HAKEKAT PELAYAN, RAJA, PRESIDEN

 

Ada 3 figur sentral yang dibicarakan pada tulisan ini yaitu pelayan, raja dan presiden. Jika dikaji secara hakekat, ketiga figur itu nyaris tidak berbeda. Ketiganya dituntut untuk mendedikasikan waktu, energi, pikiran dan perhatian sepenuhnya untuk melayani orang banyak. Kalau semua orang sepakat dengan hakekat ketiganya tersebut, maka urusannya menjadi mudah, sederhana, berbiaya murah, tidak menimbulkan gejolak yang dapat mengganggu kestabilan kehidupan masyarakat. Persoalannya jadi serba rumit, sulit, mahal, merepotkan ketika kita mulai memberikan nilai yang berbeda di antara ketiganya, ciri atribut dan aksesori yang berbeda, perlakuan berbeda, fasilitas, kehormatan, imbalan yang jauh berbeda, tatacara, aturan protokoler yang berbeda dalam hal berinteraksi dengan subjek yang dilayani ( masyarakat ). 


Pelayan tetap diperlakukan layaknya seorang pelayan yang melayani masyarakat. Pelayan juga tetap menjalankan tugas dan perannya. 


Sikap masyarakat kemudian berbeda jauh dalam memperlakukan raja dan presiden. Hakekat raja dan presiden diubah drastis. Keduanya diperlakukan bukan lagi sebagai pelayan, tetapi sebagai tuan / majikan, dan masyarakat yang melayani keduanya. Raja dan presiden diberi hunian yang besar dan mewah berupa istana, lengkap dengan segala atribut yang serba gemerlap, kendaraan mewah. Setiap tarikan nafas, gerak langkah keduanya dibiayai oleh negara. Pengawal bersenjata lengkap dan siap menjadi tameng hidup mengelilingiya, menjamin keamanan serta keselamatan hidupnya dan keluarganya. Berbagai algoritma protokoler dalam berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat dibuat rumit, sehingga tercipta jarak baik secara real maupun virtual antara keduanya dengan masyarakat. 


Semua perubahan perlakuan tersebut pada akhirnya benar benar membuat lupa raja, presiden dan masyarakat bahwa raja dan presiden pada dasarnya adalah pelayan, bukan tuan yang harus dilayani.


Ketika pelayan yang berjulukan presiden belum ada, raja adalah satu satunya pelayan yang berfungsi sebagai tuan. Setelah berlangsung lebih kurang 5 millenium, masyarakat merasa bosan dan muak dengan perilaku pelayan berpenampilan tuan besar. Mulai dicari figur alternatif sebagai pengganti raja. Dibuat algoritma proses perekrutan pelayan bergaya baru, yang masa kerjanya tidak seumur hidup dan posisinya tidak dapat diwariskan kepada keturunannya atau kepada siapapun juga, kecuali melalui prosedur algoritma tertentu. Masyarakat pada mulanya berpikir bahwa pelayan gaya baru bergelar presiden akan berkinerja lebih baik, lebih mudah menggantinya jika sudah selesai masa kerjanya, tetapi apa yang terjadi. Ternyata tidak semudah dan sesederhana yang diduga. Biaya pemeliharaan sistem baru itu ternyata jauh lebih besar dari sistem lama. Raja tidak diganti sepanjang masa hidupnya. Biaya mencari presiden baru setiap 5 tahun sekali luar biasa besar, mencapai ratusan triliun rupiah. Biaya sebesar itu dapat membiayai banyak proyek pembangunan infrastruktur. Proyek proyek tersebut dapat menggerakkan perekonomian sektor ril. Sungguh tidak masuk akal sehat besaran biaya yang dikeluarkan untuk mencari hanya satu orang pelayan. Biaya itu sebagian besar terpakai untuk memelihara dan menjalankan proses panjang, berliku dan lama dari ritus ritus pencarian, seleksi sampai pada upacara penabalan / pentahbisan Sang Pelayan. 

Akhirnya masyarakat terjebak dalam kubangan ritual prosedural yang berbiaya super mahal yang diciptakannya sendiri. 


Lalu bagaimana membuat proses mencari pelayan itu lebih mudah, sederhana dan murah?. Jawabannya mudah tetapi sulit dilaksanakan, karena kalau hal itu dijalankan, banyak pihak bakal kehilangan keuntungan yang sudah dinikmati selama ini. Kalau tetap menginginkan jawaban itu, baiklah: KEMBALIKAN POSISI DAN FUNGSI RAJA DAN PRESIDEN PADA HAKEKATNYA SEBAGAI PELAYAN YANG MELAYANI MASYARAKAT, BUKAN TUAN YANG MINTA DILAYANI


Para pendahulu kita, pendiri negara telah meninggalkan jejak yang masih dapat dideteksi. Mereka menyebut sesamanya dengan sebutan Bung,  bukan Bapak, atau Yang Mulia, Paduka Yang Mulia. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang baru berumur satu hari. Setelah acara berakhir, Presiden Sukarno sungguh tidak berubah. Beliau pulang ke rumahnya naik becak. di tengah perjalanan, beliau melihat ada tukang sate mangkal di pinggir jalan. Bung Karno minta becak dihentikan dan beliau makan sate di pinggir jalan dengan nikmatnya. Inilah makanan pertama dan tempat makan pertama seorang Presiden bernama Sukarno. Sungguh memori yang indah untuk dikenang. 

Setelah itu segalanya berubah dan masyarakat bertanggung jawab atas perubahan itu. Sekarang semuanya terpulang kepada masyarakat, apakah tetap mau seperti sekarang atau kembalikan raja dan presiden kepada hakekat dan posisinya selaku pelayan sejati yang melayani masyarakat.


Comments