SIAPAKAH PENDIRI KOTA MEDAN? dan KAPAN?
Prolog
Di negeri ini orang enggan mempertanyakan
kembali sesuatu yang dianggap sudah pasti, sudah jadi pengetahuan umum, sudah
menjadi pendapat mainstream.
Keengganan itu disebabkan karena khawatir bakal menimbulkan polemik, takut
berkonfrontasi dengan banyak orang walaupun hanya sebatas perbedaan pendapat
dan pemikiran. Hal itu terlihat dari populernya ungkapan ungkapan
seperti................ sudah final
atau ............ harga mati, atau pokoknya................. Pernyataan
pernyataan seperti itu sama dengan menutup pintu diskusi dan perdebatan. Kalau
sudah demikian halnya , maka pikiranpun jadi jumud alias mandek. Mandeknya berpikir sama dengan berakhirnya
karir sebagai manusia, karena seperti kata Rene
Descartes, datuknya rasionslisme , Cogito
Ergo Sum ( Saya berpikir, maka saya ada ).
Salah satu pertanyaan menarik adalah
" Siapakah pendiri kota Medan yang sebenarnya? dan kapan?". Hampir
semua penduduk kota Medan dengan fasih dan lancar akan mengatakan Guru Patimpus, seorang tokoh dari etnis
Karo. Itulah yang sudah jadi pengetahuan umum, diakui resmi oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan tentunya juga Pemerintah Kota
Medan. Penetapan dan pengesahan hari lahir kota Medan dilakukan oleh DPRD Kota
Medan. Lalu, di mana lagi letak masalahnya, jika semua sudah jelas?. Jika kita
mau membuka kembali lembaran dokumen dari masa pra 1970, akan terlihat data
yang berbeda, yang dapat menimbulkan serangkaian pertanyaan yang memberi celah
ruang perdebatan. Pada dokumen dokumen lama tercantum bahwa usia kota
kota Medan baru mencapai 100 tahun dan tanggal serta bulannya bukan 1 Juli,
melainkan 1 April. Sementera di dalam dokumen dari masa pasca 1970 an, usia
kota Medan sudah lebih dari 400 tahun, dan ulang tahunnya diperingati setiap tanggal
1 Juli. Berarti Pemerintah Kota Medan dan masyarakatnya pernah merayakan ulang
tahun kota Medan pada 2 jenis tanggal dan bulan yang berbeda. Walaupun
keputusan resmi sudah menetapkan kota Medan didirikan pada akhir abad XVI,
tepatnya I Juli 1590 oleh Guru Patimpus, tetapi tetap menyisakan keraguan
pada sejumlah orang yang kritis, untuk mempertanyakan kembali keputusan itu.
Apakah keputusan perubahan itu diambil berdasarkan hasil kajian ilmiah secara
mendalam ataukah karena pertimbangan dan alasan politis
semata?.
Definisi Kota Sebagai Pangkal Perdebatan
Persoalan konsep dan definisi yang belum
jelas, adalah awal terjadinya perdebatan antara pihak yang pro pendapat
pertama, pendiri Kota Medan adalah Guru Patimpus pada 1 Juli 1590 dengan pihak yang
pro pendapat kedua, pendiri kota Medan adalah Pemerintah Kolonial Belanda pada
1 April 1918. Masing masing pihak mengajukan alasan dan argumentasi. Menurut
pendapat penulis, kedua pihak menganut konsep dan definisi yang berbeda.
Perselisihan ini dapat diselesaikan dengan cara :
- Memeriksa dan mengkaji konsep konsep yang digunakan oleh ke dua pihak, lalu membandingkan ke dua konsep itu dengan konsep yang yang dihasilkan oleh kegiatan pengembangan keilmuan.
