MENELUSURI JEJAK JALUR PERDAGANGAN KUNO ANTARA BLANG PIDIE DENGAN BLANG KEJEREN
Kota Blang Pidie sekarang terletak di
pojok Barat daya provinsi Aceh dan sekarang menjadi ibu kota kabupaten
Aceh Barat Daya (Abdya), dan kota
Blang Kejeren terletak di dataran tinggi Gayo yang menjadi
bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kota Blang Kejeren sekarang
menjadi ibu kota kabupaten Gayo Lues. Pada masa lampau di antara ke dua kota ini
terdapat jalur perdagangan kuno berupa jalan setapak melintasi 7 buah gunung, yang lintasannya cukup berat. Pada masa lampau jalur ini merupakan salah
satu jalur tersingkat yang dapat ditempuh via darat dari pesisir Barat Acah ke
pedalaman dataran tinggi Gayo. Tulisan ini sebagian besar didasarkan pada hasil
wawancara mendalam dengan salah satu pelaku dari generasi terakhir yang
malang melintang di jalur itu selama 10 tahun tanpa terputus.
Profil Singkat Nara Sumber
Nara sumber yang dimaksud bernama
Baharuddin bin Abdullah, saat ini
berusia 89 tahun,
berdomisili di kota Langsa, Aceh Timur. Walaupun sudah berusia lanjut, berkat aktivitas fisik di usia muda, Baharuddin masih kuat berjalan dan ingatannya
masih prima. Dari penuturan beliau, yang disampaikan pada bulan Desember 2017, tulisan ini dibuat. Mengingat jalur perdagangan itu ditinggalkan
orang sejak tahun 1953, bersamaan dengan
meletus nya peristiwa DI TII Aceh, dan
tidak ada sumber tertulis yang merekam soal keberadaan jalur itu, maka informasi yang disampaikan Baharuddin
menjadi penting. Beliau adalah barisan
terakhir yang masih dapat dilacak keberadaannya.
Keadaan medan lintasan jalur perdagangan
Lintasan jalur itu bergunung gunung, melewati 7 tanjakan naik - turun, satu tanjakan dan turunan ditempuh dalam waktu
satu hari penuh. Jadi dibutuhkan waktu
paling cepat 7 hari untuk menempuh perjalanan tersingkat dari Blang
Pidie ke Blang Kejeren dan begitu juga sebaliknya. Perjalanan itu menembus hutan hujan tropis
yang lebat dan medan terjal, dengan
kemiringan rata rata berkisar antara 50° (derajat) hingga 75°. Perjalanan itu juga diselingi dengan lembah
landai, menyeberangi sungai sungai
beraliran deras, dan berbatu batu. Jika
dilihat pada citra satelit IKONOS, skala
1 : 30. 000 pengambilan tahun 2015, tampak posisi di ke dua kota nyaris sejajar
dalam garis lintang. Dugaan sementara, jalur itu agaknya merupakan jarak potong
kompas di antara ke dua kota itu.
Profil para pedagang
Para pedagang yang melintasi jalur itu
semuanya lelaki dengan rentang usia antara 16 dan 17 tahun hingga 58 dan 60
tahun. Usia itu terpaut 1 sampai 1, 5
generasi. Para pedagang membentuk
kelompok yang beranggotakan rata rata 8 sampai 10 orang. Ada beberapa Sub etnik dan
penutur bahasa di dalam tiap rombongan. Ada yang berasal dari dari sub etnik Aceh dan
berbahasa Aceh, sub etnik Gayo dan
berbahasa Gayo dan sub etnik Jamee. Leluhur orang Jamee berasal dari Minangkabau, bahasanya juga mirip bahasa Minang. Di antara anggota rombongan ada yang sudah
berkeluarga dan ada yang masih lajang. Seluruh anggota beragama Islam. Di antara satu kelompok, banyak yang memiliki hubungan kekerabatan baik
karena hubungan perkawinan maupun hubungan genealogis. Biasanya kelompok yang melakukan satu kali
perjalanan melakukan saling evaluasi terhadap karakter masing masing. Perjalanan panjang dan sulit dijadikan
instrumen untuk menseleksi anggota di perjalanan berikutnya. Kelompok yang sudah mapan anggotanya, memiliki rasa persaudaraan yang kuat bahkan
melebihi ikatan hubungan darah.
