GAYA HIDUP MANUSIA MODERN SEMAKIN JAUH DARI EKO - EFISIENSI
Eko - efisiensi adalah suatu cabang disiplin ilmu yang
masih relatif baru, pada dekade terakhir
abad XX dan langsung berkembang sangat pesat di Amerika Serikat dan Eropa.
Peletak dasar eko - efisiensi adalah H T Gradel. Eko - efisiensi merupakan gabungan ilmu ilmu
ekologi, teknik dan ekonomi. Di Indonesia, ilmu belum dikembangkan di Universitas, tetapi Badan pengkajian Penerapan Teknologi (
BPPT ) sudah memulai pengembangannya
Di Indonesia, eko - efisiensi sudah diterapkan dalam bidang
agro industri, khususnya kebun kelapa
sawit dan industri pengolahannya. Hasilnya adalah tercapainya kondisi zero emmission dan peningkatan laba
secara signifikan. Eko - efisiensi
memberi harapan baru bagi dunia industri, dan upaya pelestarian lingkungan. Pertumbuhan ekonomi diikuti dengan perbaikan
kualitas lingkungan yang lebih baik.
Perkembangan yang
menggembirakan ini, tidak diikuti oleh
perilaku manusia modern. Gaya hidup dan
perilaku manusia cenderung semakin jauh dari prinsip eko - efisiensi. Dari sekian banyak gaya hidup manusia modern, hanya beberapa yang dibahas lebih lanjut. Adapun gaya hidup yang dimaksud :
1.
Serba Ingin Praktis
Manusia cenderung memilih barang
konsumsi yang dikemas dalam ukuran mini. Kecenderungan ini semakin meluas, hampir seluruh produk makanan dan minuman, obat obatan serta kosmetik dijual dalam
kemasan kecil dan berbentuk kemasan sachet
. Kecenderungan ini terjadi karena
inisiatif produsen untuk memperluas relung pasarnya. Dalam kalkulasi hitungan produsen lebih
menguntungkan memproduksi barang dalam kemasan mini. Dari sudut pandang konsumen produk dalam
kemasan kecil dirasa lebih praktis. Bahkan yang lebih ekstrim, sepotong cake atau biskuit dibuat jadi satu
kemasan. Berdasarkan kajian eko -
efisiensi, akan lebih menghemat
sumberdaya jika suatu produk dibuat dalam kemasan besar, dari bahan plastik atau metal sekalipun. Kemasan dari bahan metal setelah kosong, masih dapat digunakan untuk wadah menyimpan
benda lain. Ditinjau dari aspek
kepraktisan, kemasan kecil, punya nilai lebih, tetapi ditebus dengan pemborosan
penggunaan sumberdaya. Kemasan kecil
juga tidak mendukung upaya Waste
reduction ( pengurangan sampah/ limbah ). Sebagai contoh, untuk mengemas 1 Kg bubuk kopi instan ukuran 2
gram, dibutuhkan 500 bungkus kemasan
plastik yang bagian dalamnya dilapisi aluminium foil. Di samping lebih boros penggunaan sumberdaya
berupa materi dan energi, juga
menghasilkan lebih banyak sampah. Oleh
karena berukuran kecil dan ringan, bungkus kemasan mudah menyebar dalam radius
lebih besar, karena tiupan angin, aliran air dan perilaku hewan ( proses taphonomi ), sehingga lebih sulit dalam upaya pengumpulan
sampah.
2. Ingin
Diperlakukan Eksklusif
Manusia ingin diperlakukan secara
eksklusif dalam segala bidang, layaknya
seorang VVIP ( Very Very Important
Person ). Sebagai contoh, jika seseorang masuk ke sebuah restoran dan
mengorder satu jenis makanan yang umum dipesan oleh pengunjung lain. Untuk jenis masakan yang banyak dipesan orang
lain, sebenarnya dapat dimasak sekaligus
dalam jumlah besar, 20 atau 25 porsi, tetapi pengunjung ingin dimasak untuk dirinya
secara terpisah. Bahan bakar yang
digunakan untuk memasak masakan ukuran 1 porsi dengan 20 porsi sama banyaknya. Bahkan jika dimasak dalam jumlah besar, dapat menghemat waktu. Sifat ingin eksklusif telah menyebabkan
terjadinya pemborosan bahan bakar dan mengurangi nilai keuntungan serta
pemborosan waktu. Perilaku ini juga
terlihat pada pemilik atau penyewa apartemen luks tipe penthouse, yang mendapat pelayanan lift secara eksklusif.
Penggunaan lift pribadi ini jelas
memboroskan energi listrik, dan biaya
pemeliharaan. karena digunakan untuk
melayani 1 atau 2 orang saja, sesuai
jumlah penghuninya.
Kesimpulan
Kemajuan ilmu pengetahuan manusia yang tercermin dari perkembangan sub
disiplin ilmu eko - efisiensi ternyata tidak diimbangi dengan perilakunya, yang justru bertolak belakang dengan kemajuan
ilmunya. Inilah salah satu paradoks yang
dihasilkan dari sosok yang namanya MANUSIA.
Comments
Post a Comment