KRANKZINNIGENGESTICHT SABANG SEBAGAI MITIGASI DAMPAK PERANG PULUHAN TAHUN



Prolog

Krankzinningengesticht adalah kata dalam bahasa Belanda yang artinya dalam bahasa Indonesia Rumah Sakit Jiwa. Rumah sakit jiwa yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah yang terdapat di Sabang. Pada masanya, rumah sakit jiwa di Sabang tergolong paling besar dan modern di kawasan Asia Tenggara. Sewaktu penulis masih kanak kanak sering mendengar seloroh dan olok olok tentang Sabang sebagai pusat berkumpulnya orang sakit jiwa (  gila ). Jika ada orang yang mau pergi ke Sabang, para kerabat dan temannya selalu berkata " sampaikan salam kami untuk orang gila di sana ". Penulis merasa heran, kenapa di Sabang banyak orang gila dan mengapa di kota kecil seperti Sabang ada ribuan orang gila menetap di sana. Pertanyaan itu baru terjawab ketika penulis berkesempatan bertugas di Sabang. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk melakukan riset tentang keberadaan rumah sakit jiwa dan para penghuninya. Penulis menggunakan seorang informan kunci dalam proses penelitian ini. Hasil  Penelitian ini ternyata membuka kesadaran  tentang sudut pandangan baru berbagai masalah kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kejiwaan. Pada akhirnya penulis  mempertanyakan kembali premis, aksioma, postulat, asumsi yang melandasi doktrin perang rakyat semesta yang terkenal dengan sebutan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, yang masih dianut sebagai kebenaran mutlak khususnya kalangan militer di Indonesia.

Latar Belakang Pendirian Rumah Sakit Jiwa Sabang

Memasuki dekade ke dua pada abad XX, keadaan Aceh dianggap mulai tenang dan  kekuasaan Belanda mulai mapan. Awal abad XX, Gubernur Sipil dan Militer yang terakhir dijabat oleh General Majoor H N A Swart, yang dianggap sebagai Pacificator Aceh ( Stabilisator Aceh ). Selanjutnya Aceh dipimpin oleh Gubernur Sipil pertama sejak 30 tahun terakhir sejak P F Laging Tobias, yang bernama A G H van Sluys. Di masa pemerintahan van Sluys, muncul suatu fenomena baru. Banyak terjadi kasus pembunuhan yang kemudian terkenal di dalam literatur dengan sebutan Atjeh Moorden ( pembunuhan Atjeh ) Berdasarkan catatan arsip Pemerintah Hindia Belanda, pada periode 1910 - 1920 terjadi 79 kasus penyerangan oleh orang Aceh dengan menggunakan senjata tajam terhadap orang Belanda, baik sipil maupun militer. Jumlah korban tewas mencapai 12 orang, 87 luka luka. Korban di pihak penyerang 49 orang tewas. Korban meliputi wanita dan anak anak. Pada periode 1920 - 1930 terjadi 53 kasus penyerangan dan pada periode 1930 -1940 terjadi 12 kasus. Kecenderungannya memang makin menurun, penyebabnya  akan dibahas di belakang. Di antara para korban terdapat para perwira legendaris dari kesatuan Marsose, pasukan khusus ( komando ) KNIL ( Koninklijke Nederlandsch Indie
Leger ). Mereka adalah: 

  1. Kapten Charles Emile Schmid, seorang perwira cerdas, mahir berbahasa Aceh, dan populer di kalangan masyarakat Aceh,  tewas di Lhok Sukon pada tanggal 10 Juli 1913. Pelakunya bernama Amat Lepon.
  2. Letnan Kolonel Wilhelm Bernhard Johann Antoon  Scheepens, perwira cemerlang, mahir bahasa dan budaya Aceh,  ditikam di Sigli dan tewas seminggu kemudian di Kuta Raja pada 17 Oktober 1913. 
  3. Kapten Antoine Joris Haga, tewas di Lhong pada 1923.
  4. Kapten Johannes Paris, tewas di Bakongan pada 9 April 1926.
  5. Letnan Satu W A Molenaar, tewas di Bakongan pada 11 Agustus 1926.