Profil Barang Dagangan
Barang barang yang dibawa dari Blang
Pidie biasanya ikan asin, gula, teh, garam, rokok, kain dan pakaian. Barang yang dibawa dari Blang Kejeren
biasanya tembakau dan kopi. Barang barang itu dikemas rapi lalu di
panggul di punggung. Setiap pedagang
rata rata mampu membawa barang seberat antara 50 sampai 60 Kg. Selain barang dagangan, mereka juga membawa pakaian ganti, alat masak (periuk) , kelambu dan beras
secukupnya.
Persiapan Menjelang Berangkat
Persiapan menjelang berangkat tidak
terlalu rumit, karena mereka
melakukannya rata rata 10 kali dalam setahun. Yang lebih sulit adalah mengumpulkan anggota
yang merasa siap untuk berangkat secara bersamaan. Adakalanya, demi persahabatan dan ikatan
kelompok, beberapa orang anggota
memaksakan diri berangkat walaupun secara fisik dan mental tidak dalam kondisi
prima. Rasa solidaritas kelompok yang
begitu kuat, membuat halangan dan
kendala jadi terasa ringan.
Memulai perjalanan
Selepas sholat subuh, sekitar pukul 05. 00,
mereka berangkat beriringan menuju
arah timur. Mereka berjalan mantap
menembus hutan. Perjalanan pada hari
pertama, tanjakan belum terasa berat. Sebagian besar medannya berupa hutan lebat, tapi ada jalan setapak beberapa jalur.
Di sepanjang jalan mereka ngobrol apa saja untuk mengatasi rasa bosan, diselingi canda tawa. Walaupun mereka bebas bercanda, ada beberapa pantangan / tabu yang tidak boleh
dilakukan. Jika ada yang terlanjur
melakukan pelanggaran tabu, mereka cepat
menyampaikan rasa penyesalan dan permintaan maaf kepada penunggu wilayah itu. Sepanjang hari mereka berjalan tanpa istirahat
makan siang. Mereka hanya minum saja
sambil terus berjalan. Mereka hanya
berhenti sejenak di bawah rimbunan pohon, sekadar melepas lelah. Jika perjalanan lancar sekitar pukul 17. 00
mereka sampai di perhentian pertama yang disebut Sempuyuh. Sempuyuh merupakan
wilayah tidak berpenghun, letaknya di
tepi sungai. Di sana neraka mendirikan
pondok darurat.
Mereka membersihkan
diri sambil berendam di sungai berair jernih. Di sungai mereka bercanda penuh tawa. Sambil mandi mereka menangkap ikan jurung, sejenis ikan sungai yang
sekarang sudah langka dijumpai. Cara
menangkap ikan jurung cukup unik. Mereka
membuat kolam kecil di tepi sungai, mencuci beras di kolam buatan itu. Air cucian beras jadi magnet kuat menarik
rombongan ikan jurung masuk ke kolam itu dan mereka dengan mudah
menangkapnya dalam jumlah berlebih. Setelah nasi dan ikan selesai dimasak mereka
makan bersama. Semua rasa tersinggung
atau marah kepada anggota lain selama berjalan seharian segera mencair begitu
tiba di base camp. Setelah selesai makan
mereka ngobrol mengelilingi api unggun sambil bercerita, atau bernyanyi mengekspresikan emosinya untuk
mengurangi perasaan rindu kepada keluarga. Setelah mengantuk, mereka tidur bergantian. Setelah mandi dan sholat subuh mereka sarapan
ala kadarnya, kemudian melanjutkan
perjalanan.
Selama di perjalanan
mereka sering bertemu rombongan lain dengan arah yang sama dan juga dari
arah berlawanan. Dalam sehari mereka
bertemu dengan lebih dari 20 rombongan searah dan begitu juga sebaliknya. Hal ini sangat mengejutkan, berarti setiap hari jalur itu dilewati oleh
ratusan orang. Banyak diantara anggota
rombongan saling kenal satu sama lain. Selama perjalanan, mereka jarang berpapasan dengan satwa
mamalia besar, seperti harimau, badak atau Banteng, tetapi sering bertemu dengan rombongan gajah
dan mawas serta monyet . Ke dua jenis mahluk ini tidak saling ganggu, mereka punya jalur lintasan masing masing dan
tidak seorangpun dari mereka tergiur dengan nilai ekonomis gading gajah.
