FENOMENA BEGAL DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Prolog
Sepanjang tahun ini fenomena begal menjadi isu trending topic di kalangan masyarakat Republik. Peristiwa begal terjadi susul menyusul di berbagai daerah dan korban terus berjatuhan. Berbagai kalangan baik pakar maupun orang awam, ikut membahas dan memberikan solusi. Sebagian orang menyesalkan aparat keamanan terkesan terlambat merespon dan menindak para pelaku. Biasanya para pelaku begal adalah pemain lama yang data diri / profilnya sudah ada di data base aparat keamanan. Aparat baru bertindak cepat jika ada korban yang berasal dari keluarga inti aparat negara, khususnya militer. Di luar itu seolah olah, negara absen dari tugas / fungsinya melindungi keamanan / keselamatan warga negara.
Dalam menyikapi fenomena begal, pendapat warga terbelah, tidak satu pendapat. Ada kelompok yang ingin aparat bertindak tegas, kalau perlu ditembak di tempat. Bahkan yang lebih ekstrem, para pelaku baik yang tertangkap tangan maupun yang baru dalam tahap dicurigai, langsung dihabisi nyawanya tanpa melalui proses pengadilan. Pendapat ini tentu saja ditentang oleh kelompok yang umumnya berlatar belakang ilmu hukum dan aparat negara yang dituntut harus berbicara dan bersikap menurut aturan normatif.
Sementara itu adapula peristiwa pelaku begal yang tertangkap, dihakimi oleh masa hingga tewas atau luka parah. Pada situasi itu sulit memproses secara hukum, para pelaku yang bertindak menjadi hakim jalanan. Di tengah kemelut isu begal ini para pengamat, pakar, masyarakat awam, aparat negara / aparat keamanan masih banyak yang masih bingung untuk mengatasi masalah begal. Persoalannya seperti benang kasut, berpilin, berkelindan, tidak tahu harus mulai dari mana. Para pihak yang memberikan pendapat, walaupun berbeda beda, tetapi sebenarnya masih dalam satu rumpun, yaitu berpikir, bersikap dan bertindak reaktif. Polanya mudah dikenali, yaitu bertindak setelah ada kejadian dan menggunakan pendekatan foto / potret. Pendekatan ini tidak memiliki landasan keilmuan yang kokoh. Perlu dilakukan perubahan di level paradigmatik dalam menerapkan pendekatan yang lebih terarah, sistematis dan memiliki landasan keilmuan.
Postulat Yang Digunakan
Tulisan ini dibangun di atas landasan postulat :
Tidak ada kejadian di alam semesta berdiri sendiri terlepas dari yang lain, pasti terkait dengan beragam faktor lain. Kejadian pada hari ini berakar di masa lalu dan masa depan adalah buah dari masa kini. Setiap kejadian dapat dilihat dari 3 kontinum yang saling terkait, yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa depan.
Definisi Konseptual
Agar pembahasan suatu topik dapat terfokus, perlu dicantumkan definisi konseptual yang digunakan. Begal adalah kata benda menunjuk pada pelaku pembegalan. Pembegalan adalah sebuah aksi / tindakan merampas benda berharga di tengah jalan dengan cara menghentikan laju kendaraan korban, disertai kata kata bernada / bersifat mengancam, kemudian dilanjutkan dengan tindakan melukai korban dengan senjata tajam dan / atau senjata api. Biasanya tindakan pembegalan dilakukan di jalan sepi, jauh dari keramaian. Tindakan melukai korban sering berakibat pada kematian di tempat kejadian atau tewas di perjalanan dan ada juga yang tewas di rumah sakit walaupun sudah mendapat pertolongan dari dokter dan paramedis. Semua begal pasti melakukan tindakan kekerasan pada korban, walaupun sudah berhasil merampas barang yang diincarnya. Tindakan itu dilakukan untuk memperkecil peluang korban menggagalkan upaya perampasan atau menghalangi pelaku untuk melarikan dari, sekaligus memperbesar peluang pelaku melarikan diri dengan barang jarahannya. Jadi korban pembegalan harus memahami kondisi bahwa ketika dibegal, peluangnya untuk tidak cedera sangat tipis.
