DALIL O'REILLY DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGELOLAAN PENDIDIKAN



Prolog

Gagasan membuat tulisan ini muncul setelah penulis membaca 2 buku dan satu majalah kuartal bulanan yang sangat inspiratif. Buku yang dimaksud adalah : 
  1. FREE : The Future of a Radical Price ( 2009 ), karya Chris Anderson, seorang Editor Kepala majalah Wired dan mantan Editor Bisnis di The Economist
  2. What's the Future? and Why Its Up to Us ( 2017 ), karya Tim  O'Reilly, pakar terkemuka bidang ekonomi digital dengan basic keilmuan fisika kuantum dari Silicon Valley, dan pendiri penerbitan terkemuka O'Reilly Media. O'Reilly juga dikenal sebagai penggagas konsep Open Sources dan pencetus Web 2.0
  3. Sebuah majalah yang dilahirkan oleh Google, terbit setiap empat bulan yang bernama Think Quarterly ( 2019 ), edisi dengan tema PlayAda dua tulisan di majalah ini yang cukup provokatif yaitu sebuah essay berjudul Faire Play, oleh Tim O' Reilly dan artikel berjudul Executive Insight, oleh Mads Nappier, seorang Chief Marketing Officer perusahaan pembuat mainan anak anak berkedudukan  di Denmark.



Tim O'Reilly, The Oracle from Silicon Valley
sumber: Google 


Selain bahan referensi di atas, dorongan untuk membuat tulisan ini adalah pengalaman penulis mengikuti puluhan seminar, konferensi, diskusi dengan topik revolusi industri 4.0. Menurut pemahaman penulis, hampir seluruh peserta forum forum tersebut, mulai dari penggagas acara, pembicara kunci, pemakalah, nara sumber sampai peserta umum, tidak paham benar tentang tema dan topik yang dibicarakan. Penyelenggaraan forum acara acara tersebut terkesan seperti latah, ikut trend, sehingga terlihat seperti sekumpulan orang yang kebingungan.


Kecemasan Berlebihan

Suasana yang terekam dari ruang seminar dapat disimpulkan dalam satu kalimat  
Membicarakan dan memahami dunia digital dengan kerangka pikir dunia analog, akibatnya adalah kecemasan berlebihan. Mereka mencemaskan kehadiran perangkat teknologi Artificial Intelligence akan menyingkirkan sebagian besar manusia dari dunia kerja. Pengangguran akan meluas, banyak profesi akan lenyap, sementara profesi baru masih asing untuk dimasuki. Sektor pendidikan dianggap tidak mampu atau terlambat merespon perubahan besar yang terjadi. Berbekal rasa cemas, peserta seminar menyimak uraian dan penjelasan dari nara sumber, yang sebenarnya juga datang dengan bekal rasa cemas. Pada akhir acara, mereka hanya mampu memberikan kesimpulan tidak jelas arahnya dan saran yang bersifat normatif yang sulit dieksekusi.

Demikianlah satu seminar berakhir dan berlanjut dengan seminar berikutnya dengan suasana mirip, pangkal dan ujung kisahnya sudah dapat diduga, hanya seting panggungnya yang berbeda. Di Republik ini, biasanya yang didapuk jadi pembicara kunci adalah pejabat tinggi, pengusaha kaya, eksekutif puncak korporasi besar yang belum tentu kompeten di bidang yang dibicarakan. Para nara sumber biasanya dipilih berdasarkan deretan gelar akademis yang mentereng, bukan atas dasar kompetensi. Begitulah tabiat bangsa yang sulit menanggalkan kultur feodalistik dan paternalistik. Akibatnya masyarakat sulit memahami bagaimana sifat, karakter dan suasana serta nilai nilai yang terdapat di dunia digital. Sulit dibayangkan bagaimana produk dan jasa dapat tersedia dalam jumlah kelimpahan dan harganya mendekati nol alias gratis. Dapat dianalogikan, sulit sekali memahami fisika kuantum dengan kerangka berpikir fisika klasik. Tidak terbayangkan misalnya bagaimana mungkin ketika seorang bayi dilahirkan, pada saat yang bersamaan,  bayi itu sudah jadi sarjana, sudah bekerja, sudah menikah dan punya anak, serta sudah tua renta. Hal tersebut di atas, sangat mudah dipahami, jika menggunakan kerangka pikir fisika kuantum. Oleh karena itu penting sekali memahami seluk beluk dunia digital sebelum membicarakan topik revolusi industri 4.0.


