APAKAH KEBERADAAN NEGARA MASIH DIPERLUKAN ?

  

Prolog

Sekarang terdapat hampir 200 negara di muka bumi, mulai dari yang berukuran besar hingga mini. Negara pertama berdiri lebih kurang 5000 tahun lalu di Mesopotamia ( Irak sekarang ). Bentuk dan kelengkapan negara di masa itu tentu berbeda dengan umumnya negara di masa kini. Orang di jaman modern tidak dapat membayangkan bagaimana bentuk kehidupan manusia jika tanpa adanya negara. Sudah seperti dogma, bahwa kumpulan manusia tidak mungkin dapat menjalani kehidupan normal tanpa adanya negara. Sedikit sekali orang yang mau merenungkan pertanyaan mendasar, apakah benar orang tidak mungkin hidup normal tanpa adanya negara?. Mengapa orang mendirikan negara?. Apa manfaat keberadaan negara?. Apakah tugas dan fungsi negara?. Apa hakekat negara?. Jika negara dapat didirikan, apakah negara juga dapat dibubarkan?. Apakah unsur terpenting yang melandasi berdiri dan bubarnya suatu negara?. Rangkaian pertanyaan itu hanya dapat dijawab dengan pengetahuan filsafat dan sains modern.

Pertanyaan pertanyaan di atas diajukan berdasarkan kenyataan pahit yang dirasakan mayoritas rakyat Republik. Dalam durasi waktu 80 tahun sejak bangsa Republik menyatakan kemerdekaan dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), sebagian besar rakyat hidup dalam penderitaan, kemiskinan /  kemelaratan, jauh dari cita cita yang dirumuskan di dalam konstitusi negara ( UUD 1945 ), masyarakat yang adil makmur, sejahtera. Apa yang sudah dicapai selama 80 tahun?. Secara kuantitas ada peningkatan jumlah produksi barang dan jasa, orang terdidik, infrastruktur, utilitas, tetapi dari segi kualitas dan pemerataan masih jauh dari memuaskan. Kesenjangan kualitas hidup masih terlalu lebar antara golongan kaya dengan golongan miskin dan kecenderungannya makin melebar. Semua pencapaian aspek kuantitas di atas masih harus ditebus dengan kerusakan lingkungan yang makin parah, eksploitasi sumberdaya alam yang  secara masiv yang menyebabkan makin menipisnya cadangan sumberdaya alam yang bersifat non renewable ( tidak dapat diperbaharui ), menurunnya keanekaragaman hayati yang menjadi sumber plasma nutfah. Hukum diperjual belikan dan dijadikan instrumen penekan kepada orang yang berbeda pendapat dengan penguasa. Penipuan, pemalsuan, pengoplosan melanda semua aspek kehidupan. Kondisi itu masih diperparah lagi dengan tingkat dan skala korupsi yang sudah berada di level membahayakan kelangsungan negara. Terungkapnya berbagai kasus korupsi berskala giga bernilai ratusan dan ribuan triliun rupiah susul menyusul seperti terjadinya efek domino. Setiap hari makin banyak terungkap bobroknya moral dan perilaku penyelenggara negara. Sebaliknya makin langka prestasi anak bangsa di kancah pergaulan antar bangsa. 

