BEDA ANTARA PEJABAT HINDIA BELANDA DENGAN PEJABAT REPUBLIK

 Prolog

Tulisan ini membahas tentang perbedaan perilaku pejabat Pemerintah Hindia Belanda dengan pejabat Pemerintah Republik. Tulisan ini membatasi pembahasan khusus perbedaan perilaku dalam memburu gelar akademik ketika dalam posisi masih menjadi pejabat. Informasi tentang perilaku pejabat Hindia Belanda didapat dari kajian literatur dalam bentuk memori jabatan, riwayat jabatan, sejak sebelum menjadi pejabat hingga kehidupan setelah pensiun dari pejabat. Data yang digunakan sebagian besar penulis kumpulkan ketika menjalani masa sekolah di Nederland. Waktu luang yang tersedia, penulis gunakan untuk mengunjungi perpustakaan Koninklijke Instituut voor Taal Land en Volkenkunde, Universitas Leiden, perpustakaan de Troppen Instituut, Amsterdam. 


Profil Pendidikan Pejabat Pemerintah Hindia Belanda dan Pejabat Pemerintah Republik 

Pemerintah Hindia Belanda merekrut calon pejabat sipil, terutama dari Jurusan Indologi ( ilmu ilmu tentang kebumian, etnik, bahasa suku suku bangsa di Nusantara ), Universitas Leiden. Sebagian direkrut dari Universitas Uttrecht. Para calon pejabat umumnya sudah lulus tingkat doktoral dan sudah resmi bergelar doktor. Selama studi, mereka dibimbing secara langsung oleh para mahaguru tersohor di dunia, seperti Prof HH Juinboll, Prof J M Speyer, Prof Uhlenbeek, Prof C van Vollenhoven, Prof Krannenburg, Prof J Ph Vogel, Prof H Kern, Prof Treub, Prof M de Gooje. Prof Theodore Noldeke,  Prof JPB de Josselin de Jong. Oleh karena dibimbing oleh guru guru luar biasa, murid murid Jurusan Indologi juga menjelma menjadi calon pejabat dengan ilmu yang mumpuni. Para murid murid jempolan itu antara lain Dr C Snouck Hurgronje. Dr GAJ Hazeu, Dr DA Rinkes ( ketiga orang itu menjabat sebagai Penasehat Pemerintah Urusan Bumiputera, Timur Asing ), Dr NJ Krom, Dr FDK Bosch, Dr. WF Stutterheim ( ketiganya menjabat sebagai Direktur Oudheidkundige Dienst ), Dr AA Cense ( Residen di Makasar ), Dr JJ van de Velde ( Residen di Pontianak dan Aceh ), Dr. BJO Schrieke ( Direktur Pendidikan dan Pengajaran ), Dr Lucien Adam ( Gubernur Yogyakarta ), Dr GJ Held, Dr J van Baal ( Gubernur Niew Guinea atau Papua sekarang ), Dr Ph S van Ronkel ( Kepala Pusat Kajian Bahasa Melayu ), Dr JP Duyvendak, Dr Ch O van der Plas (  administrator dan ahli intelijen yang handal ). Semua pejabat itu tidak pernah menempuh pendidikan selama masih menjadi pejabat dan memiliki karir gemilang selama bertugas di Hindia Belanda. 

Beberapa pejabat di atas setelah pensiun sebagai pejabat, melanjutkan karir sebagai Profesor di Universitas Universitas Leiden, Uttrech, Vrije Universiteit Amsterdam, seperti NJ Krom, FDK Bosch, J van Baal. GAJ Hazeu. Mereka dapat menjadi profesor karena selama menjadi pejabat, banyak menghasilkan karya tulis yang bersifat monumental.  Seorang letnan KNIL bernama van Vurren ( orang yang menangkap tangan pahlawan nasional Cut Nyak Dhien ), setelah pensiun dari dinas militer, memutuskan menjadi mahasiswa doktoral  di Universitas Leiden. Kemudian dia berkarir menjadi dosen di almamaternya hingga mencapai jabatan profesor. Para Pejabat Hindia Belanda yang tidak bergelar doktor, tidak tergoda untuk mengambil gelar doktor selama masih menjadi pejabat. Mereka tidak pernah berpikir untuk mencapai karir ke jenjang lebih tinggi dengan menggunakan ijazah. 


