DALIL O'REILLY DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Prolog
Gagasan membuat tulisan ini muncul
setelah penulis membaca 2 buku dan satu majalah kuartal bulanan yang sangat
inspiratif. Buku yang dimaksud adalah :
- FREE : The Future of a Radical Price ( 2009 ), karya Chris Anderson, seorang Editor Kepala majalah Wired dan mantan Editor Bisnis di The Economist
- What's the Future? and Why Its Up to Us ( 2017 ), karya Tim O'Reilly, pakar terkemuka bidang ekonomi digital dengan basic keilmuan fisika kuantum dari Silicon Valley, dan pendiri penerbitan terkemuka O'Reilly Media. O'Reilly juga dikenal sebagai penggagas konsep Open Sources dan pencetus Web 2.0.
- Sebuah majalah yang dilahirkan oleh Google, terbit setiap empat bulan yang bernama Think Quarterly ( 2019 ), edisi dengan tema Play. Ada dua tulisan di majalah ini yang cukup provokatif yaitu sebuah essay berjudul Faire Play, oleh Tim O' Reilly dan artikel berjudul Executive Insight, oleh Mads Nappier, seorang Chief Marketing Officer perusahaan pembuat mainan anak anak berkedudukan di Denmark.
Tim O'Reilly, The Oracle from Silicon Valley
sumber: Google
Selain bahan referensi di atas, dorongan
untuk membuat tulisan ini adalah pengalaman penulis mengikuti puluhan seminar,
konferensi, diskusi dengan topik revolusi industri 4.0. Menurut pemahaman
penulis, hampir seluruh peserta forum forum tersebut, mulai dari penggagas
acara, pembicara kunci, pemakalah, nara sumber sampai peserta umum, tidak paham
benar tentang tema dan topik yang dibicarakan. Penyelenggaraan forum acara
acara tersebut terkesan seperti latah, ikut trend, sehingga terlihat seperti
sekumpulan orang yang kebingungan.
Kecemasan Berlebihan
Suasana yang terekam dari ruang seminar
dapat disimpulkan dalam satu kalimat
Membicarakan dan memahami dunia digital dengan kerangka pikir dunia analog,
akibatnya adalah kecemasan berlebihan. Mereka mencemaskan kehadiran perangkat
teknologi Artificial Intelligence akan menyingkirkan sebagian besar manusia
dari dunia kerja. Pengangguran akan meluas, banyak profesi akan lenyap,
sementara profesi baru masih asing untuk dimasuki. Sektor pendidikan dianggap
tidak mampu atau terlambat merespon perubahan besar yang terjadi. Berbekal rasa
cemas, peserta seminar menyimak uraian dan penjelasan dari nara sumber, yang
sebenarnya juga datang dengan bekal rasa cemas. Pada akhir acara, mereka hanya mampu memberikan kesimpulan tidak
jelas arahnya dan saran yang bersifat normatif yang sulit dieksekusi.
Demikianlah satu seminar berakhir dan
berlanjut dengan seminar berikutnya dengan suasana mirip, pangkal dan ujung
kisahnya sudah dapat diduga, hanya seting panggungnya yang berbeda. Di Republik
ini, biasanya yang didapuk jadi pembicara kunci adalah pejabat tinggi,
pengusaha kaya, eksekutif puncak korporasi besar yang belum tentu kompeten di
bidang yang dibicarakan. Para nara sumber biasanya dipilih berdasarkan deretan
gelar akademis yang mentereng, bukan atas dasar kompetensi. Begitulah tabiat
bangsa yang sulit menanggalkan kultur feodalistik dan paternalistik. Akibatnya
masyarakat sulit memahami bagaimana sifat, karakter dan suasana serta nilai
nilai yang terdapat di dunia digital. Sulit dibayangkan bagaimana produk dan
jasa dapat tersedia dalam jumlah kelimpahan dan harganya mendekati nol alias gratis. Dapat dianalogikan, sulit
sekali memahami fisika kuantum dengan kerangka berpikir fisika klasik. Tidak
terbayangkan misalnya bagaimana mungkin ketika
seorang bayi dilahirkan, pada saat yang bersamaan, bayi itu sudah jadi
sarjana, sudah bekerja, sudah menikah dan punya anak, serta sudah tua renta.