Para penyelenggara negara selalu beretorika untuk mengelak dari tanggung jawab atas semua kebobrokan itu. Mereka selalu berdalih bahwa semua kekurangan yang terjadi disebabkan karena wilayah negara terlalu luas, terlalu beragamnya etnik, budaya, dominasi negara maju dalam berbagai bidang yang tidak ingin Republik menjadi negara maju. Semua alasan itu jelas absurd, hanya upaya kamuflase dan mencari kambing hitam atas ketidakmampuannya menyelenggarakan pemerintahan. Untuk membius rakyat agar melupakan sejenak penderitaannya, penguasa gemar mengobral semboyan palsu, kosong dan tidak bermutu. Delapan dekade sudah lebih dari cukup waktu yang diberikan kepada penguasa untuk mewujudkan cita cita pendirian negara dan  sudah waktunya bagi rakyat untuk mulai melontarkan pertanyaan pertanyaan di atas. Tujuan negara Republik didirikan dengan tegas dirumuskan di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Kalau negara sudah gagal menjalankan fungsi, peran dan tugasnya, UNTUK APA DIPERTAHANKAN?. Sepertinya ada kesalahan mendasar pada bangunan negara Republik. Siapapun penguasanya, apapun metode tata kelolanya (  negara kesatuan, negara federal, kabinet presidensil, kabinet parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi liberal ) sudah pernah dicoba, tetapi kondisi negara tidak beranjak menuju negara maju dan makmur. Dalam konteks demikian, penulis berusaha menelusuri asal mula terbentuknya negara, unsur terpenting yang dibutuhkan untuk pendirian dan pembubaran negara. 


Asal Mula Terbentuknya Negara

Sejak kehadiran manusia di bumi pada empat  juta tahun lalu, manusia hidup dengan cara berburu, mengumpulkan makanan. Manusia hidup tidak menetap, terus bergerak mencari sumberdaya yang dapat dimakan. Semua kebutuhan hidupnya didapat, dicomot begitu saja secara taken for granted. Pada kondisi cara hidup demikian, gagasan memiliki segala  sesuatu di alam terasa aneh. Bagaimana mungkin manusia memiliki tanah, sungai yang tidak dapat dibawa ketika mereka berpindah lokasi?. Barang yang dapat dibawa hanya sebongkah batu atau sebatang ranting kayu yang banyak berserakan di permukaan tanah. 

Baru pada 12.000 tahun lalu manusia bereksperimen mendomestikasi sejenis tanaman rumput rumputan liar yang kemudian dikenal sebagai tanaman gandum. Selain tanaman, manusia juga mendomestikasi hewan jenis unggas dan mamalia. Agar dapat memberikan hasil yang baik, tanaman dan hewan yang didomestikasi harus ditanam, dirawat / dipelihara di lokasi secara permanen. Untuk merawat tanaman dan hewan manusia harus hidup menetap secara permanen di lokasi tersebut. Terjadi perubahan mendasar terhadap cara hidup manusia. Pada masa berburu dan meramu, manusia hanya mampu mengambil / memungut dan memanfaatkan. Kata kunci dari perubahan cara hidup tersebut adalah upaya menanam, memelihara / merawat yang membutuhkan usaha, energi, materi, informasi, ruang - waktu ( semuanya termasuk kategori sumberdaya ). 


Kepastian, Ketidakpastian dan Investasi Sebagai Dasar Gagasan Kepemilikan

Banyak orang mengira cara hidup secara berburu dan meramu memiliki hasil dengan tingkat kepastian yang rendah dan cara hidup dengan pertanian menetap memberikan hasil dengan tingkat kepastian yang lebih tinggi. Sumberdaya yang digarap pada masa pra pertanian bersifat mobil dan pada masa pertanian lebih bersifat stasioner. Sebenarnya kedua cara hidup tersebut memiliki tingkat ketidakpastian yang relatif sama. Faktor ketidakpastian dalam cara hidup berburu dan meramu terletak pada gerak migrasi hewan, fluktuasi dan amplitudo cuaca. Pada cara hidup bertani, faktor ketidakpastian terletak pada fluktuasi cuaca, temperatur udara, kekeringan, kebanjiran, hama penyakit tanaman. Model alam semesta yang penuh dengan ketidakpastian sangat sesuai dengan apa yang digambarkan oleh fisika kuantum. Banyaknya ketidakpastian pada aktivitas pertanian, membuat manusia melakukan berbagai upaya rekayasa untuk mengurangi intensitas dan bobot dampak negatif yang ditimbulkan oleh situasi ketidakpastian. Upaya rekayasa tersebut harus dianggap sebagai investasi energi, materi, informasi dan waktu oleh para pelaku ( petani ). Nilai besaran dan bobot nilai investasi dari tiap orang atau kelompok di dalam suatu entitas, tidak sama. Situasi tersebut membuat orang yan berinvestasi lebih besar, merasa lebih berhak atas hasil atau sebagian besar hasil berupa surplus produksi. Dari sinilah awal mula tumbuh dan berkembangnya gagasan kepemilikan atas sumber daya. Selanjutnya orang mulai membuat kapling kepemilikan lahan dengan batas batas yang jelas, untuk membedakan kapling milik seseorang dengan orang lain. Pada masa berburu dan meramu orang tidak berinvestasi dalam jumlah besar pada suatu ruang tertentu, semua anggota entitas dianggap melakukan upaya yang setara. Dalam situasi tersebut, tidak relevan orang berbicara tentang kepemilikan secara individu atas sumberdaya. Gagasan tentang kepemilikan sumberdaya hanya berkembang pada masyarakat dengan adanya indikator perbedaan besaran nilai investasi untuk memproduksi  makanan di antara para anggota komunitas.

