PEMINDAIAN CIRI FISIK SUATU WILAYAH : SUATU PENDEKATAN EKOLOGIS


Pengantar

Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan berbagai definisi / konsep tentang wilayah. Penjelasan tentang hal itu sudah terlalu banyak dibahas secara mendalam di berbagai literatur standard. Tulisan ini tidak pula membahas perdebatan tentang konsep wilayah mulai dari level filosofis / paradigmatik, teoritik sampai pada level metodologis dan instrumen penelitian empirik. Para Pembaca yang ingin mendalami topik topik tersebut dapat mempelajari karya karya masterpice dari para pakar terkemuka bidang kajian ilmu wilayah dan teori lokasi, seperti  Walter Christaller, D.M. Smith, Edward Ullman, August Lösch, Peter Haggett dan Walter Isard. Tulisan ini membahas tentang pengenalan suatu wilayah secara fisik dari sudut pandang ilmu lingkungan. Ilmu Lingkungan merupakan muara,  tempat bertemunya  berbagai ilmu ilmu alam ( fisika, kimia, biologi ), ilmu ilmu sosial, budaya, humaniora,  ( antropologi, sosiologi, ekonomi, sejarah, Linguistik ). Ilmu dasar yang utama dalam mempelajari lingkungan adalah ekologi. Salah satu konsep sentral di dalam ilmu ekologi adalah ekosistem.
Dengan konsep dasar tersebut dan sudut pandang ilmu ekologi, tulisan ini membahas fenomena wilayah. Secara umum wilayah diartikan sebagai suatu hamparan bentang alam di lokasi tertentu yang memiliki ciri ciri fisik tertentu yang dapat dibedakan dengan bentang alam di lokasi yang berbeda. Ilmu Lingkungan dengan pendekatan multi disiplin dapat menjelaskan arti, makna dan faktor yang menyebabkan perbedaan satu wilayah dengan wilayah lain.

Gambar 1. Model Interaksi berbagai komponen di dalam sistem alam semesta.

