SUHARTO : DI MANA TEMPATNYA ?
Prolog
Pada abad VII di Semenanjung Arabia hidup seorang filsuf bernama Miqdad, yang tergolong sahabat utama Nabi Besar Muhammad SAW. Miqdad adalah seorang yang sedikit bicara tetapi banyak berpikir. Pada suatu hari seorang sahabatnya bertanya, lebih tepatnya meminta penilaiannya tentang seseorang yang mereka kenal. Miqdad berkata " Aku tidak mau menilai orang tersebut selama dia masih hidup, karena setiap orang hidup masih dapat berubah ". Itu adalah ucapan orang yang arief bijaksana.
Pendapat Miqdad di masa kini diperluas lagi pemahamannya. Menilai seseorang yang masih satu periode masa hidup dengan penilai, dapat bersifat bias. Ada banyak variabel yang berinteraksi di antara penilai dengan orang yang dinilai. Penilaian akan lebih fair jika antara penilai dengan orang yang dinilai berada pada jaman yang berbeda, ketika banyak variabel sudah tidak terkoneksi dan tidak ada ikatan emosional di antara ke duanya.
Beberapa minggu terakhir di Republik terjadi polemik tentang pemberian gelar pahlawan nasional kepada Suharto, presiden ke dua Republik yang memerintah lebih dari 3 dekade. Sebagian setuju dan sebagian lagi menentang pemberian gelar pahlawan nasional kepada Suharto. Kelompok penentang berkata tidak mungkin seorang diktator pada saat yang sama diberi status pahlawan. Tulisan ini berupaya memberikan cara pandang yang berbeda dari main stream. Mengenai penilaian, diserahkan pada tiap orang. Setiap orang diharapkan dapat bersikap dewasa, terbuka terhadap dialog yang konstruktif.
Definisi Konseptual dan Sistem Taksonomi Sebagai Pangkal Perbedaan
Di kalangan orang awam ada kebiasaan mengadakan perbincangan suatu hal secara serius, tanpa merumuskan definisi konseptual terlebih dahulu. Akibatnya sering terjadi perdebatan yang tidak perlu. Untuk menghindari situasi seperti itu, maka perlu dirumuskan definisi konseptual pahlawan. Suatu definisi tertentu sudah pasti tidak mungkin disetujui oleh semua orang. Terlepas dari ada yang setuju atau tidak setuju, definisi konseptual tetap mutlak dibutuhkan.
Pahlawan didefinisikan sebagai orang yang dengan sukarela mendedikasikan segala yang dimilikinya termasuk nyawanya tanpa pamrih untuk mencapai suatu tujuan / cita cita bersama di dalam entitas tertentu ( bangsa / negara ). Dari definisi itu pengertian pahlawan lebih luas dari dari pengertian yang diyakini oleh mayoritas orang. Tidak hanya terbatas pada area perjuangan bersenjata atau hanya mencakup orang yang sudah wafat. Para pejuang hak azazi manusia atau pejuang kemanusiaan, tidak tertutup peluangnya untuk mendapat status pahlawan. Di atas landasan definisi konseptual tersebut perbincangan soal status kepahlawanan seseorang dapat dilanjutkan.
Dari definisi konseptual di atas, tidak dibedakan apakah seseorang harus masih hidup atau sudah wafat untuk dapat dikategorikan sebagai pahlawan. Pahlawan tidak harus tercatat identitasnya di arsip resmi dan sudah dimasukkan ke dalam penulisan sejarah resmi. Tidak diketahui secara pasti dan dapat diidentifikasi siapa saja pejuang yang gugur dalam peristiwa pertempuran heroik di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Mereka yang gugur pada saat itu tidak memiliki pamrih harta, jabatan, pangkat, apalagi dikenang sebagai pahlawan. Tujuannya hanya satu, mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranya. Dengan kerangka definisi konseptual itu, jumlah pahlawan baik yang gugur atau masih bertahan hidup pada pertempuran di Surabaya atau tempat tempat lain, jelas jauh lebih besar dari yang tercatat dan diakui secara resmi sebagai pahlawan. Yang masih bertahan hidup, juga tidak pernah minta diakui secara resmi sebagai pahlawan.
Sistem taksonomi ( klasifikasi ) adalah prosedur stabdard yang digunakan dalam dunia keilmuan, agar ilmu dapat berkembang pesat. Sistem klasifikasi yang pertama dibuat oleh Carolus Linaeus dan masih digunakan hingga sekarang. Semua sistem klasifikasi dibuat berdasarkan asumsi asumsi sebagai berikut :
1 Di alam terdapat persamaan dan perbedaan di antara berbagai komponen alam
2 Persamaan dan perbedaan dijadikan dasar pengelompokan komponen alam
Ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap sistem klasifikasi. Persyaratan pertama adalah : Setiap sistem klasifikasi harus dapat mencakup semua. Artinya tidak ada anggota yang tidak tercakup di dalamnya. Persyaratan ke dua adalah: saling menidakkan. Artinya satu anggota yang sudah masuk ke satu kelompok, tidak boleh berada di kelompok lain.