Dalam pemikiran Pemerintah, fenomena itu merupakan tindakan orang tidak waras, karena seorang diri berani menyerang pasukan bersenjata hanya dengan senjata tajam, tanpa memikirkan akibat tindakannya. Pelaku dianggap tidak waras. Untuk menjelaskan hal itu pada tahun 1920 - 1921 didatangkan Dr F H Loon, Direktur Rumah Sakit Jiwa Batavia untuk melakukan penelitian dan diagnosa kejiwaan para pelaku pembunuhan Aceh. Hasil diagnosa Dr. Loon menyebutkan pelaku mengalami gangguan jiwa. Oleh karena pelaku penyerangan dianggap gila dan kasusnya banyak, berkembang ungkapan Aceh Pungo ( Aceh Gila ) yang populer hingga sekarang.
Pada waktu yang bersamaan Dr. R A Kern, Penasehat Pemerintah Urusan Bumi Putera  dan Timur Asing, melakukan penelitian yang sama dengan sudut pandang sosiologis. R A Kern adalah ahli Indologi dan putera Orientalist terkenal H Kern. Hasil penelitian R A Kern sama dengan kesimpulan F H Loon. Ke dua peneliti tersebut merekomendasikan kepada Pemerintah membangun rumah sakit jiwa berkapasitas lebih dari 1000 pasien yang modern di Sabang. Atas rekomendasi tersebut Pemerintah membangun rumah sakit jiwa di Sabang berkapasitas 1400 pasien yang diresmikan pada tahun 1924.

Profil Responden

Responden Kunci yang digunakan adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, guru di SMU Negeri I Sabang bernama Poniman Sareh, guru dalam mata pelajaran sejarah. Poniman Sareh pernah menjadi pegawai di Kantor Sekretariat Negara Jakarta pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Pada tahun 1968 Poniman Sareh pindah ke Sabang dan menjadi guru hingga pensiun pada tahun 1997. Dalam perkenalan singkat dengan beliau pada tahun 1988, kami membina persahabatan. yang terus berlanjut hingga ketika penulis bertugas di Sabang tahun 2000 - 2004. Pada masa masa itu kami pernah 2 kali melakukan perjalanan keliling pulau Weh sambil melakukan wawancara mendalam tentang berbagai peristiwa menarik yang terjadi di masa lalu di Sabang. Banyak monumen di Sabang yang terkait dengan berbagai peristiwa penting di masa lalu.

Deskripsi Singkat Rumah Sakit Jiwa Sabang 

Rumah sakit jiwa Sabang terletak di Kelurahan Kota Atas, di atas tanah seluas 25 Ha. Rumah sakit jiwa Sabang merupakan yang terbesar dan termodern di Asia Tenggara pada jamannya. Arsitek yang merancang rumah sakit ini bernama Pieter M van der Veen. Kapasitas rumah sakit ini mencapai 1400 orang pasien dari berbagai daerah di Indonesia dan lebih separuh berasal dari Aceh. Bangunan rumah sakit ini terbuat dari bahan kelas satu. Batu bata dan gentengnya didatangkan dari pabrik Deli Klei di Medan. Rumah sakit ini ditutup ketika masa penjajahan Jepang, dijadikan markas militer Kompi B tentara Jepang. Direktur rumah sakit jiwa Sabang yang terakhir adalah Dr. Coelon, yang dihukum penggal oleh tentara Jepang di kelurahan Bateeshoek, Sabang. Di titik lokasi eksekusinya didirikan monumen yang sederhana. Dr. Coelon terkenal sebagai orang yang berkharisma, tegas dan berkepribadian kuat yang tidak mau tunduk kepada pasukan Jepang. Pada tanggal 19 April 1944, tentara Sekutu membombardir pelabuhan Sabang. Salah satu bangunan yang jadi sasaran pemboman adalah rumah sakit jiwa yang telah diubah fungsinya jafi markas tentara Jepang. Bangunan rumah sakit rusak berat, terutama pada bagian atap. Setelah merdeka, sebagian bangunan dijadikan rumah sakit Angkatan Laut dan sebagian lagi dijadikan markas Angkatan Laut Republik Indonesia. Sekarang rumah sakit ini dinamakan Rumah Sakit Johanes Lilipory, mantan Sersan Medical KNIL yang membelot ke pihak TNI. Johanes Lilipory sangat berjasa dalam membangun kembali rumah sakit yang kemudian jadi milik TNI Angkatan Laut. Saudara Poniman pernah bergaul dekat dengan tokoh tersebut.  Sersan  J Lilipory mendedikasikan hidupnya untuk pelayanan kesehatan masyarakat Sabang. Namanya kemudian diabadikan jadi nama rumah sakit tersebut.