Sumber: Terry A. Rambo, 1982


Wilayah Naturalis


Wilayah Naturalis diartikan sebagai wilayah yang masih perawan, belum tersentuh oleh manusia dengan peradabannya.   Di wilayah naturalis jumlah energi yang masuk sangat kecil, sebagian besar berasal dari energi matahari dan proses proses biotik dan abiotik. Proses biotik meliputi proses fotosintesis oleh tanaman dan proses abiotik meliputi proses proses tafonomi. Proses tafonomi adalah proses proses transformasi energi dan materi dari satu titik lokasi ke lokasi lain karena faktor faktor hidroklimat, geomorfologis, geologis, vegetasi dan hewan. Di wilayah ini aliran energi berjalan sangat lambat. Untuk merombak suatu jasad hidup yang telah mati oleh bakteri ( proses saptotrofik ), menjadi mineral dan energi dibutuhkan waktu yang relatif lama. Oleh karena aliran  materi dan energi berjalan sangat lambat, kapasitas bawa ( carrying capacity ) wilayah naturalis rendah. Hal ini menyebabkan daya dukung wilayah itu juga rendah. Kapasitas bawa diartikan sebagai jumlah total energi yang mengalir di suatu sistem kehidupan pada suatu wilayah. Daya dukung diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu wilayah untuk menjalankan fungsinya. Walaupun kapasitas bawa dan daya dukung wilayah naturalis rendah, tetapi memiliki tingkat kestabilan dan keseimbangan ekologis yang tinggi. Wilayah naturalis memiliki aliran energi yang mantap dan memiliki kemampuan menahan tingkat usikan yang tinggi. Hal ini membuat wilayah naturalis memiliki kemampuan daya lenting yang tinggi. Kemampuan daya lenting diartikan sebagai kemampuan menahan / bertahan di dalam arus perubahan dengan fluktuasi / amplitudo yang tinggi.
Pada umumnya wilayah naturalis memiliki keanekaragaman (biodiversity index ) yang tinggi. Semua uraian diatas dapat disederhanakan dengan persamaan  Schrödinger Constanta ( tetapan Schrödinger )  P : R ~ 1 , Produktivitas dibagi Respirasi, hasilnya mendekati satu. Kalau tingkat produksi ingin ditingkatkan menjadi jauh lebih besar dari satu, maka sebagai konsekuensinya tingkat keanekaragaman berkurang. Dengan berkurangnya tingkat keanekaragaman, maka tingkat kestabilan juga berkurang, diikuti dengan berkurangnya kemampuan daya lenting. Dengan meningkatkan nilai produktivitas, maka input energi dan materi makin besar, akibatnya aliran energi materi berlangsung makin cepat. Pada dasarnya semua kegiatan atau proses pembangunan adalah meningkatkan produktivitas, meningkatkan kapasitas bawa, daya dukung suatu wilayah, tetapi sekaligus menurunkan tingkat keanekaragaman biologi, menurunkan tingkat kestabilan / keseimbangan ekologis, menurunkan kemampuan daya lenting wilayah itu.
Dewasa ini tidak banyak lagi wilayah naturalis yang tersisa di muka bumi dan terus menerus berkurang, karena Homo Sapien terus mengokupasi wilayah naturalis. Contoh wilayah naturalis adalah  hutan hujan tropis.Sebagai misal di suatu hamparan hutan hujan tropis seluas 10.000 Ha, dapat menampung 2000 jiwa penduduk yang hidup dengan cara berburu dan meramu. Jika Pemerintah ingin meningkatkan produktivitas wilayah Itu, maka segera dilakukan penebangan pohon untuk dijadikan areal persawahan. Ekosistem hutan tropis segera dirubah menjadi ekosistem padi sawah. Produktivitas meningkat, dapat menopang hidup 10.000 jiwa. Pasokan materi dan energi meningkat pesat dalam bentuk material bahan bangunan untuk  membangun rumah, pasar, kantor desa, jalan, jembatan, jaringan irigasi, bahan bakar, pupuk, benih unggul, pestisida, herbisida, insektisida, kendaraan dan lain sebagainya. Lalu lintas materi dan energi berlangsung cepat. Dalam waktu 3 bulan, benih padi diubah menjadi bulir padi, kecepatan bergerak manusia meningkat dari 5 Km per jam menjadi 60 Km per jam. Dengan perubahan itu, tingkat keanekaragaman tanaman berkurang drastis dari ratusan jenis setiap 1 Km2, menjadi hanya 1 atau 2 jenis. Ekosistem yang dirubah dalam waktu singkat membawa akibat menurunnya tingkat kestabilan. Areal persawahan menjadi rentan diserang oleh berbagai hama. Banyak hewan liar yang tersingkir akibat pembukaan areal hutan. Mereka menderita kekurangan makanan. Melihat tanaman padi yang sudah ranum, maka kawanan monyet liar, babi liar dan tikus menyerbu areal persawahan dan memporak-porandakannya. Hal ini menjelaskan mengapa banyak perkampungan transmigrasi yang baru dibuka jadi sasaran penjarahan oleh hewan hewan liar. Ilmu ekologi memberi pelajaran berharga agar manusia berhati hati ketika akan mengubah suatu bentang ekosistem dalam skala besar dalam waktu singkat. Perubahan itu harus terencana, bertahap, berselang seling antar petak wilayah. Berikan waktu kepada alam untuk proses penyesuaian.


Wilayah Domestifikasi

Suatu wilayah naturalis yang telah dirubah oleh manusia, naik peringkat menjadi wilayah domestifikasi. Tingkat keanekaragaman wilayah ini lebih rendah dari wilayah naturalis, begitu juga tingkat kestabilan, tetapi aliran energi dan materinya lebih cepat dengan volume lebih besar, dan tingkat produktivitasnya juga lebih besar. Tingkat konsumsi energi per kapita juga lebih besar. Pada wilayah naturalis, sebagian besar populasinya menggunakan energi yang diperoleh dari proses metabolisme tubuhnya. Pada wilayah domestifikasi populasinya menambah pasokan energi dari pemanfaatan tenaga hewan, air, angin, biomassa, fosil. Contoh wilayah domestifikasi adalah desa, kota kecil, kawasan persawahan, perkebunan. Kapasitas bawa dan daya dukung wilayah domestifikasi lebih besar tetapi diikuti dengan  menurunnya tingkat kestabilan dan daya lentingnya. Ilmu Ekologi memberi pelajaran penting lagi, bahwa alam cenderung mencari bentuk keseimbangan. Memperkuat satu sisi kemampuan akan menurunkan kemampuan di sisi lain. Kondisi ini membuat manusia harus bertindak arif bijaksana, dalam memilih satu dari beberapa alternatif yang ditawarkan alam. Manusia harus bermain di wilayah moderat yang fleksibel antara manfaat dan risiko. Fokus pada satu sisi demi mengejar manfaat maksimal, akan meningkatkan risiko pada sisi lain. Mengambil posisi di satu kutub ekstrim, akan menjanjikan hasil optimal, tetapi sekaligus memperbesar risiko kegagalan. Sikap dan pilihan  terbaik adalah menjaga keseimbangan, dan itu artinya manusia jangan semua mau, alias serakah, harus mau berbagi, jika ingin selamat.