- Menguji konsep konsep yang digunakan oleh ke dua pihak dengan fakta dan data empirik. Data yang dimaksud dapat diperoleh melalui kajian literatur yang berasal dari catatan catatan para pelancong dari mancanegara, pejabat pemerintah dan dokumen dokumen resmi Pemerintah Kolonial Belanda. Kita agak beruntung, karena para pelancong dan para pejabat Pemerintah Kolonial masa itu punya kebiasaan mencatat apa yang mereka lihat dan catatan itulah yang sampai kepada kita. Berdasarkan kajian itu, barulah kita dapat melakukan penilaian yang fair terhadap masalah itu. Penulis tidak mempedulikan apakah hasil kajian itu mau digunakan ataupun tidak, karena tidak punya kepentingan dengan soal itu. Kegiatan penulisan ini dilakukan semata mata untuk memenuhi rasa ingin tahu dan merupakan latihan intelektual, kegiatan berpikir untuk memperpanjang karir sebagai orang yang mau dan dapat berpikir.
Kedua pihak tidak mencantumkan definisi
yang digunakan secara eksplisit. Keadaan seperti ini dianggap hal yang lumrah
di negeri ini, bahkan di kalangan akademisi sekalipun. Pemahaman dan kesadaran
akan pentingnya konsep dan definisi sangat rendah. Akibatnya sering timbul
perbedaan pendapat, yang sebenarnya tidak perlu jika masalah definisi
diperhatikan sejak awal. Untuk dapat merumuskan definisi yang digunakan,
terpaksa dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap argumentasi dari masing
masing pihak. Dari penelusuran dokumen, paling sedikit ada tiga ( 3 )
definisi yang digunakan oleh para pihak. Definisi definisi itu adalah
:
1. Kota adalah hamparan areal yang telah ditempati atau dihuni oleh manusia.
Definisi ini adalah definisi yang paling kabur, terlalu umum, miskin kriteria
dan atribut. Definisi ini tidak mengandung atribut yang dapat diukur ( syarat
utama sebuah konsep keilmuan ), agar dapat diverifikasi dengan fakta dan data.
Definisi ini tidak memiliki atribut, dan nilai variabel sebagai faktor pembeda
dalam menyusun sistem taksonomi. Tanpa taksonomi, ilmu tidak dapat
berkembang. Definisi tidak memiliki batasan pada aspek jumlah penduduk, luas
areal, jumlah / variasi jenis kegiatan, jumlah satuan dan jumlah jenis
bangunan serta kerapatan bangunan, jumlah jenis fasilitas utilitas. Tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan definisi seperti itu.
2. Kota adalah suatu daerah yang memiliki kerapatan / kepadatan bangunan yang tinggi
dengan beragam fungsi, memiliki struktur, fungsi fungsi keruangan, hierarki
serta dilengkapi dengan jaringan infrastruktur dan berbagai fasilitas utilitas.Sebagai
konsekuensi logis dari definisi ini adalah ada sejumlah besar orang yang bermukim
di sana. Implikasi berikutnya adalah tersedianya areal yang cukup luas untuk
menampung jumlah penduduk berikut bangunan dan fasilitas lainnya. Kondisi
demikian melahirkan suatu kebutuhan akan adanya lembaga pemerintahan dan
peralatan berikut personil untuk menjalankannya. Beberapa kelompok orang
dibebaskan dari tugas memproduksi barang sebagai sumber nafkah agar dapat fokus
melaksanakan tugas melayani kepentingan warga kota. Hidup mereka didanai oleh
pajak yang dikutip dari seluruh warga kota. Definisi ini lebih kokoh dan handal
dari definisi pertama, dan dapat diverifikasi dengan fakta dan data.
3. Definisi ke tiga merupakan perluasan
dari definisi ke dua, dengan penambahan adanya
pemerintahan otonom /swapraja, terpisah dari pemerintahan yang terpusat
yang ditetapkan dengan besluit dari pemerintahan yang hierarkinya lebih tinggi.
Ada banyak definisi kota yang pernah
diajukan oleh para ahli, yang jumlahnya puluhan. Tidak mungkin semua definisi
itu ditampilkan di dalam tulisan singkat ini. Dari penelusuran sumber
kepustakaan, di sini diikhtisarkan rumusan definisi definisi tersebut. Suatu
kota memiliki ciri ciri atribut yang dapat ditinjau dari beberapa aspek :
- Aspek keruangan, memiliki struktur, fungsi, hierarki, areal yang luas dan batas batas yang jelas ;
- Aspek teknis, memiliki kerapatan / kepadatan bangunan yang tinggi dengan beragam fungsi, dilengkapi dengan jaringan infrastruktur dan fasilitas utilitas ;
- Aspek ekonomi, memiliki basis ekonomi non pertanian, bertumpu pada industri dan jasa. Memiliki berbagai institusi yang menjalankan berbagai instrumen ekonomi dan finansial, seperti pasar, bank.
