JASA BUNKER MINYAK DI SABANG : PELUANG SEMPIT DI TENGAH KENDALA BESAR



Pengantar

Analisis kondisi fisiograsfis pulau Weh dengan teluk  Sabangnya, ditambah dengan teknologi perkapalan, telah " membunuh " kesempatan Sabang untuk berjaya kembali. Kondisi teluk Sabang tidak berubah, tetapi ilmu dan teknologi perkapalan telah berubah jauh. Akibatnya sungguh fatal, Sabang bukannya makin maju berkembang, malah stagnan, bahkan menurun. Teluk Sabang sudah tidak layak dinominasikan untuk menjadi primadona penarik investor. Ukuran kapal kapal masa kini sudah tidak sesuai untuk masuk ke teluk Sabang.
Situasi ini tidak dipahami para petinggi di Aceh, hal ini disebabkan karena pemimpin Aceh tidak punya visi, wawasan untuk mengembangkan Sabang. Tulisan ini mencoba memaparkan perkembangan teknologi perkapalan dan Selat Malaka serta hubungannya dengan eksistensi pelabuhan bebas Sabang. Kemudian melihat peluang apa yang dapat dimanfaatkan Sabang untuk mengembangkan dirinya. Hasil kajian menunjukkan, kalau Sabang masih punya kesempatan, jika para pemimpin Aceh kompeten dan kapabel untuk meresponnya.

Teknologi Perkapalan Dewasa Ini.

Jika dicermati, ada beberapa arah perkembangan teknologi perkapalan saat ini, yaitu : 

  1. Ukuran kapal berkembang jadi sangat besar. Implikasi dari perkembangan ini kapasitas daya angkut juga meningkat pesat. Kapasitas daya angkut kapal tanker, sangat besar, mencapai 2 atau 3 ratus ribu barel. 
  2. Semua kapal tanker modern, dan jenis jenis kapal lainnya seperti kapal kontainer dan kapal penumpang  dilengkapi dengan fasilitas desalinization, untuk memurnikan air laut. Dengan alat itu, kapal tidak perlu singgah di pelabuhan lain untuk mengisi perbekalan air tawar. 
  3. Kecepatan kapal makin tinggi, sehingga waktu tempuh makin singkat. Begitu pula dengan peralatan navigasi makin akurat.Dengan arah dan kecenderungan perkembangan teknologi perkapalan, peran Sabang jadi tidak berarti.



Kondisi Selat Malaka Saat Ini

Selat Malaka sejak dulu sudah jadi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Selat itu jadi penghubung dua Samudera besar, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta Laut Tiongkok Selatan. Setiap hari ratusan kapal dari berbagai jenis dan ukuran melewati selat Malaka. Alur pelayaran di selat itu terasa semakin sempit, dan kapal kapal tanker dan kontainer besar harus ekstra hati hati dan memperlambat laju kapalnya, agar tidak mengalami kecelakaan ( tabrakan atau kandas ).

Melihat kondisi terkini selat Malaka, ada wacana untuk melarang kapal tanker super besar yang kapasitas daya angkutnya di atas 200.000 barel melewati selat Malaka. Kapal tanker dari arah  Samudera Hindia atau dari arah Samudera Pasifik dan Laut Tiongkok Selatan, harus melalui  jalur alternatif. Kapal tanker dari kawasan Timur Tengah yang  membawa minyak mentah atau minyak olahan menuju kawasan Asia Timur ( Tiongkok, Taiwan, Jepang, Korea ) melaui jalur Samudera Hindia di bagian barat pulau Sumatera --- bagian selatan pulau Jawa dan Bali  ----   kemudian belok ke utara memasuki selat Lombok -----  kepulauan Bangai-----laut Sulu------ kemudian memasuki laut Tiongkok Selatan dan samudera Pasifik. Begitu pula sebaliknya dari arah Samudera Pasifik dan laut Tiongkok Selatan menuju kawasan Timur Tengah ( lihat peta di bawah ini ).
Dengan menempuh jalur ini, maka waktu tempuh jadi lebih lama. Konsekuensi berikutnya biaya pemakaian bahan bakar minyak dan biaya operasional kapal meningkat. Implikasi berikutnya harga minyak akan terdongkrak naik. Hal ini berpotensi menimbulkan krisis ekonomi di kawasan Asia - Pasifik, yang dikenal sebagai kawasan ekonomi paling dinamis.

Sabang Sebagai Pusat Bunker Distribusi  Minyak

Dengan berpindahnya jalur pelayaran  tanker raksasa dari selat Malaka ke Samudera Hindia----- Selat Lombok ----kepulauan Banggai dan Laut Sulu----Laut Tiongkok Selatan yang diikuti dengan kenaikan ongkos angkut, muncul celah sempit peluang bagi Sabang untuk bangkit. Sabang dapat mengajukan proposal, yang dapat memangkas kenaikan biaya angkutan minyak. Kapal - kapal tanker raksasa yang berisi penuh minyak dari kawasan Teluk  Persia menuju samudera Pasifik atau laut Tiongkok Selatan tidak perlu melalui selat Lombok.
Di bagian selatan pulau Weh terdapat teluk Balohan yang luas peraiannya jauh lebih besar dari teluk Sabang di bagian utara pulau Weh. Harusnya di teluk Balohan  dibangun terminal pelabuhan bunker minyak raksasa sepanjang 6 Km memanjang dari utara ke selatan mulai dari kelurahan Balohan sampai kelurahan Keunekai. ( lihat peta di bawah ini: )




Kapal kapal  tanker mengeluarkan seluruh muatannya di terminal pelabuhan bunker minyak teluk Balohan.
Kemudian kapal kapal tanker tersebut kembali ke teluk Persia untuk mengisi muatan berikutnya. Minyak yang sudah masuk bunker di Balohan kemudian didistribusikan ke kawasan Asia Timur dan Pasifik melalui jalur selat Malaka dengan menggunakan kapal kapal tanker ukuran menengah berkapasitas di bawah 100.000 barel.
Dengan panjang dermaga 6 Km, sebanyak 12 unit  kapal tanker raksasa dapat dilayani sekaligus secara simultan. Penulis pernah menghitung selisih biaya antara pengangkutan minyak melaui selat Lombok dengan cara bunker transit di Sabang. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan cara bunker transit, biaya yang dapat dihemat mencapai 3,9 U$ dollar per barel ( perhitungan saat ini ). Perhitungan dilakukan dengan banyak menggunakan asumsi dan model simulasi dengan komputer. Nilai variabel - variabel yang dihitung adalah waktu tempuh, biaya bahan bakar per mil laut, biaya pemeliharaan kapal per jam operasional, biaya upah nakhoda, perwira dan kelasi kapal, biaya tambat kapal, biaya bongkar / muat minyak, biaya sewa bunker, biaya asuransi. 
Jika sebuah tanker raksasa berkapasitas 200.000 barel, melakukan cara ini, biaya yang dapat dihemat untuk satu trip, mencapai 800.000 U$. Dengan hasil perhitungan ini, akan banyak perusahaan industri di kawasan Asia Timur dan Pasifik tertarik menggunakan jasa bunker minyak di Sabang.
Penulis banyak berdiskusi tentang issue ini dengan Mr. Eric G Lovette , seorang konsultan senior asal Amerika Serikat yang berstatus sebagai Partner Senior  Glendale Partners, berkedudukan di Jakarta. Begitu intensifnya diskusi itu, sampai membentuk perusahaan bernama PT Balohan Bay Resources yang akan melaksanakan gagasan tersebut. Perusahan itu bermitra dengan perusahaan konsorsium beberapa perusahaan, bernama IDC ( International Development Corporation), berkedudukan di San Francisco, Amerika Serikat. IDC adalah sebuah perusahaan sejenis BUMN yang berada di bawah kendali US - TDA ( United States of America  - Trading Development Agency ), Departemen Perdagangan Amerika Serikat. Direktur IDC dijabat secara Ex Officio oleh Wakil Menteri Peradangan Amerika Serikat. Direktur IDC dan Glendale Partners diwakili oleh Eric G Lovette  serta penulis pernah datang berkunjung ke Aceh dengan didampingi kepala perwakilan Glendale Partners di Banda Aceh bernama Habib ( sekarang sudah almarhum ) dalam rangka untuk meyakinkan Pemerintah Aceh.
Berhubung tidak mendapat respon positif, dana yang sudah dipersiapkan untuk Sabang, dialihkan ke Nigeria untuk membangun kompleks industri petro kimia berskala besar yang sekarang sudah beroperasi. Semua pihak yang terlibat merasa kecewa dengan Pemerintah Aceh. Penulis dan Eric sudah menginvestasikan energi, pikiran dan dana cukup banyak,  dengan mengesampingkan semua peluang lain, fokus pada proyek pengembangan teluk Balohan, demi untuk meninggalkan rekam jejak monumental di Sabang. Seandainya Proyek itu terlaksana, mungkin kondisi Sabang tidak terpuruk seperti sekarang, karena bagaimanapun dengan total dana investasi sebesar Rp 70 triliun sangat berarti buat wilayah sekecil Sabang dengan penduduk tidak sampai 40.000 jiwa. Kami benar benar tidak mengerti dengan jalan pikiran dan sikap Pemerintah Aceh. Dalam suatu forum diskusi di Sabang, penulis pernah berkata " jika peluang dan investasi sebesar itu dibawa ke Medan, mungkin kami akan disambut dengan karpet merah mulai dari tangga pesawat hingga ke ruang VIP di terminal bandara ".

Teluk Balohan dan Masa Depan Sabang

Melalui upaya diskusi, tulisan dan dialog dengan pemuka masyarakat dan pejabat pemerintah, penulis sudah sering meyakinkan mereka bahwa masa depan Sabang terletak di teluk Balohan, bukan di teluk Sabang. Cerita tentang kejayaan teluk Sabang sudah menjadi kisah masa lalu.  Pemerintah dan masyarakat harus dapat " move on ", dari teluk Sabang.

Kesimpulan

Teknologi perkapalan telah memberikan pukulan telak dan mematikan kepada teluk Sabang, tetapi teknologi yang sama, juga telah memberi peluang hidup dan berkembang untuk teluk Balohan. Sangat disayangkan, peluang itu telah dibuang percuma oleh Pemerintah Aceh yang masih berkutat dan terobsesi dengan kisah kejayaan Sabang masa lalu. Benarlah apa yang disampaikan oleh para bijak bestari bahwa peluang hanya mau menghampiri orang yang mau memperhatikannya  

Comments

  1. Sangat disayangkan. Seharusnya Pemerintah setempat (Aceh) dan para pemuka masyarakat bisa lebih terbuka dengan semua perubahan yang ada, bukannya dihimpit oleh sikap apatis dan pesimis

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts