KISAH KASIH SEORANG MBAH GITO

 Prolog

Pada suatu hari di tahun 2020, penulis terlibat percakapan serius tapi santai via telephone dengan seorang sahabat di dunia virtual dan kami belum pernah bertatap muka di dunia real. Di akhir percakapan, sahabat itu yang bernama Sugito, dan beken disapa dengan nama Mbah Gito, mengundang penulis berkunjung ke padepokannya di Karang Mojo, Gunungn Kidul. Sejak itu tertanam tekad yang kuat untuk berkunjung ke kediaman Mbah Gito.

Momen yang ditunggu, akhirnya datang juga. Akhir bulan Maret 2021, penulis berkesempatan datang ke kota budaya Yogyakarta, yang tidak asing lagi,  karena pernah menetap di kota itu selama 13 tahun. Atas jasa baik seorang sahabat dan mentor penulis, Mas Prijo Mustiko. segera dipersiapkan pertemuan diskusi dengan para sahabat Budayawan kota Yogya dan Mbah Gito menawarkan diri menjadi tuan rumah acara tersebut. Penulis  tidak pernah lupa dengan kenangan indah yang terjadi pada hari Senin tanggal 22 Maret 2021, karena menjadi saksi mata atas pencapaian luar biasa dari sosok sederhana, yang melampaui pencapaian suatu korporasi besar. Penulis sengaja tidak menggunakan kata kesuksesan  untuk judul tulisan di atas. Prestasi yang ditorehkan Mbah Gito tidak mungkin dapat dicapai oleh entrepreneur kaliber besar sekalipun, jika tidak dilambari dengan rasa kasih sayang yang tulus. Tulisan ini dibuat sebagai wujud rasa hormat kepada Mbah Gito yang tanpa publisitas heboh, sudah melaksanakan apa yang populer disebut Corporate Social Responsibility ( CSR) , tanggung jawab sosial bagi perusahaan terhadap masyarakat. Peraturan perundang undangan menetapkan besaran dana CSR sebesar 2% dari laba bersih.  Mbah Gito memberikan jauh lebih besar dari persyaratan regulasi.

Penulis bersama semua sahabat Budayawan disambut dengan senyum ramah, disuguhi atraksi kesenian, dijamu dengan suguhan kuliner yang khas. Setelah berdiskusi, para tamu diberikan cendera mata yang unik berupa kain penutup kepala bermotif batik. Menjelang sore, setelah sesi berfoto ria, kami berpamitan, meninggalkan tempat yang istimewa itu. 


Keunikan dan keistimewaan Padepokan Mbah Gito 

Mbah Gito adalah seorang entrepreneur di bidang kuliner, tepatnya bakmi jawa. Usaha yang dirintis dan dijalankan selama puluhan tahun dengan penuh kesabaran dan keuletan, telah memberikan kesejahteraan pada orang banyak. Dari hasil dagang bakmi, Mbah Gito berhasil membangun kompleks padepokan seluas beberapa hektar. Kompleks itu memiliki keunikan berupa sentuhan teknik arsitektural, ragam hias seni ukir. Keunikan tersebut juga terdapat di kedai bakmi Mbah Gito di kawasan selatan kota Yogyakarta. Di samping menikmati sajian bakmi, mata pengunjung dimanjakan dengan tampilan seni bangunan dan ornamen seni ukir yang tidak umum. 

Setelah melewati kawasan Gunung Kidul, yang kini telah rimbun oleh pepohonan, rombongan kami memasuki Dusun Karang Lor, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karang Mojo, Kabupaten Gunung Kidul. Melihat kehijauan kawasan Gunung Kidul, penulis terkenang dengan dua tokoh yang meletakkan dasar upaya reboisasi, yakni Prof Oemi Hanai'in Suseno dan Bupati Gunung Kidul periode 1974- 1984, Darmakun Darmokusumo. Ke dua tokoh itu telah menghasilkan maha karya di bidang penghijauan dan tetap dikenang oleh oleh generasi penerus. Sosok Mbah Gito berhasil menambahkan unsur  maha karya seni bangunan yang memperkaya perbendaharaan peradaban di kawasan Gunung Kidul.

