di Kantor Walikota Medan. Mereka sama sekali
tidak dapat menjelaskan mengapa permukaan trotoar harus dicat. Hal ini menambah
panjang deretan pertanyaan. Hal ini mendorong penulis semakin tertarik untuk
memahami " isi kepala ", para pejabat Kota Medan. Untuk menjelaskan
fenomena itu penulis menggunakan konsep horor vacuum, yang biasa digunakan di bidang seni rupa. Trotoar
disebut juga kaki lima. Istilah ini
mengacu pada ukuran lebar trotoar di Indonesia, biasanya 150 senti meter yang
sebanding dengan 5 kaki ( 1 kaki = 30 senti meter ). Di Republik ini
biasanya kapling area yang diperuntukkan bagi pejalan kaki sering direbut oleh
pedagang kecil ( disebut sebagai pedagang kaki lima ), dan pengendara sepeda
motor yang tidak sabar menunggu giliran untuk keluar dari jebakan kemacetan.
Para pejalan kaki tidak dapat berbuat apapun untuk mendapatkan haknya sebagai
warga kota. Pada bagian trotoar yang tidak diokupasi oleh pedagang, situasinya
juga tidak nyaman bagi para pejalan kaki yang berjalan melintas di
atasnya, karena adanya perbedaan tinggi landasan trotoar. Dalam
rentang jarak setiap beberapa meter, terdapat bagian bagian yang rendah
untuk memudahkan kendaraan roda dua dan empat memotong jalur lintasan
trotoar.
Demikian gambaran trotoar dan nasib para
pejalan kaki di kota yang pernah dijuluki Parijs van Sumatera. Kondisi trotoar di kota Medan. telah
menimbulkan rentetan pertanyaan antara lain:
- Untuk apa dan untuk siapa trotoar dibangun?, apakah untuk para pejalan kaki atau pedagang kecil atau untuk pengendara kendaraan bermotor?, atau untuk semua yang disebutkan di atas?.
- Mengapa trotoar harus dicat? Apa maksud dan tujuannya?
Jawaban pertanyaan no 1,
tidak pernah didapatkan. Artinya Pemerintah Kota Medan tidak mampu menterjemahkan kebutuhan dan
keinginan warga kota khususnya pejalan kaki, ke dalam bentuk program konkrit
sehingga tujuan dan sasaran pembangunan trotoar tidak jelas. Sementara,
pertanyaan dan jawaban no 2, lebih menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Trotoar
di Jalan setia budi Medan
Sumber: Dokumentasi pribadi
Secara harfiah, kata horror vaccum diartikan
sebagai takut akan kekosongan. Kata
ini berasal dari bahasa Latin, horror
vacui. Dalam bahasa Yunani, kenophobia
dan dalam bahasa Inggris, fear of the
empty. Secara konseptual, horror vacuum pertamakali dirumuskan oleh seorang
kritikus seni berkebangsaan Itali, Mario
Praz, diartikan sebagai penggunaan
ornamen secara berlebihan, sehingga tidak menyisakan ruang kosong. Ornamen
yang dimaksud dapat berupa sketsa, gambar, lukisan, pahatan, ukiran,
kombinasi warna yang ditampilkan pada bidang medium tertentu, seperti dinding,
langit- langit, lantai, atap. Contoh sempurna dari implementasi konsep ini pada
seni rupa antara lain fresco (
lukisan pada dinding dan langit - langit), di istana Kepausan, dan Kapel
Sistina di Vatikan hasil maha karya dari seniman besar dari periode
renaisance Michael Angelo dan Raphael.
Lukisan fresco Michael Angelo “ The Creation of Adam” di Kapel Sistina, Vatikan.
Sumber: Google
Langit-langit Kapel Sistina, Vatikan.
Sumber: Google
Konsep horror vacuum terdapat pada
beberapa jaman, sejak jaman Yunani Klassik hingga jaman post modern.
Karya dari periode masa kini dapat ditelusuri dari karya karya seniman David Carson , Vaughan Oliver dan
komik komik gerakan bawah tanah seperti, S Clay Wilson, Robert Crumb, Robert Williams. Tokoh tokoh gerakan
seni modern horror vacuum antara lain, Faris
Badwan, Emerson Barrett, Joe Coleman. Konsep horror vacuum, sebenarnya
sudah berusia sangat tua. Konsep ini i dibangun di atas landasan postulat yang
dirumuskan oleh filsuf besar jaman Yunani Klassik , Aristoteles yaitu : Alam membenci kekosongan. Sejak itu
konsep ini terus berkembang, bahkan sekarang mendapatkan sarana yang
makin banyak variasi. Salah satu cabang seni berbasiskan horror vacuum
yang akhir akhir ini berkembang pesat adalah lukisan mural. Lukisan mural adalah lukisan dengan penggambaran beragam
objek, memanfaatkan bidang luas seperti dinding bangunan, lantai, trotoar,
dengan kombinasi tata warna yang kontras. Salah satu maha karya lukisan mural
yang legendaris dan terkenal berjudul Guernice,
karya pelukis pelopor aliran kubisme bernama Pablo Picasso.
Lukisan Pablo Picasso “ Guernice”
Sumber: Google
Kota kota Malaka dan Penang di
Malaysia, sekarang saling berlomba menampilkan lukisan mural di dinding
dinding bangunan tua untuk menarik perhatian khalayak ramai termasuk wisatawan.
Trotoar kota Medan Sebagai Seni Hybrid Banci
Sungguh sulit menempatkan trotoar kota
Medan secara konseptual di dalam khazanah lautan luas seni baik klasik maupun
kontemporer. Hal itu disebabkan karena fenomena trotoar kota Medan tidak ada di
dalam text book manapun. Sungguh aneh, siapa gerangan yang punya gagasan itu.
Dalam kesulitan mencari referensi itu, penulis memberikan label
nama trotoar itu sebagai Seni
Hybrid Banci. Konsep ini mengandung makna sebagai sesuatu yang serba tidak jelas. Patut diduga, bahwa
sebenarnya Pemerintah Kota Medan sama
sekali tidak mengerti akan konsep horror vacuum. Sulit mengatakan
tampilan trotoar kota Medan sebagai karya seni. Pernyataan ini dilandasi
oleh argumentasi sebagai berikut :
- Setiap karya seni mengandung satu atau beberapa gagasan / ide. Kekuatan suatu karya seni terletak pada ide yang ditawarkannya, di samping nilai estetika yang dikandungnya. Trotoar kota Medan kosong dari ide apapun.
- Trotoar kota Medan tidak memiliki nilai estetika apapun, kecuali sapuan kuas tanpa emosi, tanpa karakter khas, dilakukan tanpa dilambari oleh teknik dan keterampilan tinggi. Sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan kualifikasi seorang tukang tidak terlatih.
Sepertinya Pemerintah Kota Medan ingin
tampil seperti kota kota beradab, memiliki selera seni yang tinggi. Seolah olah
paham akan konsep horror vacuum dan ingin diwujudkan dengan lukisan mural,
seperti yang dilakukan oleh Otoritas kota Penang atau Malaka. Ada perbedaan
mendasar di antara ke dua kota di atas dengan Medan. Malaka dan Penang
melakukannya dengan didasarkan pada rencana yang bagus dilaksanakan oleh
seniman kaliber tinggi. Hasilnya adalah tampilan karya seni yang mengundang
decak kagum bagi yang berkesempatan menikmatinya.
Medan melakukannya tanpa perencanaan,
dengan tergesa gesa, dilakukan oleh tukang berkualifikasi rendah, dengan bahan
berkualitas rendah. Pengecatan dilakukan bukan pada bidang vertikal ( dinding
), melainkan pada bidang horizontal ( lantai ). Dengan iklim tropis
lembab, curah hujan tinggi, intensitas penyinaran matahari juga
tinggi, ditambah dengan seringnya tetjadi gesekan antara permukaan
lantai dengan alas kaki dan roda kendaraan, dapat dipastikan lapisan cat itu usianya tidak lama.
Pembahasan di atas masih menyisakan satu
pertanyaan mendasar : Jika bukan karena alasan estetika, apa motif
Pemerintah Kota Medan melakukan pengecatan trotoar?. Agaknya Pemerintah
Kota Medan tidak dapat lagi berlindung
di balik alasan estetika Satu satunya jawaban masuk akal yang masih tersisa
adalah menghabiskan kelebihan sumberdaya yang dimiliki. Hal itu boleh saja
dilakukan, asalkan caranya elegan, berkelas, agar tidak terjadi pemborosan.
Dengan kata yang lebih lugas, tindakan pengecatan trotoar adalah tindakan yang tidak pada tempatnya.
Untuk memperbaiki kinerjanya, agaknya Pemerintah Kota Medan perlu dibimbing
oleh orang atau Tim yang memiliki ilmu yang mumpuni. Semua pekerjaan sekecil
apapun, membutuhkan ilmu pengetahuan. Oleh karena Pemerintah Kota Medan
mengabaikan hal itu terjadilah kondisi seperti yang diramalkan oleh dalil
di bawah ini :
SURPLUS SUMBERDAYA + NIR GAGASAN = KEKONYOLAN.
Comments
Post a Comment