Setelah menempuh
perjalanan sehari penuh, tanjakan
dan turunan, mereka tiba di base camp ke
dua yang dikenal dengan nama Air Merah.
Air merah juga tidak berpenghuni dan letaknya di tepi sungai berair jernih dan
berarus deras dengan kedalaman satu meter. Kendala yang dirasakan selama perjalanan
adalah ketika turun hujan lebat, Medan
pendakian dan penurunan sangat licin. Mereka juga harus waspada dan menyebar, untuk mengantisipasi tanah longsor, karena kondisi tanah dan batuan jenuh air. Jika ada anggota terpeleset sampai
mengakibatkan cedera luka, terkilir atau
bahkan patah tulang, mereka memberi
pertolongan darurat dengan ramuan obat tradisional. Rata rata anggota memiliki pengetahuan itu. Anggota yang terluka mereka gendong
bergantian. Untuk dapat
menggendong rekannya, beban barang
dagangannya di sebar merata di antara anggota kelompok dan juga di antara
anggota kelompok lain. Mereka benar
benar memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Jika ada anggota yang sakit berat dan
menyebabkan kematian, mereka
menguburkannya di tempat.
Pada hari ke tiga
mereka tiba di tempat yang dinamakan Alur
Gani. Tempat ini juga tidak berpenghuni dan letaknya di pinggir sungai. Mereka menyeberangi sungai dengan cara
saling bergandengan tangan, jika sungai
sedang banjir dan berarus kencang, mereka menggunakan tali sambil tetap
berpegangan tangan. Adakalanya selama di
perjalanan ada anggota yang terlibat perkelahian dengan anggota satu kelompok
atau dengan anggota dari kelompok lain. Perkelahian itu tidak pernah menyebabkan
kematian, walaupun mereka menggunakan
senjata tajam, karena mereka rata rata
memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi, kebal terhadap senjata tajam. Menurut penuturan pak Baharuddin, walaupun mereka kebal terhadap senjata
tajam, tetapi tubuh mereka tidak kuat
menahan tembakan senjata api.
Hal ini dapat dipahami,
karena kekuatan dan kecepatan lontaran
peluru tidak mungkin dapat di tahan oleh tubuh manusia yang terlatih
sekalipun. Perkelahian yang terjadi
diselesaikan secara kekeluargaan. Hari
ke empat mereka tiba di tempat yang bernama Rama Rayeuk, juga tidak berpenghuni. Adakalanya mereka meneruskan perjalanan hingga
mencapai tempat yang bernama Rumbur Paya,
dan bermalam di sini. Hari ke lima mereka tiba di tempat yang
bernama Teris Raya, yang dihuni oleh beberapa keluarga saja. Hari ke enam mereka mencapai tempat yang
diberi nama Jabo Rangon, tempat ini
juga sudah dihuni oleh beberapa keluarga. Hari ke tujuh pada tengah hari mereka
tiba di desa Kuta Panjang dan sore
hari menjelang magrib mereka tiba di kota Blang Kejeren. Di kota ini biasanya semua anggota dalam satu
kelompok tinggal bersama. Tempatnya
dipilih berdasarkan kesepakatan. Pada
satu kunjungan , mereka menginap di rumah salah satu kerabat dari salah satu
anggota kelompok, pada kesempatan
berikutnya di rumah kerabat anggota yang lain. Ada kalanya di mushola atau mesjid dan pernah
pula di salah satu ruangan di kedai kopi langganan mereka.
Untuk tempat menginap,
mereka tidak pernah mendapat kesulitan
berarti. Selama di Blang Kejeren , mereka berdagang di pasar, menjual barang bawaannya dan membeli barang
untuk dibawa ke Blang Pidie. Di sela
sela waktu berdagang, mereka pergi
mengunjungi kerabatnya bersilaturahmi , berbagi cerita. Hampir semua pedagang dari Blang Pidie
memiliki kerabat di Blang Kejeren karena hubungan perkawinan dan
begitu juga sebaliknya bagi pedagang dari Blang Kejeren di Blang Pidie. Mereka masing masing membawa khabar dari
kampung masing masing. Sering juga pada
kesempatan itu mereka saling bertukar hadiah, terutama pada momen menjelang hari raya Idul
Fitri. Biasanya setelah menetap selama
antara 1 minggu hingga 10 hari, mereka
kembali ke kampung halaman. Jadwal
kepulangan dapat ditunda jika ada salah satu kerabat dari anggota
kelompok yang menyelenggarakan acara hajatan tertentu, misalnya acara pesta perkawinan, kemalangan, sunat rasul.