Kompleks padepokan Mbah Gito terdiri dari beberapa bangunan dengan ukuran bervariasi. Bangunan paling mencolok, tentu saja pendopo utama beratap joglo. Keistimewaan pendopo utama terlihat pada : 

1. Teknik konstruksi bangunannya memadukan teknik modern dan teknik tradisional. Tiang tiang utama dan balok pengikat tiang dibuat dengan teknik beton pratekan ( beton berulang ). Tiang dan balok tersebut kemudian dilapisi ( diselimuti dengan bahan kayu ), sehingga dari tampak luar yang terlihat hanya tiang dan balok kayu. Alat penghubung dua konstruksi kayu tersebut terbuat dari logam, berupa. baut dan mur serta pengait. Dengan perpaduan teknik modern dan teknik tradisional, dihasilkan struktur yang kokoh sekaligus indah dan artistik. Bentuk casing tiang yang terbuat dari kayu, dari luar tampak meliuk liuk, mengingatkan pada bentuk bangunan bangunan pencakar langit ultra modern di kota Dubai. 



         Pendopo utama Padepokan Mbah Gito

Sumber: Dokumentasi Pribadi

2. Melanggar prinsip simetris. Pada umumnya orang menyukai bentuk simetris, dan bentuk itu dianggap merupakan wujud prinsip keseimbangan yang harmoni. Beberapa komponen bangunan di pendopo utama padepokan Mbah Gito justru melanggar prinsip asimetri pada aspek bentuk dan dimensi ukuran. Pilihan yang diambil bukan dilakukan secara sembarang, melainkan dengan penuh kesadaran, perhitungan, sehingga justru melahirkan bentuk unik, dan menjadi ciri khas padepokan itu. Disadari ataupun tidak, pendopo utama itu merupakan wujud dari penerapan teori chaos yang fenomenal. Salah satu ajaran teori chaos mengatakan di dalam keteraturan, terdapat kekacauan dan di dalam kekacauan terdapat keteraturan.  


      
          Bentuk asimetris di Padepokan Mbah Gito
          Sumber : Dokumentasi pribadi

3. Perpaduan material alami tradisional dan material material fabrikasi modern. Pilihan penggunaan material baik alami maupun fabrikasi ditentukan oleh kebutuhan praktis dan estetis. Penggunaan bahan modern umumnya dilakukan pada area sanitair. 

4. Penerapan prinsip konservasi pada tahap pra konstruksi - konstruksi - pasca konstruksi. Biasanya orang menerapkan prinsip konservasi mulai pada tahap pasca konstruksi, tetapi Mbah Gito sudah menerapkannya sejak tahap pra konstruksi. Berdasarkan dari apa yang dilakukannya, Mbah Gito adalah seorang visioner berpandangan jauh ke depan. Beliau ingin meninggalkan warisan monumental yang dapat bertahan selama mungkin. Sementara sebagian besar orang mulai melakukan konservasi setelah bangunan beroperasi, bahkan tidak jarang orang bahkan sama sekali tidak melakukan upaya konservasi apapun. Berbagai komponen bangunan sebelum dipasang, terlebih dahulu menjalani treatment konservasi, agar terhindar dari serangan rayap, dan jamur dan mikro organisme lain, sebagai konsekuensi dari iklim tropis basah / lembab.

5. Fungsi Multipurpose. Biasanya pendopo utama difungsikan sebagian besar untuk aktivitas bersifat sakral dan resmi. Sekali lagi Mbah Gito menabrak pakem ini, dan menjadikan pendopo utama sebagai bangunan Multipurpose.  Dengan demikian  hampir tidak ada jadwal hari sepi aktivitas.  Beragam aktivitas dilakukan di pendopo utama, antara lain pertemuan keluarga / warga, latihan kegiatan seni, bermain, diskusi, menerima tamu dan kunjungan wisatawan. 