Postulat Kelangkaan  Versus Postulat Kelimpahan.

Disadari atau tidak, sebagian besar manusia menggunakan postulat kelangkaan
( scarcity ) ketika berpikir, berbicara dan bertindak dalam kehidupan sehari hari. Semua seminar yang dibicarakan di atas juga berpijak di atas landasan postulat kelangkaan. Postulat ini dapat dirumuskan sebagai berikut;  Semua sumberdaya di alam ini ketersediaannya terbatas, sementara kebutuhan manusia tidak terbatas. Akibatnya manusia harus mengalokasikan  sumberdaya seefisien mungkin. Postulat ini juga yang mendasari lahir dan berkembangnya ilmu ekonomi. Secara ringkas dapat dirumuskan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu tentang pilihan di dalam kelangkaan.

Akhir akhir ini postulat kelangkaan mulai limbung, sempoyongan diterjang gelombang teknologi digital yang menggunakan postulat kelimpahan ( abundance ) sebagai landasan pijakannya. Rumusan postulat kelimpahan adalah, semua sumberdaya di alam tersedia dalam jumlah kelimpahan. Oleh karena ketersediaannya melimpah, harga sumberdaya cenderung turun terus hingga mendekati titik nol. Kecenderungan harga yang turun terus ini terutama untuk produk teknologi digital, bahkan sudah sampai melanggar batas yang diprediksikan oleh dalil Moore.

Dalil ini dirumuskan oleh E Gordon Moore, salah satu pendiri perusahaan Intel Corporation yang mengatakan bahwa pertumbuhan kecepatan perhitungan mikroprosesor mengikuti rumusan eksponensial. Dalil ini meramalkan bahwa harga suatu produk semikonduktor dengan spesifikasi tertentu, dalam waktu 18 bulan ke depan, kemampuan spesifikasinya meningkat 100 % tetapi harganya menurun tinggal 50 %. Dengan laju perkembangan teknologi digital saat ini dan kecenderungan harga yang mendekati nol, akurasi besaran kuantitatif yang  diprediksikan oleh  dalil Moore meleset.
Walaupun akurasi  prediksinya meleset, dalil Moore sudah berjasa besar, sehingga kita hari ini dapat menikmati komputer berkecepatan 3 GHz. Perkembangan terkini dari teknologi digital telah menggusur postulat kelangkaan  dan memperkokoh postulat kelimpahan. 

Kombinasi bioteknologi dan teknologi nano  sudah membuat manusia mampu memproduksi daging sapi dan ayam tanpa melalui peternakan. Di California dan San Fransisco sudah ada perusahaan yang memproduksi daging dengan cara nengekstraksi sel hewan hidup dan menduplikasikannya di luar tubuh hewan. Teknik ini menggunakan bioreaktor dan hasilnya adalah daging yang identik dengan daging konvensional. Prinsipnya adalah membuat daging dari daging tanpa membunuh hewannya. Dalam satu dekade ke depan daging jenis ini akan tersedia dalam jumlah kelimpahan dan menggusur daging konvensional dari pasaran. Mengapa manusia cenderung sangat peduli dengan kelangkaan , tetapi cenderung abai dan  lalai dengan kelimpahan?. Hal ini disebabkan karena manusia adalah produk desain evolusi alam. Sifat manusia yang lain sebagai produk desain evolusi alam adalah manusia sangat waspada terhadap bahaya yang kasat mata tetapi abai terhadap bahaya yang tidak kasat mata


Dalil O'Reilly

Dalil ini dirumuskan oleh Tim O'Reilly, seorang pakar beken di bidang ekonomi digital, pendiri O'Reilly Media, perusahaan penerbitan khusus bidang teknologi. O'Reilly dapat berbicara bidang ekonomi digital dengan sangat fasih, berkat penguasaan bidang ilmu fisika kuantum, dan ilmu ekonomi / bisnis. Saat ini O'Reilly ibarat dewa dalam urusan membuat prediksi tentang bentuk dan sifat peradaban di masa depan, menggusur nama beken para futurolog lain seperti Alvin Toffler dan John Naisbitt, sehingga dia mendapat gelar  Oracle from Silicon Valley. Oracle menunjuk nama seorang tokoh legenda Yunani Kuno,  peramal ulung yang tinggal di Delphi. Agar pembaca dapat lebih memahami esensi dalil ini, akan diberikan uraian sejarah ringkas peradaban manusia sebagai ilustrasi penjelasan.
Dalil O'Reilly diberi nama Dalil Konservasi Keuntungan Yang Menarik, mengatakan : Setiap sumberdaya, komoditi, produk teknologi jika sudah mencapai ketersediaan dalam jumlah melimpah, harganya akan jatuh sampai ke dasar,  maka nilai bergeser ke tingkat tingkat berikutnya ( ke arah hulu ).

Teknologi tertua yang diciptakan manusia adalah kapak genggam dari batu pada 2,5 juta tahun lalu di Jurang Olduvai Gorge, Afrika Timur dan dibuat dalam jumlah terbatas. Begitu juga makanan dalam bentuk buah buahan dan hewan buruan di sana, ketersediaannya tidak pernah mencapai jumlah kelimpahan. Cara manusia mengkonsumsi makanan enak dan manis sejak jutaan sampai ribuan tahun lalu di padang rumput Afrika, membentuk gen yang masih tertinggal di dalam diri manusia modern. Perhatikan cara kita makan makanan manis, cenderung berlebihan, walaupun barang itu tersimpan banyak di lemari es dan lebih banyak lagi tersedia di super market dekat rumah yang dapat dibeli kapan saja. Kita memperlakukan makanan itu sebagai barang langka  jika tidak dihabiskan, maka orang lain atau hewan lain akan menghabiskannya, seperti situasi ratusan ribu tahun lalu di padang savana Afrika.

Selama masa peradaban pertanian, manusia tidak pernah dapat mencapai kelimpahan makanan. Baru pada paruh ke dua abad dua puluh, melalui revolusi hijau, manusia mencapai kelimpahan pangan dan harganya langsung turun,  dan nilainya bergeser ke hulu dalam bentuk inovasi teknologi pengolahan pangan. Begitu juga dengan produk sandang dan barang barang manufaktur lain  sehingga melahirkan kebiasaan baru, menjadikannya barang sekali pakai lalu dibuang, seperti pisau cukur, pembalut wanita ( tampon ), dan plastik. Memang masih banyak uang  beredar di komoditas, tetapi margin terbesar biasanya ditemukan setelah otak digunakan untuk menaikkan nilai tambah. Beberapa dekade lalu, nilai terbesar ada di bidang manufaktur, lalu globalisasi membuat manufaktur menjadi komoditas dan harganya jatuh. Maka nilai bergerak ke hal hal yang belum menjadi komoditas dan masih dalam level kelangkaan. Dengan kata lain, nilai bergerak meninggalkan kelimpahan menuju kelangkaan. Nilai bergerak menjauhi pekerjaan yang menggunakan koordinasi mata - tangan,  mendekati pekerjaan yang menggunakan koordinasi otak - mulut. Pekerja di bidang  jasa dan mengandalkan pengetahuan pada hari ini, adalah para pekerja manufaktur di hari " kemarin " dan petani di " bulan lalu ", yang bergerak ke hulu untuk mencari kelangkaan.  

Para pekerja itu melakukan migrasi antar relung  ( niche ) ekologis dari ekosistem pertanian ke industri dan kemudian ke jasa informasi. Setiap kali melakukan migrasi, tidak mudah, memerlukan pengetahuan / skill, sikap, mental, mindset, dan sistem nilai yang berbeda. Hanya orang orang yang mau belajar hal hal baru, cepat beradaptasi dengan perubahan yang dapat terangkut di dalam gerbong baru. Pada tahun 2001, pakar manajemen bernama Seth Godin menulis buku Unleashing the Ideavirus, dua dekade lalu (1980 ),100 perusahaan terbesar yang terdaftar di majalah Fortune, bergerak di bidang ekstraksi bahan tambang. Awal abad XXI , hanya 32 perusahaan dalam Top 100, yang menghasilkan benda yang dapat dipegang. Enam puluh delapan perusahaan lainnya bergerak di dalam bidang gagasan, bukan pengolah sumberdaya.