Pendekatan Foto dan Pendekatan Film
Setiap ada peristiwa pembegalan, sebagian besar orang memusatkan perhatian pada peristiwa tersebut. Deskripsi kejadian, analisis dari pakar, orang awam dan aparat keamanan terfokus pada momen kejadian, meliputi siapa korban, siapa pelaku, objek barang yang diincar / dirampas oleh begal, lokasi kejadian, waktu kejadian. Semua rentetan pertanyaan dan momen kejadian dapat dianggap sebagai potret sesaat yang berwujud sebuah " foto ". Para pengamat, pakar, orang awam, bahkan aparat keamanan tidak punya gambaran pada masa pra kejadian. Banyak orang lupa bahwa proses seseorang jadi pembegal tidak muncul seketika, tetapi melalui proses panjang, dimulai dari hulu yang tidak terdeteksi. Perhatian orang terpusat pada saat kejadian dan perlakuan selanjutnya. Pada tahap ini reaksi yang muncul dari masyarakat dan aparat keamanan sering tidak terfokus, tidak terukur dan tidak terkendali ( 3 T ). Akibatnya ada begal yang tewas dihajar masa atau tewas akibat tindakan 3 T dari aparat keamanan. Jika begal tertangkap, ditahan dan diproses hukum. Proses hukum di pengadilan dapat berjalan lambat, berlarut larut, dan akhirnya hakim menjatuhkan vonis. Proses ini bakal berlanjut jika terdakwa mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali. Semua proses itu menguras sumber daya negara dan warga negara berupa energi, pikiran, waktu.
Kemampuan telusur pendekatan foto paling jauh hanya sampai tahap pencegahan. Pada tahap ini dilakukan pemasangan ribuan kamera CCTV, di tempat tempat ramai dan patroli rutin di tempat tempat sepi dengan durasi waktu sela yang singkat, misalnya satu kali setiap jam. Upaya ini juga menyita banyak sumber daya.
Setelah selesai proses persidangan, persoalannya belum selesai. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan ( LP ) di Republik belum memenuhi persyaratan ditinjau dari aspek kapasitas daya tampungnya, program pembinaan yang tidak berjalan sesuai rencana, tidak kondusif untuk membina para pelaku tindak kriminal. Setelah selesai menjalani hukuman, eks pelaku kriminal berpotensi kembali menjadi begal, bahkan dengan peningkatan mutu skillnya untuk kembali ke profesi semula. Situasi selanjutnya sudah dapat diprediksi, jumlah begal akan meningkat, karena pasokan / regenerasi begal terus bertambah, tidak sebanding dengan peningkatan sumberdaya negara untuk mengatasinya. Tidak butuh waktu lama untuk terjadinya peningkatan jumlah begal, sementara sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan aparat keamanan dan aparat hukum yang bermutu, berintegritas sangat besar. Akibatnya frekuensi dan intensitas tindak kriminal makin besar dan negara kewalahan mengatasinya. Dalam situasi demikian, masyarakat dihadapkan pada dua pilihan, bertindak main hakim sendiri atau apatis, pasrah, frustrasi. Kedua pilihan itu tentu saja tidak diinginkan oleh masyarakat beradab.
Untuk mengatasi persoalan begal, perlu dilakukan perubahan paradigma, cara pandang, metode dan teknik, sikap dan perilaku warga masyarakat. Pendekatan film menawarkan konsep yang lebih mendasar untuk membedah fenomena begal. Fokus perhatian diarahkan ke titik paling hulu, yaitu keluarga inti, bahkan ditarik ke titik paling awal, yaitu ketika dua oran dewasa, laki laki dan perempuan berkomitmen untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang sah, mulai merencanakan kelahiran individu baru. Sepanjang masa kehamilan, suami dan isteri memantau perkembangan janinnya dan memastikan bahwa calon bayi mendapatkan segala tindakan treatmet terbaik yang dapat dipenuhinya. Pasangan muda itu dapat memanfaatkan hasil riset termaju tentang bagaimana memperlakukan ibu hamil dan calon bayi, termasuk asupan gizi, dan berbagai teknik perangsangan / stimulus yang dapat meningkatkan mutu calon bayi. Ini adalah tahap pendeteksian paling dini terhadap individu yang kelak akan menggantikan posisi orang tuanya. Pasangan muda tidak perlu merencanakan banyak anak, cukup dua orang. Dua individu dewasa di tiap keluarga inti akan digantikan oleh 2 individu muda. Dengan jumlah anak terukur, orang tua dapat mengalokasikan sumberdaya secara optimal untuk menghasilkan anak yang bermutu.
Ketika seorang bayi dilahirkan sampai berakhir masa balita ( 5 tahun ), orang tua berperan sebagai guru pertama dan rumah adalah sekolah pertama. Pada tahap ini proses pemindaian ( pengenalan ), dilakukan. Orang tua berupaya mengenali anaknya luar - dalam, sifat, karakter, hobby, kebiasaan dan sebagainya. Orang tua terus menanamkan nilai nilai, norma, budaya, kepada anaknya. Anak akan mengamati dan mencontoh perilaku kedua orang tuanya. Pada tahap ini orang tua juga melakukan pemantauan rutin terus menerus terhadap perkembangan fisik dan mental anaknya. Jika terdapat kejanggalan, penyimpangan dari kondisi norma, dapat segera berkonsultasi dengan pakar yang kompeten. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pelajaran pertama yang diterima seorang anak bukan pengetahuan pengetahuan politik, hukum, ekonomi, teknologi, tetapi pengetahuan budaya. Hal ini dipertegas lagi ketika orang tua mulai melibatkan para stakeholder lain dalam proses perkembangan anaknya, yaitu institusi sekolah dan para guru. Di negara negara maju di Eropa semua sekolah menerapkan test saringan pertama berupa pengamatan terhadap perilaku anak. Pihak pengelola sekolah akan menolak menerima calon siswa yang belum dapat membedakan mana barang milik pribadi dengan barang milik orang / pihak lain. Anak tersebut dikembalikan ke orang tuanya untuk diberi pemahaman tersebut. Di Jepang, sekolah sekolah tingkat paling dasar menghabiskan sebagian besar jam belajarnya hanya untuk mendidik dan melatih sisanya untuk tersenyum dan membungkukkan badan, memberi hormat kepada siapa saja orang yang lebih tua ketika mereka akan berkomunikasi, serta mengucapkan kata terima kasih.
Apa yang dilakukan oleh negara negara maju di sektor pendidikan, memberi petunjuk bahwa sudah waktunya menjadikan aspek budaya sebagai panglima ( leading sector ). dalam proses pelaksanaan pembangunan. Pembentukan karakter dengan menanamkan nilai nilai budaya dan spiritual ( bukan agama ) akan menjadi filter tangguh untuk mencegah orang melakukan tindak kejahatan. Mengapa penulis lebih memilih spiritual dibandingkan dengan agama?. Jawabannya terdapat pada bagian appendix di akhir tulisan ini. Dengan saringan berlapis lapis, maka dihasilkan individu remaja dan dewasa yang berkualitas premium. Dalam realita, tetap ada individu yang berperilaku menyimpang, yang disebut deviant, tetapi jumlahnya sudah berkurang banyak. Oleh karena jumlah pelaku kriminal tidak banyak, praktis intensitas dan frekuensinya juga banyak berkurang. Sumberdaya yang dibutuhkan pada tahap pencegahan dalam paradigma pendekatan film berikut tugas aparat keamanan jadi jauh lebih ringan. Demikian juga halnya dalam tahap penindakan, aparat keamanan dapat lebih profesional sehingga tercapai kondisi 3 T.
Dengan jumlah kasus jauh lebih sedikit, proses hukum di pengadilan dapat berjalan lebih cepat, dan berbiaya lebih rendah. Dengan jumlah narapidana yang jauh lebih sedikit, mutu pelayanan dan fasilitas di Lembaga Pemasyarakatan dapat lebih ditingkatkan, sehingga proses rehabilitasi, pembinaan dan pemulihan untuk pelaku kejahatan dapat berlangsung lebih baik, lebih manusiawi. Akhirnya proses normalisasi ( mengintegrasikan mantan napi ke masyarakat ) juga berlangsung lancar dan mulus. Uraian di atas dapat diikhtisarkan dalam skema di bawah ini :
( Wirtjes, 2023 )
Epilog
Pendekatan Film menawarkan solusi mengatasi fenomena begal secara lebih mendasar dan komphrehensif. Pendekatan Foto yang bersifat reaktif sudah waktunya ditinggalkan, karena tidak efektif. Pendekatan film tidak mungkin memberikan hasil positif dalam jangka pendek dan terwujud hasilnya seketika seperti tukang sulap. Alam tidak pernah mengijinkan kita memperoleh hasil bagus secara instan. Hal ini jangan membuat kita pesimis, karena alam dalam memberikan imbalan tidak pernah mengkhianati proses. Ingatlah selalu nasihat orang bijak, perjalanan terjauh dimulai dari langkah pertama dan tanpa langkah pertama, tidak akan pernah ada perjalanan yang paling singkat sekalipun. Ayo mulai dari yang paling kecil, dari yang paling mudah, dari yang paling dekat, dari sekarang dan dari DIRI SENDIRI.