Profil Pendidikan Pejabat Pemerintah Republik 

Berdasarkan data yang bersumber dari catatan tertulis nyaris tidak ada pejabat pemerintah Republik yang sudah menyelesaikan pendidikan di jenjang doktoral ketika memasuki jajaran birokrasi. Umumnya ketika memasuki korps pegawai pemerintah, mereka masih berderajat Strata 1 dan sebagian kecil berijazah Strata 2. Dalam perjalanan karir hingga mencapai level menengah ( Eselon III ) dan level atas ( Esrlon II dan I ), mereka melanjutkan pendidikan hingga mencapai derajat doktor ( Strata III ). Dalam menempuh pendidikan tersebut,  sebagian ada yang mendapat berbagai kemudahan / dispensasi. Kemudahan itu didapatkan berkat status jabatan yang disandangnya. Ada beragam alasan dan motif para pejabat menempuh pendidikan doktoral ketika sedang menjabat, di antaranya untuk meningkatkan karir, mendapatkan prestise, sebagai persiapan untuk berkarir di Universitas ketika sudah pensiun. 

Ada juga kelompok pejabat tinggi yang ketika masuk ke jajaran birokrat, sudah bergelar doktor atau bahkan menjabat profesor. Mereka umumnya berasal dari kampus, kemudian diangkat menjadi pejabat tinggi. Setelah pensiun dari jabatan birokrasi, umumnya mereka kembali ke kampus melanjutkan karir sebagai dosen dan guru besar. Dua kelompok di atas jumlahnya cukup banyak, sehingga tidak disebut satu persatu. Sebagian besar dari pembaca pasti sudah tahu siapa siapa orang yang dimaksud, karena mereka sebagian besar hidup sejaman dengan kita. Mereka ada di tiap kabinet dari para presiden Republik  sejak di rejim Suharto dan di era reformasi.


Anomali di Masa Lalu dan Masa Kini

Anomali diartikan sebagai fenomena tidak lazim, berbeda dari norma yang berlaku. Ada satu hukum alam yang perlu dipahami. Semua ketentuan yang dibuat oleh manusia, oleh penciptanya, disadari atau tidak disadari, pasti memberi celah / peluang untuk berlakunya kekecualian. Pengecualian itu diberikan hanya kepada kasus kasus khusus, menyangkut pribadi pribadi khusus yang memiliki bakat khusus dan luar biasa. Ketentuan dibuat untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban dan wajib dipatuhi agar tidak timbul anarkhi, tetapi juga harus memberi ruang untuk pengecualian. Hal ini pernah terjadi pada seorang pemuda berbakat fenomenal, sehingga layak mendapat pengecualian. Pemuda itu bernama Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka. 

Poerbatjaraka adalah seorang bangsawan Keraton Surakarta, berpendidikan rendah, hanya menempuh pendidikan dasar selama 2 tahun. Dia rajin dan tekun belajar serta fasih berbahasa Belanda. Dengan kemahiran berbahasa Belanda dan pengetahuan yang luas dalam budaya Jawa ditambah keluwesan bergaul, dengan mudah dia masuk dalam pergaulan kelas elit Eropa di Solo. Pekerjaan sehari harinya adalah mandor kecil dalam proyek pembangunan sistem drainase kota Solo. 