Tampilan bekas Rumah Sakit Jiwa Sabang sekarang
(Sumber: Wikipedia)



Foto Kondisi bekas Rumah Sakit Jiwa Sabang setelah pengeboman oleh sekutu
(Sumber: Google)



Foto Kondisi bekas Rumah Sakit Jiwa Sabang setelah pengeboman oleh sekutu
(Sumber: Google)


Analisis Faktor Penyebab Timbulnya Pembunuhan Aceh

Kesimpulan hasil diagnosa dan hasil penelitian Dr. Loon dan Dr. R A Kern, penyebab fenomena timbulnya pembunuhan Aceh adalah tekanan mental luar biasa yang tidak dapat ditanggung oleh pelaku. Pelaku menderita pukulan mental akibat kalah dalam Perang yang berkepanjangan. Perang yang berlangsung selama 40 tahun lebih, artinya sepanjang hidup seseorang sejak lahir hingga dewasa tidak pernah mengalami kedamaian dan ketenangan hidup. Hilangnya masa ceria pada usia kanak-kanak, ditinggal mati oleh ayah, ibu, saudara dan kerabat, hilangnya aset, harta benda, sawah ladang terlantar, hidup dalam pelarian dan pengungsian terus menerus telah menguras habis energi fisik dan mental. Sepanjang hidupnya yang penuh penderitaan telah menimbulkan dendam kesumat kepada setiap orang Belanda.
Kondisi mental yang telah rapuh, frustrasi, ditambah dengan cerita / ajaran dari pemuka agama tentang janji sorga untuk orang yang mati karena membela agama atau membunuh orang kafir yang menjajah negerinya ( Belanda ), diduga kuat jadi faktor penyebab timbulnya pembunuhan Aceh. Ada perbedaan mendasar antara pembunuhan Aceh dengan Amok, di Jawa. Pada peristiwa Amok, pelaku menyerang korbannya secara acak dan umumnya tidak saling kenal. Pada pembunuhan Aceh, umumnya korban dipilih, saling kenal, bahkan seringkali antara korban dan pelaku sebelumnya ada hubungan interaksi yang intensif. Misalnya pelaku adalah pelayan yang sudah bekerja selama  bertahun tahun di rumah korban. Peristiwa pembunuhan Aceh telah menimbulkan rasa takut yang mencekam pada banyak orang Eropa, sehingga banyak yang mengungsikan keluarganya ke luar Aceh.
Peristiwa pembunuhan Aceh juga diikuti dengan angka bunuh diri yang tinggi. Hal ini semakin memperkuat dugaan kalau rasa putus asa dan frustrasi akibat kekalahan perang berperan besar terhadap peristiwa tersebut. Perang berkepanjangan telah menghancurkan aspek mental orang Aceh. Banyak ulama berkata bahwa bentuk sistem pemerintahan sendiri berdasarkan ajaran Islam sudah tinggal kenangan masa lalu. Kemerosotan mental juga diikuti dengan kemerosotan fisik. Berdasarkan catatan dari Pemerintah tentang  kondisi medis fisik orang Aceh, ada 4 jenis penyakit yang dominan diderita oleh orang Aceh, yaitu: 

  1. Malaria, disebabkan oleh plasmodium yang disebarkan melalui air liur nyamuk Anopheles betina. Penyakit ini menyerang hampir di segala usia , golongan dan tempat. Pada dekade 30 an, penyakit malaria mulai dapat dikendalikan. 
  2. Lepra, disebabkan oleh infeksi kronis oleh bakteri Mycobacterium Lepra dan Mycobacterium Lepromatosis. Lekra menyebabkan luka pada kulit, kerusakan syaraf, melemahnya otot dan mati rasa.
  3. Beri Beri, disebabkan karena kurangnya vitamin B1. Tubuh penderita bengkak bengkak. Beri Beri ada dua jenis, basah dan kering.
  4. Sifilis,disebabkan bakteri Treponema palladium, ditularkan melalui hubungan kelamin.

Keempat penyakit yang dominan menyerang orang Aceh mengindikasikan terjadinya kemerosotan asupan gizi, buruknya sanitasi, dan pola hidup yang tidak sehat,  terjadinya penurunan kualitas hidup dan peradaban. Jika analisis ini dilanjutkan, ternyata bukan saja aspek fisik dan psikis orang Aceh yang mengalami kemunduran, keseimbangan sistem sosial dan struktur sosial masyarakat Aceh juga berantakan dengan masuknya kekuatan Belanda. Sebelum peperangan, ada beberapa faksi kekuatan di dalam struktur yang sudah mencapai keseimbangan mapan. Adapun faksi faksi tersebut adalah:

  1. Lingkaran inti kerajaan, terdiri dari Sultan, kerabat istana dan pejabat kunci kerajaan seperti Syah Bandar sebagai pemegang kunci sektor pemasukan keuangan negara, Bendahara, orang yang mengelola keuangan negara dan Kadhi Malikul Adil, orang yang memegang kekuasaan yudikatif. 
  2. Hulubalang  ( Ullebalang ),para bangsawan yang mengepalai suatu daerah dengan kekuasaan nyaris mutlak di daerahnya. Kedudukan hulubalang sangat kuat dan berdiri secara otonom diwariskan secara turun temurun, meliputi kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan sultan hanya sekadar simbol pemersatu dan secara berkala, rutin para hulubalang menyerahkan upeti kepada sultan. Sultan sering sekali tidak berdaya menghadapi hulubalang yang kuat dan tidak patuh kepadanya. Para hulubalang memiliki hak suara yang harus diindahkan dalam pemilihan dan penunjukan sultan baru, jika sultan wafat.
  3. Para Ulama yang dikelilingi oleh massa pengikutnya. Para Ulama memiliki pengaruh besar di masyarakat, dan pikiran serta suaranya dipatuhi seperti hukum. Ketika Belanda sudah menanamkan kekuasaannya secara de facto dan de jure di Aceh, kekuatan sultan dan pejabat intinya dilumpuhkan secara total. Sementara itu kekuatan dan kekuasaan para hulubalang sangat diperkuat. Kekuatan ulama juga dipinggirkan, sehingga para hulubalang nyaris tanpa saingan dalam kiprahnya. Hal ini menimbulkan suasana yang tidak sehat. Sering sekali para hulubalang bertindak melampaui batas kepantasan terhadap rakyatnya. Para hulubalang berani bertindak demikian karena disokong penuh oleh Belanda. Kekuasan para hulubalang hanya dapat diredam oleh pejabat Belanda yang berjiwa humanis. Para ulama duduk diam tafakur di pinggir menyaksikan kenyataan itu sambil memberikan janji akan kehidupan yang lebih baik di alam lain kelak. Keadaan ini   sangat berperan menambah rasa putus asa dan frustrasi di kalangan masyarakat. Akibat selanjutnya adalah terbentuknya masyarakat yang apatis, nekat dan putus asa. Setelah kemerdekaan kondisi ini belum sempat dipulihkan, Aceh terus didera oleh persoalan separatis, gerakan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat pemberontakan Darul Islam ( DI TII ), GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ). Baru sepuluh tahun terakhir ini Aceh sepi dari hiruk pikuk gerakan separatis. Sampai sekarang tatanan sosial yang lama belum pulih sementara tatanan baru belum memperoleh bentuk yang mapan. Sepertinya keadaan ini yang membuat Aceh semakin tertinggal di banyak bidang dibanding daerah lain di Indonesia. Masyarakat Aceh seperti gagap dan gamang merespon serap perubahan cepat yang terjadi dalam konstelasi dunia saat ini. Indikasi dari pernyataan ini adalah memberlakukan hukum syariat Islam di bumi Aceh, tanpa memiliki konsep yang kuat. Ini adalah bentuk kegamangan pemuka   masyarakat dalam "membaca" tanda isyarat jaman yang tengah bergulir cepat. Pemberlakuan syariat Islam tanpa landasan filosofis dan konsep yang kuat, merupakan langkah mundur, kegagalan merespon dinamika perubahan dan kebingungan mencari identitas dan jati diri. Sampai sekarang, Aceh belum dapat memulihkan diri dari dampak perang berkepanjangan selama puluhan tahun. 
Evaluasi Doktrin dan Konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta
Kesultanan Aceh seperti kerajaan kerajaan tradisional lainnya di Indonesia, memiliki kelemahan  mendasar, antara lain:
  1. Tidak memiliki kekuasan terpusat yang kuat.  
  2. Struktur keuangan lemah, tidak memiliki sumber penghasilan yang terencana, berkesinambungan dan pasti. Tidak memiliki aset yang likuid dan sehat. Kondisi ini diperburuk oleh sistem pengelolaan keuangan  yang buruk. Indikasi peryataan ini adalah ketidak mampuan Kesultanan memobilisasi kekuatan ketika berhadapan dengan ekspansi kekuatan institusi modern seperti Kerajaan Belanda, negeri kecil yang terpisah oleh jarak ribuan mil laut. Cara Kesultanan memungut pajak, sedekah, infak dari rakyat untuk membiayai perang adalah bentuk kegagalan Aceh membangun struktur keuangan yang handal.
  3. Tidak memiliki angkatan bersenjata reguler yang profesional. Sebelum perang, sebagian besar pejuang Aceh adalah petani yang hidup tenteram dsn damai. Unyuk menghadapi serbuan Belanda, rakyat dimobilisasi secara mendadak menjadi pasukan untuk menghadapi tentara KNIL yang terlatih secara lfisik, mental, profesional,  bersenjata lengkap dan modern. KNIL unggul secara finansial, organisasi, personil, peralatan, taktik dan strategi dibanding pasukan Aceh. Hanya semangat saja yang membuat Aceh bertahan sekian lama menghadapi Belanda. Hal ini selalu didengung dengungkan dengan penuh kebanggaan oleh orang Aceh sampai sekarang. Menurut pendapat penulis, ini adalah kebanggaan semu, karena harus dibayar sangat mahal, berupa hancurnya aspek fisik, mental, tatanan struktur sosial, sistem sosial dan suprastruktur masyarakat Aceh. Sampai hari ini kondisi masyarakat Aceh masih belum pulih dari luka luka yang ditimbulkan oleh peperangan panjang tersebut. Upaya Pemerintah Hindia Belanda  membangun rumah sakit jiwa hanya sekadar tindakan mitigasi dampak sosial dari perang puluhan tahun, bukan merupakan tindakan yang bersifat strategis, melainkan hanya langkah yang bersifat taktis, karena belum menyentuh akar masalah. Akar masalahnya berada pada masih berantakannya supra struktur sistem sosial, memulihkan rasa percaya diri masyarakat dalam menghadapi arus perubahan jaman. Di sinilah peran para ahli ilmu sosial dibutuhkan dalam melakukan berbagai upaya  social engineering.

Uraian di atas memberi pelajaran berharga bahwa melibatkan massa rakyat yang tidak terlatih secara fisik, mental dalam suatu perang semesta menimbulkan dampak yang tidak terbayangkan. Sepertinya doktrin dan konsep Sishankamrata, perlu dikaji ulang lagi. Dari pada melibatkan rakyat yang tidak terlatih dalam peperangan, sekecil apapun perannya lebih baik mempersiapkan rakyat secara fisik dan mental  menghadapi keadaan sulit. Langkah negara negara maju menerapkan sistem wajib militer, agaknya sudah waktunya diterapkan di Indonesia. Waktu dua tahun menjalani wajib militer  untuk menggembleng rakyat agar terlatih dan siap maju ke medan perang, dinilai lebih baik dari Sishankamrata.

Epilog
Suatu monumen bukan sekadar benda mati yang tidak dapat  " berbicara " kepada audiensnya. Jika kita dapat " berdialog " dengannya, banyak informasi penting dari masa lalu yang dapat disadap darinya. Pada dasarnya sebuah monumen adalah wujud dari gagasan dan perilaku pembuatnya yang sudah memfosil. Jika kita dapat mengembangkan teknik wawancara dengan monumen dari masa lalu, maka kita dapat menelusuri bentuk perilaku dan gagasan pembuatnya. Ilmu arkeologi menyediakan sarana yang berfungsi seperti persneling mundur. Pada kasus mempelajari rumah sakit jiwa di Sabang, kita dapat mengungkapkan banyak pelajaran penting yang berguna bagi kita dalam menatap masa depan dan melangkah dengan rasa percaya diri yang mantap. Benarlah nasehat para bijak bestari, mempelajari peninggalan masa lalu adalah upaya mendidik diri sendiri dan orang lain.

Comments

Popular Posts