- Aspek sosial dan budaya, memiliki keanekaragaman yang tinggi dalam bidang etnik, agama, bahasa, budaya, profesi, lapangan kerja.
- Aspek hukum, memiliki lembaga peradilan formal berdasarkan hukum positip dan perangkat hukum peraturan perundang undangan.
- Aspek pemerintahan, memiliki berbagai institusi pemerintahan dan personil birokrasi yang menjalankannya, serta lembaga yang bertanggung jawab atas keamanan ( kepolisian ).
Dengan membandingkan ke tiga definisi yang
digunakan para pihak yang terlibat dalam perdebatan dengan definisi yang
diajukan para ahli, tampak jelas, definisi yang digunakan kelompok ke dua lebih sesuai. Langkah berikutnya adalah
menguji konsep dan definisi tersebut pada data empirik.
Apa yang dibangun oleh Guru Patimpus?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita
perlu menelusuri bagaimana konstelasi ekonomi, politik, sosial budaya di
wilayah pantai timur Sumatera pada masa pra abad XVI. Setelah hegemoni kerajaan
Sriwijaya berakhir pada abad XI Masehi, di sepanjang pesisir selat Malaka
berkembang kerajaan kerajaan kecil dan tumbuh bandar bandar baru, di antaranya Kota Cina, tidak jauh dari kota Labuhan
Deli sekarang. Kota Cina mencapai puncak kejayaan pada abad XII dan XIV.
Pada abad berikutnya Kota Cina mengalami
kemunduran, karena perubahan garis pantai timur Sumatera dan pendangkalan alur
pelabuhan akibat sedimentasi. Peranan Kota Cina diambil alih oleh Labuhan
Deli, yang jaraknya hanya beberapa kilo meter dari pelabuhan Belawan sekarang.
Situs Kota Cina sudah diteliti oleh 3 pakar arkeologi yaitu E E Mc. Kinnon ( 1973 ), John Norman Miksic
(1976 - 1977 ) dan Daniel Peret ( 2015 - 2018 ) . Pada abad XIX, Labuhan
Deli mengalami nasib yang sama dengan Kota Cina dan perannya diambil alih oleh
Belawan hingga sekarang. Pada abad XVI, suku suku yang mendiami dataran tinggi
di Sumatera Utara, Batak Toba dan Karo turun ke pesisir. Mereka mendiami
wilayah Langkat, Deli, Serdang, Batubara dan Asahan.
Salah satu kelompok etnik Karo
dipimpin oleh Guru Patimpus, mendirikan pemukiman di pertemuan dua
sungai, Babura dan Deli, tepatnya di ujung jalan Tembakau Deli sekarang, di
antara hotel Dharma Deli dengan proyek properti Agung Podomoro. Ke dua sungai
berhulu di daerah Sibolangit dan bermuara di Belawan. Pada masa itu ke dua
sungai dijadikan jalur perdagangan yang menghubungkan wilayah dataran
tinggi Karo dengan pesisir. Titik pertemuan ke dua sungai dijadikan pangkalan /
pos perdagangan antara wilayah pegunungan dengan pesisir. Titik lokasi yang
dibangun oleh Guru Patimpus kemudian dikenal sebagai Kampung Medan.
Guru Patimpus
Sumber : Google
Selama dua abad pos perdagangan di kampung Medan
bertahan, tanpa kemajuan berarti. Apa yang dibangun oleh Guru Patimpus tidak
lebih dari beberapa bangunan sederhana, bukan berupa kota dalam arti yang
sebenarnya. Sebagai perbandingan dapat disimak catatan perjalanan yang dibuat
oleh John Anderson, orang Inggris
yang berkunjung ke Ibu kota Kesultanan Deli di Labuhan Deli pada tahun 1823.
