MENGURAI KOMPLEKSITAS MASALAH DANAU TOBA SEKARANG

Untuk mengurai  kompleksitas  masalah danau Toba, perlu lebih  dulu memahami keseimbangan sistem masa lalu dan sekarang. 

        Coba dibayangkan /dianalogikan danau Toba sebagai sebuah teko berisi air. Teko diisi air dalam kecepatan yang tetap. Teko tidak akan penuh, karena ada mulut teko yang mengalirkan air ke luar. Kondisi ini disebut keseimbangan antara input dengan output. Jika inputnya berkurang, tapi outputnya tetap, maka ketinggian air di dalam teko akan menurun, begitu juga sebaliknya. 

        Danau Toba adalah sistem terbuka. Pemasukan air danau Toba  berasal dari curah hujan, mata air, selokan, sungai. Ada 18 sungai yang mengalirkan airnya ke danau Toba  dan satu sungai besar ( sungai Asahan) yang mengalirkan air danau ke laut. Seluruh rejim sungai yang mengalirkan airnya ke danau Toba berada di Daerah Tangkapan Air (DTA) danau Toba.  DTA  danau Toba  adalah seluruh daerah mulai dari puncak bukit menuruni lereng sampai tepi air danau. Sebagian besar dari 18 sungai tersebut tergolong kepada sungai intermitten(sungai yang berair hanya pada musim hujan) dan sungai ephemeral(sungai yang berair hanya ketika hujan). Hanya satu atau dua sungai bertipe perenial(sungai yang berair sepanjang tahun). 


Air yang keluar dari danau melalui sungai Asahan, penguapan oleh sinar matahari,  vegetasi  ( evaporasi, respirasi, transpirasi , evapotranspirasi) di DTA danau Toba.  

Hasil interaksi dari variabel variabel di atas menghasilkan keseimbangan stabil selama ratusan tahun berupa : ketinggian air danau Toba  berkisar antara 906 dan 907 meter dari permukaan laut (dpl). 

Keadaan ini tetap langgeng sampai pertengahan tahun 1960 an. Pada tahun 1965, Pemerintah berencana membangun proyek pembangkit listrik tenaga air

( PLTA)Asahan. Proyek ini dibangun dengan bantuan Jepang.  Tenaga listrik yang dihasilkan akan digunakan untuk industri peleburan aluminium. Kemudian dilakukan studi kelayakan proyek yang selesai tahun itu juga. 

Ada hal  yang sampai sekarang tidak diketahui banyak orang tentang laporan studi kelayakan itu. Salah satunya adalah untuk mendapat hasil optimal tenaga listrik, ketinggian air  danau Toba harus diturunkan sampai 904 m dpl.  Jadi fenomena turunnya ketinggalan  air danau Toba pada awalnya memang direncanakan, didesain, direkayasa. 

Studi kelayakan itu menggunakan metode mutakhir untuk jamannya, tapi untuk ukuran sekarang, metode yang digunakan banyak  mengandung kelemahan terutama dalam teknik permodelan sehingga prediksinya banyak  melesat. Asumsi yang digunakan berikut identifikasi variabel  dan pembobotan nilai dan besaran magnitudenya banyak melesat.  

Salah satu kelemahan mendasar model itu adalah tidak memperhitungkan perubahan penggunaan lahan di DTA danau  Toba  dan di wilayah hilir sungai  Asahan, Kabupaten Asahan dan kota Tanjung Balai. 
Akibat kesalahan itu, ketinggian air danau Toba  turun tidak terkendali  alias kebablasan, bahkan pernah menyentuh angka 900 meter. Keadaan ini menimbulkan kepanikan dan kemarahan masyarakat. 
Rekayasa menurunkan ketinggian air danau telah merusak keseimbangan sistem danau tersebut. Daerah yang awalnya terendam air sekarang jadi daratan, diokupasi, dihuni, didomestifikasi oleh masyarakat termasuk pemerintah . Terminal Ajibata , dahulunya kawasan danau. Tanah tanah yang muncul dari bawah air, dibangun rumah, rumah ibadah , sekolah   dan disertifikatkan. 

PLTA  Asahan,  PT Inalum (pabrik pelebaran aluminium di Kuala Tanjung )dan PT Inti Indorayon Utama (PT IIU ) di Porsea yang memproduksi bubur kertas dan serat rayon dituding sebagai penyebab turunnya ketinggian air  danau  Toba. PT IIU kemudian berganti nama menjadi PT Toba Pulau Lestari (TPL). 

Dengan turunnya ketinggian air danau Toba  mengganggu kinerja turbin pembangkit listrik . Dari 4 turbin yang dapat beroperasi hanya dua bahkan sering hanya 1. Akibatnya tingkat produksi  PT Inalum  turun drastis. Untuk menaikkan  ketinggaian air danau, dilakukan rehabilitasi hutan di DTA danau Toba. Upaya reboisasi tersebut cukup berhasil, permukaan air danau naik perlahan tapi pasti. Air mulai menenggelamkan lagi lahan yang sudah  dimanfaatkan  dan sudah bersertifikat. Hal ini menimbulkan masalah baru. 

Setelah dinilai cukup maka dimulai uji coba mengaktifkan turbin yang terhenti cukup lama.  Pintu air ( Regulating Dam) di desa Siruar dekat Porsea dibuka dan digelontorkan air dengan debit 110  meter kubik per detik. Akibatnya di luar dugaan. Selama ini dianggap  masalah hanya bersumber dari rusaknya  hutan di DTA  danau  Toba  saja. Perubahan penggunaan lahan  tidak hanya terjadi di hulu tetapi juga di hilir yaitu Kabupaten kabupaten Simalungun, Asahan  dan kota Tanjung Balai. Daerah resapan air sudah banyak berkurang. Sawah, ladang dikonversi jadi perumahan,  hutan dikonversi menjadi kebun, sawah, ladang. Erosi dan sedimentasi di sungai Asahan meningkat, akibatnya volume daya tampung air sungai itu juga menurun. Ketika menerima limpahan air dari Hulu,  maka kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai dilanda banjir. Mereka menuntut ditutup nya Regulating Dam di Siruar. Ditutupnya dam, akan berakibat macetnya turbin pembangkit listrik. Situasi ini dapat dianggap seperti judul film Warkop " Maju Kena Mundur Kena". bahkan bukan lagi dilema, tetapi sudah trilema atau multilema. 

Dalam situasi seperti ini tidak dapat lagi satu pihak memutuskan sepihak untuk menciptakan  keseimbangan baru. Semua kekacauan itu disebabkan karena upaya rekayasa menurunkan ketinggian air danau  Toba  tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkannya.  


Upaya Menciptakan Keseimbangan Baru di Ekosistem  Danau  Toba

Di sini diuraikan peta jalan road map untuk mencari solusi yang dapat diterima semua para pihak pemangku  kepentingan ( stakeholder). 
  1. Identifikasi  secara akurat semua para stakeholder, termasuk pemerintah. 
  2. Rumuskan realitas saat ini tentang kerumitan masalah yang terjadi. 
  3. Masing masing mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhannya, untuk mencapai kata sepakat tentang ketinggian maksimum dan minimum air danau  Toba  yang diinginkan dan dapat diterima semua pihak. Termasuk menghitung ganti kerugian bagi pihak yang tanahnya akan ditenggelamkan lagi. Juga dibicarakan kembali berapa besaran nilai Annual Fee yang  harus dibayarkan oleh PT Inalum sebagai penerima manfaat  air danau  Toba.  Penetapan besaran dan mekanisme penyaluran ya harus memenuhi  kaidah akuntabilitas dan transparansi. PT Inalum  selama ini tetap membayar fee tersebut dan jumlahnya cukup besar. Di masa depan pengelolaan dana itu harus transparan termasuk penetapan kriteria penerimanya 
  4. Membentuk lembaga baru atau  lembaga yang sudah ada, berisikan representasi para stakeholder yang bertugas menyusun cetak biru (  blue print) rencana induk, semi detail dan detail pengelolaannya yang diterima semua pihak. Lembaga itu juga merumuskan mekanisme aturan main ( rule of the game) yang berlaku  di antara pihak, termasuk tata cara penyelesaian sengketa di antara para pihak dan antara para pihak dengan pihak eksternal. 


Dengan demikian diharapkan karut marut pengelolaan  dan Kompleksitas masalah danau Toba dapat diatasi. 

Comments

Popular Posts