 Gagasan kepemilikan akan sumberdaya kemudian diperluas lagi, dengan membolehkan manusia memiliki manusia lain, yang disebut budak. Entah apa dasar pemikiran yang melandasi gagasan bahwa seseorang manusia boleh menguasai dan memiliki manusia lain. Gagasan  itu diperluas lagi dengan menganggap seorang lelaki boleh memiliki seorang atau beberapa perempuan. Gagasan itu tidak ada pada masyarakat berburu dan meramu. 


Kekhawatiran dan Kecemasan Akan Masa Depan Sebagai Alasan dan Motif Pembentukan Negara

Walaupun seseorang sudah melakukan investasi dan rekayasa, tetap tidak ada jaminan akan  memberikan hasil yang baik berupa surplus makanan. Pada tahap ini mulai muncul rasa kekhawatiran dan kecemasan akan masa depan. Rasa khawatir dan cemas membuat manusia mulai memikirkan tentang pentingnya bekerjasama secara luas dan terus menerus. Hanya dengan bekerjasama yang melampaui batas wilayah kapling lahan, atau desa / kota, bentang alam / bentang budaya, ekosistem atau bahkan biom. Kebutuhan membangun jaringan kerjasama tanpa batas, manusia mengalami kendala. Tidak seperti semut atau lebah yang sudah mengalami evolusi selama jutaan tahun untuk terbentuknya gen biologis yang mengatur mekanisme kerjasama. Jumlah manusia dalam suatu kelompok selama jutaan tahun tidak pernah melampaui 1000 orang. Jumlah itu tidak membutuhkan jaringan kerjasama secara luas, sehingga tidak diperlukan gen biologis untuk kerjasama. Baru kurang lebih 10.000 tahun terakhir jumlah populasi manusia dalam suatu kelompok mencapai lebih 1000 orang. Belum cukup waktu untuk terbentuknya gen biologis yang mengatur kerjasama. 

Dibutuhkan rekayasa sosial untuk membangun jaringan kerjasama di antara sesama manusia. Rekayasa itu menghasilkan beragam mitos. Mitos itu membantu manusia membentuk jaringan kerjasama secara luas. Kesamaan kisah, mitos dan legenda yang dipercaya membuat manusia mau bekerjasama untuk mengatasi berbagai masalah. Dengan kerjasama secara luas, dapat dihasilkan surplus makanan dalam jumlah besar. Kondisi itu membuat manusia berkumpul dalam jumlah besar di suatu ruang yang sempit, padat, sehingga terbentuk desa dan kota. Konsentrasi penduduk dalam jumlah besar membuat potensi konflik, pertikaian dan pertengkaran jadi besar. Untuk memperkecil potensi konflik, dibutuhkan seperangkat aturan, norma, kodifikasi dan hukum yang mengatur tata kelakuan orang dalam berinteraksi dengan sesamanya. Untuk menjamin terlaksananya tata kehidupan yang teratur, dibutuhkan sebuah institusi yang disebut negara kota, negara baik yang berbentuk kerajaan maupun republik. Negara adalah suatu bentuk realitas intersubjektif yang keberadaannya sangat tergantung pada adanya kepercayaan orang terhadap institusi tersebut. Negara ada selama masih banyak orang yang percaya dengan keberadaannya. Ketika sebagian besar orang sudah tidak percaya akan adanya negara, maka seketika itu juga negara sudah lenyap. Agar orang tetap percaya pada negara, dibuatlah beragam mitos. Beberapa mitos yang sudah berjasa mempertahankan keberadaan negara, antara lain keberadaan Dewata / Tuhan yang bertahta di langit dan mitos manusia terpilih sebagai wakil Dewa / Tuhan untuk mengatur negara / rakyat. 