Analisis

Apa dan bagaimana kondisi masa depan?, ketika banyak pekerjaan manusia diambil oleh mesin pintar. Atau bagaimana bentuk kemitraan antara manusia dengan mesin?.Apa yang terjadi dengan masyarakat berbasis konsumen?, golongan pekerja dan korporasi mengandalkan pemasukan dari mereka. Apakah kesenjangan pendapatan merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi, atau adakah jalan yang lebih baik?. Bagaimana kondisi pendidikan dalam merespon perubahan yang berlangsung cepat?, ketika dunia korporasi sudah memiliki algoritma lebih maju dari lembaga pendidikan?. Itu baru sebagian kecil pertanyaan yang mungkin belum terpikirkan oleh lembaga pendidikan,  konon pula jawabannya.

Sekarang mari kita diskusikan issue issue tersebut. Dapat dikatakan hampir semua pakar sudah dibebani rasa takut, cemas akan perkembangan teknologi yang segera menghadirkan musuh manusia. Dalam suasana kalut, bagaimana mereka dapat berpikir jernih?. Para pakar seperti kehilangan pegangan, lupa akan hakekat ilmu dan teknologi. Teknologi diciptakan untuk membantu manusia melakukan hal hal keajaiban, yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh imajinasi yang dangkal dan miskin. Tujuan itu dipersempit sendiri oleh manusia menjadi untuk memotong biaya produksi, mengurangi tenaga manusia, memperkaya para pemilik modal. Apakah robot akan mengambil alih pekerjaan manusia?. Jawabannya jelas YA, jika dan hanya jika kita minta mereka melakukan itu. Teknologi adalah solusi untuk mengatasi masalah manusia,  dan kita tidak pernah kehabisan pekerjaan, sampai kita  kehabisan masalah. Artinya ketakutan para pakar dan masyarakat tidak berdasar. Harusnya teknologi saat ini diarahkan untuk membangun masa depan yang lebih baik, bukan sekadar membuat sistem produksi lebih efisien.

Pada masa kini, kelangkaan disebut sebagai analisis simbolis yaitu kombinasi antara pengetahuan, keterampilan dan pemikiran abstrak yang menjadikan seorang pekerja memiliki pengetahuan yang efektif. Tantangan dunia pendidikan yang bersifat konstan adalah membuat garis pembagi pekerjaan yang sifatnya fleksibel, tergantung pada situasi dan kondisi aktual, antara manusia dengan mesin dan komputer dan garis itu selalu bergerak dinamis. Tugas ini jelas tidak mungkin dapat dilakukan oleh kurikulum pendidikan yang bersifat kaku.

Sementara komputer didesain untuk melakukan pekerjaan seorang manusia ( analisis perdagangan saham di pasar bursa ), maka harga untuk pekerjaan itu jatuh sampai mendekati nol, dan manusia yang digantikannya dihadapkan pada pilihan : mempelajari hal lain yang lebih menantang, atau tidak bersedia belajar lagi. Kelompok yang mau belajar biasanya akan dibayar lebih mahal dari pekerjaan sebelumnya dan kelompok kedua akan dibayar lebih rendah. Kelompok pertama menjadi peluang yang menyertai pergerakan industri ke arah kelimpahan, dan kelompok kedua menjadi biayanya ( beban ). Tugas utama pendidikan adalah memperbesar jumlah kelompok pertama dan memperkecil jumlah kelompok kedua.

Pemikiran kelimpahan bukan hanya menemukan apa yang lebih murah, tetapi juga mencari apa yang menjadi  lebih bernilai, sebagai hasil dari pergeseran itu dan bergerak ke arah itu. Kelimpahan di hari kemarin adalah produk dari negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam atau tenaga kerja lebih murah. Kelimpahan hari ini adalah produk produk dari dunia silikon dan serat kaca Abad XXI berjalan dengan platform jaringan. Di dalam tatanan dunia seperti itu peran algoritma semakin penting, bahkan sangat vital. Perusahaan perusahaan besar yang berbasis platform jaringan seperti Amazon, Google, Facebook, Airbnb, Uber, Grab, menunjukkan bagaimana ekonomi dan pasar keungan telah menjadi semakin dikelola oleh algoritma. Perusahaan sekelas Google dan Facebook sudah tidak terhitung berapa kali memikirkan ulang, menulis ulang, memperbaiki algortmanya untuk keterlibatan pengguna dalam menanggapi berita palsu. Algoritma di segala bidang harus terus menerus diperbaharui jika kita ingin membuat masa depan yang lebih berpusat pada manusia, bukan pada mesin. Teknologi mutakhir yang akan membentuk hari esok, bukan sesuatu untuk ditakuti atau dicemaskan, tetapi untuk mewujudkan keajaiban yang di imajinasikan oleh manusia. 