John Anderson menulis bahwa istana sultan tidak dapat dibedakan dari
rumah penduduk biasa. Dindingnya terbuat dari papan, atapnya dari daun
nipah, berdiri di atas panggung bertiang kayu dan lantai papan, hanya ukuran
nya saja yang lebih besar dari rumah penduduk biasa. Jalan jalan tidak
diperkeras dan jika turun hujan, jalanan becek dan berlumpur, tidak dapat
dilalui kereta kuda. Begitulah kondisi di ibu kota, dapat dibayangkan bagaimana
kondisi di kampung Medan. Sebagai perbandingan pada masa yang sama, kota
Batavia memiliki jalan jalan lebar, diperkeras, memiliki penerangan lampu jalan
berbahan bakar gas karbit, taman kota, gedung gedung besar, saluran drainase,
layaknya sebuah kota. Dapat disimpulkan bahwa yang dibangun oleh Guru Patimpus
pada tanggal 1 Juli 1590, bukanlah
sebuah kota, melainkan hanya sebuah kampung kecil yang berfungsi sebagai pos
perdagangan, tempat bertemu para pedagang dari wilayah pedalaman dengan
pedagang dari wilayah pesisir.
Apa Yang Dibangun Pemerintah Kolonial Belanda?
Pada pertengahan abad XIX, wilayah Deli
merupakan jajahan kerajaan Siak. Pada masa itu timbul ketegangan antara
Kerajaan Siak dengan Inggris. Siak meminta perlindungan Belanda untuk
menghadapi Inggris. Imbalannya Siak berikut daerah jajahannya termasuk Deli,
berada di bawah kendali Belanda. Demikianlah Deli masuk ke dalam wilayah
kekuasaan Hindia Belanda, walaupun tidak secara langsung. Belanda mulai
berkuasa secara langsung setelah Jacob
Nienhuys, dan beberapa pedagang tembakau berhasil menyulap tanah Deli
menjadi agro gulden , melalui
perusahaan Deli Maatschappij. Pada
tahun tahun 1860, Jacob Nienhuys mendapat konsesi tanah seluas 4000 bahu
( 1 bahu = 0,7 Ha ), di Tanjung Spassi, dekat Labuhan Deli, untuk
ditanami tembakau. Menurut catatan Volker,
pada tahun 1860, sebagian besar wilayah kampung Medan masih berupa hutan
rimba. Pada panen perdana, hasilnya dikirim ke Rotterdam, Holland untuk
diperiksa mutunya di laboratorium. Hasilnya menunjukkan kalau tembakau dari
tanah Deli bermutu kelas premium. Keberhasilan itu mendorong Deli Maatschsppij
memperluas areal konsesinya.
Jacob Nienhuys
Sumber : Google
Keberhasilan itu juga mendorong pengusaha
lain membuka kebun tembakau. Tidak hanya bangsa Belanda, pedagang dari berbagai
negara mulai mencari peruntungan di Deli. Di berbagai penjuru wilayah Deli
segera dipenuhi wilayah konsesi. Kesultanan Deli mengalami booming rezeki dari
uang sewa lahan perkebunan. Bangsa Swiss mendapat konsesi di daerah yang
kemudian dikenal sebagai Helvetia,
berasal dari nama bangsa Helvetti,
etnis terbesar dari bangsa Swiss. Bangsa Polandia,
mendapat konsesi di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Polonia. Bangsa Amerika mendapat konsesi di daerah yang sekarang
dikenal sebagai Marelan, berasal
dari kata Maryland, nama salah satu
negara bagian di Amerika Serikat. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor
Deli Maatschsppij dari Labuhan Deli ke Kampung Medan, di titik lokasi
perkampungan yang didirikan oleh Guru Patimpus, yang sekarang dikenal dengan
nama jalan Tembakau Deli. Langkah Nienhuys segera diikuti oleh
perusahaan perusahaan lain. Langkah perusahaan perusahaan itu menimbulkan
efek domino, berturut turut menyusul
:
- Kedudukan Asisten Residen Deli pindah dari Labuhan Deli ke Medan tahun 1879.
- Ibukota Keresidensan Sumatera Timur pindah dari Bengkalis ke Medan pada 1 Maret 1887. Gedung kediaman Residen terletak di jalan Sukamulia, sekarang menjadi kantor Standard Chartered Bank.
