ANTHROPOCENE : SARANA KOLABORASI MULTI DISIPLIN KEILMUAN


Prolog 

Pada suatu hari di tahun 2000, dalam suatu konferensi ilmu ilmu kebumian, seorang peserta sedang membicarakan tentang kondisi terkini pada kala holocene, tiba tiba seorang peserta lain berteriak dengan suara lantang, " Tidak, kita sekarang bukan berada di kala holocene, melainkan anthropocene. Semua mata peserta tertuju kepada orang tersebut yang tidak lain adalah Paul Jozef Crutzen, seorang pakar ilmu kimia dan meteorologi berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1995 Crutzen memenangkan hadiah Nobel bidang ilmu kimia, bersama Mario Molina dan Frank Rowland. Menurut pengakuannya, Crutzen, berbicara secara spontan, tetapi kemudian mampu menyakinkan peserta dengan  kekuatan argumentasi yang diajukannya. Sejak itu istilah / konsep anthropocene mulai dikaji secara serius oleh berbagai pakar di  berbagai bidang ilmu.


Beberapa Postulat Yang Digunakan

1. Alam adalah penyimpan jejak yang terbaik. Setiap aktivitas dari berbagai komponen sistem alam semesta termasuk manusia meniggalkan jejak yang dapat dilacak pada formasi batuan /stratigrafi geologis.

2. Laju akselerasi perubahan di dalam sistem alam semesta tidak berjalan konstan, linier,  melainkan berfluktuasi baik dalam hal kecepatan maupun amplitudo dan derajat / bobot  / efek serta dampak yang ditimbulkannya. 

3. Semua perubahan di alam semesta, tidak dapat diprediksi dengan tingkat akurasi tinggi, karena bersifat acak, deterministik, gabungan ke duanya dan tidak memberi ruang sedikitpun pada yang namanya kehendak bebas ( manusia ), dan unsur teleologis

4. Titik keseimbangan ideal alam semesta tidak pernah dapat diketahui dan diidentifikasi serta tidak pernah dapat dicapai. Segala upaya rekayasa mitigasi dampak dari suatu upaya / aktivitas alam dan manusia menjadi tidak bermakna. 

Di atas postulat postulat itu, semua argumentasi dan narasi tulisan ini dibuat. 


Riwayat Perjalanan Konsep Anthropocene

Kata anthropocene berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri dari dua kata anthropos yang artinya manusia dan cene kainos ) yang artinya baru. Konsep dan pengertian anthropocene mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam pengertian terkini anthropocene diartikan sebagai jaman yang ditandai oleh pengaruh / dampak secara global aktivitas manusia terhadap sistem bumi yang dapat diamati jejaknya pada lapisan / stratigrafi formasi batuan geologis. Sepanjang riwayat bumi yang sudah berusia 4,5 milyar tahun, perubahan bentuk permukaan bumi semata mata disebabkan karena kekuatan / gaya dari dalam bumi ( endogen ) dan dari luar bumi ( eksogen ). Kekuatan itu berupa gaya gerak lempeng tektonik, aktivitas vulkanik, tektovulkanik, badai meteor, komet, longsoran gletser, patahan / sesar / fault / graben, letusan gunung api, perubahan iklim global, turun - naik permukaan laut yang disebabkan oleh fluktuasi suhu bumi. Semua perubahan itu terjadi tanpa campur tangan mahluk hidup termasuk manusia yang kehadirannya di bumi masih relatif baru ( 4 juta tahun lalu ). Sejak beberapa abad terakhir, keadaannya sudah berbeda jauh. Banyak aktivitas manusia yang sudah memberikan perubahan secara signifikan terhadap sistem bumi. Beberapa di antara tindakan manusia yang dimaksud adalah penggunaan bahan bakar fosil, telah mengubah komposisi kimiawi udara di atmosfer bumi, pembangunan bendungan raksasa di sungai sungai besar telah mengubah pola sebaran sedimen ( endapan ) di dasar laut, berkurangnya jumlah keanekaragaman jenis ikan dan populasi ikan di sungai, muara dan lepas pantai. Manusia sudah berada di jaman yang menempatkan manusia sebagai sebagai seniman pahat yang turut memberikan kontribusi karya nya dalam proses pembentukan relief permukaan bumi. Inilah esensi pemahaman terhadap konsep anthropocene.

Sebenarnya sejak abad XIX, sudah ada kesadaran akan kontribusi manusia terhadap perubahan sistem bumi. Tahun 1873, Antonio Stoppani, seorang pendeta bangsa Itali yang memiliki minat pada bidang geologi, menerbitkan tulisan yang berjudul Corso di Geologia, terdiri dari 3 jilid ( 1871 - 1873 ). Dalam tulisan itu Antonio Stoppani menyebutkan jaman berciri anthropocene sebagai jaman anthropozoikum. Stoppani mendapat inspirasi dari buku karya George Perkins Marsh yang berjudul Man and Nature the Earth as Modified by Human Action. Pada dekade 1930 an, seorang biarawan Katolik yang juga seorang paleontolog terkenal asal Perancis bernama Teilhard de Chardin memperkenalkan konsep evolusi perkembangan bumi dalam tiga tahap yaitu geosfeer, biosfeer dan neosfeer. Konsep neosfeer dapat disejajarkan dengan konsep anthropozoikum dari Antonio Stoppani. Tahun 1938 seorang ilmuwan bidang geo kimia, mineralogi dan petrologi asal Rusia bernama Vladimir Ivanovich Verdnasky menerbitkan tulisan berjudul La biosfera e la noosfera. Di dalam tulisan itu, Verdnasky mengumumkan konsep noosfeer, yang sejajar dengan konsep biosfeer, konsep anthropozoikum, konsep neosfeer dan konsep anthropocene. 

Selama hampir 50 tahun konsep itu terlupakan di antara timbunan publikasi ilmiah lainnya.  Sampai pada suatu hari di dekade 80 an, seorang ahli ekologi air tawar bernama Eugene F Stoermer mengangkat kembali konsep itu dan memberinya label nama anthropocene, tetapi tidak meresmikannya. Sampai dua dekade kemudian Paul Josef Crutzen mengumumkannya secara resmi. Sejak itu berbagai upaya dilakukan oleh para pakar khususnya bidang geologi untuk mengesahkan konsep anthropocene dalam menyusun periodesasi umur bumi dalam skala waktu geologi. Konsep anthropocene tidak sama dengan konsep konsep lain yang memerikan hubungan, pengaruh, dampak aktivitas manusia dengan alam. Konsep anthropocene lebih dari itu, konsep ini menjelaskan perubahan fundamental / mendasar yang terjadi pada bumi akibat aktivitas manusia. Bumi sekarang sudah tidak sama lagi dengan bumi di kala holocene. 

Tahun 2008 International Commission on Stratigraphy ( I C S ), organ di bawah International Union of Geological Sciences ( I U G S ), yang bertugas untuk meratifikasi stratigrafi dan geo kronologi, menerima sebuah proposal yang bagus tentang usulan memasukkan konsep epoch anthropocene ke dalam skala waktu geologi setelah epoch holocene. Tahun 2011 Geological Society of America ( G S A ), menyelenggarakan rapat tahunan yang bertema Archean to Anthropocene : The past is the key to the future.  Tahun 2015 - 2016 Anthropocene Working Group ( A W G ), mengumpulkan bukti bukti empirik yang dapat dijadikan penanda bahwa ada perbedaan signifikan antara epoch holocene dengan epoch  anthropocene. Tahun 2017, I C S meratifikasi seri terbaru dari epoch holocene yaitu Greenlandian ( 11.700 - 8326 tahun lalu ), Northgrippian ( 8326 - 4200 tahun lalu ), Meghalayan, suatu formasi batuan di India Timur Laut ( 4200 tahun lalu ). Jaman maghalayan ditandai dengan kekeringan yang meluas dan  berkepanjangan, yang telah menghancurkan banyak peradaban tinggi, seperti Harappa, Mohenjodaro, Babilonia, Mesir. Tahun 2019, 29 orang anggota A W G mengusulkan pertengahan abad XX sebagai awal dari epoch anthropocene. Argumentasinya, pada masa itu terjadi ledakan jumlah populasi manusia diikuti dengan peningkatan emisi gas -  gas rumah kaca di atmosfir, seperti CO2, CO, CH4, SOX, NOX. Pada periode yang sama banyak berlangsung percobaan ledakan bom nuklir, yang meninggalkan sisa - sisa radioaktif yang tertanam di dalam sedimen dan es, glasial dan meninggalkan jejak / catatan geologis. Pada bulan Oktober 2020, dilakukan penelitian oleh Universitas Colorado di Boulder yang membuktikan bahwa :  

1. Sejak tahun 1950, terjadi akselerasi peningkatan kuantitas gas - gas rumah kaca.

2. Penggunaan ribuan jenis bahan sintetik secara meluas, terutama plastik, mikroplastik di mana mana sehingga dapat dijadikan penanda anthropocene di mana mana.