Appendix
AGAMA vs SPIRITUAL
Dr. Teilhard de Chardin
Lahir di Orcines, pd tanggal 1 Mei 1881 & meninggal di New York pd tgl 10/04/1955.
Dia adlh teolog, filosof & ahli paleontologi Perancis yg membangun visi terpadu Science & mistisisme dgn pemikirannya; dari evolusi semangat & pemikiran.
▪Agama bukan hanya satu, tetapi ada ratusan.
▪Spiritualitas adalah satu.
▪ Agama adalah untuk mereka yg masih tidur.
▪Spiritualitas adalah untuk mereka yg sudah bangun.
▪ Agama adalah untuk mereka yg masih membutuhkan seseorang untuk memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan dan masih perlu dibimbing.
▪Spiritualitas adalah untuk mereka yg sudah dapat memperhatikan suara hati mereka.
▪ Agama memiliki seperangkat aturan dogmatik.
▪ Spiritualitas mengundang kita untuk memikirkan segala sesuatu dan mempertanyakan semuanya.
▪ Agama biasanya mengancam dan menakut-nakuti.
▪Spiritualitas memberi kedamaian batin.
▪ Agama berbicara tentang dosa dan kesalahan.
▪ Spiritualitas mengajarkan bagaimana harus "belajar dari kesalahan".
▪ Agama menekan segala sesuatu dan dalam beberapa hal itu adalah salah.
▪Spiritualitas melampaui segala hal dan membawa kita lebih dekat dengan kebenaran !
▪ Agama berbicara tentang tuhan Dan karenanya bukan didalam Tuhan.
▪Spiritualitas adalah segalanya dan, karenanya itu ada di dalam Tuhan.
▪ Agama menciptakan.
▪ Spiritualitas menemukan.
▪ Agama tidak mentolerir pertanyaan apapun.
▪Spiritualitas mempertanyakan segala hal.
▪ Agama adalah manusia, ini adalah organisasi dengan peraturan2 manusia
▪Spiritualitas adalah Tuhan, tanpa aturan manusia.
▪ Agama adalah penyebab perpecahan.
▪Spiritualitas mengakibatkan bersatu.
▪ Agama : mencari kita supaya percaya.
▪ Spiritualitas : kita harus mencarinya untuk percaya.
▪ Agama mengikuti ajaran dari kitab suci.
▪ Spiritualitas mencari yang suci di semua kitab.
▪ Agama memanfaatkan Dan memberi makan ketakutan.
▪Spiritualitas memanfaatkan kepercayaan dan iman.
▪ Agama hidup dalam pikiran.
▪ Spiritualitas hidup dalam kesadaran.
▪ Agama berhubungan dengan melakukan dan orang lain
▪ Spiritualitas berhubungan dengan renungkan dan diri sendiri
▪ Agama memberi makan ego.
▪ Spiritualitas mendorong untuk melampaui.
▪ Agama membuat kita meninggalkan dunia untuk mengikuti Tuhan.
▪ Spiritualitas membuat kita hidup di dalam Tuhan, tanpa meninggalkan dunia / kita
▪ Agama adalah liturgi.
▪Spiritualitas adalah meditasi.
▪ Agama hidup di masa lalu dan di masa depan.
▪ Spiritualitas hidup di masa sekarang.
▪ Agama mengisi kita dengan mimpi kemuliaan di surga.
▪Spiritualitas membuat kita hidup dalam kemuliaan dan surga di sini dan saat ini.
▪ Agama menciptakan _cloisters_ dalam ingatan kita.
▪Spiritualitas membebaskan kesadaran kita.
▪ Agama membuat kita percaya akan kehidupan kekal.
▪Spiritualitas membuat kita *sadar* akan kehidupan kekal.
▪ Agama menjanjikan kehidupan setelah kematian.
▪Spiritualitas adalah menemukan Tuhan di dlm batin kita selama hidup dan setelah mati.
▪Kami bukan manusia yg mengalami pengalaman spiritual.
▪Kami adalah makhluk spiritual yg mengalami pengalaman manusia.
Semoga bermanfaat 🙏
Catatan dari Penulis :
Tulisan yang terdapat di bagian Appendix adalah karya Dr Teilhard de Chardin yang diperoleh dari Michael Frans Hasibuan melalui Alfan Hamsi. ( 2023 ).
Comments
Post a Comment