Pelajaran Penting Dari Lembah Silikon

Tim O'Reilly, telah mematahkan mitos yang dipercayai oleh mayoritas orang hingga hari ini.  Mitos itu mengatakan bahwa sebuah industri baru akan  lahir ketika ada entrepreneur yang kreatif bertemu dengan pemodal ventura. Menurut O'Reilly, industri baru justru dapat muncul melalui orang orang yang pada awalnya sekadar main main ( having fun). Pandangan ini didasarkan pada fakta di lembah silikon bahwa beberapa perusahaan besar dirintis oleh orang orang muda yang penuh antusias dengan apa yang disukainya. Steve Jobs, Steve Wozniak  (pendiri  Apple) dan Bill Gates ( pendiri Microsoft ), termasuk kategori ini. Di dunia Web, tokoh tokoh perusahaan besar seperti Jerry Yang dan David Filo ( pendiri Yahoo ), dan Larry Page dan Sergey Birin ( pendiri Google), juga memiliki rekam jejak yang sama. Semua tokoh ini memulai proyeknya bukan dilandasi oleh uang, tetapi antusiasme yang luar biasa tinggi terhadap apa yang disukainya. Jadi aspek bermain lebih menonjol, baru kemudian aspek bisnis menyusul.

Fakta ini jelas semakin memperkuat teori baru tentang pendidikan. Aktivitas bermain dapat merangsang kreativitas. Negara negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia menerapkan kurikulum pendidikan yang memberikan porsi besar terhadap aktivitas bermain. Di sana tidak dikenal apa yang kita sebut PR ( Pekerjaan Rumah ), kebalikannya dengan yang diterapkan di Republik. Siswa kelas satu SD saja sudah dihujani beban PR, dan jumlah mata pelajaran yang lebih banyak. Anak anak kehilangan waktu bermain. Hasil penerapan pendidikan ala Scandinavia, adalah pencapaian terbaik di dunia atas hasil belajar siswa. 


Implikasi Dalil O'Reilly Terhadap Pengelolan Pendidikan. 

Perbincangan di atas memberikan beberapa implikasi terhadap pengelolaan  pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Mengingat banyaknya aspek yang dikelola oleh manajemen pendidikan, di sini hanya dibahas beberapa saja, di antaranya  : 

1. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia umumnya bersifat kaku, kurang memberi ruang kebebasan berimprovisasi. Kurikulum yang mengatur sampai detail terkecil, seperti model RPS ( Rencana Pembelajaran Semester ), SAP ( Satuan Acara Perkuliahan ), berikut modul yang terstruktur rapi, jelas tidak memberi peluang keleluasaan.  Kurikulum diperbaharui rata rata setiap 5 tahunan atau lebih, jelas tidak dapat mengejar kecepatan perubahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalaupun terjadi perubahan  kurikilum, sifatnya hanya tambal sulam. Biasanya yang berubah hanya jumlah mata kuliah, pergantian mata kuliah. Mengingat pergeseran dari kelimpahan ke kelangkaan membutuhkan pengetahuan baru, teknologi baru, sikap, mental yang baru, kurikulum model lama sudah tidak memadai.

Kurikulum yang sekarang menjadi mainstream di Indonesia, berkembang di Amerika Serikat pada dasawarsa 60 an, berakar dari paradigma positivistik. Model itu dibawa oleh para mahasiswa asal Indonesia yang studi di sana. Setelah kembali ke Indonesia, mereka menduduki berbagai posisi penting di Kementerian Pendidikan dan menerapkannya. Indonesia butuh kurikulum yang lebih luwes, memberi porsi besar pada kemampuan berpikir abstrak, bukan pada aspek kemampuan menampung memori, karena kemampuan itu sudah diakomodasi oleh berbagai peralatan teknologi. Berbagai metode dan teknik berpikir harus mendapatkan porsi besar.  Sampai sekarang hanya 1 atau 2 program studi yang memberikan pelajaran logika modern atau logika simbolik, yang memberi kemampuan membuat algoritma. Sebagian besar program studi masih mengajarkan logika tradisional, silogisme yang diciptakan sejak jaman Aristoteles 2.500 tahun lalu. 

2. Algoritma Yang Statis

Kondisi ini terjadi di hampir semua Universitas di Indonesia. Nyaris tidak ada algoritma yang berubah sejak puluhan tahun, sementara perubahan sudah berlangsung sangat cepat.  Pihak yang paling penting untuk diperhatikan kepentingannya adalah mahasiswa, tetapi justru mahasiswa yang paling terabaikan kepentingannya. Universitas lebih mengutamakan kepentingan para pejabat dan para dosennya. Pernyataan ini didukung oleh serangkaian fakta kasat mata dan sudah berlangsung selama puluhan tahun. Setiap tahun pada momen penerimaan mahasiswa baru, ada minimal hampir seribu bangku kosong mubazir, tidak termanfaatkan. Setelah pengumuman penerimaan calon mahasiswa baru, pada saat pendaftaran ulang, selalu ada saja mahasiswa yang tidak kembali mendaftar. Bangku kosong itu jelas merugikan negara dan calon mahasiswa lain yang gagal dalam persaingan memperebutkan bangku kuliah. Jika bangku kosong itu diisi dengan mahasiswa yang posisi urutan nilainya tepat berada di bawahnya secara urut kacang, banyak calon mahasiswa yang dapat terangkut ke dalam gerbong universitas.

Suasananya mirip dengan saat kapal Titanic, akan tenggelam. Dalam kepanikan banyak sekoci yang masih  under capacity tetapi sudah dilepaskan. Seandainya kapal itu punya algoritma canggih, lebih banyak penumpang yang terselamatkan.  Begitu juga dengan universitas, seandainya punya algoritma penerimaan mahasiswa baru yang modern, banyak pemuda berbakat mendapat kesempatan menuntut ilmu. Kesempatan itu sirna hanya karena universitas tidak punya algoritma untuk mengantisipasi hal itu sekaligus mengakomodasi mahasiswa yang selisih nilainya tipis dengan urutan terbawah.
Kondisi itu sudah berlangsung puluhan tahun, dan tidak ada pimpinan universitas yang menyadarinya untuk kemudian membuat algoritmanya. Hal ini benar benar keterlaluan. Sebaliknya untuk pejabat universitas dan dosen, mereka sangat diperhatikan kepentingannya. Dalam pemilihan anggota senat akademik,  di tiap fakultas dipilih 3 orang dosen non guru besar untuk menjadi anggota senat akademik. Yang terpilih adalah suara terbanyak pertama, ke dua dan ketiga. Jika dalam masa jabatannya ada anggota yang berhalangan tetap, maka calon dengan suara terbanyak ke empat, naik menggantikan anggota yang sudah tidak aktif. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan, mengapa tidak dibuat algoritma canggih  untuk mahasiswa.

Dapat dimengerti mengapa perusahaan sekelas Google, Facebook dan Microsoft senantiasa memperbaharui algoritmanya. Tidak mengherankan jika mereka telah jauh meninggalkan universitas. Jika disandingkan algoritma universitas di Indonesia dengan korporasi tersebut, perbedaannya seperti langit dengan dasar lautan. 



Epilog

Dalil O'Reilly telah membuat terang jalan yang selama ini terasa gelap bagi komunitas profesor sekalipun. Tidak ada yang perlu dicemaskan dengan kehadiran revolusi industri 4.0 atau ke berapapun, berikut dengan seberapa banyakpun robot atau AI yang dibawanya. Masuklah ke ruang seminar berikutnya dengan rasa percaya diri sebagai tuan, bukan sebagai pecundang yang diliputi kecemasan,  karena manusia pada dasarnya adalah tuan bagi teknologi, bukan sebaliknya. Kuncinya hanya satu  yaitu berpikir, berpikir dan berpikir.


Comments

Popular Posts