KAJIAN WARISAN BUDAYA NON MATERI YANG MONUMENTAL

Tulisan ini didedikasikan kepada Seluruh Kerabat Keraton Mangkunegaran, Surakarta.


Gusti Nurul sedang beraksi di Istana Noordiende, Den Haag, Holland.

Sumber : Google


Prolog


Di dalam kajian warisan budaya, dikenal klasifikasi warisan budaya yaitu warisan budaya materi ( tangible ) dan warisan budaya non materi ( intangible ). Tidak dapat dipungkiri bahwa fokus perhatian para pakar di bidang manajemen sumberdaya budaya lebih tercurahkan pada warisan budaya materi, sehingga kajian warisan budaya non materi agak terabaikan. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai produk evolusi alam didesain untuk lebih tertarik pada sesuatu yang konkrit, dapat dipindai oleh alat dria. Konsekuensi logis berikutnya peralatan / instrumentasi penelitian yang paling banyak dikembangkan adalah yang dapat menangkap fenomena fisik yang berdimensi ukuran tertentu.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mempersempit kesenjangan fokus perhatian para pakar dalam mengkaji warisan budaya antara budaya mateti dengan budaya non materi. Objek yang dijadikan bahan kajian adalah peristiwa tampilnya seorang puteri keraton Mangkunegara yang akrab disapa dengan nama Gusti Nurul di acara resepsi pernikahan Puteri Mahkota Kerajaan Belanda, Puteri Juliana di istana Noordiende, Den Haag, Holland pada tanggal 7 Januari 1937. Pada acara tersebut Gusti Nurul menari tarian Sari Tunggal asal keraton Yogyakarta dengan diiringi gamelan Kiyai Kanyut Mesem. Penampilan Gusti Nurul sangat sukses dan mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan. 

Sudah banyak tulisan yang mengulas peristiwa itu, karena itu tulisan ini mengambil sudut pandang berbeda dari tulisan tulisan sebelumya, agar tidak terjadi pengulangan. Fakta fakta peristiwa dijadikan dasar / titik tolak melakukan analisis. Cakupan ruang lingkup analisis meliputi masa Pra pementasan - Pementasan - Post pementasan berupa out come, dan impact ( dampak ) dari peristiwa itu. 


Profil Pelaku Utama

1. Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Mangkunegara VII, terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Soerjo Soeparto (  12 - 11- 1885  -  19 - 7 -1944 ) dan bertahta sejak tahun 1916 - 1944. Mangkunegara VII naik tahta menggantikan pamannya yang bergelar Mangkunegara VI. Mangkunegara VII dikenal sebagai salah satu raja terbaik dari wangsa Mangkunegara, di samping Mangkunegara IV dan Mangkunegara I. Mangkunegara VII memiliki permaisuri bernama Gusti Raden Ajeng Mursudarijah yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Timoer, puteri Sultan Hamengku Buwono VII dengan permaisuri ke tiga bernama Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Dalam tulisan ini, Mangkunegara berperan sebagai penggagas dan aktor penting dari peristiwa yang dijadikan objek kajian.  

2. Gusti Bendoro Raden Ajeng Siti Noeroel Kamarul Ngasarati Koesoema Wardhana, lebih dikenal dengan nama Gusti Nurul ( 17 - 9 - 1921  - 10 - 11 - 2015 ). Beĺiau adalah puteri Mangkunegara VII dengan permaisuri GKR Timoer. Sejak kecil Gusti Nurul sudah berlatih menari, bahkan sempat mendapat didikan dari pamannya Pangeran Tejo Kusuma di Yogyakarta. Gusti Nurul menikah dengan orang biasa, seorang perwira menengah TNI bernama Raden Mas Soerjo Soejarso dan memiliki 7 orang anak. Gusti Nurul wafat dalam usia lanjut, 94 tahun. Dalam tulisan ini Gusti Nurul berperan sebagai operator utama yang mewujudkan gagasan Mangkunegara VII.

3. Gusti Kanjeng Ratu Timoer, Permaisuri Mangkunegaran VII, Ibu kandung Gusti Nurul. GKR Timoer  adalah bangsawan keraton Yogyakarta yang sejak kecil ditempa oleh para Empu seni tari dan karawitan, sehingga menjelma menjadi magistratus yang sangat mumpuni di bidangnya. Kehebatannya terbukti mampu menutup kesenjangan teknologi elektronika awal abad XX, dengan tuntutan kesempurnaan pada acara resepsi pernikahan agung Kerajaan Belanda di istana Noordiende, Den Haag.



Sri Mangkunegara VII dan Permaisuri GKR Timoer

Sumber : Google


Pra Pementasan 

Tampilnya Sang Negosiator Ulung dan Visioner 

Pada suatu hari di pertengahan tahun 1936, tiba sepucuk surat penting dari Sekretariat Kerajaan Belanda ditujukan kepada Sri Mangkunegara VII di Surakarta. Surat itu berupa pemberitahuan / undangan menghadiri perayaan resepsi pernikahan agung Puteri Mahkota Kerajaan Belanda ,Juliana Louise Marie dengan Pangeran Bernhard, seorang bangsawan Jerman. Juliana adalah puteri dari Ratu Wilhelmina van Oranje Nassau  dengan Pangeran  Duke Henry Macklenburg - Schwerin.

Sejak menerima surat itu Mangkunegara VII sudah bertekad hadir di acara tersebut. Acara itu pasti bakal dihadiri oleh para raja, ratu, pangeran dan puteri dari berbagai penjuru dunia, khususnya dari benua Eropa. Sudah lazim terjadi, setiap tamu agung yang menghadiri pernikahan agung pasti memberikan hadiah pernikahan yang mahal dan monumental. Mangkunegara VII memutuskan akan memberi hadiah pernikahan yang tidak umum, tidak berwujud materi, berupa persembahan seni pertunjukan tari klasik Jawa yang dibawakan oleh puteri kesayangannya, lengkap dengan iringan perangkat gamelan. Mangkunegara VII berpendapat bahwa bahwa tarian Jawa klasik yang berkualitas tinggi, tidak kalah monumentalnya dengan hadiah materi paling mahal sekalipun. Momen langka tersebut akan selalu dikenang melampaui jaman / usia seorang manusia. Tari yang dipilih adalah yang durasi tampilannya tidak terlalu singkat dan tidak terlalu panjang, disesuaikan dengan slot waktu yang diijinkan, mengingat padatnya rangkaian prosesi acaranya. Setelah ditentukan jenis tari yang akan ditampilkan ( Sari Tunggal ), dipilih perangkat gamelan yang akan digunakan untuk mengiringi tarian ( Kiyai Kanyut Mesem ).

Masalah besar yang menghadang rencana tersebut adalah bagaimana teknis pelaksanaan pementasan?. Mengingat teknologi komunikasi  tercanggih  pada masa itu adalah telegram, sangat sulit melakukan koordinasi dengan panitia penyelenggara. Rencana Mangkunegara VII tidak diketahui oleh panitia. Tidak mungkin memboyong perangkat gamelan berikut para penabuhnya. Di samping membutuhkan biaya besar, juga akan menyulitkan pelaksanaan pementasan di tengah round down acara yang belum diketahui susunannya. Dalam situasi tidak menentu, persiapan terus dijalankan. Gusti Nurul tetap tekun berlatih dengan jadwal yang ketat dan disiplin waktu yang akurat. Permaisuri GKR Timoer sendiri yang tiap hari mengontrol jalannya latihan. Akhirnya diputuskan teknis pelaksanaan pementasan dilakukan secara on air. Musik gamelan dimainkan di pendopo keraton Mangkunegaran, dipancarkan melalui stasiun radio Solosche Radio Vereeninging ( SRV ), kemudian siaran itu akan ditangkap oleh  pesawat penerima di istana Noordiende. Di istana itu Gusti Nurul akan menari diiringi oleh gamelan yang dimainkan di Solo. Pada saat yang sama di pendopo keraton Mangkunegaran Gusti Partinah, anak kedua GKR Timoer menarikan tari Sari Tunggal sebagai acuan bagi para penabuh gamelan. Tingkat teknologi komunikasi radio pada masa itu ditambah jarak ke dua tempat yang mencapai belasan ribu kilometer, menyeberangi dua samudera yang luas, gangguan cuaca yang berubah ubah menjadi faktor penghambat kelancaran acara pementasan tari tersebut. Dengan rencana yang sudah matang, rombongan Mangkunegara VII berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok pada bulan Agustus 1936, dengan menumpang kapal Marnix. Rombongan mendarat di Italia dan melanjutkan perjalanan dengan kereta api dan tiba di Amsterdam pada tanggal 16 November 1936. Rombongan Mangkunegara masuk kota Den Haag dan menetap di kastil Oud Wassenar pada tanggal 1 Desember 1936. Hadangan masalah mulai terasa ketika Mangkunegara VII mulai membentangkan rencananya untuk menampilkan tarian klasik Jawa di acara pesta pernikahan agung. Rencana itu serta merta ditolak panitia, karena kalau disetujui akan merombak susunan acara yang sudah disusun rapi. Ditambah lagi dengan masalah teknis yang belum berhasil diatasi jika terjadi cuaca buruk di lautan. Mangkunegara VII tidak mau menyerah begitu saja dan menunjukkan kemampuannya bernegosiasi dengan siapapun demi memuluskan rencananya. Dengan kekuatan rasa percaya diri yang tinggi, panitia berhasil diyakinkan dan bersedia berunding membicarakan detail teknis pementasan itu. Keberhasilan itu meningkatkan moril seluruh rombongan dan para penabuh gamelan di Solo.

Seluruh pihak yang terlibat dalam acara pementasan, mulai merasakan kendala teknis, antara lain perbedaan zona waktu 6 - 7 jam antara Den Haag dan Surakarta. Perbedaan itu membuat jam biologis yang berbeda dan hal itu mempengaruhi tingkat kebugaran fisik dan pikiran. Keterbatasan teknologi komunikasi masa itu tentu jadi salah satu hambatan, di samping tentunya kesulitan yang ditimbulkan oleh perbedaan bahasa dalam berkomunikasi . Di dalam anggota rombongan Mangkunegara VII, praktis hanya 3 orang yang mahir berbahasa Belanda,  yaitu tiga orang yang sudah dijelaskan profilnya. Sementara itu di pihak istana kerajaan Belanda, tidak satu orangpun dapat berbahasa Jawa. Dari analisis mendalam dari para pihak yang intens terlibat, kendala terbesar terletak pada faktor ketidakpastian yang terlalu besar  pada kondisi cuaca yang cepat berubah ubah. Repotnya, masalah itu tidak dapat  diatasi dengan teknologi masa itu. Untuk mengurangi risiko kegagalan, panitia mengundang keterlibatan perusahaan elektronika terkemuka di dunia asal Belanda Philip. Para petinggi dan insinyur terbaik serta teknologi tercanggih milik Philip dikerahkan dan semua berkomitmen mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Walaupun sudah berupaya maksimal, hasilnya tetap tidak memuhi standard kualitas terbaik. Masih terdapat celah yang  tidak dapat terjembatani. Selama durasi waktu pementasan  yang membutuhkan waktu lebih kurang 30 menit, selalu ada momen waktu beberapa puluh detik suara gamelan menghilang dan munculnya suara berisik di mikrofon sebagai residu voice, karena faktor cuaca. Sementara suara gamelan amat vital bagi Gusti Nurul dalam menjaga konsentrasi ritme gerak tari secara konstan. Disamping itu keutuhan alunan suara gamelan menjadi faktor penting untuk kepentingan estetika. Dalam latihan berulang kali dan pada hari gladi resik pementasan yang dilakukan pada tanggal 6 Januari 1937 di istana Noordiende, kendala teknis tersebut belum teratasi. Masih terdapat celah mulai 1 hingga 2 menit yang krusial dan kritis dan berpotensi menimbulkan risiko kegagalan acara pementasan. Untuk memperkecil tingkat risiko, para insinyur Philip memutuskan merekam suara gamelan yang dipancarkan dari Surakarta. Rekaman suara itu yang akan digunakan oleh Gusti Nurul sebagai patokan dalam pementasan. Dengan demikian faktor ketidakpastian pada cuaca telah teratasi, tetapi tetap menyisakan masalah pada celah celah berupa hilangnya suara gamelan. 


Munculnya Sang Magistratus Konduktor 

Pada hari gladi resik yang sangat kritis dan menentukan dan disaksikan oleh Sekretaris Negara, muncul Sang Permaisuri Mangkunegara VII, jadi pemecah kebuntuan. Beliau segera menuliskan repertoar not not gamelan yang dimainkan. Repertoar itu segera dipelajari dan didiskusikan dengan Gusti Nurul. Pada acara itu beliau berpesan kepada puterinya ketika momen alunan suara gamelan terputus, agar mengarahkan mata kepada isyarat hitungan  ketukan nada melalui jari jari tangannya. Permaisuri mengeluarkan segala kepiawaiannya dalam seni karawitan ibarat seorang super konduktor kelas dunia memimpin orkestra. Keterampilan tingkat dewa yang dipertontonkannya tidak berada di bawah kehebatan konduktor top akhir abad XX, Sang Maestro Zubin Metha. Kehebatan GKR Timoer telah berhasil menutup celah yang tidak dapat diatasi dengan teknologi audio termaju saat itu. Dengan bantuan  repertoar yang dibuat serta arahan dari gerak yang berisi isyarat hitungan ketukan nada gamelan yang berbeda dari seni musik barat, Gusti Nurul dapat menyelesaikan pertunjukan tarinya tanpa cela setitikpun. Dengan demikian semua persiapan di tahap pra pementasan dapat diselesaikan dengan sempurna. 


Pementasan Akbar

Munculnya Sang Primadona Sri Panggung Gusti Nurul

Pada momen hari pernikahan agung, semua pihak sangat mengandalkan kepiawaian Sang Puteri Sekar Kedaton yang berusia sangat belia, 15 tahun, menjelang 16 tahun. Sri Mangkunegaran VII dan Permaisuri GKR Timoer sangat percaya dengan kemampuan puterinya. Walaupun masih remaja, Gusti Nurul telah menjalani masa pendidikan di bawah para Empu seni tari dan karawitan, khususnya di Ndalem Tejo Kusuma di lingkungan keraton Yogyakarta. Gusti Nurul juga mendapat bimbingan spiritual dari para guru kebatinan yang mumpuni. Sebagai penari andalan, Gusti Nurul juga menjalani olah laku puasa, sebagai bentuk latihan dasar untuk pengendalian diri dan emosi. Dengan bekal yang dimilikinya, Gusti Nurul berhasil menyedot total perhatian ratusan pasang mata milik para bangsawan Eropa. Sungguh suatu pertunjukan seni tari Jawa klasik dengan iringan musik gamelan yang penuh harmonisasi antara gerak tubuh yang lentur sekaligus bertenaga penuh dengan alunan merdu gamelan ditambah gerak tangan seorang konduktor yang mumpuni. Pertunjukan tari oleh Gusti Nurul adalah yang pertama kali dilangsungkan secara simultan di dua benua terpisah jarak ribuan mil, dengan perbedaan zona waktu sampai 7 jam, dengan mengandalkan teknologi termaju waktu itu, dengan substansi materi seni gerak dan musik, yang masih  asing sama sekali bagi audiens Eropa. Tak pelak lagi , begitu pementasan selesai, tanpa ada komando dari siapapun, para tamu agung serentak berdiri memberikan standing applaus atas penampilan sempurna Gusti Nurul. Tidak cukup sampai di situ  para tamu terhormat berduyun menghampiri dan memberi ucapan selamat secara langsung kepada Gusti Nurul. Acara prosesi pernikahan terhenti selama beberapa saat. Panitia tidak dapat mencegah momen itu, karena Sri Baginda Ratu Wilhelmina, beserta ke dua mempelai juga memberi selamat kepada Gusti Nurul. Ketiga aktor utama larut dalam kegembiraan menyambut antusiasme dari semua tamu undangan. Semua media cetak di Eropa menempatkan berita penampilan istimewa Gusti Nurul di posisi headline. Semua orang memuji karya agung yang tergolong masterpice dari Hindia Timur. Tidak terbayangkan bahwa di negeri yang selama ini dipandang sebelah mata, dapat menghasilkan karya seni yang selalu dikenang oleh mssyarakat beradab. Para pakar seni pertunjukan di Eropa memberikan ulasan di beebagai media  cetak . Selama beberapa hari berikutnya pemberitaan tentang Gusti Nurul dan Keraton Mangkunegaran mendominasi percakapan di berbagai kalangan. Gusti Nurul langsung jadi tokoh selebriti dunia. Gubernur Jenderal Aldius Warmouldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, selaku Wakil Mahkota di Hindia Belanda, memberikan ucapan selamat kepada Keraton Mangkunegaran khususnya kepada Mangkunegara VII, Permaisuri dan Gusti Nurul. Pada tanggal 15 Februari 1937, Mangkunegara VII dan rombongan meninggalkan Holland, melanjutkan perjalanan keliling Eropa. 


Pasca Pementasan

Outcome 

Setiap peristiwa besar dan penting pasti menimbulkan pengaruh dan dampak besar  serta penting pada banyak pihak. Adapun pengaruh  yang  ditimbulkan oleh pementasan Gusti Nurul, antara lain : 

1. Posisi dan pamor keraton Mangkunegaran sebagai pusat budaya Jawa meningkat pesat. Sri Mangkunegara VII semakin dikenal sebagai raja yang berpandangan modern, progresif.

2. Nama dan reputasi stasiun radio Solosche Radio Vereeninging meningkat pesat. Pamornya tidak kalah dari stasiun radio milik pemerintah Hindia Belanda NIROM ( Nederlandsch Indisch Radio Omroep Maatschappij ), di Batavia.

3. Kota Surakarta mulai diperhitungkan sebagai  salah satu titik simpul pusat pentas seni kaliber  tinggi, setara Paris , London, Berlin. Bukan kebetulan di Surakarta berdiri perusahaan negara rekaman, penghasil piringan hitam, bernama Lokananta. 


Impact

1. Setelah pementasan yang menggemparkan jagad Eropa, mulai tumbuh minat di kalangan sarjana di Eropa untuk menekuni seni pertunjukan Jawa klasik. Muncul gelombang  berbagai riset dan kajian ilmiah terhadap seni tari dan karawitan di pusat pusat kecerlangan Eropa. Bidang seni tari dan karawitan segera mendapatkan landasan pijakan ontologis dan epistemologi yang kuat.

2. Di Indonesia, muncul institusi pendidikan seni seperti Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.


Pendopo Utama Keraton Mangkunegaran , Surakarta.

Sumber : Google


Epilog

Apa yang digagas dan dilakukan oleh Sri Mangkunegara VII, adalah sesuatu yang melampaui jamannya. Beliau menyadarkan banyak orang bahwa warisan budaya non materi  dapat menjadi sesuatu yang monumental, melampaui masa hidup penggagas dan pelakunya. Ketiga aktor utama di atas memperlihatkan bahwa karya seni masterpice yang dinikmati selama tidak sampai hitungan jam, ternyata dihasilkan dari proses yang panjang, penuh tantangan dan halangan, perjuangan tak kenal lelah. Tidak terhitung banyaknya tetesan keringat, konsentrasi pikiran, energi fisik dan otak yang dicurahkan, waktu yang diinvestasikan. Hasilnya adalah sebuah kado terindah dan abadi untuk Puteri Juliana yang sampai hari ini masih terus diperbincangkan jauh setelah semua yang terlibat telah meninggalkan kehidupan fana ini. Warisan dari tiga aktor utama kisah ini, tetap relevan bagi kita ahli warisnya, menjadi inspirasi bagi kehidupan di masa kekinian yang segalanya diukur dari materi dan penghargaan berlebihan pada aspek budaya materi. Sudah sepantasnya Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan yang layak secara anumerta kepada Sri Mangkunegara VII, Permaisuri GKR Timoer dan Puteri Sekar Kedaton,  Gusti Nurul.









Comments

Popular Posts