- Pada 18 Mei 1891, dengan selesainya dibangun istana baru, ibu kota Kesultanan Deli pindah dari Labuhan Deli ke Medan.
- Tahun 1915, status Keresidenan Sumatera Timur ditingkatkan menjadi Gubernemen Sumatera, berkedudukan di Medan.
Tanggal 1 April 1918, Medan resmi
memiliki pemerintahan swapraja / otonom, dipimpin oleh seorang Burger Mester ( walikota ). Walikota
Medan pertama dijabat oleh Baron Daniel
Mackay, seorang profesional tulen. Sepanjang karirnya dia menjabat walikota
di beberapa kota berturut berturut. Di Medan, Daniel Mackay menjabat selama 13
tahun dari tahun 1918 - 1931. Setelah kembali ke Holland, masih dipercaya
menjadi walikota Maastrich.
Baron Daniel Mackay
Sumber : Google
Medan adalah satu di antara sedikit kota di dunia
yang didirikan dengan Akta Notaris. Berdasarkan Acte van Schenking No. 97 ( akte hibah ), yang diterbitkan oleh
notaris J M de Hondt Jr,
tanggal 30 November 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah Kota Medan seluas 4000
Ha kepada Gemeente Medan, untuk
lahan pembangunan kota Medan. Tanah itu meliputi kelurahan kelurahan Kesawan,
Sungai Rengas, Petisah Hulu dan Petisah Hilir. Tahun 1918, penduduk Medan
tercatat 43.826 jiwa terdiri dari 409 orang Eropa, Indonesia 35.009, Cina
8.269, Timur Asing lainnya 139. Bangunan bangunan monumental kemudian berdiri
susul menyusul :
- Tahun 1909, mesjid raya Sultan Al Makhsum, selesai dibangun.
- Tahun 1911 berdiri gedung kantor pos besar.
- Tahun 1915 Esplanade ( Lapangan Merdeka ),selesai dikerjakan dan resmi menjadi alun alun kota Medan.
- Tahun 1918 kantor Walikota selesai dibangun.
- Gedung AVROS ( Algemeene Vereeninging Rubber Oost Sumatera ), di jalan Palang Merah dan gedung AVROS di jalan Brigjend Katamso berdiri tahun 1918 dan 1919.
- Rel kereta api yang menghubungkan Medan- Pangkalan Berandan – Besitang berikut stasiun besar di Medan selesai dibangun.
- Gedung Konsulat Amerika adalah perwakilan diplomatik negara asing pertama di luar Jawa dibangun di Medan tahun 1919. Sampai sekarang gedungnya masih berdiri di jalan Imam Bonjol. Kemudian menyusul dibangun gedung Konsul Inggris di jalan Zainul Arifin. Gedung ini sudsh dirobohkan dan di tapak lokasi itu sekarang berdiri gedung Kantor Pusat Bank Sumut.
- Tahun 1923, berdiri gedung sekolah guru di jalan M Yamin sekarang.
- Tahun 1924 berturut turut dibangun rumah sakit Santa Elizabeth, klinik mata, zweembath ( kolam renang ), pusat pasar dan bandara Polonia.
Pada tahun 1920 an - 1930 an,
didirikan wilayah pemukiman elite yang diperuntukkan bagi khusus golongan
Eropa. Areal pemukiman itu berada di antara dua sungai , Deli dan Babura,
membentuk segi tiga. Bangunan rumah besar berhalaman luas, asri, dengan sistem
drainase dan sanitasi yang baik, jalan jalan lebar, ditumbuhi pohon rindang di
ke dua sisi, setiap blok terdapat taman dan ruang terbuka hijau, menjadi ciri
khas kawasan ini. Rumah rumah di kawasan elit ini dilengkapi dengan fasilitas
kota yang bahkan sampai sekarang tidak tertandingi oleh kawasan lain yang
dibangun pada pasca kemerdekaan. Kawasan ini hanya dapat ditandingi oleh
kawasan Menteng Buurt di Batavia
yang juga dibangun pada periode yang sama. Fasilitas jaringan listrik, air
minum, telephone dan pipa gas sudah tersedia sejak Jaman Kolonial. Pada tahun
1930an boleh dikata Medan adalah kota yang mapan, indah, asri, bebas banjir,
bersih sehingga mendapat julukan Parisj
van Sumatera. Kawasan pemukiman mewah ini sangat kontras dengan
kawasan pemukiman di wilayah Grand
Sultan, yang sekarang dikenal sebagai Kota Matsum I, II dan III. Berdasarkan fakta dan data yang telah
dipaparkan, jelas bahwa Kota Medan
didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 1 April 1918. Klaim
yang diajukan Pemerintah Kota Medan bahwa kota Medan didirikan oleh Guru
Patimpus pada 1 Juli 1590, jelas tidak didukung oleh fakta dan data empirik.
Memang ada kecenderungan manusia merasa lebih berwibawa / bergengsi jika usia
kotanya lebih tua. Terutama lebih bergengsi lagi jika tokoh pendirinya
berasal dari kalangan sendiri, bukan bangsa asing. Penulis hanya memaparkan
fakta dan data. Tiap orang bebas memilih pendapat yang diyakininya.
Epilog
Tema dasar tulisan ini adalah perubahan dan cara meresponnya.
Pembahasan kasus pendirian kota Medan hanya merupakan contoh penerapan cara
berpikir rasional dan mengujinya pada fakta empirik. Perubahan adalah suatu
keniscayaan di alam semesta, tidak ada satupun kekuatan yang dapat menghentikan
perubahan, karena kekuatan itu tidak kasat mata, tetapi memiliki kekuatan
besar. Orang yang belajar ilmu ilmu alam pasti mengetahui bahwa materi genetik,
partikel tingkat sub atomik senantiasa berubah secara random / sembarang. Cara
merespon perubahan dengan cara yang tetap, tidak berubah akan merugikan diri
sendiri. Setiap perubahan / kondisi baru harus direspon dengan cara cara baru
pula. Sebagai konsekuensi logis dari situasi ini, tidak ada pilihan lain selain
manusia tidak boleh berhenti berpikir,
jika tidak mau dilindas oleh arus perubahan. Konsekuensi berikutnya, tidak ada kata final untuk segala hal.
Semuanya boleh dan harus dikritisi terus menerus. Semuanya masih dapat dan
wajib terus berubah. Apapun yang
dipikirkan, dikatakan dan diperbuat pada hari ini, dapat dirubah esok, bulan
atau tahun depan. Ungkapan ungkapan yang mematikan proses berpikir seperti
sudah final, harga mati, pokoknya, harus
digusur dari khazanah pikiran sehat dan logis. Penggunan ungkapan ungkapan
itu juga sudah menulari kalangan akademisi. Status dan gelar akademis
tidak membuktikan kemampuan berpikir seseorang. Semua hal di alam semesta masih
dapat dinegosiasikan, sepanjang dalam proses negosiasi tidak dilakukan cara
cara yang tidak beradab ( intimidasi, tekanan, paksaan, teror, dan segala
bentuk kekerasan fisik ). Masyarakat barbar punya 2 mekanisme dalam
berinteraksi yaitu teror dan kekuatan
fisik. Masyarakat modern dan beradab juga punya 2 mekanisme dalam berinteraksi yaitu kecerdasan otak dan kemahiran berkomunikasi
untuk bernegosiasi, meyakinkan oranìg lain. Ada sebuah dalil dalam ilmu
negosiasi yang mengatakan bahwa setiap
hasil negosiasi masih dapat dinegosiasikan kembali dan begitu seterusnya.
Suatu bentuk / keadaan yang merupakan hasil negosiasi pasti bersifat sementara.
Filsuf Hannah Arendt, pernah berkata bahwa berbicara adalah kemampuan dasar manusia untuk menjadi mahluk beradab.
Penggunaan ungkapan ungkapan yang mematikan kemampuan berpikir adalah bentuk
ketakutan sebagian orang untuk menghadapi perubahan, dan hanya memperkuat sifat
reaksioner, yang pada akhirnya bakal merugikan diri sendiri.
Guru Patimpus mendirikan "Kampung" Medan yg menjadi cikal-bakal Kota Medan. Pastilah pertanyaan pokok yg diajukan panitia ketika berkait dgn pelacakan sejarah pada waktu mana dan oleh siapa pemukiman bermula.
ReplyDelete