3. Akibat pembangunan bendungan , waduk terjadi perubahan pola aliran sungai, sebaran sedimen, pola arus laut. 

Hasil studi itu membuktikan telah terbentuknya penanda sebagai indikasi kuat bahwa sistem  bumi telah menyimpang dari kondisi di masa  holocene. Penyimpangan  itu makin lebar dari kondisi holocene, yang dapat digunakan untuk pembenaran proposal penamaan jaman baru , yaitu anthropocene. Tahun 2021 diharapkan I S C, dapat meratifikasi epoch Anthropocene. Yang terpenting, bukti bukti itu terekam di dalam formasi stratigrafi dan batuan geologis.


Konsep Skala Waktu Geologis

Konsep skala waktu geologis disusun dengan cara yang super ketat, akurasi tinggi, menggunakan metode, teknik dan instrumen tercanggih yang dimiliki. Pemberian nomenklatur sangat konsisten, dengan kode warna terstandarisasi secara digital. Perbedaan warna yang tidak terdeteksi oleh alat dria mata manusia dapat dideteksi dengan alat instrumentasi. Standard kode warna disusun oleh United States Geological Survey. Ragam metode yang digunakan untuk menghitung usia dari berbagai formasi batuan geologis antara lain, Radio Carbon Dating C14, Thermoluminicen, Potasium Argon Kr 133, Dendrochronologi, Fission Track, Obsidian Hidration, Nucleid Acid Razemization, Peluruhan Isotop.

Para ahli geologi telah berhasil menyusun skala umur geologis secara akurat, sejak bumi mulai terbentuk pada 4,5 milyar tahun lalu, hingga sekarang. Di sini dipaparkan konsep skala waktu geologi secara berurutan di mulai dari yang paling tua hingga paling muda.  Konsep waktu yang paling tinggi levelnya adalah : 

1. Eon ( Masa ),  terdiri dari 4 masa yaitu, Hadean, Arkean, Proterozoikum, Fanerozoikum. Masa Fanerozoikum sedang berlangsung hingga sekarang.

2. Era. Masa Fanerozoikum, terdiri dari 3 Era, yaitu, Paleozoikum, Mesozoikum, Kenozoikum. Era Kenozoikum, masih berlangsung hingga sekarang.

3. Periode. Era Kenozoikum terdiri dari 2 Periode, yaitu, Paleogen, Neogen. Periode Neogen masih berlangsung hingga sekarang.

4. Epoch ( Kala ). Periode Neogen terdiri dari 7 ( bakal jadi 8 epoch ), yaitu Paleocene, Eocene, Oligocene, Miocene, Pliocene, Pleistocene, Holocene, ( Anthropocene ). Epoch Anthropocene belum diratifikasi. Epoch holocene masih berlangsung hingga sekarang. Setelah anthropocene diratifikasi, maka sekarang berlangsung epoch anthropocene. 

Jika dilihat secara global maka manusia masa kini hidup pada Eon Fanerozoikum, Era Kenozoikum, Periode Neogen, Epoch Holocene atau Anthropocene. Konsep skala waktu geologis, menempatkan peristiwa besar berskala global sebagai penanda berakhirnya dan dimulainya waktu tertentu. Peristiwa besar itu ditandai dengan kepunahan masal dan global berbagai spesies flora, fauna dan manusia. Sepanjang sejarah bumi sejak terbentuk hingga sekarang, telah terjadi 5 kepunahan besar dan sekarang pada epoch holocene atau anthropocene, sedang berlangsung kepunahan besar ke enam. Setiap tahun ada ribuan spesies di darat, air dan udara yang punah, tetapi sebagian besar manusia abai terhadap kenyataan ini. Mungkin dalam satu atau dua tahun ke depan, ketika anthropocene diratifikasi, maka manusia yang hidup sekarang adalah kelompok manusia modern generasi pertama yang memasuki epoch anthropocene. 