Profil Mbah Gito Sebagai Filantropis 

Filantropis adalah orang yang mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan kemanusiaan. Melihat kiprah dan sepak terjangnya,  Mbah Gito sudah layak menyandang predikat sebagai filantropis. Seluruh kesuksesan di bidang bisnisnya, dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berdiam di sekitar padepokannya. Mbah Gito membuka kesempatan seluas luasnya kepada masyarakat untuk memanfaatkan seluruh peluang yang tercipta berkat kunjungan wisatawan ke padepokannya. Mbah Gito memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk mengembangkan potensi diri di bidang kesenian dan wirausaha. Padepokannya menyediakan fasilitas perangkat gamelan berikut instruktur, dan menyelenggarakan beragam kursus keterampilan di berbagai bidang.

Menurut pengamatan penulis, tindakan paling spektakuler dari Mbah Gito selaku Filantropis adalah memberikan kebahagian dan keceriaan kepada anak anak dengan memberikan keleluasaan pada anak anak untuk bermain, bersenda gurau. Dari wajah anak anak desa yang asyik bermain terpancar sinar kebahagiaan. Mbah Gito paham benar bahwa anak anak adalah pewaris dan pengembang peradaban di masa depan. Tanpa anak anak yang tumbuh sehat, di lingkungan yang baik, lupakan saja mimpi untuk menjadi bangsa yang besar. 



        Anak anak bermain dan berlatih seni tari

         di Pendopo utama Padepokan Mbah Gito 

         Sumber : Dokumentasi Mbah Gito


Mbah Gito melakukan kegiatan Filantropis nya mungkin tidak dilandasi oleh metode dan teori yang canggih. Walaupun demikian, beliau sudah melakukan kegiatan CSR paling modern, yang memenuhi prinsip prinsip partisipasi aktif dari mayarakat, kemandirian dan keberlanjutan. Mbah Gito melakukan semua aktivitasnya jauh dari rasa pamrih untuk dipublikasi demi popularitas. Beliau melakukan semua itu semata mata karena kecintaannya  pada kehidupan dan kemanusian. 



                Foto Mbah Gito bersama isteri

                 Sumber : Mbah Gito 


Epilog

Mbah Gito telah membuktikan bahwa untuk menjadi seorang filantropis, seseorang tidak perlu menunggu harus menjadi seorang konglomerat super kaya. Mbah Gito dengan bermodalkan komitmennya  pada kemanusiaan dan konsisten menjalankannya dengan landasan kasih sayang kepada sesama manusia, terbukti mampu menempatkan dirinya sebagai Filantropis tulen. Penulis  merasa bangga menjadi sahabat Mbah Gito. Kami dipertemukan oleh alam semesta dan kemudian relasi itu  berkembang menjadi persahabatan yang dilandasi oleh rasa saling respek. Penulis menjadi saksi mata atas maha karya dari seorang anak manusia yang sedernahana yang terlahir dengan nama Sugito.  Peran saksi mata ini mengingatkan penulis akan seorang pujangga besar di masa lalu bernama Dang Acarya Nadendra yang populer dengan nama Prapanca. Prapanca adalah saksi mata / pelaku aktivitas traveling dari Hayam Wuruk, raja yang terbesar kerajaan Majapahit. Momen perjalanan itu ditulis oleh Prapanca di tempat terpencil, Almapura, Karang Asem di ujung timur pulau Bali, jauh dari hingar bingar intrik di pusat kekuasaan. Proses pembuatan tulisan ini juga dilakukan di tempat sepi nun jauh di puncak  tebing barat sungai Belawan yang beraliran deras, De La Rive Ouest. Mendengar Mbah Gito akan menerbitkan kisah perjalanan hidupnya, terbersit harapan, semoga  Mbah Gito berkenan melampirkan tulisan ini sebagai testimoni dari seorang sahabat di Swarnabhumi.



          Penulis bersama Mbah Gito
          Sumber : Dokumentasi pribadi 



    

       Memori di Gerbang Padepokan Mbah Gito

       Sumber : Dokumentasi pribadi










Comments