Surplus makanan mendorong sekelompok kecil elit yang mengklaim diri sebagai manusia pilihan untuk menguasai surplus itu. Para elit yang sudah dibebaskan atau membebaskan diri dari kewajiban menghasilkan makanan, justru menikmati bagian terbesar dari surplus produksi. Mereka menggunakan surplus itu untuk membiayai perang, pembangunan monumen raksasa. Sungguh ironis nasib rakyat, yang setiap hari memeras keringat, memungut sisa sisa bulir gandum / padi, dan bagian tetbesarnya  dinikmati oleh para elit yang tidak pernah memegang peralatan pertanian. Tersedianya surplus makanan dalam jumlah besar, tidak menjamin bahwa para elit tidak berkonflik. Mereka tidak pernah merasa cukup, terus kekurangan dan terus menuntut bagian lebih besar. Pada perkembangan berikutnya, mitos, legenda dan surplus produksi tidak lagi cukup memadai untuk membuat para elit berhenti bertikai. Pada tahap inilah para penguasa puncak wajib melakukan satu hal lagi. Bukan membangun pasukan yang kuat, bukan pula menciptakan mitos baru atau memberikan bagian lebih banyak dari surplus produksi kepada para elit ataupun rakyat. Sekarang menjadi jelas bangunan peradaban manusia dibuat berdasarkan rasa khawatir dan cemas akan masa depan. Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu daerah, surplus produksi pangan.  jaringan infrastruktur  yang canggih dan jejaring perdagangan belum cukup untuk mendirikan kota atau negara. Masih dibutuhkan satu lagi unsur penting. 


Menciptakan Kesepakatan Sebagai Unsur Vital Pembentukan Negara

Menciptakan kesepakatan di antara para pihak mutlak diperlukan untuk mengendalikan pertengkaran, perkelahian dan konflik. Kemakmuran suatu komunitas tidak menjamin terciptanya kestabilan. Kesepakatan yang dibuat tidak pernah dimaksudkan untuk menciptakan rasa keadilan, melainkan untuk menciptakan kestabilan,  ketenangan, ketertiban. Persoalan politik bukanlah memberikan kesejahteraan dan kemakmuran dan keadilan pada jutaan orang, melainkan membuat kesepakatan di antara jutaan orang. Para juru runding, diplomat dan negosiator bekerja keras bukan untuk menghadirkan keadilan, melainkan membuat kesepakatan yang suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, harus diterima sebagai keputusan terbaik pada ruang - waktu tertentu, walaupun dirasakan bukan keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Kesepakatan seperti itu jelas bukan keputusan yang berlaku selamanya. Jika ada satu atau beberapa pihak di kemudian hari tidak lagi bersepakat, maka konflik pasti segera terjadi. Dengan demikian menjadi jelas bahwa tidak ada kesepakatan yang permanen dan berlaku selamanya. Dasar setiap kesepakatan adalah kepentingan yang bersifat temporal dari para pihak. Selama kepentingannya terakomodasi, maka para pihak berpeluang menciptakan kestabilan. Formula dari kesepakatan para pihak adalah siapa mendapat apa, berapa banyak, bagaimana caranya dan kapan direalisasi?. Oleh karena para pihak yang bersepakat tidak memiliki kapasitas kemampuan yang setara, maka seringkali kesepakatan yang dihasilkan dapat dipastikan tidak mencerminkan keadilan. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap kesepakatan yang dihasilkan bersifat rapuh, karena terbentuk bukan dari gen biologis, melainkan melalui rekayasa sosial dan proses politik. Satu contoh monumental tentang kesepakatan yang mencederai rasa keadilan adalah hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ). Keputusan yang sudah dibuat dan disetujui ratusan negara dapat dimentahkan oleh salah satu negara pemilik hak veto ( Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis dan Tiongkok ). Bukan kebetulan bahwa lima negara  negara tersebut adalah negara pemenang dalam Perang Dunia II. Mereka yang membentuk tatanan dunia pasca perang dan mereka yang memiliki hak istimewa itu. Negara negara lain terpaksa bersepakat dengan tatanan yang tidak adil itu.


Empat Golongan Pembentuk dan Penghancur Kesepakatan.

Di dunia ada empat golongan elit yang selalu hadir dalam setiap pembuatan kesepakatan dan sekaligus juga berperan dalam penghancuran kesepakatan. Empat golongan tersebut adalah : 

1. Elit Politik. Golongan ini memiliki sarana infrastruktur untuk memobilisasi kekuatan massa.  

2. Elit Militer. Golongan ini memiliki tenaga terlatih, berdisiplin dan memiliki kekuatan pemukul yang efektif.

3. Elit Ekonomi. Golongan ini memiliki akses penguasaan sumberdaya. Golongan ini sering sekali berperan sebagai pemasok logistik dan pendukung finansial bagi golongan lain. 

4. Elit Media. Golongan ini memiliki keahlian dalam pembentukan opini publik, memanipulasi realita. 

Persekutuan keempat golongan ini menghasilkan kekuatan dahsyat yang dapat mengubah tatanan masyarakat. Rakyat hanya berperan sebagai pion dalam permainan catur, yang dapat dikorbankan kapan saja. Dalam sejarah peradaban 5.000 tahun terakhir,  keempat golongan ini menjadi kekuatan inti dalam setiap perubahan tatanan masyarakat. Pimpinan puncak suatu negara, atau bangsa tidak perlu membuat kesepakatan dengan jutaan rakyatnya. Cukup membuat kesepakatan di antara para elit ke empat golongan tersebut, maka rakyat akan menurut saja terhadap kehendak para elit. 


Epilog

Kajian sains modern telah mengungkapkan bahwa keadilan adalah suatu fatamorgana dan ilusi yang dihembuskan oleh para elit dan cendekiawan untuk memberi harapan palsu kepada rakyat awam. Pencarian keadilan ibarat mengejar bayangan, makin dikejar makin jauh dari realita. Benih ketidakadilan telah disemaikan oleh peradaban pertanian sejak 12.000 / 10.000 tahun lalu ketika manusia mendomestikasi tumbuhan dan hewan. Pada waktu itu diperkenalkan konsep kepemilikan atas sumberdaya oleh individu. Benih itu tumbuh menjadi pohon besar pada 5.000 tahun lalu ketika manusia membentuk tatanan khayal yang disebut negara. Negara membutuhkan kesepakatan di antara para elitnya agar dapat mempertahankan eksistensinya. Kedua konsep itu makin mendapat pijakan yang kokoh pada peradaban industri manufaktur, rekayasa dan  finansial serta jasa. 

Kesepakatan adalah faktor terpenting dalam membentuk tatanan khayal apapun bentuk dan namanya, termasuk negara. Tanpa kesepakatan, tidak mungkin terbentuk yang namanya negara. Demikian juga dengan pembubaran negara, dibutuhkan kesepakatan. Bagaimana dengan masa depan Republik?. Semua terpulang kepada  bangsa Republik, apakah masih mau melanjutkan penderitaan dengan membiarkan / mengizinkan penguasa bertahta atau menggantinya dengan pemain baru tanpa mengubah struktur bangunan Republik.  Atau Membuat kesepakatan baru?, membuat fondasi baru, layout bangunan baru, bahan bangunan baru, segalanya serba baru?. Biarkanlah bangsa Republik sendiri yang memutuskan apa yang terbaik untuknya. 

 


Comments

Popular Posts