Sumber : Google


Konsep Anthropocene Dalam Perdebatan

Sejak dimunculkan oleh Crutzen, konsep anthropocene berada dalam kancah perdebatan antara pihak pro dan kontra dimasukkannya anthropocene dalam skala waktu geologis. Pihak yang anti, berargumentasi bahwa anthropocene konsep dari ilmu geologi, tetapi bukti bukti empirik yang menyokong konsep itu berasal dari ilmu ilmu sistem kebumian non geologi, ilmu ilmu sosial dan humaniora. Hal ini disebabkan karena konsep anthropocene banyak diperbincangkan dan diteliti oleh ilmuwan ilmuwan non geologi, sementara itu para geolog menginginkan bukti bukti empirik yang dapat diamati di lapisan stratigrafi. Kebuntuan itu akhirnya berhasil ditembus oleh seorang pakar anthropocene dari garda terdepan yang juga anggota A W G, bernama Jan Zalasiewicz,  yang menyatakan bahwa konsep anthropocene dapat diformalisasi ke dalam skala waktu geologi. Walaupun data berasal dari ilmu ilmu kebumian non geologi , fenomena itu dapat diamati pada lapisan stratigrafi. Zalasiewicz mengusulkan ada 2 cara, pertama , menetapkan waktu numerik yang disebut Global Standard Stratigraphy Age ( G S S A ). Cara lain adalah dengan mencari lokasi Global Stratigraphic Section and Point (  G S S P ), yang dikenal juga dengan istilah golden spike (  paku emas ). Paku emas adalah titik titik krusial dari perkembangan peradaban manusia yang berpengaruh besar tersebut sistem kebumian, seperti revolusi pertanian / revolusi neolitikum, revolusi industri, percobaan bom nuklir. Sekarang jurang perbedaan pendapat di antara dua pihak sudah berhasil dijembatani. 

Formalisasi konsep anthropocene sedang dikerjakan oleh A W G yang dipimpin oleh Zalasiewicz, kemudian diserahkan kepada Sub commission on Quartenary Stratigraphy ( S Q S ). Jika lolos voting di S Q S , usulan itu akan dibawa pada forum I C S, untuk dilakukan pemungutan suara. Jika lolos, usulan itu akan dibawa ke I U G S untuk diratifikasi  menjadi bagian dari skala waktu geologi. Menurut taksiran penulis, dalam tahun 2021 ini usulan itu diratifikasi. Banyak ilmuwan yang tidak menyadari dampak dan implikasi dari diratifikasikannya konsep anthropocene. Di antaranya terjadi akselerasi riset riset empirik di bidang itu. Selain itu Konsep inj juga bakal menggusur konsep konsep mapan yang sudah puluhan tahun bercokol di khasanah perbendaharaan ilmu, seperti konsep sustainable development  ( pembangunan berkelanjutan ).


Kondisi Bumi Pada Epoch Holocene 

Kondisi bumi pada epoch holocene ( mulai 11.700 tahun lalu ), jauh lebih stabil dari epoch pleistocene, temperatur lebih hangat. Badai meteor, aktivitas lempeng tektonik dan aktivitas vulkanik gunung berapi relatif lebih tenang. Beberapa jenis mamalia besar seperti mamouth, harimau taring mengalami kepunahan. Kondisi iklim yang semakin stabil, memungkinkan beberapa kelompok pemburu dan peramu makanan di Timur Tengah mulai mengembangkan teknik budidaya tumbuhan dan hewan. Tanaman liar yang banyak dibudidayakan adalah sejenis rumput liar dengan bulir biji bijian, yang sekarang dikenal dengan nama gandum.  Jenis hewan yang pertama dijinakkan adalah anjing, domba dan unggas. Di kawasan Asia Tenggara kelompok pemburu dan peramu mengembangkan tanaman yang mirip gandum, yang disebut padi ( oriza sativa ), dan mendomestifikasi beberapa jenis hewan mamslua seperti babi, domba dan beberapa jenis  unggas. Kegiatan pertanian dan perkebunan memberi kontribusi peningkatan konsentrasi karbon dan metana di atmosfir, walaupun kecil. Konsentrasi gas gas rumah kaca di atmosfir mulai meningkat pesat ketika di Eropa mulai memasuki revolusi industri pada abad XVIII. Pada masa itu kemampuan manusia mengelola dan memanfaatkan energi meningkat pesat, tetapi belum mengubah alam secara fundamental. Mobilitas orang, barang mulai meningkat pesat, tetapi sebagian besar manusia masih berada di tahap masyarakat pertanian. Perubahan besar dan mendasar baru mulai tampak ketika  manusia sudah melakukan uji coba senjata nuklir pada bulan Juni tahun 1945. Beberapa variabel yang dapat dijadikan dasar argumentasi sistem bumi mulai mengalami perubahan mendasar pada tahun  1950 - 2000  yaitu :


1. Populasi manusia meningkat pesat, dari 2,5 milyar menjadi 6 milyar, yang pasti juga akan meningkatkan kebutuhan pangan, sandang dan papan.