Pada suatu hari dia menyurati Residen Surakarta, minta diuji dalam pengetahuan bahasa Jawa Kuno. Residen memberi rekomendasi agar Poerbatjaraka pergi ke Batavia menemui Dr GAJ Hazeu Penasehat Pemerintah Urusan Bumi Putera dan Timur Asing. Hazeu mengirim Poerbatjaraka untuk menemui Dr NJ Krom yang menjabat Direktur Oudheidkundige Dienst. Krom segera tahu bakat besar Poerbatjaraka, lalu memutuskan mendidiknya secara khusus. Krom memiliki rencana khusus untuk masa depan pemuda itu. Setelah dididik oleh Krom selama beberapa tahun kemudian Poerbatjaraka dikirim ke Universitas Leiden untuk menjadi mahasiswa tingkat doktoral. Biasanya yang diterima di tingkat itu adalah lulusan HBS atau AMS ( setingkat SMA sekarang ), dan telah selesai menempuh pendidikan di tingkat Bachaloreat serta telah bergelar Doktorandus ( Doktor Muda ), yaitu doktor minus disertasi. Poerbatjaraka menerobos semua ketentuan itu dan langsung duduk di tingkat doktoral. Para mahaguru di Universitas Leiden percaya dengan rekomendasi dari Krom lebih dari ketentuan formal.

Tidak lama setelah Poerbatjaraka diterima di Leiden, Krom pulang ke Nederland dan diangkat menjadi profesor dan diberi tugas menjadi promotornya. Poerbatjaraka menuntaskan studi doktoralnya pada tahun 1926 . Disertasinya berjudul Agastya in den Archipel dan berhasil dipertahankannya di depan para penguji dengan predikat cum laude.  Dia tercatat sebagai putera Nusantara ke dua yang menjadi doktor. Orang pertama adalah Pangeran  Adipati Ario Hussein Djajadiningrat, putera Bupati Banten yang promosi doktor tahun 1913 dengan judul disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten di bawah bimbingan Prof Dr C Snouck Hurgronje, juga dengan predikat Cum laude. 

Ketika menyampaikan pidato sambutannya setelah menempuh ujian promosi doktor, Poerbatjaraka meneteskan air mata sambil mengucapkan terima kasih atas kebaikan Prof Krom dan Prof Dr GAJ Hazeu yang telah mengulurkan tangan, menariknya dari lubang riol di kota Solo, sehingga dia mencapai derajat doktor dengan bermodalkan pendidikan dasar 2 tahun. Mungkin itu adalah satu satunya kasus di dunia pendidikan tinggi. Setelah kembali ke Hindia Belanda,  Poerbatjaraka bekerja sebagai pegawai pemerintah. Ketika Jepang berkuasa di Nusantara, Poerbatjaraka menjadi pakar kepercayaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, Poerbatjaraka menjadi salah satu pendiri Universitas Gadjah Mada dan menjadi profesor di Fakultas Sastra dan Kebudayaan hingga wafat tahun 1964 pada usia 80 tahun. Gaya hidupnya yang bersahaja, ke kampus mengendari sepeda dengan mengenakan topi caping sudah melegenda. 


Kisah di atas sangat berbeda jauh dengan anomali di masa kini, ibarat langit dengan dasar samudera. Belum lama berselang terjadi kehebohan di Republik. Seorang pejabat tinggi menempuh pendidikan doktor di Universitas terkemuka. Proses belajar, riset, penulisan disertasinya mengandung banyak masalah. Dewan Guru Besar di Universitas itu sudah melakukan kajian terhadap kasus itu. Ditemukan ada 4 pelanggaran fatal yang dilakukan promovendus dan promotor, pengelola Program Studi. Dewan Guru Besar sudah mengeluarkan rekomendasi pembatalan / diskualifikasi kelulusan promovendus. Promotor, dan Ketua Program Studi sudah dikenakan  sanksi. Anehnya rektor memutuskan promovendus hanya disuruh merevisi disertasi. Banyak orang bertanya apakah keputusan rektor akan sama jika promovendus adalah orang biasa?. Rektor punya hak untuk membuat keputusan anomali sekalipun, seperti yang terjadi pada Poerbatjaraka. Perbedaannya pada mutu keputusan dan mutu promovendus. 


Epilog

Tulisan ini tidak berpretensi melakukan penilaian baik atau buruk dari dua kelompok pejabat yang dipaparkan di atas. Tulisan ini hanya memaparkan fakta fakta, selanjutnya soal penilaian, diserahkan kepada masing masing pembaca. 




Comments

Popular Posts