RELASI KUASA, PEMALAKAN, PERUNDUNGAN DAN BULLYING

 

Prolog

Tahun 1990 dirilis sebuah film berjudul Dead Warrant, disutradarai oleh Deran Safarian Naylor dengan pemeran utama aktor laga asal Belgia keturunan Perancis bernama Jean Claude van Dame. Film itu mengisahkan kebobrokan kondisi penjara di Kanada dan Amerika Serikat. Pimpinan dan staf penjara terlibat dalam perdagangan gelap organ tubuh yang diperuntukan bagi pasien super kaya yang membutuhkan operasi transplantasi organ tubuh. Aparat penegak hukum kesulitan membongkar modus praktek busuk tersrbut, karena semua personil penjara termasuk narapidana kompak melakukan gerakan tutup mulut. Untuk membongkar kasus kasus narapidana yang lenyap secara misterius, polisi terpaksa menyusupkan detektif terbaik yang menyamar sebagai narapidana bernama Louis Burke. Narapidana palsu itu mengalami berbagai perlakuan buruk, disiksa secara fisik, diteror dan diintimidasi secara mental oleh petugas penjara dan sesama narapidana. Bahkan Burke dijadikan sasaran untuk dilenyapkan dan diambil organ tubuhnya. Upaya itu gagal karena skill bela diri Burke tidak tertandingi oleh petugas dan narapidana lain. Untuk melenyapkan Burke, pimpinan penjara mendatangkan tokoh dunia hitam monster pembunuh yang handal bernama Christian "The Sand Man" yang diperankan oleh Patrick Kilpatrick. Melalui pertarungan sengit, Burke berhasil menewaskan The Sand Man dan berhasil meringkus pimpinan penjara. Film itu menggambarkan bagaimana sulitnya mencari bukti kejahatan terorganisir. Kondisi buruk penjara di Amerika sudah menjadi rahasia umum, tetapi sulit sekali membuktikan praktek busuk itu. Seperti kentut, tidak kelihatan, tetapi kehadirannya dirasakan banyak orang.

Kisah di atas mirip kondisinya dengan apa yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya praktek pemalakan, perundungan dan bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis ( PPDS ) di lingkungan Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Besar di Republik. Kasus yang menimpa seorang dokter muda wanita bernama Aulia Risma Lestari, ASN asal kota Tegal yang menempuh pendidikan dokter spesialis bidang Anastesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas  Kedokteran Universitas Diponegoro ( UNDIP ) Semarang,  hanya puncak gunung es yang muncul di atas permukaan laut. Diduga ada lebih banyak kasus sejenis yang belum terungkap kepermukaan. Sangat sulit membuktikan kebenaran sinyalemen itu. Dokter Risma diduga melakukan bunuh diri dengan menyuntikan diri sendiri dengan obat yang mengakibatkan kematiannya. Pihak keluarga mengangkat kasus itu dengan menampilkan pesan pesan berisi keluhan atas beban yang ditanggungnya sudah melewati batas daya tahannya, sehingga melakukan tindakan bunuh diri. Pihak UNDIP dan Rumah Sakit Dr Kariadi menolak tuduhan itu. Demikian juga seluruh mahasiswa PPDS mengamini bantahan itu. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin sepertinya sudah sampai pada batas kesabarannya. Tanpa menunggu hasil investasi pihak eksternal, langsung menjatuhkan vonisnya berupa penghentian kegiatan PPDS bidang Anastesiologi dan Terapi Intensif untuk sementara waktu. Direksi Rumah Sakit Dr Kariadi menghentikan praktek dokter YWP Dekan Fakultas Kedokteran UNDIP di rumah sakit yang dipimpinnya. Sebagian pihak menilai sanksi itu belum waktunya diterapkan, harus menunggu hasil investigasi mendalam. 

Di tengah pro dan kontra atas sanksi tersebut, banyak usulan tentang bagaimana menindak lanjuti langkah selanjutnya. Beragam usulan sudah dilontarkan, tetap belum ada usulan yang berisi langkah strategis, mendasar, menggali faktor penyebab terjadinya kasus kasus serupa di banyak tempat. Semua usulan bersifat reaktif dan taktis, tidak mengungkapkan sebab dasar yang memicu kasus pemalakan, petundungan dan bullying di PPDS dan institusi kedinasan yang lain. Tulisan ini berusaha mengisi celah kosong yang belum dieksplorasi. Tulisan ini dimulai dari dipilhnya satu asumsi ( yang namanya asumsi tidak dituntut harus ada pembuktian ). Asumsi tersebut adalah telah terjadi tindakan pemalakan, perundungan dan bullying atas diri dokter Aulia Risma Lestari. 


Relasi Kuasa Sebagai Pangkal Masalah

Relasi kuasa adalah suatu konsep yang umum digunakan di dalam ilmu sosial. Relasi kuasa diartikan sebagai hubungan kekuasaan yang terjadi antara pihak yang memiliki kekuasaan dengan pihak yang dikuasai. Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan / atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan / pendidikan dan / atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan dari pihak yang lebih kuat kepada pihak yang lebih lemah, sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih lemah.

Michel Foucault seorang filsuf dan pemikir ilmu sosial pada abad XX dari Perancis banyak  meneliti soal relasi kuasa. Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Di mana saja ada relasi, maka di situ ada kekuasaan dan kekuasaan teraktualisasi lewat pengetahuan serta selalu punya efek kuasa. Di sini terselip suatu asumsi tersirat bahwa di manapun dan kapanpun dalam konteks adanya relasi antara dua atau lebih pihak yang berinteraksi, pasti membawa cacat genetis alam semesta yaitu adanya ketidaksetaraan. 

Hubungan kekuasaan merujuk pada hubungan di mana satu orang memiliki kekuatan formal sosial atas orang lain, dan mampu membuat orang lain melakukan apa yang diinginkannya, entah dengan memaksakan kepatuhan atau dengan cara yang lebih halus. Menurut Faucoult ada tiga jenis mekanisme kekuasaan : 

1 Dari arah atas ke bawah

2 Dari arah bawah ke atas

3 Dari sudut ke sudut lain ( diagonal )

Kekuasaan itu ada yang bersifat produktif, reproduktif, tidak terpusat di tangan satu orang / pihak, tidak bersifat mutlak, tetapi menyebar, mengalir, kemudian dinormalisasikan dalam praktek kedisiplinan. Dalam penyebaran aliran energi / aura kekuasaan mengikuti mekanisme seperti yang diramalkan oleh fisika kuantum, yaitu determinisme, acak dan gabungan keduanya, tanpa ada seorangpun yang menggenggam kekuasan secara absolut. 

Penjelasan dari narasi di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut. Pemimpin puncak di Republik adalah presiden. Presiden memiliki pembantu terdekat dan terpercaya yang disebut menteri ( misalnya menteri pendidikan ). Kekuasaan residen mutlak dan langsung terhadap menteri dan menteri takut / patuh kepada presiden. Menteri memiliki pembantu terdekat yang dipercaya yaitu Direktur Jenderal  ( Dirjen pendidikan tinggi ). Menteri memiliki kuasa penuh dan langsung.  atas Dirjen. Dirjen pendidikan tinggi memiliki kuasa mutlak dan langsung atas Rektor Universitas. Rektor memiliki kuasa mutlak dan langsung kepada Wakil Rektor dan  Dekan Fakultas. Dekan Fakultas memiliki kuasa mutlak dan langsung atas Wakil Dekan, Ketua Departemen dan Program Studi ( Prodi ). Ketua Program Studi memiliki kuasa mutlak dan langsung atas Dosen. Mulai Presiden hingga Dekan tidak memiliki kekuasaan langsung dan mutlak atas mahasiswa. Yang berhubungan langsung dengan Mahasiswa adalah para Dosen. Mahasiswa takut kepada Dosen dan Dosen takut kepada Ketua Prodi, Ketua Prodi takut kepada Dekan. Dekan takut kepada Rektor dan Rektor takut kepada Dirjen. Dirjen takut kepada Menteri dan Menteri takut kepada Presiden. Anehnya, Presiden takut kepada Mahasiswa. Itulah bukti bahwa kekuasaan itu tidak mutlak digenggam oleh satu orang, tetapi menyebar dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dan menyerong ke kiri dan ke kanan. 

Foucault mengajukan lima proposisinya ( pernyataan yang dapat diuji dengan data / fakta empirik ) yang terkenal sehubungan dengan relasi kuasa : 

1 Kekuasaan tidak mutlak, diperoleh, diraih, digunakan, dibagikan, bahkan bisa punah. Kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dan hubungan yang terus menerus bergerak. 

2 Relasi kekuasaan bukanlah struktural hierarkis yang membayangkan ada yang menguasai dan dikuasai.

3 Kekuasaan datang dari bawah yang membayangkan tidak ada lagi perbedaan di posisi biner, sebab mencakup keduanya. 

4 Relasi kekuasaan bersifat intensional dan non subjektif. 

5 Kekuasaan berkaitan erat dengan anti kekuasaan, keduanya bertolak belakang, tetapi ada di waktu yang sama. 

Unsur relasi kekuasaan ada beberapa jenis, yaitu  :

1Relasi kekuasaan legitimasi

2 Relasi kekuasaan tradisional

3 Relasi kekuasaan legal - rasional

4 Relasi kekuasaan kharismatik

Pandangan Michel Foucault mendapat pijakan kuat dari General Systems Theory yang dirumuskan oleh ahli biologi asal Jerman bernama Ludwig von Bartalanffy. Jika dua buah sistem yang berbeda skala besaran dan tingkat kerumitannya, dihubungkan dengan aliran yang mengalirkan materi, energi dan informasi, maka sistem yang lebih besar akan mendominasi dan menyerap manfaat lebih besar dari sistem yang lebih kecil dan lebih sederhana.

Berdasarkan paparan tentang relasi kekuasaan di atas, maka upaya mengatasi masalah pemalakan, perundungan dan bullying di manapun dan kapanpun, tidak dapat dengan pendekatan reaktif, taktis, parsial. Akar dari semua persoalan tersebut adalah relasi kekuasaan yang tidak seimbang, adanya ketidaksetaraan dan itu bersumber dari desain alam semesta. Tema dasar alam semesta adalah perubahan. Perubahan menimbulkan variasi dan perbedaan. Variasi menimbulkan kompleksitas.  Kompleksitas membutuhkan pengaturan. Pengaturan membutuhkan organisasi dan birokrasi. Birokrasi menciptakan hierarki. Hirearki pasti menimbulkan ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan menimbulkan relasi kuasa. Jadi relasi kuasa inherent ada di dalam gen perubahan. Perubahan adalah keniscayaan di alam semesta. Relasi kuasa yang timpang di antara para pihak adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan tetapi dapat diupayakan untuk mengurangi bobot / magnitude / derajat dan efek destruktifnya. 


Solusi Atas Efek Negatif Relasi Kuasa

Solusi yang ditawarkan tidak mungkin dapat menghilangkan 100% efek negatif relasi kuasa, tetapi dapat mengurangi bobot efek kerusakan yang ditimbulkannya. Solusi yang ditawarkan langsung menusuk jantung masalahnya. Mungkin terasa pahit bagi yang terkena, tetapi tidak ada cara lain, kecuali memutuskan sebanyak mungkin rantai penghubung relasi kuasa, walaupun tidak ada jaminan berhasil 100%, tetapi mengurangi banyak potensi terulangnya kejadian yang sama di masa depan. 

Langkah pertama adalah mengganti semua personil di jabatan puncak dan jajaran pimpinan dari pejabat berlatar belakang medis dengan pejabat berlatar bekakang manajemen, termasuk Menteri Kesehatan, Sekretaris Jenderal Kementerian, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal. Mulai dari jabatan Direktur boleh dijabat oleh orang berlatar belakang medis. Semua jabatan struktural yang memberi jalan / akses kekuasaan harus dijauhkan dari para dokter, seperti jabatan manajerial ( Direktur Utama, Drektur, Dewan Pengawas ) di semua rumah sakit.  Para manajer yang berasal dari bidang non medis tidak pernah bersentuhan dengan praktek relasi kuasa seperti di bidang medis. Dengan demikian diharapkan dapat memutuskan rantai relasi kuasa yang sudah menjadi tradisi di bidang medis. Hanya jabatan fungsional teknis medis dan jabatan struktural level menengah ( pelaksana ) yang masih boleh dipegang oleh para dokter, seperti Kepala Bagian. Para pejabat fungsional juga harus diawasi secara ketat sepak terjang nya oleh para Supervisor dan Komisaris, dalam upaya mempersempit ruang geraknya untuk membangun relasi kuasa. 

Hal yang sama harus diberlakukan di Universitas yang memiliki Fakultas Kedokteran. Jabatan Dekan, Wakil Dekan harus dijabat oleh Manajer yang bukan berlatar belakang medis. Hanya Ketua Program Studi, Sekretaris Program Studi dan Ketua Laboratorium yang boleh dijabat oleh para dokter. Pertanyaan berikutnya sampai kapan kebijakan ini diberlakukan?. Tentu saja sampai praktek pemalakan, perundungan dan bullying dapat dikendalikan sampai ke tingkat serendah rendahnya. 


Epilog

Setiap perbahan kebijakan pasti selalu saja disambut oleh sebagian orang dengan sikap,  perilaku reaktif dan resisten. Hal ini disebabkan karena tidak ada orang yang ingin hak hak privilege yang sudah lama dinikmati selama beberapa generasi turun temurun hilang dari genggamannya. Apapun reaksi dari orang yang  menentang perubahan harus dihadapi secara tegas dan keras. 

Sebenarnya hambatan terbesar untuk memutuskan rantai relasi kuasa bukan dari kelompok resisten. Kelompok itu relatif mudah diatasi. Hambatan terbesar justru ada pada diri pemegang kekuasaan eksekusi. Ada dua persyaratan untuk berhasil memutuskan rantai relasi kuasa, yaitu adanya komitmen dari pimpinan puncak dan konsistensi untuk menjalankan komitmen itu. Dua hal ini sekaligus sulit dilakukan di Republik. Mungkin membuat komitmen lebih mudah, tetapi untuk bersikap konsisten merupakan kemampuan langka di Republik.  







Comments

Popular Posts