Pada dasarnya setiap sistem klasifikasi berupaya menyederhanakan realitas. Misalnya dalam konteks pembicaraan tentang status pahlawan, ada 280 juta jiwa bangsa Republik dengan aneka ragam variasi, direduksi / disederhanakan menjadi minimal 3 kelompok :
1 Kelompok Pahlawan, jumlahnya tidak banyak. Hanya segelintir dibanding dengan seluruh populasi yang berjumlah 280 juta .
2 Kelompok Pengkhianat / Pemberontak, jumlahnya tidak banyak, hanya segelintir dibanding dengan seluruh populasi yang berjumlah 280 juta.
3 Kelompok yang tidak termasuk kelompok 1 dan 2. Kelompok ini jumlah populasinya paling banyak.
Sangat sulit memenuhi dua persyaratan di atas untuk mengelompokkan seseorang ke dalam kelas kelas tersebut. Untuk individu yang tidak menimbulkan kontroversi, tentu tidak terlalu sulit menempatkannya pada salah satu kelompok tertentu. Untuk individu yang lebih kompleks, penuh warna, akan sulit untuk ditempatkan pada salah satu kelompok. Menempatkan individu tipe ini pada salah satu kelompok, biasanya menimbulkan perdebatan / polemik.
Siapa Suharto ?
Sebelum menempatkan Suharto pada salah satu kelompok, perlu diperikan profil sosok Suharto. Dia dilahirkan di daerah Swapraja Kesultanan Yogyakarta ( desa Kemusuk ), pada 8 Juni 1920. Suharto sempat bergabung pada dinas militer Hindia Belanda KNIL ( Koninklijke Nederlsndsche Indie Leger ) dengan pangkat terakhir Sersan. Ketika Jepang masuk ke Hindia Belanda, KNIL praktis bubar. Pada masa Pendudukan Jepang, dibentuk Pembela Tanah Air ( PETA ), Suharto ikut bergabung dan mendapat pangkat awal Shodancho ( setara Letnan, dengan jabatan Komandan Pleton ). Kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Chudancho ( setara Kapten dengan jabatan Komandan Kompi ). Pada akhir masa Pendudukan Jepang, Suharto berhasil mendapat pangkat Daidancho ( setara Mayor dengan jabatan Komandan Batalion ) .
Setelah kemerdekaan, Pemerintah membentuk BKR ( Badan Keamanan Rakyat ), kemudian berubah menjadi TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ) dan akhirnya berubah menjadi TNI ( Tentara Nasionsl Indonesia ). Suharto bergabung dalam kesatuan militer sejak awal kemerdekaan dengan pangkat Letnan Kolonel ( Let kol ), dengan jabatan Komandan Wehrkreise III ( Distrik Militer III ), meliputi Jawa Tengah bagian selatan. Tanggal 1 Maret 1949 Suharto memimpin operasi penyerbuan ke kota Yogyakarta yang diduduki Belanda. Pasukan TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Serangan itu secara strategis militer berhasil mencapai target, tujuan yaitu kampanye militer ke dunia internasional bahwa TNI dan Republik masih eksis. Momen itu memperkuat posisi tawar Republik dalam perundingan dengan Belanda..
Pada dekade 50 an Suharto dalam pangkat Kolonel menduduki jabatan Panglima Komando Daerah Militer ( KODAM ) Diponegoro yang membawahi wilayah Jawa Tengah. Tahun 1960 Suharto mengikuti kursus Staf dan Komando Angkatan Darat ( SESKOAD ), di Bandung dan lulus serta mendapat pangkat Brigadir Jenderal. Tahun 1962 Suharto diangkat menjadi Panglima Mandala, dengan tugas merebut Papua Barat dari tangan Belanda. Operasi berlangsung sukses, Papua Barat menjadi bagian dari Republik. Atas keberhasilan itu Suharto mendapat promosi kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal dan diberi jabatan Panglima Komando Strategi Cadangan Angkatan Darat ( Pangkostrad ).
Tahun 1965 Suharto berhasil menggagalkan kudeta yang dilancarkan oleh PKI ( Partai Komunis Indonesia ). Setelah itu Suharto dipromosikan menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Jenderal, menggantikan posisi Letnan Jenderal Ahmad Yani yang gugur dalam peristiwa kudeta itu. Tahun 1967 Suharto diangkat menjadi Pejabat Presiden Republik menggantikan Sukarno yang dilengserkan dari jabatan presiden oleh MPRS, setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak. Tahun 1968 Suharto diangkat menjadi Presiden Republik. Sampai tahap ini tidak ada keraguan sedikitpun untuk menempatkan Suharto sebagai pahlawan.