2. Tingkat pendapatan kotor nasional ( Groos Domestic Bruto  ), meningkat 7 kali lipat.

3. Investasi lsngsung dari luar negeri meningkat 4 kali lipat.

4. Tingkat pencemaran sungai meningkat hingga 7 kali lipat.

5.Tingkat penggunaan air meningkat 5 kali lipat.

6.Tingkat penggunaan pupuk buatan mencapai 7 kali lipat. 

7. Jumlah penduduk di perkotaan meningkat sebesar 7 kali lipat.

8. Tingkat konsumsi kertas meningkat sebesar 5 kali lipat.

9. Frekuensi penggunaan alat telekomunikasi meningkat 8 kali lipat.

10. Penggunaan sepeda motor sebagai alat trsnsportasi meningkat 8 kali lipat.

11. Frekuensi perjalanan wisata meningkat 8 kali lipat.

Berdasarkan fakta fakta tersebut di atas, sudah cukup alasan untuk menancapkan paku emas di periode 1945 - 1950, sebagai penanda dimulainya epoch anthropocene. Berarti selama 70 tahun terakhir berlangsungnya epoch anthropocene, tidak disadari oleh mayoritas manusia, kecuali segelintir orang yang mulai tahun 2000 disadarkan oleh Crutzen. Bahkan sampai hari  ini anthropocene masih belum diresmikan menjadi epoch tersendiri di dalam skala waktu geologi.  Dari fakta itu , jika benar sekarang sedang berlangsung epoch anthropocene, nyaris semua manusia tidak mengenali, konon pula memahami sistem bumi sebagai tempat  lahir, hidup dan mati. Sangat tepat apa yang diucapkan oleh Crutzen, bahwa kita sedang memasuki area incognito ( tidak dikenal ).


Kondisi Bumi Pada Epoch Anthropocene 

Kalau epoch holocene digambarkan sebagai masa tenang, maka pada epoch anthropocene digambarkan sebagai masa gejolak, turbulance, fenomena alam yang chaos, tidak linier, un predictable. Perubahan itu disebabkan oleh berbagai dampak aktivitas manusia.  Selama tiga abad manusia mengirimkan ratusan jutaan metrik ton pollutan partikel karbon dan debu serta berbagai gas rumah kaca ke atmosfir. Selama 70 tahun terakhir manusia juga melontarkan partikel radio aktif melalui percobaan senjata nuklir, sampah radio aktif dari instalasi pembangkit listrik tenaga nuklir. Semua bahan bahan itu mengubah komposisi udara di angkasa. Terjadilah fenonena hujan asam yang mematikan tanaman pangan, hortikultura, hewan ternak. Berbagai sumber air permukaan dan air tanah dangkal tercemar oleh bahan pollutan. Terjadi perubahan pola cuaca, iklim, yang  menimbilkan anomali, mengacaukan jadwal musim tanam, panen. Terjadi berbagai kegagalan panen, timbulnya hama penyakit tanaman dan hewan.  Terjadi kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada pada musim hujan. Neraca air jadi tidak menguntungkan ditinjau dari kepentingan manusia. Curah hujan yang berlebihan juga merusakkan tanaman berbagai jenis tanaman, memicu erosi dan longsor lahan di lereng perbukitan, meningkatkan volume sedimen di sungai, danau, saluran drainase. Hal itu  menyebabkan meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir. Banjir biasanya meningkatkan berbagai penyakit, timbunan sampah, mengurangi pasokan oksigen ke dalam tanah untuk hewan hewan tanah, karena pori pori tanah tertutup oleh endapan lumpur dan menurunkan fungsi tanah sebagai penyimpan air. Akibatnya luas genangan akan bertambah jika terjadi banjir berikutnya. 

Pembangunan berbagai bendungan dan waduk berukuran raksasa, menyebabkan perubahan pola distribusi sedimen di sungai ,  kawasan pesisir dan lautan. Sungai yang dibendung akan memperlambat aliran air, bahan hanyutan akan mengendap di dasar sungai. Air yang jatuh dari bendungan akan lebih bening, miskin unsur hara dan nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan di hilir dan muara sungai. Akibatnya produksi perikanan tangkap menurun. Berkurangnya pasokan sedimen di pesiar menimbulkan perubahan pola arus dan jenis ikan yang hidup di sana. Berbagai bahan pollutan yang berasal dari limbah industri, penggunaan pupuk, bahan pestisida, herbisida dan insektisida telah menurunkan kualitas air. Bahan bahan itu juga mematikan terumbu karang, padang lamun, dan berbagai biota air.

Pembukaan lahan pertanian tanaman pangan, perkebunan komoditi, kebun hortikultura telah meningkatkan jumlah tanaman, tetapi memperkecil variasi jenis tanaman dan. keanekaragaman hayati. Kondisi ini memicu timbulnya beragam hama penyakit.  Penebangan hutan yang tidak terkendali telah merusakkan cadangan dan sumber plasma nutfah.  Terjadi fenomena involusi sumber genetik tumbuhan dan hewan. Jumlah populasi jenis hewan tertentu yang diternakan meningkat tajam, tetapi menurunkan variasi dan jumlah tiap variasi jenis.

Pola pemukiman manusia yang tinggal menetap di kota kota besar mengalami perubahan mendasar. Sebagai besar penduduk menetap di awang awang, dalam bentuk apartemen dan kondominium.  Di jalan jalan protokol yang banyak memiliki gedung pencakar langit, terbentuk lorong lorong angin. Di dalam tanah bermunculan banyak batang tiang tiang beton berulang baja yang menjadi tiang fondasi ,yang tertanam belasan meter di bawah permukaan tanah. Keadaannya sudah seperti belantara hutan tiang beton. Di bawah permukaan tanah bermunculan gua gua artificial berukuran raksasa, meniru bentuk speleo ( gua ) alam, berupa jalur kereta subway dan saluran drainase. Semua fenomena itu meninggalkan jejak yang sangat jelas di dalam lapisan stratigrafi. Kalau di kala holocene awal di lapisan stratigrafi seluruhnya tersusun dari benda alam, di kala holocene akhir terdapat sedikit tekno fosil,  ( di dalam ilmu arkeologi, objek yang sama di sebut artefak teknomik ) dan di kala Anthropocene, hampir seluruh lapisan stratigrafi banyak ditemukan tekno fosil. Hal itulah yang menandakan adanya perbedaan yang nyata antara kala holocene dengan anthropocene. Jejak tekno fosil berupa unsur radio aktif dengan mudah dapat diamati bahkan di bawah lapisan es di kutub utara dan  kutub selatan akibat percobaan senjata nuklir. Uraian di atas sudah cukup menjelaskan bahwa anthropocene bukan sekadar ilusi, tetapi benar benar nyata dan kita adalah generasi pertama penghuninya. Kehadiran anthropocene bukan bukti keperkasaan Homo Sapien atas alam, tetapi lebih sebagai keterperosokan / kecelakaan sejarah yang tidak terelakan, sebagai konsekuensi logis dari jalur yang dipilih oleh leluhur di masa yang jauh dari masa hidup kita sekarang. Kita terlempar ke dunia yang tidak dikenal sebelumnya, belum kita pahami sepenuhnya, konon pula merasa menguasainya dan mengendalikannya. Tugas yang menanti kita di masa depan adalah mengenali, mengidentifikasi, memahami dunia anthropocen. Oleh karena keterbatasan pengetahuan, seharusnya kita saling bekerjasama, dan anthropocene memberi peluang untuk itu.


Implkkasi Kehadiran Anthropocene Bagi Ilmu Pengetahuan 

Beberapa dekade lalu, kemunculan teori Chaos telah menggemparkan dunia keilmuan. Teori chaos datang memporak porandakan berbagai aksioma, postulat, asumsi asumsi ilmu ilmu yang berindukkan pada aliran filsafat mekanistik, positivisme, linier. Berbagai pemikiran filsafat ilmu ilmu tersebut rontok diterjang badai teori chaos. Teori chaos segera mendapat pengaruh dan popularitas sebagai teori yang andal. Teori itu masuk ke segala disiplin ilmu yaitu fisika, kimia, biologi, ekonomi, hukum, teknik rekayasa, genetika, ilmu ilmu sosial, budaya, kosmologi, antariksa , ilmu militer dan sebagainya. Keadaan yang hampir sama terjadi pada anthropocene. Anthropocene telah mengguncangkan fondasi ilmu ilmu positivistik. Para ilmuwan dari beragam ilmu pengetahuan harus bekerjasama. Salah satu paradigma yang berantakan diterjang oleh anthropocene adalah Pembangunan Berkelanjutan ( Sustainable Development  ) Paradigma pembangunan berkelanjutan lahir dari hasil kerja Komisi Brundtland , yang dibentuk oleh oleh PBB pada tahun 1983 dengan tugas mencari konsep terobosan untuk mengatasi krisis yang melanda dunia ketika itu.  Komisi itu merampungkan tugasnya pada tahun 1987 dan menerbitkan laporannya yang di beri judul Our Common Future. Di dalam laporan itu terdapat konsep baru yang kemudian populer dengan nama konsep pembangunan berkelanjutan. Ketika baru dilahirkan konsep itu masih kasar, mirip jargon jargon kosong, bersifat normatif.  Butuh waktu lebih dari 3 tahun untuk membuat konsep itu mampu tampil semi operasional. Konsep tersebut terus menerus dipertajam, disusun berbagai formula persamaan  matematis agar dapat dioperasionalkan. Pada tahun 2005 ke atas konsep pembangunan berkelanjutan sudah dapat dioperasionalkan secara empirik.

Di bidang perikanan laut tangkap, konsep ini pernah diterapkan dengan menggunakan teori Gordon - Schiffer dan menggunakan model Maximum Sustainable Yield . Jika dikritisi, teori dan model itu terkesan terlalu dipaksakan agar terlihat harmoni dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai metode / teknik memanfaatkan sumberdaya alam oleh generasi masa kini, tanpa mengurangi kesempatan generasi masa depan untuk memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan skala dan tingkat yang sama dengan yang dinikmati oleh generasi masa kini. Definisi ini terlihat rancu, tidak realistis. Jumlah populasi penduduk terus bertambah. Sementara itu data kuantitas dan kualitas sumberdaya  masa kini yang menjadi base line belum diketahui. Lantas bagaimana mungkin dapat menetapkan level kuantitas dan kualitas sumberdaya yang boleh dimanfaatkan generasi masa kini dan dijamin pula bahwa level yang sama dapat dinikmati oleh generasi mendatang yang sudah pasti jumlahnya lebih banyak. Jika ditelusuri lebih dalam, konsep pembangunan berkelanjutan dibangun di atas landasan 3 asumsi dasar, yaitu : 

1. Sumberdaya terbatas, dan dapat diketahui, dihitung dan diakses oleh manusia secara langsung dan tidak langsung.

2. Pemanfaatan sumberdaya dapat diatur. 

3. Manusia dapat menjaga sumber daya secara terus-menerus.

Kembali pada contoh sumberdaya perikanan, perubahan terus menerus terjadi, dan di kala anthropocene, kondisinya jauh lebih sulit diprediksi. Kondisi habitat ekosistem laut yang terus berubah membuat segala prakiraan / prediksi teori meleset. Kita tidak dapat menghitung batas penangkapan yang ideal agar dapat dijamin jumlah yang tersisa dapat dikatakan dapat menjamin keberlanjutan. Dengan demikian ketiga asumsi di atas menjadi tidak relevan. Dalam kala holocene, manusia dianggap tokoh sentral, menata alam yang harmonis, tidak bergejolak, bersifat linier, dapat mengendalikan seluruh alam menurut kaidah hukum mekanistik. Itu norma di kala holocene, sekarang kita berada di kala Anthropocene yang kondisinya jauh berbeda, tidak mengenal kondisi keseimbangan harmonis. Di kala anthropocene, jangan berharap dapat membayangkan kondisi alam statis, kita mengira  dengan menjaga alam, menetapkan batasan batasan, maka alam akan terus ada untuk dieksploitasi. Konsep pembangunan berkelanjutan mengandung kontradiksi penalaran yang sangat serius. Di satu sisi mengakui bahwa sumberdaya sifatnya terbatas, di lain sisi, menginginkan pertumbuhan terus menerus. Anthropocene adalah kondisi baru sama sekali, harus dihadapi dengan narasi baru, dan yang pasti bukan narasi berkelanjutan. Dengan hadirnya epoch athropocene, konsep pembangunan berkelanjutan sudah harus masuk kotak, bersamaan dengan berlalunya epoch holocene.

Anthropocene Dalam Perbincangan Dunia Akademis

Sejak konsep Anthropocene pertama kali dikumandangkan oleh Crutzen pada tahun 2000, Muhammad Unis Ananda Raja , seorang cendekiawan muda dari UGM pada tahun 2018 telah menginventarisir kepustakaan yang membicarakan konsep itu, dan inilah hasilnya : 

1. Ada 2237 dokumen yang membahas konsep itu, terdiri dari artikel, review, bab dari buku, artikel konferensi, buku, editorial dan lain lain. Tahun 2017 menyumbang publikasi terbanyak, mencapai 550 judul. Tahun 2001 hanya satu artikel yang ng diterbitkan. Dua bulan pertama di tahun 2018, sudah ada 54 judul yang dipublikasi.

2.Bentuk publikasi terbanyak adalah artikel, sebanyak 56,1%, diikuti oleh review 14,8%, , bab buku mencapai 11,7% , artikel konferensi 4%, editorial 3,4%, buku 3%, artikel in Press 2,3%, Note 2,2%.

3.Jika ditelusuri ragam disiplin ilmu para penulis, maka didapat hasil sebagai berikut : ilmu lingkungan dan ilmu sosial adalah kontributor terbesar, keduanya hsnya berselisih 0,1%, 21, 3 dan 21, 2%. Ilmu kebumian 14,7%, seni dan humaniora 12%, pertanian dan ilmu biologi 10,1%, ekonomi dan keuangan 2,9%, bisnis, manajemen dan akuntan 2,8%, rekayasa teknik 2,8%,kedokteran 2,4%, multidisipliner 2%, biokimia, genetika dan biologi molekuler 1,7%, kimia, 1,1% dan energi 0,9 %.

4. Dari 2237 dokumen ysng sudah dipublikasi, ternyata hanya 8 judul yang berbahasa Indonesia dan tujuh diantaranya adalah intelektual muda berusia di bawah 30 tahun dan ke tujuh orang itu berasal dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Anthropocene adalah bidang kajian yang menarik perhatian banyak pihak dengan beragam latar belakang keilmuan. Sejak awal kemunculannya, konsep ini sudah membuka peluang lebar pada beragam keilmuan untuk bekerjasama mengembangkan bidang kajiannya. Ilmuwan yang terlibat tidak hanya berasal dari sat atau dua disiplin ilmu saja. Hal ini menunjukkan bahwa lewat konsep anthropocene kerjasama antar disiplin keilmuan terbuka lebar.

2. Hiruk pikuk perdebatan yang memperbincangkan konsep ini gaungnya nyaris tidak terdengar kalangan akademisi Indonesia.  Ilmuwan senior Indonesia seolah tidak mengikuti perkembangan termutakhir konsep konsep penting keilmuan. Justru ilmuawan muda yang lebih responsif dan terbuka terhadap ide ide baru.


Anthropocene Dalam Perbincangan Budaya Pop

Ketika teori Chaos muncul dan menggebrak dunia, pengaruhnya merasuk ke berbagai aspek kehidupan, termasuk berbagai bidang seni dan budaya populer. Tahun 1996 penulis yang sangat berbakat bernama Michael Chrichton mengangkat tema teori Chaos di dalam novelnya yang fenomenal yang berjudul Jurasic Park dan The Lost World. Ke dua novel itu telah difilmkan oleh sutradara beken betnama Steven Spielberg. Dalam novel dan film itu digambarkan pertarungan antara dua aliran pemikiran yang paling dominan di dunia ilmu pengetahuan yaitu aliran mekanistik yang diwakili oleh ahli biologi, melawan aliran pemikiran chaostik ysng diwakili oleh ahli matematika.  Pertarungan ke dua aliran itu berakhir dengan kemenangan di pihak aliran chaostik. 

Anthropocene, ketika muncul juga mempengaruhi banyak sendi sendi kehidupan modern. Pada tahun 2018 dirilis film dokumenter yang meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik pada momen Festival Film International di Toronto, Canada. Film itu berjudul Anthropocene : The Human Epoch.  Sutradara film itu adalah Jennifer Baichwal, Edward Burtynsky dan Nicholas Pencet. Tahun 2020 dirilis film berjudul Anthropocene dengan sutradara bernama Emir Skalonje.


Epilog

Kemunculan konsep anthropocene membawa angin segar bagi dunia keilmuan Indonesia. Konsep ini sudah membongkar banyak dogma, aksioma , postulat dan asumsi asumsi ilmu ilmu yang sudah mapan.  Kajian konsep anthropocene dapat membuka cakrawala lebih luas sekaligus meruntuhkan tembok pemisah / sekat pembatas yang mempersempit wawasan keilmuan.  Dalam perbincangan sehari hari dalam pergaulan di kalangan Ilmuwan, penulis sering bertanya tentang konsep anthropocene. Yang memprihatinkan, tidak sampai hitungan jari satu tangan yang pernah mendengarnya. Hal ini benar benar keterlaluan, sebuah konsep keilmuan yang penting,  populer, menimbulkan perdebatan panjang, bahkan sudah merasuk ke ranah budaya populer, sudah diangkat ke layar perak, tetapi tidak dikenal. Ini sebuah paradoks, di satu sisi para ilmuwan Indonesia sangat bergairah menulis di jurnal berkategori terindeks scopus, tetapi abai terhadap òkonsep penting yang bertaburan dipublikasi di jurnal jurnal terindeks scopus.




 






Comments