Setelah dirasa tidak
ada yang harus dikerjakan di Blang Kejeren , para pedagang asal Blang Pidie, bersiap siap kembali ke kampungnya. Biasanya pengalaman perjalanan pulang dan rute
persinggahan tidak berubah, kecuali ada hal
hal yang luar biasa yang menyebabkan mereka tertahan beberapa hari di
perjalanan. Misalnya terjadi banjir
besar, sehingga sungai tidak bisa di
seberangi. Frekuensi banjir sangat jarang, tidak seperti sekarang. Kalaupun terjadi banjir besar, air sungai masih tetap bersih, hanya lebih keruh sedikit, tidak seperti sekarang yang kalau banjir, air sungai berubah warna jadi coklat, dan berlumpur. Sesampainya di kampung, mereka juga membawa cerita tentang kerabat di
Blang Kejeren . Biasanya dalam waktu
sebulan berikutnya mereka melakukan perjalanan kembali. Begitulah siklus denyut kehidupan di jalur
perdagangan antara Blang Pidie dengan Blang Kejeren .
Gambar 1 : Peta Provinsi Aceh.
Sumber : Google
Keterangan gambar : garis biru, jalur perdagangan kuno antara Blang Pidie dengan Blang Kejeren ( Wirtjes , 2018 )
Analisis
Dari hasil wawancara
mendalam dengan bapak Baharuddin bin Abdullah, dicoba membangun analisis tentang peran jalur
perdagangan kuno itu dalam pembentukan peradaban di ke dua wilayah itu seperti
yang masih dapat dilihat jejaknya sampai sekarang. Di Blang Pidie banyak warga keturunan
Gayo, begitu pula sebaliknya.
Jalur perdagangan itu
secara fisik, mungkin hari ini sudah
tidak kelihatan lagi, karena sudah di
tinggalkan selama 60 tahun lebih. Jika
dilakukan ekskavasi arkeologi di tempat tempat persinggahan mungkin masih dapat
diperoleh data yang mendukung kebenaran cerita tentang adanya jalur perdagangan
itu. Jalur perdagangan itu tidak semata
mata berfungsi sebagai penghubung antara wilayah pesisir dengan pedalaman, tetapi juga banyak menyimpan kisah drama
kemanusiaan. Banyak adegan kisah sedih, mengharukan dan banyak pula kisah
gembira terjadi di sana. Air mata, canda dan tawa berbaur di sana. Jalur itu juga memberi inspirasi kepada warga
di dua wilayah meneladani nilai nilai luhur seperti keteguhan hati,
keuletan usaha, persaudaraan dan solidaritas kemanusiaan. Beberapa fungsi keberadaan jalur perdagangan
itu dapat diidentifikasi, antara lain :
1. Fungsi
ekonomi. Sangat jelas jalur perdagangan itu menjadi salah satu koridor
sempit dan penting, yang mengalirkan
materi, energi dan informasi dari
pesisir ke pedalaman dan sebaliknya. Begitu intensifnya jalur itu digunakan
sehingga ke dua wilayah mendapat manfaat yang besar akibat adanya proses
pertukaran itu.
2. Fungsi
saluran pertukaran arus aliran genetik, budaya dan bahasa. Mengingat tingginya
frekuensi kunjungan dari warga di ke dua wilayah itu,
terjadi hubungan perkawinan di antara ke
dua wilayah. Kedua kelompok
komunitas yang awalnya berbeda secara genetik, budaya dan bahasa, saling mendapat suntikan gen baru yang jelas
bermanfaat dari tinjauan ilmu biologi. Terjadi peningkatan variasi genetik di dalam
ke dua populasi itu. Unsur budaya dan
bahasa juga jadi lebih tersebar dalam radius lebih luas. Semua itu dapat terjadi karena dipicu oleh
adanya koridor penghubung itu.