Selama masa jabatan Suharto selaku Presiden yang panjang, dia dinilai sebagai otoriter, mereduksi jumlah partai politik dari 10 menjadi 3, memenjarakan banyak orang tanpa proses pengadilan, membungkam suara kritis dan vokal. Selain tindakan yang banyak mengundang kecaman, Suharto berhasil memelihara stabilitas politik, keamanan, ekonomi, tetapi tidak berhasil mempersempit jurang perbedaan pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok marginal. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter secara global, termasuk di Asia Tenggara, tidak terkecuali Republik. Krisis itu menjadi awal proses kejatuhan rejim Suharto. Tanggal 21 Mei 1998 Suharto secara sepihak menyatakan mundur dari jabatan presiden dan digantikan oleh wakilnya B J Habibie. Sejak saat itu Suharto dihujat oleh banyak pihak, bahkan ada yang meminta Suharto digugat / dituntut secara hukum dan diproses di pengadilan atas berbagai tuduhan. Sampai Suharto wafat pada tanggal 27 Januari 2008, beliau tidak pernah disidangkan di pengadilan. Setelah berlalu 17 tahun dari saat wafatnya, Suharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasionnal bersama 9 tokoh lainnya, termasuk Presiden K H Abdurrachman Wahid ( Presiden ke 4 Republik ). Menjelang hari penganugerahan gelar itu, timbul perdebatan seru antara pihak yang pro dan anti terhadap status pahlawan nasional untuk Suharto.
Gambar 1 : Jenderal TNI Suharto mengenakan seragam militer
Sumber : Google
Realitas Alam Yang Kompleks
Tidak dapat disangkal bahwa realitas alam sangat kompleks. Untuk memahami kompleksitas tersebut manusia berupaya keras melakukan prosedur penyederhanaan dalam bentuk klasifikasi dan permodelan. Secanggih apapun sistem taksonomi dan model yang diterapkan, tidak ada yang sempurna memerikan realitas secara akurat. Sebagai gambaran, ilmu tercanggih dan termaju saat ini pun, fisika kuantum, tidak mampu memprediksikan posisi lintasan elektron dengan presisi kepastian 100%, melainkan hanya dalam bentuk probabilitas. Menyederhanakan posisi seseorang yang rekam jejak karir, prestasi dan kepribadiannya yang kompleks, penuh warna ibarat pelangi dari seorang tokoh bernama Suharto, pasti mengalami kesulitan. Gambaran utuhnya bukan seperti dikhotomi hitam atau putih. Memahami pribadi Suharto tidak dapat melalui pemotretan dari satu sisi sudut pandang dengan kamera yang rendah resolusi, tetapi harus dari berbagai posisi sudut pandang dengan menggunakan kamera canggih yang beresolusi tinggi, agar didapat gambaran yang lebih utuh. Pahlawan adalah manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan dan kesalahan. Pahlawan bukan malaikat suci yang steril dari kesalahan, nafsu, motif dan kepentingan. Tempatkan manusia, terlepas dari statusnya apakah pahlawan atau bukan pahlawan, pada tempatnya yang wajar dan natural.
Wasit dan Hakim Dari Masa Depan
Wasit adalah orang yang mengawasi, memeriksa dan memastikan bahwa seluruh proses pertandingan berjalan dengan adil sesuai regulasi. Wasit tidak berwenang memberikan penilaian dan vonis. Hasil pemeriksaan wasit diserahkan kepada hakim atau juri yang akan memberikan penilaian dan keputusan / vonis atas hasil pertandingan. Agar dapat menjalankan tugas / fungsinya masing masing dengan baik, maka wasit dan hakim sebaiknya tidak memiliki kepentingan, hubungan / relasi emosional dengan subjek yang akan dinilai.
Hampir seluruh tokoh / pejabat kunci yang masih berperan besar sampai sekarang adalah generasi yang masih bersinggungan / beririsan dengan Suharto baik secara langsung atau tidak langsung. Berdasarkan dasar pemikiran di atas, generasi masa depan yang lebih berpeluang lebih baik untuk menjadi wasit dan hakim yang lebih fair untuk menilai posisi, kedudukan Suharto apakah layak atau tidak layak menyandang predikat Pahlawan Nasional.
Berhubung status Suharto sudah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, maka sebaiknya polemik yang memperdebatkannya dihentikan agar tidak terjadi kegaduhan berkepanjangan. Dengan kejadian itu diharapkan semua pihak dapat berpikir terbuka, toleran terhadap perbedaan, lebih arief melihat suatu isu dari berbagai sudut pandang.

Comments
Post a Comment