Wilayah Fabrikasi

Suatu wilayah domestifikasi yang ditingkatkan terus menerus pasokan materi dan energinya, akan naik level menjadi wilayah fabrikasi. Ketika berstatus wilayah domestifikasi, suatu areal dengan luas 10 Ha, hanya menghasilkan produksi 80 sampai 100 ton padi dalam jangka waktu 3 sampai 4 bulan, yang jika dikonversi dalam bentuk uang, nilainya lebih kurang 600 juta rupiah dengan asumsi harga gabah 6.000 rupiah per Kg. Luas areal yang sama kemudian dirubah menjadi pabrik yang memproduksi berbagai jenis sepatu. Dalam waktu 3 sampai 4 bulan , pabrik sepatu itu akan menghasilkan produk yang nilainya beberapa kali lipat lebih besar. Hal ini disebabkan karena pasokan materi dan energinya lebih besar dari wilayah domestifikasi. Jika kemampuan berproduksi wilayah fabrikasi terus menerus ditingkatkan, praktis pasokan materi dan energinya terus meningkat. Akibatnya aliran materi dan energi berlangsung sangat cepat dan hal ini membawa konsekuensi yang tidak menguntungkan ditinjau dari sudut kepentingan manusia. Dampak berlakunya Hukum Thermodinamika II, menyulitkan posisi manusia yang berada di wilayah fabrikasi. Hukum itu mengatakan bahwa di alam semesta tidak ada sistem yang sempurna efisien.  Setiap terjadi proses transformasi energi dan materi pasti ada sisa  yang tidak dapat dimanfaatkan, yang disebut sebagai entropi.
Entropi adalah derajat ketidakteraturan di alam semesta. Semakin lama nilai entropi cenderung meningkat, sejalan dengan pemanfaatan materi dan energi yang makin besar. Entropi adalah sebuah keniscayaan, tidak dapat dihilangkan, tetapi dengan rekayasa tertentu, jumlahnya dapat dikurangi. Suatu teknologi dikatakan efisien jika dapat mengurangi entropi hingga ke tingkat serendah rendahnya. Dalam bahasa orang awam, entropi adalah sampah. Sampah adalah masalah utama di dalam wilayah fabrikasi. Menurut ilmu lingkungan definisi sampah adalah materi, energi yang berada di ruang dan waktu yang tidak tepat ( sesuai ) dengan peruntukannya. Sampah menjadi masalah ketika berada pada ruang dan waktu yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Salah satu cara mengatasi masalah keberadaan sampah agar sesusi dengan peruntukannya adalah dengan memperpanjang daur pemanfaatan materi dan dengan meningkatkan kompetensi manusia di segala bidang.
Seorang penjahit pakaian level pemula, dalam melaksanakan pekerjaannya, pasti menggunakan kain dalam jumlah lebih banyak dibanding penjahit dengan level profesional. Di samping itu penjahit pemula banyak menghasilkan sampah berupa potongan sisa kain yang tidak dapat digunakan ( kain perca ). Jika potongan kain perca itu diperpanjang daur pemanfaatannya, dengan menyambung kain kain perca Itu, sehingga dapat dihasilkan selimut, sampah kain perca itu sudah tidak lagi menimbulkan masalah. Sebaliknya benda baru jika berada pada ruang dan waktu yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat berubah jadi sampah. Sebuah mobil Mercedes Benz baru diletakkan di pegunungan Jaya Wijaya atau di lembah Baliem, berubah jadi Sampah, karena d sana tidak ada jalan raya, SPBU, bengkel, mekanik, sopir, toko sparepart. Penggunaan materi dan energi dalam jumlah besar harus diimbangi dengan upaya memperpanjang daur pemanfaatannya dan efisiensi pemanfaatannya. Penghuni wilayah fabrikasi dituntut untuk mengusai ilmu pengetahuan dan bersikap hemat serta efisien. Hanya dengan cara demikian masalah sampah atau entropi pada masyarakat yang hidup di wilayah fabrikasi dapat diatasi. Ilmu yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah Life Cycle Assessment atau  Product Life Cycle Assessment yang merupakan gabungan ilmu ilmu material science and technology, fisika, kimia, biologi dan ekologi.