Hal tersebut di atas, sangat mudah
dipahami, jika menggunakan kerangka pikir fisika kuantum. Oleh karena itu
penting sekali memahami seluk beluk dunia digital sebelum membicarakan topik
revolusi industri 4.0.
Postulat Kelangkaan Versus Postulat Kelimpahan.
Disadari atau tidak, sebagian besar
manusia menggunakan postulat kelangkaan
( scarcity ) ketika berpikir, berbicara dan bertindak dalam kehidupan sehari hari. Semua
seminar yang dibicarakan di atas juga berpijak di atas landasan postulat
kelangkaan. Postulat ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Semua
sumberdaya di alam ini ketersediaannya terbatas, sementara kebutuhan manusia
tidak terbatas. Akibatnya manusia harus mengalokasikan sumberdaya
seefisien mungkin. Postulat ini juga yang mendasari lahir dan
berkembangnya ilmu ekonomi. Secara ringkas dapat dirumuskan bahwa ilmu ekonomi
adalah ilmu tentang pilihan di dalam
kelangkaan.
Akhir akhir ini postulat kelangkaan
mulai limbung, sempoyongan diterjang gelombang teknologi digital yang menggunakan
postulat kelimpahan ( abundance ) sebagai
landasan pijakannya. Rumusan postulat kelimpahan adalah, semua sumberdaya di alam tersedia dalam jumlah kelimpahan. Oleh
karena ketersediaannya melimpah, harga sumberdaya cenderung turun terus hingga
mendekati titik nol. Kecenderungan harga yang turun terus ini terutama untuk
produk teknologi digital, bahkan sudah
sampai melanggar batas yang diprediksikan oleh dalil Moore.
Dalil ini dirumuskan oleh E Gordon Moore, salah satu pendiri
perusahaan Intel Corporation yang
mengatakan bahwa pertumbuhan kecepatan
perhitungan mikroprosesor mengikuti rumusan eksponensial. Dalil ini
meramalkan bahwa harga suatu produk semikonduktor dengan spesifikasi tertentu,
dalam waktu 18 bulan ke depan, kemampuan spesifikasinya meningkat 100 % tetapi harganya menurun tinggal 50 %.
Dengan laju perkembangan teknologi digital saat ini dan kecenderungan harga
yang mendekati nol, akurasi besaran kuantitatif yang diprediksikan oleh dalil Moore meleset.
Walaupun akurasi prediksinya meleset,
dalil Moore sudah berjasa besar, sehingga kita hari ini dapat menikmati
komputer berkecepatan 3 GHz. Perkembangan terkini dari teknologi digital telah
menggusur postulat kelangkaan dan memperkokoh postulat kelimpahan.
Kombinasi bioteknologi dan teknologi nano sudah membuat manusia
mampu memproduksi daging sapi dan ayam tanpa melalui peternakan. Di California
dan San Fransisco sudah ada perusahaan yang memproduksi daging dengan cara
nengekstraksi sel hewan hidup dan menduplikasikannya di luar tubuh hewan.
Teknik ini menggunakan bioreaktor dan hasilnya adalah daging yang identik
dengan daging konvensional. Prinsipnya adalah membuat daging dari daging tanpa membunuh hewannya. Dalam satu
dekade ke depan daging jenis ini akan tersedia dalam jumlah kelimpahan dan
menggusur daging konvensional dari pasaran. Mengapa manusia cenderung sangat
peduli dengan kelangkaan , tetapi cenderung abai dan lalai dengan
kelimpahan?. Hal ini disebabkan karena manusia adalah produk desain evolusi
alam. Sifat manusia yang lain sebagai produk desain evolusi alam adalah manusia sangat waspada terhadap bahaya yang
kasat mata tetapi abai terhadap bahaya yang tidak kasat mata
Dalil O'Reilly
Dalil ini dirumuskan oleh Tim O'Reilly,
seorang pakar beken di bidang ekonomi digital, pendiri O'Reilly Media,
perusahaan penerbitan khusus bidang teknologi. O'Reilly dapat berbicara bidang
ekonomi digital dengan sangat fasih, berkat penguasaan bidang ilmu fisika
kuantum, dan ilmu ekonomi / bisnis. Saat ini O'Reilly ibarat dewa dalam urusan
membuat prediksi tentang bentuk dan sifat peradaban di masa depan, menggusur
nama beken para futurolog lain seperti Alvin
Toffler dan John Naisbitt, sehingga dia mendapat gelar Oracle from Silicon Valley. Oracle
menunjuk nama seorang tokoh legenda Yunani Kuno, peramal ulung yang
tinggal di Delphi. Agar pembaca dapat lebih memahami esensi dalil ini, akan
diberikan uraian sejarah ringkas peradaban manusia sebagai ilustrasi
penjelasan.
Dalil O'Reilly diberi nama Dalil Konservasi Keuntungan Yang Menarik,
mengatakan : Setiap sumberdaya,
komoditi, produk teknologi jika sudah mencapai ketersediaan dalam jumlah
melimpah, harganya akan jatuh sampai ke dasar, maka nilai bergeser ke
tingkat tingkat berikutnya ( ke arah hulu ).
Teknologi tertua yang diciptakan manusia
adalah kapak genggam dari batu pada 2,5 juta tahun lalu di Jurang Olduvai Gorge, Afrika Timur dan dibuat dalam jumlah
terbatas. Begitu juga makanan dalam bentuk buah buahan dan hewan buruan di
sana, ketersediaannya tidak pernah mencapai jumlah kelimpahan. Cara manusia
mengkonsumsi makanan enak dan manis sejak jutaan sampai ribuan tahun lalu di
padang rumput Afrika, membentuk gen yang masih tertinggal di dalam diri manusia
modern. Perhatikan cara kita makan makanan manis, cenderung berlebihan,
walaupun barang itu tersimpan banyak di lemari es dan lebih banyak lagi
tersedia di super market dekat rumah yang dapat dibeli kapan saja. Kita
memperlakukan makanan itu sebagai barang langka jika tidak dihabiskan,
maka orang lain atau hewan lain akan menghabiskannya, seperti situasi ratusan
ribu tahun lalu di padang savana Afrika.
Selama masa peradaban pertanian, manusia
tidak pernah dapat mencapai kelimpahan makanan. Baru pada paruh ke dua abad dua puluh, melalui
revolusi hijau, manusia mencapai kelimpahan pangan dan harganya langsung
turun, dan nilainya bergeser ke hulu dalam bentuk inovasi teknologi
pengolahan pangan. Begitu juga dengan produk sandang dan barang barang
manufaktur lain sehingga melahirkan kebiasaan baru, menjadikannya barang
sekali pakai lalu dibuang, seperti pisau cukur, pembalut wanita ( tampon ), dan
plastik. Memang masih banyak uang beredar di komoditas, tetapi margin terbesar biasanya
ditemukan setelah otak digunakan untuk menaikkan nilai tambah. Beberapa dekade
lalu, nilai terbesar ada di bidang manufaktur, lalu globalisasi membuat
manufaktur menjadi komoditas dan harganya jatuh. Maka nilai bergerak ke hal hal
yang belum menjadi komoditas dan masih dalam level kelangkaan. Dengan kata lain,
nilai bergerak meninggalkan kelimpahan
menuju kelangkaan. Nilai bergerak menjauhi pekerjaan yang menggunakan
koordinasi mata - tangan, mendekati pekerjaan yang menggunakan koordinasi
otak - mulut. Pekerja di bidang jasa dan mengandalkan pengetahuan pada
hari ini, adalah para pekerja manufaktur di hari " kemarin " dan
petani di " bulan lalu ", yang bergerak ke hulu untuk mencari
kelangkaan.
Para pekerja itu melakukan migrasi antar
relung ( niche ) ekologis dari
ekosistem pertanian ke industri dan kemudian ke jasa informasi. Setiap kali
melakukan migrasi, tidak mudah, memerlukan pengetahuan / skill, sikap,
mental, mindset, dan sistem nilai yang berbeda. Hanya orang orang yang mau
belajar hal hal baru, cepat beradaptasi dengan perubahan yang dapat terangkut
di dalam gerbong baru. Pada tahun 2001, pakar manajemen bernama Seth Godin menulis buku Unleashing the Ideavirus, dua dekade
lalu (1980 ),100 perusahaan terbesar yang terdaftar di majalah Fortune, bergerak di bidang ekstraksi
bahan tambang. Awal abad XXI , hanya 32 perusahaan dalam Top 100, yang
menghasilkan benda yang dapat dipegang. Enam puluh delapan perusahaan lainnya
bergerak di dalam bidang gagasan, bukan pengolah sumberdaya.
Analisis
Apa dan bagaimana kondisi masa depan?,
ketika banyak pekerjaan manusia diambil oleh mesin pintar. Atau bagaimana
bentuk kemitraan antara manusia dengan mesin?.Apa yang terjadi dengan
masyarakat berbasis konsumen?, golongan pekerja dan korporasi mengandalkan
pemasukan dari mereka. Apakah kesenjangan pendapatan merupakan konsekuensi
logis dari perkembangan teknologi, atau adakah jalan yang lebih baik?.
Bagaimana kondisi pendidikan dalam merespon perubahan yang berlangsung cepat?,
ketika dunia korporasi sudah memiliki algoritma lebih maju dari lembaga pendidikan?.
Itu baru sebagian kecil pertanyaan yang mungkin belum terpikirkan oleh lembaga
pendidikan, konon pula jawabannya.
Sekarang mari kita diskusikan issue
issue tersebut. Dapat dikatakan hampir semua pakar sudah dibebani rasa takut,
cemas akan perkembangan teknologi yang segera menghadirkan musuh manusia. Dalam suasana kalut, bagaimana mereka dapat berpikir
jernih?. Para pakar seperti kehilangan pegangan, lupa akan hakekat ilmu dan
teknologi. Teknologi diciptakan untuk membantu
manusia melakukan hal hal keajaiban, yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh
imajinasi yang dangkal dan miskin. Tujuan itu dipersempit sendiri oleh
manusia menjadi untuk memotong biaya
produksi, mengurangi tenaga manusia, memperkaya para pemilik modal. Apakah
robot akan mengambil alih pekerjaan manusia?. Jawabannya jelas YA, jika dan hanya jika kita minta mereka
melakukan itu. Teknologi adalah solusi
untuk mengatasi masalah manusia, dan kita tidak pernah kehabisan
pekerjaan, sampai kita kehabisan masalah. Artinya ketakutan para
pakar dan masyarakat tidak berdasar.
Harusnya teknologi saat ini diarahkan untuk membangun masa depan yang lebih
baik, bukan sekadar membuat sistem produksi lebih efisien.
Pada masa kini, kelangkaan disebut
sebagai analisis simbolis yaitu kombinasi
antara pengetahuan, keterampilan dan pemikiran abstrak yang menjadikan
seorang pekerja memiliki pengetahuan yang efektif. Tantangan dunia pendidikan
yang bersifat konstan adalah membuat garis pembagi pekerjaan yang sifatnya
fleksibel, tergantung pada situasi dan kondisi aktual, antara manusia dengan
mesin dan komputer dan garis itu selalu bergerak dinamis. Tugas ini jelas tidak mungkin dapat dilakukan oleh
kurikulum pendidikan yang bersifat kaku.
Sementara komputer didesain untuk
melakukan pekerjaan seorang manusia ( analisis perdagangan saham di pasar bursa
), maka harga untuk pekerjaan itu jatuh sampai mendekati nol, dan manusia yang
digantikannya dihadapkan pada pilihan : mempelajari hal lain yang lebih
menantang, atau tidak bersedia belajar lagi. Kelompok yang mau belajar biasanya
akan dibayar lebih mahal dari pekerjaan sebelumnya dan kelompok kedua akan
dibayar lebih rendah. Kelompok pertama menjadi peluang yang menyertai
pergerakan industri ke arah kelimpahan, dan kelompok kedua menjadi biayanya (
beban ). Tugas utama pendidikan adalah memperbesar
jumlah kelompok pertama dan memperkecil jumlah kelompok kedua.
Pemikiran kelimpahan bukan hanya
menemukan apa yang lebih murah, tetapi juga mencari apa yang menjadi
lebih bernilai, sebagai hasil dari pergeseran itu dan bergerak ke arah itu.
Kelimpahan di hari kemarin adalah produk
dari negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam atau tenaga kerja lebih
murah. Kelimpahan hari ini adalah produk
produk dari dunia silikon dan serat kaca Abad XXI berjalan dengan platform
jaringan. Di dalam tatanan dunia seperti itu peran algoritma semakin penting,
bahkan sangat vital. Perusahaan perusahaan besar yang berbasis platform
jaringan seperti Amazon, Google, Facebook, Airbnb, Uber, Grab, menunjukkan
bagaimana ekonomi dan pasar keungan telah menjadi semakin dikelola oleh
algoritma. Perusahaan sekelas Google dan Facebook sudah tidak terhitung berapa
kali memikirkan ulang, menulis ulang, memperbaiki algortmanya untuk
keterlibatan pengguna dalam menanggapi berita palsu. Algoritma di segala bidang
harus terus menerus diperbaharui jika kita ingin membuat masa depan yang lebih
berpusat pada manusia, bukan pada mesin. Teknologi mutakhir yang akan membentuk
hari esok, bukan sesuatu untuk ditakuti
atau dicemaskan, tetapi untuk mewujudkan keajaiban yang di imajinasikan oleh
manusia.
Pelajaran Penting Dari Lembah Silikon
Tim O'Reilly, telah mematahkan mitos
yang dipercayai oleh mayoritas orang hingga hari ini. Mitos itu
mengatakan bahwa sebuah industri baru akan lahir ketika ada entrepreneur
yang kreatif bertemu dengan pemodal ventura. Menurut O'Reilly, industri baru
justru dapat muncul melalui orang orang yang pada awalnya sekadar main main ( having fun). Pandangan ini didasarkan
pada fakta di lembah silikon bahwa beberapa perusahaan besar dirintis oleh orang
orang muda yang penuh antusias dengan apa yang disukainya. Steve Jobs, Steve Wozniak (pendiri
Apple) dan Bill Gates ( pendiri Microsoft ), termasuk kategori ini. Di
dunia Web, tokoh tokoh perusahaan besar seperti Jerry Yang dan David Filo ( pendiri Yahoo ), dan Larry Page dan Sergey Birin ( pendiri
Google), juga memiliki rekam jejak yang sama. Semua tokoh ini memulai
proyeknya bukan dilandasi oleh uang, tetapi antusiasme yang luar biasa tinggi
terhadap apa yang disukainya. Jadi aspek bermain lebih menonjol, baru kemudian aspek
bisnis menyusul.
Fakta ini jelas semakin memperkuat teori
baru tentang pendidikan. Aktivitas bermain dapat merangsang kreativitas. Negara
negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia menerapkan
kurikulum pendidikan yang memberikan porsi besar terhadap aktivitas bermain. Di
sana tidak dikenal apa yang kita sebut PR ( Pekerjaan Rumah ), kebalikannya
dengan yang diterapkan di Republik. Siswa kelas satu SD saja sudah dihujani
beban PR, dan jumlah mata pelajaran yang lebih banyak. Anak anak kehilangan
waktu bermain. Hasil penerapan pendidikan ala Scandinavia, adalah pencapaian
terbaik di dunia atas hasil belajar siswa.
Implikasi Dalil O'Reilly Terhadap Pengelolan Pendidikan.
Perbincangan di atas memberikan beberapa
implikasi terhadap pengelolaan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
Mengingat banyaknya aspek yang dikelola oleh manajemen pendidikan, di sini
hanya dibahas beberapa saja, di antaranya :
1. Kurikulum
Pendidikan
Kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia
umumnya bersifat kaku, kurang memberi ruang kebebasan berimprovisasi. Kurikulum
yang mengatur sampai detail terkecil, seperti model RPS ( Rencana Pembelajaran
Semester ), SAP ( Satuan Acara Perkuliahan ), berikut modul yang terstruktur
rapi, jelas tidak memberi peluang keleluasaan. Kurikulum diperbaharui
rata rata setiap 5 tahunan atau lebih, jelas tidak dapat mengejar kecepatan
perubahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalaupun terjadi perubahan
kurikilum, sifatnya hanya tambal sulam. Biasanya yang berubah hanya jumlah mata
kuliah, pergantian mata kuliah. Mengingat pergeseran dari kelimpahan ke
kelangkaan membutuhkan pengetahuan baru, teknologi baru, sikap, mental yang
baru, kurikulum model lama sudah tidak memadai.
Kurikulum yang sekarang menjadi
mainstream di Indonesia, berkembang di Amerika Serikat pada dasawarsa 60 an,
berakar dari paradigma positivistik. Model itu dibawa oleh para mahasiswa asal
Indonesia yang studi di sana. Setelah kembali ke Indonesia, mereka menduduki
berbagai posisi penting di Kementerian Pendidikan dan menerapkannya. Indonesia
butuh kurikulum yang lebih luwes, memberi porsi besar pada kemampuan berpikir
abstrak, bukan pada aspek kemampuan menampung memori, karena kemampuan itu
sudah diakomodasi oleh berbagai peralatan teknologi. Berbagai metode dan teknik
berpikir harus mendapatkan porsi besar. Sampai sekarang hanya 1 atau 2
program studi yang memberikan pelajaran logika modern atau logika simbolik,
yang memberi kemampuan membuat algoritma. Sebagian besar program studi masih
mengajarkan logika tradisional, silogisme yang diciptakan sejak jaman
Aristoteles 2.500 tahun lalu.
2.
Algoritma Yang Statis
Kondisi ini terjadi di hampir semua
Universitas di Indonesia. Nyaris tidak ada algoritma yang berubah sejak puluhan
tahun, sementara perubahan sudah berlangsung sangat cepat. Pihak yang
paling penting untuk diperhatikan kepentingannya adalah mahasiswa, tetapi
justru mahasiswa yang paling terabaikan kepentingannya. Universitas lebih
mengutamakan kepentingan para pejabat dan para dosennya. Pernyataan ini
didukung oleh serangkaian fakta kasat mata dan sudah berlangsung selama puluhan
tahun. Setiap tahun pada momen penerimaan mahasiswa baru, ada minimal hampir
seribu bangku kosong mubazir, tidak termanfaatkan. Setelah pengumuman
penerimaan calon mahasiswa baru, pada saat pendaftaran ulang, selalu ada saja
mahasiswa yang tidak kembali mendaftar. Bangku kosong itu jelas merugikan
negara dan calon mahasiswa lain yang gagal dalam persaingan memperebutkan
bangku kuliah. Jika bangku kosong itu diisi dengan mahasiswa yang posisi urutan
nilainya tepat berada di bawahnya secara urut kacang, banyak calon mahasiswa
yang dapat terangkut ke dalam gerbong universitas.
Suasananya mirip dengan saat kapal
Titanic, akan tenggelam. Dalam kepanikan banyak sekoci yang masih under capacity tetapi sudah dilepaskan.
Seandainya kapal itu punya algoritma canggih, lebih banyak penumpang yang
terselamatkan. Begitu juga dengan
universitas, seandainya punya algoritma penerimaan mahasiswa baru yang modern,
banyak pemuda berbakat mendapat kesempatan menuntut ilmu. Kesempatan itu sirna
hanya karena universitas tidak punya algoritma untuk mengantisipasi hal itu
sekaligus mengakomodasi mahasiswa yang selisih nilainya tipis dengan urutan
terbawah.
Kondisi itu sudah berlangsung puluhan
tahun, dan tidak ada pimpinan universitas yang menyadarinya untuk kemudian
membuat algoritmanya. Hal ini benar benar keterlaluan. Sebaliknya untuk pejabat
universitas dan dosen, mereka sangat diperhatikan kepentingannya. Dalam
pemilihan anggota senat akademik, di tiap fakultas dipilih 3 orang dosen non guru besar untuk menjadi anggota
senat akademik. Yang terpilih adalah suara terbanyak pertama, ke dua dan
ketiga. Jika dalam masa jabatannya ada anggota yang berhalangan tetap, maka
calon dengan suara terbanyak ke empat, naik menggantikan anggota yang sudah
tidak aktif. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan, mengapa tidak dibuat algoritma
canggih untuk mahasiswa.
Dapat dimengerti mengapa perusahaan
sekelas Google, Facebook dan Microsoft senantiasa memperbaharui algoritmanya.
Tidak mengherankan jika mereka telah jauh meninggalkan universitas. Jika
disandingkan algoritma universitas di Indonesia dengan korporasi tersebut,
perbedaannya seperti langit dengan dasar
lautan.
Epilog
Dalil O'Reilly telah membuat terang
jalan yang selama ini terasa gelap bagi komunitas profesor sekalipun. Tidak ada
yang perlu dicemaskan dengan kehadiran revolusi industri 4.0 atau ke berapapun,
berikut dengan seberapa banyakpun robot atau AI yang dibawanya. Masuklah ke
ruang seminar berikutnya dengan rasa percaya diri sebagai tuan, bukan sebagai
pecundang yang diliputi kecemasan, karena manusia pada dasarnya adalah
tuan bagi teknologi, bukan sebaliknya. Kuncinya hanya satu yaitu berpikir, berpikir dan berpikir.

.png)

Comments
Post a Comment