3. Fungsi
Psikologis. Kehidupan remaja dan dewasa orang yang masih lajang pada masa
lampau di ke dua wilayah itu ada kemiripan. Anak laki laki yang beranjak dewasa tidak
pernah lagi tidur di rumahnya masing masing. Mereka tidur berkelompok di mushola atau
di meunasah, semacam tempat
pengajian dan tempat menyelenggarakan acara hari besar keagamaan, seperti peringatan hari Maulid Nabi Besar
Muhammad SAW. Di tempat itu mereka
belajar ilmu agama dan menjelang tidur mereka mendengar kisah petualangan orang
dewasa melakukan perjalanan ulang alik ke tanah Gayo, dan begitu juga sebaliknya. Dengan demikian para pemuda itu ingin menjajal
kemampuannya menempuh perjalanan yang mengasyikkan itu. Jiwa muda mereka serasa ditantang untuk
mengikuti jejak seniornya. Pengalaman
menempuh jalur perjalanan sulit itu menjadi barometer untuk mengukur nyali dan
kejantanan mereka. Perjalanan itu
menjadi ajang pembuktian kemampuan dan aktualisasi diri. Begitulah cara para senior menginternalisasi
nilai nilai kepada juniornya. Jalur
seperti itulah yang ditempuh oleh pemuda Baharuddin pada tahun 1943 ketika
berusia 15 tahun hingga tahun 1953.
Ketika terjadi
gangguan keamanan serius pada tahun itu, aktivitas perdagangan melalui jalur itu
terhenti sementara. Pukulan terakhir
yang mematikan jalur itu datang pada tahun 1960 an. Ketika jalur jalan raya di pantai timur dari
Medan ke Banda Aceh semakin baik kondisinya. Terrmasuk jalur jalan dari kota
Bireuen di pesisir ke Takengon di pedalaman di dataran tinggi Gayo dapat
ditempuh dalam waktu 2 sampai 3 jam. Dari Takengon ke Blang Kejereren
dapat ditempuh hanya beberapa jam saja. Jalur jalan raya dengan sarana angkutan yang
makin baik telah membuka isolasi pedalaman dengan wilayah pesisir melalui
pantai timur. Jalur jalan dari pesisir
Barat ke dataran tinggi Gayo mulai dibuka pada tahun 2000 an. Jalur perdagangan kuno dengan cara lama
semakin dilupakan dan akhirnya mati total. Pembukaan jalur jalan dari sisi pantai barat
ke pedalaman telah menimbulkan masalah yang mengkhawatirkan. Akses ke hutan perawan di Kawasan
Ekosistem Leuser jadi terbuka dan hal ini telah memicu aktivitas ilegal logging yang dapat mengancam
kelestarian KEL sebagai paru paru dunia. Setiap hari keluar iring iringan truk tronton
membawa kayu gelondongan ke arah provinsi Sumatera Utara. Itulah harga yang harus dibayar dengan
pembukaan jalur jalan baru.
Epilog
Mungkin suatu hari
dapat dirancang kegiatan ekspedisi napak tilas menelusuri kembali jejak jalur
perdagangan itu. Atau di rancang
penelitian arkeologi dan antropologi di sana untuk mendapat gambaran lebih
detail dan akurat tentang peranan jalur perdagangan yang menghubungkan wilayah
pesisir dengan pedalaman. Jalur itu
telah ikut berperan dalam pembentukan peradaban hari ini.
Dalam perjalanan
ekspedisi itu kelak, mungkin kita tidak
mendapatkan lagi suasana seperti di alam firdaus yang digambarkan oleh bapak
Baharuddin. Gambaran yang disampaikan
beliau ada kemiripan dengan yang dialami oleh para sarjana besar di awal abad
lalu seperti B Malinowski atau Margareth Mead di Samudera Pasifik, suatu paradise
terakhir di muka bumi. Kehenigan
alam pedalaman Aceh mungkin sudah lenyap digantikan dengan kebisingan
deru suara mesin chainshaw
yang tiada henti berpacu dengan waktu menebas habis tanpa ampun hutan
hujan tropis yang masih tersisa. Di
penghujung tulisan, disampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Ayahanda Baharuddin bin
Abdullah atas kesediaan nya membagikan sepenggal pengalaman hidupnya
kepada kami generasi penerus.
Comments
Post a Comment