KISAH DARI TEBING PERBUKITAN DI SAMOSIR

Prolog

Samosir sekarang dikenal sebagai pulau yang berada di danau Toba. Sebenarnya Samosir bukan merupakan sebuah pulau, melainkan tanjung atau semenanjung, menyatu dengan pulau Sumatera, dihubungkan dengan tanah genting. Di kalangan penduduk lokal, tanah genting itu disebut Tano Ponggol. Pada dekade pertama abad XX, Penerintah Kolonial Hindia Belanda, menggali kanal di tanah genting itu, sehingga praktis sejak saat itu daratan tanjung Samosir berubah menjadi pulau Samosir.  Alasan dan motif Pemerintah Kolonial membuat Samosir menjadi pulau, kelak pada kesempatan berikutnya akan diuraikan dalam satu tulisan tersendiri. Penampakan pulau Samosir pada masa kini adalah sebuah pulau gersang di tengah danau Toba, dengan kota Pengururan sebagai ibukota Kabupaten. Pada masa Kolonial, Samosir adalah daerah yang berada di bawah kendali seorang Controleur, berkedudukan di Pangururan. Alasan Belanda memilih Pangururan sebagai tempat kedudukan controleur, karena daerah itu yang memiliki  topografi datar atau landai yang paling luas. Hal itu adalah sebuah pertimbangan yang sangat logis dan rasional. Berdasarkan bentuk lahan, dapat dipastikan bahwa lokasi kota Pangururuan merupakan daerah paling tua ( paling awal ), terbentuk dibandingkan lokasi lain di Samosir, karena pelapukan bantuannya sudah mencapai tingkat lanjut dan memiliki ketebalan solum tanah paling besar. Di bagian bagian lain dari Samosir masih banyak terdapat tebing tebing perbukitan tinggi, terjal yang belum mengalami pelapukan intensif.  Perbukitan terjal menunjukkan bahwa usia pembentukannya tergolong relatif muda dan belum mengalami pelapukan tingkat lanjut. Bentuk dan rupa tampilan fisik berbagai daerah perbukitan di Samosir beraneka ragam. Fenomena itu sangat menarik untuk dipelajari agar dapat diperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan. Peneliti beruntung mendapat kesempatan mempelajari tebing-tebing perbukitan di Samosir. Dengan bekal ilmu yang dimiliki, dimulailah proses interview secara imajiner dibantu dengan observasi cermat dan peralatan instrumentasi antara peneliti dengan tebing tebing perbukitan di Samosir. Hasil dialog dengan tebing perbukitan   dipaparkan di bawah ini. Untuk membantu pembaca agar dapat bersama sama ikut menikmati tour / field trip imajiner menembus lorong waktu, akan ditampilkan foto foto beberapa tebing bukit. Tebing bukit itu menjadi "saksi" peristiwa penting di masa lalu sekaligus sebagai wahana perjalanan menembus ke masa silam, sejak 74.000 tahun lalu -- 33.000 tahun lalu -- 3000 tahun lalu -- sekarang.

Kisah Dari Tebing Bentukan Marine

Hampir seluruh pulau Samosir terbentuk dari batuan endapan ( batuan sedimen ). Di seluruh permukaan bumi ada tiga jenis batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorph. Batuan sedimen terbentuk karena proses pengendapan dari material batuan, jasad hidup yang dihanyutkan aliran air dan mengendap, mendeposit, berakumulasi di suatu lokasi tertentu, membentuk lapisan lapisan ( layer ) tanah. Kisah ini dimulai dari 74.000 tahun lalu ketika terjadi letusan mega super Volcano Gunung Toba. Lebih dari 2.800 Km3 material lava, piroklastik dilontarkan dari perut gunung Toba ke angkasa. Atmosfer bumi selimuti debu vulkanik tebal, sehingga menghalangi sinar matahari ke permukaan bumi. Enam tahun bumi mengalami gelap gulita, tidak mendapat pasokan sinar matahari. Proses fotosintesis terhenti, menyebabkan kematian massal tumbuh tumbuhan. Akibatnya hewan hewan kehilangan sumber makanan dan ikut mengalami kematian massal. Manusia sebagai mahluk di ujung rantai makanan ( heterotroph ), juga  mengalami kematian  massal. Dapat dikatakan kehidupan di bumi nyaris punah. Hanya sekitar 2000 an orang yang bertahan hidup dari belasan  juta populasi manusia yang bertahan hidup dalam kondisi memprihatinkan. Mereka yang bertahan hidup menetap di padang sabana Afrika Timur, di perbatasan negara Kenya dan Tanzania sekarang. Dari populasi manusia yang tersisa  itulah manusia melanjutkan kehidupan, berkembang biak dan mengembangkan peradaban. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa penduduk bumi yang saat ini berjumlah 7 milyar jiwa, memiliki genom / peta genetik yang sama. Artinya 7 milyar penduduk bumi dimanapun menetap dan apapun  ras atau bangsanya, memiliki peta genetik yang sama, dan itu berarti seluruh manusia yang ada di bumi memiliki leluhur yang sama, yaitu populasi yang tersisa / selamat dari kepunahan massal. Begitu fenomenalnya peristiwa letusan gunung Toba, jejaknya terekam di lapisan batuan geologis bahkan sampai terekam di dalam gen semua manusia. Peristiwa itu juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan / peradaban manusia. Setelah debu vulkanik  
turun dari angkasa, sinar matahari kembali menyinari bumi, kehidupan baru dimulai. Letusan gunung Toba meninggalkan kawah raksasa yang kemudian diisi oleh air hujan, terbentuklah danau Toba. Pada awal perkembangannya danau Toba menjadi danau oligotrofik. Danau oligotrofik memiliki ciri berair jernih, dasarnya berbatu, suhu dingin, sinar matahari menembus jauh ke dalam air.  Hampir tidak ada biota air dan tumbuhan air yang hidup. Akibatnya tidak terjadi penguraian/ perombakan  material jasad hidup atau jasad renik. Kondisi ini tidak memungkinkan bertahannya mahluk hidup di danau. Kondisi danau oligotrofik bertahan selama beberapa ribu tahun. Kemudian muncul tumbuh tumbuhan air dan darat di tepi danau. Daun daunan mulai berguguran diterpa angin dan masuk ke dalam air. Beberapa jenis hewan hewan air mulai hidup di tepi dan di dalam air. Hal itu menyebabkan mulainya era kehidupan baru di danau Toba. Siput, keong, ganggang ketika mati, jasadnya berakumulasi tertimbun dan mendeposit  di dasar danau. Dengan adanya perombakan material jasad hidup, muncul bakteri. Aktivitas bakteri menyebabkan suhu air danau meningkat dan terbentuk lapisan lumpur di dasar danau. Kehadìran endapan lumpur membuat air menjadi lebih keruh dan menghalangi sinar matahari menembus bawah permukaan air. Pada kondisi ini danau Toba sudah memasuki tahap perkembangan mesotrofik. Waktu berjalan terus sampai pada suatu waktu,   33.000 tahun yang lalu, akibat bekerjanya gaya endogen yang timbul dari proses tekno volcano gunung api Toba, terjadi pengangkatan dasar danau menembus permukaan air, menjadi daratan yang kemudian dikenal sebagai Tanjung Samosir. Semakin lama  ukuran daratan yang menyembul dari bawah permukaan air makin besar dan makin tinggi, membentuk perbukitan yang materialnya  batuan sedimen ( endapan ) yang terbentuk dari fosil ganggang air ( ganggang hijau, merah dan kuning keemasan ), cangkang biota air. Fenomena ini menjelaskan bahwa daratan Samosir terbentuk dari batuan sedimen di dasar danau dan usianya lebih muda dari danau Toba. Batuan sedimen yang membentuk perbukitan Samosir, dikombinasi dengan lapisan endapan debu vulkanik di dasar danau  ( tuff ). Foto foto di bawah ini dapat membantu pembaca memahami narasi yang dikisahkan oleh tebing bukit itu.



Gambar 1 :Tebing bukit yang terbentuk dari endapan ganggang air, membuktikan bahwa daratan Samosir terbentuk dari batuan sedimen yang terangkat dari dasar danau.



Gambar 2:Dinding bukit yang terbentuk dari lapisan endapan ganggang air berwarna kuning keemasan dikombinasi dengan lapisan debu vulkanik ( tuff ).






Gambar 3, 4, dan 5 . Dinding bukit yang terbentuk dari lapisan endapan ganggang air berwarna kuning keemasan bercampur dengan ganggang berwarna merah.

Gambar 6. Dinding bukit yang keseluruhannya terbentuk dari lapisan abu  vulkanik ( tuff ), bukti  dari letusan maha dahsyat  dari gunung api Toba.


Dinding bukit yang terbentuk dari endapan  lapisan ganggang air dan cangkang biota air disebut juga tanah diaton (diatomaceous earth ) atau diatonik, sejenis batuan sedimen silika ( kieselgur ). Batuan sedimen silika bermanfaat untuk membasmi kelabang, berbagai jenis semut, serangga, untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh cacing dan kutu pada hewan. Diatonik termasuk kelompok ganggang ( algae ) yang menyusun fitoplankton yang umumnya ditemukan di ekosistem air tawar dan ekosistem lautan. Penumpukan cangkang diaton yang sudah mati dikenal sebagai tanah diaton. Pada cangkang diatonik terkandung senyawa silika. Silika biasanya ditemukan di alam, ( pasir, batu ). Cangkang diaton mampu bertahan sangat lama pada tanah meskipun tertimbun selama berabad abad. Selama tertimbun, silika yang ada di dalam cangkang mengendap di dasar air, lama kelamaan berubah menjadi tanah diaton. Umumnya diaton  yang ditemukan memiliki sel tunggal dan chlorofil sehingga mampu berfotosintesis. Ada dua jenis diaton yaitu food grade, dapat dikonsumsi dan leter good, tidak dapat dikonsumsi karena beracun, sehingga difungsikan hanya untuk kebutuhan di sektor perindustrian. Jika dilihat dari bentuk lahan  dan lapisan stratigrafi, bagian termuda dari daratan Samosir adalah semenanjung Tuk Tuk, usianya 3.000 tahun lalu , di jaman Holocen.

Masa Depan Danau Toba

Tebing bukit daratan Samosir tidak mungkin dapat menjelaskan bagaimana masa depan danau Toba. Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus berpaling kepada fenomena sistem danau Toba hari ini dan membandingkannya dengan kondisi danau danau di tempat lain. Permodelan matematis, simulasi dan manipulasi model, uji model dan revisi model sangat bermanfaat untuk menjawab pertanyaan itu. Hasil kajian permodelan memberi informasi berharga. Setelah itu, nasib danau Toba sangat tergantung kepada para Stakeholder, para pengambil keputusan. Studi permodelan untuk menganalisis kondisi danau Toba menggunakan model dinamis atau model matematis yang dikembangkan oleh Dennis Meadow dan kemudian disempurnakan oleh Jay Wright Forester.  Prosedur yang ditempuh untuk membuat model tersebut adalah : 
  1. Mendefinisikan masalah dan membuat batasan dunia.
  2. Menentukan variabel variabel utama dan mengelompokkannya dalam kategori kategori level / stock, rate / flow, casual loops.
  3. Melakukan formulasi model. simulasi model, manipulasi model, verifikasi model, revisi model, validasi model.

 Di bawah ini dipaparkan apa yang dihasilkan dari studi permodelan. Pemanfaatan danau secara intensif memberikan tekanan pada danau Toba. Danau Toba menderita pukulan dan tekanan hebat dari dua arah. Dari arah atas tekanan datang berupa kerusakan Daerah Tangkapan Air (  DTA ). Dari arah bawah, tekanan datang dari pemanfaatan danau secara intensif dan masif. Dari waktu ke waktu luas DTA, makin berkurang. Hal ini menyebabkan rusaknya keseimbangan neraca air di kawasan DTA. Pada musim hujan,  air melimpah, menimbulkan erosi yang tidak terkendali, menimbulkan laju sedimentasi berlebihan yang pada akhirnya membuat daya tampung danau berkurang. Meningkatnya sedimentasi di danau, membuat danau semakin subur ( proses eutrofikasi ),dipenuhi oleh tumbuhan air. Air danau menjadi lebih hangat dan kekeruhannya meningkat. Sementara itu dari arah bawah, tekanan  penggunaan lahan di DTA danau Toba semakin intensif. Praktek pertanian dilakukan tanpa memperhitungkan kemampuan daya dukung lahan pertanian. Hal ini semakin memicu tingginya tingkat erosi dan sedimentasi, yang pada akhirnya juga makin meningkatkan proses eutrofikasi di danau Toba. Selain itu kegiatan pemanfaatan danau Toba sebagai area peternakan ikan air tawar melalui Pemanfaatan Jaring Apung ( Keramba ). Sekarang terdapat ribuan unit keramba di seluruh areal danau Toba dan trend perkembangannya terus mengalami peningkatan. Pemberian pakan ikan secara berlebihan, menyebabkan air danau Toba mengalami pengayaan nutrisi yang semakin meningkatkan daya eutrofikasi di danau dan semakin memicu perkembangan serta meluasnya area yang ditumbuhi oleh tumbuhan air. Kondisi ini diperparah oleh pembangunan pemukiman dan hotel serta restoran yang cenderung tidak terkendali. Akibat selanjutnya dapat dipastikan yaitu meningkatnya volume sampah domestik (  sampah organik,  an organik ), sampah Bahan Beracun Berbahaya dan kategori sampah lain lain yang  masuk ke danau. Semua peningkatan ekskalasi  aktivitas  manusia di kawasan danau Toba, ikut memberi kontribusi dalam peningkatan laju eutrofikasi air danau Toba dan hal itu mendorong percepatan danau tersebut memasuki tahap perkembangan stadium III, yang artinya danau Toba memasuki tahap Eutrofik. Kondisi Eutrofik danau Toba diperparah lagi oleh manajemen  keairan yang buruk oleh para stakeholder. Ekosistem danau Toba mendapat pasokan air dari curah hujan dan  dari 18 sistem rejim sungai yang mengalirkan air masuk ke danau Toba ( aliran in flow ). Air danau Toba ke luar dari sistem danau Toba  melalui penguapan (  evapotranspirasi ), dan satu sungai besar yang mengalirkan air danau Toba ke laut melalui sungai Asahan. Air danau Toba yang keluar melalui sungai Asahan dimanfaatkan untuk memutar dinamo dan turbin pembangkit listrik tenaga air ( PLTA ) Asahan. Listrik yang dihasilkan, disalurkan untuk memasok kebutuhan listrik bagi industri peleburan aluminium. PT Inalum. Sering sekali air yang disalurkan keluar dari danau Toba melebihi volume air yang masuk.  Akibatnya neraca air sistem keairan danau Toba mengalami defisit dan terjadilah  penyusutan jumlah volume air di danau Toba dan akibatnya terjadi penurunan ketinggian muka air danau Toba dari permukaan laut. Ketinggian permukaan air danau Toba yang ideal menurut kondisi model ekosistem danau Toba pada dekade 70 an, ketika PLTA Asahan dibangun, salah satu stakeholder utama, adalah 904 m dari permukaan laut. Dengan kondisi manajemen keairan carut marut, selama 4 dekade terakhir, ketinggian permukaan air ideal itu sangat jarang dapat dicapai, bahkan pada tahun 2000 pernah mencapai ketinggian 900 meter dari permukaan laut. Kondisi itu disebabkan karena sulit sekali mempertahankan keseimbangan neraca air danau Toba. Semua faktor yang telah dibahas di atas turut berkontribusi menciptakan kekacauan, sehingga sulit tercapai kondisi ideal yang dinginkan oleh semua stakeholder danau Toba. Mungkin kondisi ideal yang diinginkan PT Inalum, ķetinggian air danau Toba 904 m dari permukaan laut sulit dicapai tanpa menimbulkan gejolak protes dari para stakeholder lain. Banyak lahan yang sebelumnya tergenang, sekarang berupa lahan kering, sudah diduduki pihak lain dan sudah dikeluarkan sertifikat nya oleh Badan Pertanahan Nasional, akan tenggelam jika ketinggian muka air danau dikembalikan ke level 904 meter  . Selain itu jika ketinggian muka air sudah mencapai 904 meter dan pintu air di regulating dam di desa Siruar dibuka maksimal, maka akan terjadi gelontoran air bah di sungai Asahan sebesar 110 m3 per detik. Menurut simulasi model sistem dinamis, jika hal itu terjadi, dapat dipastikan kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai akan tergenang dilanda banjir kiriman dari desa Siruar, Porsea. Mereka pasti akan protes keras kepada PT Inalum. Perubahan penggunaan lahan di kabupaten Asahan, dan kota Tanjung Balai telah mempersempit daerah resapan air, meningkatkan laju sedimentasi di sungai Asahan, sehingga mempersempit badan air dan memperkecil daya tampung sungai Asahan. Gelontoran air sebesar 110 m3 dari regulating dam di Siruar, pasti menimbulkan banjir di hilir dan muara sungai Asahan. Untuk mengatasi masalah itu, semua stakeholder harus duduk bersama merumuskan ulang bentuk keseimbangan baru ekosistem danau Toba yang dapat diterima semua pihak yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung. Semua kekacauan itu telah menempatkan danau Toba pada posisi stadium III menurut ilmu tentang danau ( limnologi ). Ketika suatu danau sudah berada pada tahap eutrofik, maka selangkah lagi danau tersebut memasuki ambang kematiannya. Ketika suatu danau sudah mengalami tahap eutrofikasi yang intensif, maka danau tersebut segera memasuki stadium IV yaitu tahap distrofik. Pada kondisi ini, tumbuhan air sudah sangat dominan menutupi permukaan air danau. Pendangkalan terjadi di hampir semua penjuru danau. Luas danau menyusut drastis. Danau yang sebelumnya relatif luas, berubah menjadi banyak danau kecil, dangkal dan akhirnya menjadi daratan.


Masa Depan Samosir

Jika skenario danau Toba di masa depan berakhir dengan kondisi Distrofik, bagaimana pula dengan kondisi Samosir ?
Agaknya kita harus kembali melihat dan berdialog dengan tebing tebing bukit di Samosir. Tebing Samosir menyampaikan berita bahwa kisah gunung api Toba belum tamat. Gunung Toba hanya istirahat, kemudian di masa depan agak bergolak lagi. Danau Toba boleh surut bahkan kering sama sekali, pulau Samosir berubah jadi bukit di tengah kawah gunung Toba, tetapi aktivitas teknovulkaniknya jalan terus. Bukit ( daratan ) Samosir terus terangkat walaupun ekskalasi kecepatannya berkurang ( 0,3  --   0,4 cm per tahun ). Aktivitas gunung api Toba masih terus berlanjut, dengan bukti adanya kawah belerang dan mata air panas di Geo Point Aek Rangat. Jika skenario itu terjadi, kapan kiranya peristiwa letusan gunung api Toba berikutnya?. Tebing bukit Samosir belum memberi petunjuk yang akurat. Jika melihat pola letusan letusan sebelumnya yang berjarak waktu jeda lebih kurang 400.000 tahun, bolehlah kita coba membuat taksiran, kira kira lebih kurang 300.000 an tahun ke depan. Jadi kita tidak perlu cemas, peristiwa itu pasti tidak kita alami bahkan sampai 1000 generasi ke depan sekalipun, tapi itu pasti terjadi. Mungkin para pelaku yang menyaksikan peristiwa besar itu bukan lagi manusia Homo Sapien seperti spesies kita, mungkin Homo Technium, atau bahkan spesies yang lebih canggih lagi.

Epilog

Benda benda mati seperti batuan, air, udara ternyata dapat berperan sebagai responden, layaknya seperti manusia. Untuk dapat menjadikannya sebagai responden atau sumber berita, kita perlu mempelajari sifat dan karakternya. Makin banyak pengetahuan kita tentang alam, semakin banyak pula informasi penting dapat disadap darinya. Alam adalah penyimpan jejak yang terbaik. Peristiwa yang terjadi  pada jutaan atau ratusan ribu tahun lalu rekaman jejaknya masih dapat dilihat sampai saat ini. Rekaman itu ditampilkan dalam berbagai fitur dan visual. Jejak-jejak itu hanya dapat dibaca oleh mata orang yang terlatih dan memiliki penguasaan ilmu-ilmu kebumian. Informasi yang diberikannya dapat diandalkan kebenarannya. Harap diingat bahwa ilmu tidak berambisi mencari kebenaran mutlak, tetapi mencari kebenaran yang dapat diandalkan. Dengan level dapat diandalkan, ilmu sudah memberikan kontribusi sangat besar terhadap perkembangan peradaban manusia.

Comments