Wilayah Diginanotech

Dewasa ini hanya kota kota besar di negara negara maju yang sudah berada di wilayah diginanotech. Di Indonesia, hanya kota Jakarta yang sudah memiliki ciri ciri wilayah diginanotech. Jika wilayah fabrikasi ditingkatkan terus pasokan materi dan energinya, akan naik  ke level diginanotech. Energi yang digunakan di wilayah ini luar biasa besar. Semua gerak langkah, setiap tarikan nafas penghuni wilayah ini ditopang energi tinggi. Sebagian besar penghuni wilayah diginanotech tidak menyadari bahwa mereka menjalani hidup seperti seorang seniman / akrobat yang berjalan di atas seutas tali. Mereka hidup di sebuah sistem yang rapuh. Sedikit saja ada guncangan, akan terpeleset dan  akibatnya sungguh fatal. Hidup di wilayah diginanotech memang banyak menawarkan kemudahan, kecepatan, tetapi juga menuntut persyaratan yang tinggi yaitu, kedisiplinan dan ketelitian / akurasi yang tinggi.
Ada satu lagi bahaya yang tidak disadari banyak orang yaitu kemampuan pasokan energi terus menerus tanpa terhenti walaupun hanya sesaat. Itu adalah suatu hal yang sulit dipenuhi, walaupun di Eropa sekalipun. Mengingat besarnya energi yang berseliweran di sistem wilayah diginanotech, dibutuhkan software super canggih yang dapat mengakomodasi pemrosesan big data, Artificial Intelligence, Neuro Science. Sedikit saja terjadi kesalahan pembacaan  coding dan transkripsi, dapat berakibat fatal. Kemungkinan terjadinya kesalahan itu tetap ada. Salah satu skenario terburuk adalah terputusnya supply energi, yang dapat menimbulkan kepanikan massal dan kekacauan. Kejadian padamnya listrik selama beberapa jam saja di Jakarta, membuat macetnya sistem transportasi massal. Penumpang terjebak tidak dapat keluar dari kereta karena semua pintu dikontrol dan digerakkan oleh listrik, ribuan lift terhenti dan banyak orang terjebak di lift. Ribuan lampu lalu lintas padam, menimbulkan kemacetan. Banyak pasien yang sedang menjalani operasi, terancam keselamatannya. Di wilayah diginanotech, listrik bukan hanya sekadar sebagai alat penerangan, tetapi penggerak kehidupan.

Penutup


Ilmu ekologi memberi satu perspektif berbeda di samping beberapa perspektif lain di dalam menelaah fenomena wilayah. Perspektif itu membuka wawasan baru tentang jalinan rumit sistem alam semesta. Sistem alam semesta yang rumit dan abstrak, sering sekali mengubah niat baik menjadi kesalahan fatal. Pemahaman sistem rumit alam semesta dapat menghindarkan manusia dari kesalahan fatal. Seandainya saja Pimpinan Puncak Rejim Suharto mau mendengarkan nasehat dari ahli ilmu lingkungan, tragedi sejuta Ha lahan gambut di Kalimantan tidak terjadi. Pemahaman konsep wilayah berperspektif ekologi jadi semakin relevan terkait dengan rencana memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke suatu tempat di pulau  Kalimantan. Pemerintah harus hati hati dalam menjatuhkan pilihan lokasinya. Pemerintah dapat memilih jenis wilayah yang akan dijadikan lokasi berdirinya ibukota baru kelak. Setiap pilihan mengandung konsekuensi. Apapun pilihan yang akan diambil akan lebih bijaksana jika dalam proses menentukan pilihan dilakukan dengan pertimbangan akal sehat, ilmu pengetahuan termutakhir, data dan informasi terkini di samping target dan tujuan yang ingin dicapai.

Comments

  1. Bzgus tulisannya Bang,,, paling tidak dalam memahami konsepsi dasar ekologi dan menarik ketika digunakzn utk melihat dan mengznzlisis pemimdzhan ibu kota

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts