GEMPA PALU : PANGGUNG OPERA KARAKTER MULTI DIMENSIONAL MANUSIA




Prolog

Peristiwa gempa besar yang diikuti dengan gelombang tsunami di Palu baru baru ini, telah menunjukkan potensinya untuk jadi laboratorium alam yang menyimpan jejak perilaku manusia. Bagi pengamat dan peneliti  perilaku manusia ( psikologi, sosiologi, antropologi),  peristiwa itu dapat dijadikan objek kajian menarik. Sudah banyak orang yang menayangkan postingan gambar, foto, video tentang peristiwa itu diberbagai media sosial dan membaginya kepada rekan, saudara dan handai tolannya. Bagi para peneliti perilaku manusia, momen kejadian pasca gempa justru lebih menarik. Peristiwa itu ibarat panggung opera yang dengan gamblang, telanjang memperlihatkan dua karakter dasar manusia. Dua sifat dasar itu menjadi dasar pemberian label mahluk multi dimensional untuk  sosok manusia. Sekali lagi alam menunjukkan kemampuannya sebagai wasit paling adil, netral, dan penyimpan rekam jejak terbaik. Alam telah menunjukkan tanpa tedeng aling aling perilaku manusia yang menjijikkan sekaligus juga memperlihatkan sifat luhur dan terpuji. Dari tayangan yang beredar luas tampak bagaimana segerombolan manusia menjarah truk pengangkut bahan makanan, truk tanki bahan bakar minyak yang dimaksudkan untuk menolong para korban yang sangat membutuhkannya. Mereka juga menjarah toko elektronik di Mal dan toko swalayan. Mereka seperti gerombolan manusia barbar yang merasa berhak atas semua properti di saat para pemilik sah nya sedang berjuang menyelamatkan hidupnya. Di sini manusia menunjukkan dirinya adalah  Homo Homini Lupus ( Manusia Adalah Serigala Bagi Sesama ). Di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku banyak orang yang mengharukan, membanggakan dan membesarkan hati. Mereka tanpa dikomando, tanpa dibayar, tanpa diiming imingi ganjaran pahala dan surga, denga setulus hati menyediakan waktu, tenaga dan materi untuk menolong sesama tanpa melihat ras, agama, ideologi. Mereka datang dari tempat yang jauh, meninggalkan keluarga, bisnis dan pekerjaan, menjadi relawan di lokasi gempa. Mereka adalah  Filantropis sejati yang mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan. Panggung Opera Gempa Palu telah membuat penulis merenung, memikirkan kembali tentang sosok manusia. Kita perlu meninjau ulang dan mempertanyakan semua aksioma, postulat dan asumsi tentang manusia yang dianut selama ini. Di antara semua pandangan dasar tentang manusia yang diyakini banyak orang adalah : Manusia mahluk yang mulia, mahluk yang paling sempurna. Sebagian orang lagi menganggap manusia adalah mahluk buas, raja tega, bagi sesamanya. Ke dua pandangan ini terwakili  pada fenomena pasca gempa Palu. Sifat filantropis jelas menunjukkan sifat kemanusiaan yang luhur, merupakan hasil desain alam dari proses evolusi perkembangan manusia. Sebenarnya mulai kapan sifat sifat luhur itu pertama kali muncul pada spesies manusia?. Pertanyaan inilah yang hendak dijawab oleh tulisan ini.

Bukti Fisik Otentik Sifat Filantropis

Kata Filantropis berasal dari bahasa Yunani, Filo, artinya cinta ; Anthro, artinya manusia. Filantropi diartikan sebagai cinta kepada sesama manusia tanpa didasari motif lain sama sekali. Kalau kita dapat menerima premis bahwa alam adalah penyimpan jejak terbaik dan wasit paling netral, maka untuk mencari bukti tentang kemunculan sifat Filantropi, kita harus mencarinya di dalam jasad manusia. Penelusuran literature tentang bukti dimaksud mengantarkan kita ke suatu tempat di Irak Utara, di pegunungan Zagros,  provinsi Arbil. Di situs arkeologi berupa gua yang  disebut oleh penduduk setempat sebagai gua Shanidar, ditemukan sisa jasad, kerangka 10 individu spesies manusia Neanderthal, yang usianya berkisar dari 65.000 - 35.000 tahun yang lalu.
Neanderthal adalah spesies manusia yang muncul lebih dulu sebelum hadirnya manusia modern (  Homo Sapien ). Leluhur manusia modern pernah hidup berdampingan bahkan kawin dengan Neanderthal. Bukti peryataan itu adalah di setiap tubuh manusia modern sekarang yang   Non Afrika mengandung 1 - 4 %  gen manusia Neanderthal. Manusia modern yang tetap tinggal di Afrika tidak pernah kawin dengan Neanderthal. Kerangka yang ditemukan di gua Shanidar diberi nama Shanidar 1 sampai 10. Shanidar 1 sampai 9 ditemukan pada tahun 1957 - 1961 oleh Ralph Solecki dan tim dari Columbia University. Rangka Shanidar 3 disimpan di Smithsonian Institution.Shanidar 1, 2 dan 4 - 9 disimpan di Irak. Mungkin sekarang sudah hilang waktu invasi pendudukan Sekutu ke Irak pada tahun 2003. Walaupun demikian replika dari semua rangka itu sudah ada disimpan di museum Smithsonian Institution. Pada tahun 2006  Melinda Zeder menyortir fosil flora dan fauna koleksi museum tersebut dan menemukan tulang laki Neanderthal, yang di kemudian diberi label Shanidar 10. Dari 10 rangka tersebut ada 2 rangka yaitu Shanidar 1 dan 3 yang paling terkenal dan dibahas lebih mendalam pada tulisan ini.


 Tampilan sosok Neanderthal dengan perspektif 3D. Tampilan ini dibuat dengan menggunakan CT-Scan dan alat pemindai beresolusi tingggi

Shanidar 1

Shanidar 1 adalah seorang pria Neanderthal berusia 40 tahun ketika wafat,  yang sudah tergolong  tua menurut ukuran Neanderthal, setara dengan usia 80 tahun menurut ukuran manusia saat ini. Rangka ini diberi nama Nandy, salah satu dari 4 kerangka yang relatif lengkap, menunjukkan tanda tanda deformitas yang parah dan  kelainan yang berhubungan trauma. Kondisi tubuh Nandy amat melemahkannya dalam kehidupan sehari hari dan melewatkan hari harinya dalam kesakitan. Pada satu masa dalam hidupnya, Nandy mendapat pukulan keras di sisi kiri wajahnya, menciptakan fraktur yang menghancurkan orbital kirinya yang membuatnya buta sebagian atau seluruhnya di satu mata. Analisis forensik menunjukkan bahwa Nandy kemungkinan menderita kehilangan seluruh pendengarannya yang dalam, karena kanal telinga kirinya terblokir sebagian dan saluran telinga kanannya telah terblokir total oleh eksostosis. Ia juga menderita di bagian lengan kanannya yang telah patah di beberapa bagian dan sembuh, tetapi menyebabkan dia kehilangan lengan bagian bawah dan juga tangannya. Kondisi ini, dapat disebabkan oleh hal yang bersifat kongenital ( akibat penyakit pada masa kanak kanak ), maupun trauma ataupun amputasi di dalam hidupnya. Lengannya itu kemudian sembuh, tetapi menyebabkan kelumpuhan di sisi kanan,  menyebabkan cacat di kaki bagian bawah dan kakinya itu mengakibatkan dia berjalan dengan pincang yang terasa sakit. Semua cedera itu didapatkan Nandy jauh sebelum kematiannya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya proses penyembuhan yang luas. Tanpa bantuan dan santunan dari komunitasnya, secara teoritis tidak mungkin Nandy dapat bertahan melanjutkan hidupnya. Berdasarkan bukti rangka yang sahih, ditarik kesimpulan bahwa Neanderthal merawat dan menyantuni  orang tua, sakit dan cacat dan secara eksplisit menunjukkan adanya rasa empati, simpati serta kasih sayang kepada sesamanya. Nandy bukanlah satu satunya Neanderthal di situs Shanidar atau di situs lain yang menampilkan trauma dan penyembuhannya. Dapat dikatakan bahwa sifat Filantropi  manusia modern sudah ada dan berakar pada spesies Neanderthal. Neanderthal adalah peletak dasar pembentukan sifat sifat kemanusiaan yang terlihat pada saat ini pada manusia modern.

Shanidar 3

Shanidar 3 adalah seorang pria berusia antara 40 - 50 tahun, ditemukan di kuburan yang sama dengan Shanidar 1 dan 2 Ketika masih  hidup dan menjelang ajalnya, Shanidar 3 menderita luka parah di tulang rusuk ke 9. Agaknya luka ini sangat fatal baginya dan dia meninggal karena komplikasi akibat luka kena tikam oleh alat tajam. Pertumbuhan tulang di sekitar luka menunjukkan bahwa Shanidar 3 masih dapat bertahan selama beberapa minggu setelah mendapat cedera itu, drngan objek benda tajam masih tertanam. Pada sudut lambung ada bekas sayatan yang sengaja dibuat, mungkin sebagai upaya mengeluarkan benda tajam itu. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa cedera itu disebabkan oleh lontaran proyektil mata tombak yang dilemparkan dari jarak jauh. Sejauh hasil penelitian sampai sekarang , hanya spesies manusia modern   Homo sapien yang memiliki persenjataan pelontar seperti panah, tombak, ketapel. Ini menjadi contoh bukti fisik paling awal kekerasan antar pribadi, kelompok, atau antar spesies dalam catatan fosil atau kerangka dan menjadi contoh satu satunya kasus di antara Neanderthal. Kehadiran manusia modern awal dengan senjata pelontar proyektil di Asia Barat, pada waktu yang sama juga meningkatkan konflik antar spesies yang berakhir dengan punahnya Neanderthal. Shanidar 3 ketika hidup juga menderita gangguan sendi degeneratif di kakinya akibat patah tulang atau terkilir, yang mengakibatkan setiap pergerakan eksplosif menimbulkan rasa sakit. Kerangkanya dipajang di Hall of Human Origins di National Museum of Natural History, di Washington DC. Bukti fisik Shanidar 3 menunjukkan bagaimana kekerasan fisik dilancarkan oleh sesama manusia. 

Ternyata manusia adalah sosok mahluk multidimensional. Di dalam dirinya terkandung sekaligus sifat dan karakter luhur, dan buruk. Sifat baik dihasilkan oleh proses evolusi yang mencapai level kesadaran.  Manusia sadar dirinya tidak dapat bertahan hidup sendiri di alam tanpa bantuan, sokongan dan kontribusi mahluk lain baik di dalam spesiesnya maupun antar spesies. Untuk mendapat bantuan itu dia harus mampu membangun relasi yang baik dengan siapa saja. Untuk dapat menciptakan relasi yang baik, maka manusia tidak punya pilihan lain, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau dia harus / wajib berbuat baik kepada siapa saja. Jadi berbuat baik kepada siapa saja adalah satu satunya cara untuk dapat bertahan hidup, bukan karena iming iming pahala dan surga.
Oleh karena manusia mahluk multidimensional, di dalamnya dirinya juga masih ada sisa sisa karakter  masa lalu warisan dari leluhurnya yang ada kalanya muncul ke permukaan. Karakter jelek itu belum dapat dihilangkan sepenuhnya, tetapi dengan kemampuan akal budinya sebagai hasil proses evolusinya, manusia  dapat menekan, meredam sifat jelek itu sehingga ke level laten, tidak sampai naik ke level manifes. Jika seseorang mampu menekan sifat jelek itu pada level laten dan menonjolkan sifat  baik, maka orang lain akan memberi label pada dirinya sebagai orang baik.Sebaliknya jika yang ditonjolkan adalah sifat jahat, maka dia diberi label orang jahat. Setiap manusia beradab  diharapkan memiliki kedewasaan mental dan mekanisme pengendalian diri yang prima. Kesadaran pengendalian diri dipelihara terus bukan karena rasa takut akibat intimidasi akan adanya dosa dan neraka. Iming iming dan intimidasi adalah cara  yang hanya pantas dilakukan kepada anak anak, bukan kepada manusia dewasa yang beradab. Kita jadi paham mengapa di Eropa setiap anak yang akan dikirim orang tuanya masuk sekolah, harus sudah dapat membedakan barang miliknya pribadi dan barang milik orang lain. Jika cara orang Eropa mendidik anak anak diterapkan di Indonesia, maka kasus penjarahan di Palu pasca gempa dan kasus kejahatan di tempat lain dapat ditekan sampai tingkat minimal.

Epilog

Tubuh manusia adalah bagian dari alam dan menyimpan rekaman  jejak perkembangan evolusinya. Di tangan orang yang berilmu, tubuh itu dan berbagai fenomena alam dapat dijadikan sumber informasi yang tingkat kepercayaannya dapat diandalkan. Untuk memahami berbagai fenomena di alam semesta dibutuhkan pra syarat yang harus dipenuhi yaitu : mencintai  kehidupan dan berupaya mempertahankan kehidupan. Dengan mencintai kehidupan kita akan memahami  4 kekuatan dahsyat yang bekerja di alam ini yaitu   perubahan, kompleksitas, ketidakpastian dan konflik. Pemahaman atas ke empat kekuatan itu akan membawa kita menuju pintu gerbang kearifan sejati.

Comments

  1. Manusia harus nenyadari, betapa berlakunya hukum tabur tuai dalam hidup ini.
    Apa yg kita tabur itu yg kita tuai, maka lakukanlah yang baik, semoga yg baik akan kita dapatkan..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts